Topeng Dalang Malang : Wayang topeng yang mulai terlupakan

Seperti namanya “topeng dalang”, dua unsur yang memegang peranan penting adalah topeng dan dalang. Topeng berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang dikehendaki, sedangkan dalang berfungsi sebagai pembawa ceritera atau pengatur tingkah laku. Karena pemain atau pelaku mengenakan topeng, tentu agak sulit untuk berbicara dengan baik dan jelas. Maka dialog tidak langsung dilakukan oleh pemain, dalam hal ini dalang yang bertugas melontarkan ucapan-ucapan sesuai dengan gerakan pemain. Untuk itu biasanya seorang dalang dituntut mempunyai kemahiran dalam berbagai jenis suara dan menguasai dengan baik kisah-kisah wayang yang dilakonkan

Untuk mengetahui siapa yang sedang berbicara, penonton dapat membedakan dari nada, warna suara tertentu yang diucapkan oleh Ki Dalang dan juga dapat ditangkap dari gerakan;gerakan yang dilakukan oleh pemain.

Topeng yang dikenakan oleh pemain dapat mengekpresikan karakter-karakter tertentu seperti kasar, lembut, gagah, halus, jahat, baik dan sebagainya. Dengan demikian topeng merupakan pengucapan visual karakter tokoh-tokoh yang diperankan oleh pelaku. Secara garis besar, karakter topeng-topeng diwujudkan dalam bentuk hidung, mata, mulut dan juga warna topeng.

Selain itu warna juga dimaksudkan untuk menggambarkan tokoh-tokoh Warna merah menunjukkan tokoh berwatak angkara, jahat, berani. Merah jambu menggambarkan tokoh yang keras hati, warna biru tua menggambarkan tokoh dengan kekuatan magis, biru telur menunjukkan tokoh baik hati, putih menunjukkan kesucian dan hitam menggambarkan tokoh yang bijak dan teguh.

Mengenai warna antara satu daerah dengan daerah lain tidak selalu sama. Demikian pula ciri-ciri bentuk lainnya yang telah dikemukakan di atas tidak semua dapat diterapkan secara mutlak. Antara daerah yang satu dengan yang lainnya selalu ada perbedaan ciri bentuk topeng.

Di samping topeng yang memberikan karakter tokoh peran, busana juga merupakan ciri yang memberikan identitas. Dalam hal tersebut tampak antara lain busana kepala. Tokoh raja umumnya mempergunakan topeng atau mahkota. Para punggawa mempergunakan gelang kalung, putri menggunakan gelang keputren. Terdapat pula beberapa jenis bentuk yang khusus dipergunakan oleh tokoh Kelana Sewandana bila mengambil lakon panji.

Pada umumnya pemeran laki-laki bertelanjang dada tetapi jika tokoh laki-laki tersebut dimainkan oleh seorang wanita maka biasanya dikenakan baju atau penutup dada sampai pinggang.

Mengenai lama pertunjukan, tidak pada ketentuan yang pasti. Umumnya tiga sampai empat jam, bahkan hingga semalam suntuk. Saat ini malah ada yang mempersingkat menjadi satu setengah jam, yang merupakan fragmen garapan baru berdasarkan pola penciptaan koreografis. Biasanya dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan tari dan karawitan atau perkumpulan amatir di kalangan para terpelajar. Sedangkan pertunjukan yang dilakukan oleh golongan “rakyat” selalu mengikuti pola-pola tradisional yang tidak mengenal konsep dramatik ataupun koreografi. Bagi pertunjukan rakyat yang terpenting adalah mampu memberikan hiburan, komunikatif dan memenuhi selera masyarakat lingkungannya yang tradisional pula.

Pembagian pemeran dilakukan oleh dalang yang dalam hal ini bertindak sebagai pimpinan pertunjukan. Dalam memilih pemain, diperhatikan keadaan fisik (perawakan). Roman muka dan warna suara tidak terlalu diperhatikan, karena fungsinya akan digantikan oleh topeng dan dalang. Dengan demikian peranan putri pun mudah dilakukan oleh pemain laki-laki, seperti telah menjadi kelaziman pada pertunjukan topeng-dalang di Malang dan sekitarnya. Pada belakangan ini telah dilakukan campuran, pemain perempuan disamping dapat memainkan tokoh putren, juga untuk tokoh-tokoh satria alusan (istilah wayang: bambangan) seperti Arjuna dan sejenisnya. Sedangkan tokoh gagahan tetap diperankan oleh laki-laki.

