Tradisi di Desa Kajog, Sragen

Kenthur Kendi

Dalam ritual ini, pasangan yang hendak menikah dan sudah didandani layaknya pengantin diarak warga. Pasangan pengantin pria dan wanita itu dibopong warga menuju ke sendang tak jauh dari kampung tersebut.

Terdapat dua sendang di lokasi itu. Warga biasa menyebutnya dengan istilah sendang lanang dan sendang wadon. Sendang itu memiliki sumber air yang tak pernah kering.

Sendang di bawah pohon yang rindang itu sudah dimanfaatkan airnya oleh warga sekitar sejak zaman nenek moyang. Di dekat sendang itu terdapat sebuah patung ganesha yang bagian kepalanya sudah hilang.

Sendang itu menjadi ramai saat warga setempat menggelar hajatan pernikahan. Warga berdatangan untuk menyaksikan ritual yang dijalani pasangan pengantin sebelum mengikuti prosesi pernikahan di rumah.

Ritual ini tidak bersifat wajib. Namun, warga sekitar menganjurkan tradisi ini dijalani pengantin yang pasangan perempuannya adalah warga setempat.

Setelah dibopong menuju sendang, pasangan pengantin itu diminta duduk beralas tikar. Di tikar itu keduanya diajak berdoa oleh seorang nenek tua yang memimpin ritual.

Di hadapan mereka terdapat kendi berisi air dari sendang. Selanjutnya, nenek itu mengajak pasangan pengantin berdiri. Nenek itu selanjutnya mengucurkan air dalam kendi.

Dia berjalan diikuti pasangan pengantin dan pengiringnya. Mereka memutari lokasi hingga tiga kali sesuai garis yang dibuat dari kucuran air kendi itu.

“Saya sudah coba mengorek informasi dari sesepuh warga di sini. Ritual itu belum ada namanya. Saya sendiri menamakannya dengan tradisi kethur kendi. Ini adalah salah satu kearifan lokal di Desa Kalangan, warisan nenek moyang yang masih tetap lestari hingga sekarang,” ujar Yoto Teguh Pambudi, warga Dukuh Sendang, Desa Kalangan, saat berbincang dengan Solopos.com di Desa Kalangan, Selasa (5/11/2019).

Selain pasangan pengantin, beberapa peralatan gamelan juga dibawa warga ke sendang. Gamelan itu dibunyikan untuk mengiringi perjalanan pasangan pengantin selama mengikuti ritual.

Tradisi yang dijalani pasangan pengantin itu sudah membudaya di lima dukuh di dua desa. Dusun tersebut yakni Sendang, Nglebak, Brumbung, Sentana (Desa Kalangan) dan Dusun Nglebak Nganti (Desa Nganti).

Sebagian warga percaya ritual itu harus dijalani pasangan pengantin. Bila tidak dilaksanakan, sebagian warga khawatir kehidupan setelah pernikahan itu akan mendapat banyak cobaan atau rintangan.

“Itu sebenarnya hanya mitos. Boleh percaya, boleh tidak. Bagi warga pendatang seperti saya, itu adalah tradisi budaya yang menarik. Itu adalah kearifan lokal yang tidak ada di desa lain. Saya menganggapnya sebagai khasanah budaya yang perlu dilestarikan. Mungkin bagi warga asli sini, tradisi itu dianggap hal biasa dan tidak ada yang istimewa,” papar Teguh yang belakangan tertarik mengulik berbagai tradisi budaya di pedesaan khususnya Gemolong dan sekitarnya.

Ritual kethur kendi memiliki makna filosofis. Lewat tradisi ini, pasangan pengantin diajak senantiasa bersyukur atas nikmat Ilahi sebagai bekal membina mahligai rumah tangga. Air adalah salah satu rezeki dari Allah yang harus disyukuri.

“Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tanaman pangan akan mati. Padahal, manusia tidak bisa hidup tanpa makanan yang dihasilkan dari tanaman. Itulah sebabnya pasangan pengantin itu diajarkan bagaimana bersyukur atas nikmat Ilahi,” jelas Teguh

Anak adalah karunia bagi orang tua yang diharapkan selamat dan selalu sehat. Untuk tujuan itu, ternyata beberapa ritual tradisional di Kota Batu masih lestari. Salah satunya yang dilakukan warga Dusun Dresel Desa Oro-oro Ombo Kota Batu.

Salah satu tradisi unik yang ada di dusun perbukitan ini adalah memandikan anak dengan air sungai dari aliran Coban Rais dalam upacara pitonan (upacara ketika anak berusia tujuh bulan).

Di Dusun Dresel ini terdapat sebuah air terjun bernama Coban Rais. Aliran airnya mengisi sungai-sungai kecil yang membelah dusun. Air inilah yang digunakan untuk memandikan bocah usia tujuh bulan dalam tradisi pitonan.

Seperti yang terlihat dalam perayaan pitonan seorang anak bernama Aqila, Selasa (12/4/2016). Di tengah suara tangisnya, bocah ini dimandikan dengan air sungai yang dingin. Terlihat disertai dengan beberapa kembang setaman.

Ritual ini dilakukan oleh seorang dukun bayi dusun setempat. Sebelumnya si bocah Aqila ini dikarak oleh tabuhan musik rebana yang dimainkan beberapa orang sembari menggemakan salawat.

Setelah sampai di dekat sumber air, Dasemi, dukun bayi tersebut menyiram tubuh mungil si bocah seraya merapal doa-doa tertentu.

”Penyiraman ini dimaksudkan agar anak ini suci, pertumbuhannya bisa sehat dan diberikan keselamatan dalam hidupnya,” jelas Dasemi, sesepuh yang berusia 77 tahun ini.