Sebelum dilakukan pementasan, sesuai dengan tradisi, dilakukan upacara. Ki Dalang duduk di tengah-tengah pentas menghadap ke arah penonton. Di tengah-tengah ada tempat pembakaran dupa, topeng-topeng yang akan dipakai dijejerkan di depan Ki Dalang. Kemudian pelaku masuk satu demi satu dalam pakaian pentas tetapi tanpa topeng, kemudian duduk mengitari Ki Dalang. Setelah dibaca mantera-mantera dan beberapa topeng diasapi, baru kemudian dibagikan kepada para pemain.

Sementara itu gamelan berbunyi terus dan dogdogan (suara ketukan Ki Dalang) sebagai tanda dimulainya pertunjukan dibunyikan setelah gamelan berhenti. Pertunjukan dimulai dengan urut-urutan adegan yang hakikatnya mengikuti pola tertentu dan tetap. Hal tersebut berlaku bagi lakon apa pun.

Kini topeng-dalang atau wayang topeng sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Sangat sedikit pagelaran seni topeng dalang diselenggarakan, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Bagaimana akar historis dari topeng dalang ini dan bagaimana masa depannya? Hanya kita yang bisa menjawabnya, dengan tindakan tentunya.

AKAR HISTORIS TOPENG DALANG MALANG

Oleh: M. Dwi Cahyono


A. Data Epigrafis Seni Pertunjukan Berproperti Topeng di Malang

Jejak topeng Malang masa lampau terekam dalam beragam sumber data. Untuk Masa Hindu-Buddha, jejaknya antara lain didapati dalam sumber data epigrafis. Sejauh kita ketahui sumber data tertua yang memberitakan adalah dua prasasti dari masa pemerintahan Pu Sindok (Sri Isana), yaitu prasasti Himad (930 M.) dan prasasti Dinoyo A (8…… Saka). Prasasti Himad memuat kata “matapukan (memainkan tari topeng)” (Cahyono, 2003, lampiran III).

Konteks pembicaraannya adalah sajian seni sebagai penyemarak ritus penetapan wanua (desa) Himad menjadi sima (perdikan). Hal serupa dijumpai dalam prasasti Dinoyo A, yang menyebut per- kataan “juru ning mangrakat (pimpinan pertunjukan raket, yakni sendra tari topeng) bernama Pataweh (Cahyono, 2003, lampiran III). Dapat dipastikan bahwa pada paruh pertama abad X tari topeng telah ada di Malang, dipentaskan sebagai performing art dalam berbagai perhelat-an, tidak terkecuali dalam acara kenegaraan yang formal-sakral, yakni penetapan sima. Kedua prasasti itu menyebut adanya seni pertunjukan tertentu, dimana pelaku seninya mengenakan properti yang berbentuk topeng (tapuk atau tapel).

Tidak diragukan bahwa istilah ‘matapukan’ dan ‘mangrakat’ dalam kedua prasasti di atas menunjuk pada pementasan seni pertunjukan yang mengenakan properti topeng. Alasan pertama istilah-istilah itu berada dalam satu konteks dengan penyebutan ragam seni pertujuk-an lainnya yang juga dipentaskan sebagai penyemarak upacara penetapan sima. Kedua, pada masa lalu hingga kini terdapat seni pertunjukan tari, sendra-tari ataupun seni drama (teater), yang seluruh atau sebagian pelaku seninya mengenakan properti topeng. Kendati demikian, kedua prasasti tersebut tidak eksplisit menyatakan bahwa seni pertunjukan berproperti topeng itu merupakan seni tari atau sendra-tari. Jika merupakan sendra-tari, tidak pula disebut lakon apa yang didramatarikan. Yang terang, kala itu (abad X M.) cerita Panji masih belum menjadi lakon dalam sendra-tari berproperti topeng di Malang, karena cerita Panji baru ditulis dalam bentuk susastra prosa (gancaran) pada masa Majapahit (abad XIV-XVI M.).

Petunjuk bahwa cerita Panji telah menjadi lakon dalam tari murni ataupun sendra-tari berproperti topeng didapati dalam prasati tembaga (tamraprasasti) Pabanyolan (Thn. -) yang ditemukan di Desa Gubugklakah Ke. Pocokusomo Kab. Malang pada lereng selatan Gunung Tenggerdi. Meskipun tidak mencantumkan angka tahun, namun prasasti ini menyebut nama ‘Wilatikta’, yang kita ketahui sebagai nama kadatwan Majapahit, sehingga bisa diprakirakan asalnya dari masa Majapahit. Tidak sebagaimana lazimnya pada prasati-prasasti lain, prasasti Pabanyolan bukan disurat atas perintah raja atau penguasa di bawahnya untuk mengabadikan maklumat raja (charter) perihal keputusan resmi kerajaan, melainkan ditulis oleh anggota ko-munitas keagamaan di sang hyang batur Panjaran (PKMN, 1985:110-111). Kata ‘batur’ yang ditempatkan sebelum nama ‘Pajaran’ menjadi petunjuk bahwa di Pajaran terdapat pertapaan, sebab secara harafiah istilah ‘batur’ berarti pimpinan sebuah pertapaan (Zoetmulder, 1995, I: 115). Hingga kini toponimi ‘Pajaran’ masih digunakan sebagai nama desa di Kec. Tumpang, yang bertetangga dekat dengan Kec. Poncokusumo.