Setelah proses penyiraman dilakukan, si bocah bayi pun dikenakan pakaian. Sedangkan para kerabat serta tetangga yang hadir diajak memanjatkan doa-doa yang dipimpin oleh Dasemi dengan bahasa Jawa kuno.

Intinya adalah meminta keselamatan anak yang sedang dipitoni tersebut kepada Tuhan. Aneka makanan yang ada di hadapan mereka seperti pisang, nasi, lauk pauk, dan sayur pun dibagi rata kepada semua yang hadir sebagai ungkapan syukur. Setelah semua sajian terbagi, Aqila pun dikarak pulang kembali ke rumah orang tuanya.

Dodol Dawet di dalam Pernikahan Jawa

Hadir dengan cita rasa yang manis, lengkap dengan isian berupa cendol, menjadikan dawet memiliki tempat tersendiri bagi penikmatnya.

Dari berbagai jenis sajian khas Jawa, Dawet menjadi salah satu sajian yang sampai sekarang masih bisa ditemukan dengan mudah. Sajian dalam bentuk minuman ini mudah sekali dikenali. Hadir dengan cita rasa yang manis, lengkap dengan isian berupa cendol, menjadikan dawet memiliki tempat tersendiri bagi penikmatnya.

Dawet bisa dengan mudah ditemukan di Jawa. Penjual dawet biasanya menjajakan dagangannya di sepanjang jalan dengan menggunakan gerobak. Di balik gerobak tersebut, kalian akan menemukan hidangan dengan rasa yang sangat khas. Sangat pas manakala diteguk saat cuaca sedang terik. Bagi orang Jawa, dawet bukan hanya menjadi pelepas dahaga saja. Lebih dari itu, dawet juga menjadi bagian penting dalam ritual pernikahan Jawa.

Dodol dawet. Orang Jawa menyebutnya. Bisa diartikan dengan berjualan dawet. Ritual ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Di tempat tinggal saya, dodol dawet masih menjadi salah satu bagian terpenting yang tidak boleh terlewatkan dalam prosesi pernikahan. Unik memang.

Beberapa masyarakat kerap menantikan prosesi ini. Khususnya anak-anak. Saya termasuk salah satu orang yang menunggu-nunggu ritual ini. Bukan karena gratis, melainkan kesan uniknya yang membuat orang tertarik untuk ikut serta.

Sebelum ritual digelar, pemilik rumah dibantu para tetangga akan menyiapkan dawet lengkap dengan cendol sebagai isiannya. Proses pembuatan dawetnya juga sama seperti membuat dawet pada umumnya.

Yang membedakan hanya jumlah porsinya saja. Lebih banyak. Mengingat minuman ini akan dibagikan kepada para tetangga dan juga tamu yang hadir. Setelah semuanya siap, pemilik hajat segera menjajakan dawetnya di hadapan para tetangga dan juga tamu undangan.

Halaman depan rumah menjadi tempat dilakukannya dodolan dawet. Tempatnya yang luas menjadikan semua tamu bisa dengan mudah antre untuk bisa meneguk segarnya dawet yang dijajakan oleh calon pengantin.

Ritual ini akan dilakukan sehari sebelum pernikahan digelar. Tepatnya seusai prosesi siraman pengantin. Karena menjadi bagian yang penting, dodol dawet tentu memiliki aturan main tersendiri.

Dalam dodol dawet, calon mempelai perempuan bertugas melayani pembeli, sedangkan mempelai laki-laki yang akan menerima bayarannya. Layaknya orang berjualan, tentu pembeli akan membayar menggunakan alat pembayaran.

Jika kita terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran, dalam dodol dawet kita akan menjumpai alat pembayaran lain. Bukan uang, melainkan kereweng, yaitu sebuah pecahan benda yang terbuat dari tanah liat yang digunakan sebagai alat pembayaran. Biasanya pecahan genteng. Inilah uniknya.

Selain untuk melestarikan ajaran leluhur, secara khusus, ritual ini ditunjukkan sebagai bentuk simbolisasi dari harapan atau doa-doa. Bentuk bulat cendol dalam minuman dawet tersebut melambangkan kebulatan hati serta kesiapan orang tua untuk melepaskan masa lajang anaknya.

Dengan niat yang bulat, orang tua akan berusaha semaksimal mungkin supaya bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya. Kemudian kereweng yang diguanakan untuk membeli dawet melambangkan bahwa kehidupan manusia dimulai dari bumi serta mendapatkan penghidupan dari bumi pula.

Secara tidak langsung, kita diingatkan asal-usul kita serta dari mana sumber penghidupan kita dengan maksud supaya kita memiliki kesadaran untuk menyayangi bumi serta menjaga kelestariannya. Melalui dodol dawet, calon pengantin juga diajarkan untuk bisa bekerja sama satu sama lain dalam membina kehidupan rumah tangga. Persis saat mereka berdua menjajakan dawet kepada para tetangga dan tamu undangan.

Yang satu melayani pembeli, sedangkan yang satunya menerima pembayaran. Tanpa keterpaksaan di antara keduaanya. Ketiga pesan tersebut jika dimaknai dengan benar kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya berdampak pada kehidupan suami-istri saja, melainkan juga akan memberikan dampak yang positif dalam kehidupan.

Saat pasangan sadar untuk bisa bekerja sama satu sama lain dan sadar akan asal usulnya, tentu keduanya akan berusaha untuk merawat kehidupan dengan baik. Alhasil terciptalah harmonisasi dalam hidup.