Sesuai dengan penyebutannya, yaitu prasasti ‘Pabanyolan’, pertulisan pendek (short inscription) ini berisi sinopsis cerita Panji yang komis (lucu = banyol). Pilihannya pada cerita Panji menjadi petunjuk bahwa kala itu cerita Panji telah menjadi sastra favorit. Bukan saja di lingkungan keraton, namun hingga juah ke lingkungan luar keraton di tempat yang terpencil. Sebagai suatu tempat pembelajaran (mandala kadewagurwan), anggota komunitas keagamaan di batur Pajaran meminati dan bahkan menjadi kreator (penggubah) lakon Panji. Memang, salah satu materi ajar di suatu mandala kadewagurwan adalah pembelajaran bidang susastra, tidak terkecuali tentunya susastra yang mengkisahkan dramatika tokoh Panji dan kerabatnya.

Seni pertunjukan berproperti topeng tidak seluruhnya melakonkan cerita Panji, namun melakonkan juga cerita-cerita lain yang berasal dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, menurut penuturan maestro topeng Malang almarhum Mbah Karimun dari sanggar wayang topeng di Kedungmonggo, pada pra Masa Pendudukan Jepang (1942-1942) wayang topeng berlakon Menak acap pula dipentaskan di Malang. Salah satu spesifikasi dari wayang topeng Malang adalah konsistensinya dalam melakonkan varian-varian cerita Panji. Bisa jadi konsistensinya yang demikian tidak belangsung secara tiba-tiba, namun memiliki akar tradisi yang panjang. Prasasti Pabanyolan menjadi petunjuk bahwa cerita Panji telah familer serta populer di kalangan warga Malang semenjak masa Majapahit, yang diekspresikan ke dalam berbagai cabang seni, tidak terkecuali ke dalam seni pertujukan berproperti topeng yang telah hadir di daerah ini paling tidak pada abad X M.

Secara umum – dalam lingkup budaya Jawa masa lampau – didapati informasi dari sumber data susastra tentang adanya sendra-tari berlakon Panji pada masa Majapahit, antara pada kakawin Nagarakretgama (XCI,4) dan Wangbang Wideya (I.59a-68b) (Cahyono, 2010: 6-7). Nagarakretagama (XCI.4) tidak menyebut judul lakonnya. Kendatipun demikian, dapat diprakirakan bahwa lakon yang dipentaskan adalah cerita Panji. Hal ini diindikatori oleh tam-pilnya tokoh Shori (ksatria) dan tekes (putri). Demikian pula kitab Wangbang Wideya (I.59a-69b) juga tak menyebut judul lakonnya. Hanya disebut beberapa tokoh peran seperti Kulante, dang Guru dan pelawak, yakni para tokoh peran pada cerita Panji tertentu. Pementasan lakon Panji dalam pertujukan raket kiranya baru dimulai pada masa Majapahit. Sebelumnya, lakon Panji lazim dimainkan dalam seni pertinjukan gambuh (Cahyono, 2010:20).

B. Inspirasi Wayang Orang dan Wayang Kulit

Warga setempat acap menyebut sendra-tari topeng Malang dengan ‘wayang topeng’ atau ‘topeng dalang’. Di balik penyebutannya yang demikian tergambar adanya pengaruh dari bentuk seni pertujukan lainnya, yaitu: (a) wayang orang (wayang wong) dan (b) wayang kulit. Unsur sebutan ‘wayang’ dalam ‘wayang topeng’ membayangkan adanya pengaruh seni per-tunjukan wayang, khususnya wayang orang (wayang wong). Pengaruhnya terhadap wayang topeng bisa difahami, mengingat data prasasti menunjukkan bahwa wayang orang telah hadir sejak abad IX Masehi. Berkenaan dengan itu, prasasti Wimalasrama yang ditulis atas perintah Balitung menginformasikan pementasan wayang wwang (wayang orang) berlakon ‘Bhima ya kumara’. Sayang sekali dalam konteks ini tidak diperoleh kejelasan tentang ‘apakah terdapat tokoh peran tertentu atau malah seluruh tokoh peran yang mengenakan properti topeng’.

Prinsip-prinsip pokok wayang orang, yaitu diperankan oleh manusia dan adanya lakon (cerita) yang dipentaskan, berlaku pula dalam wayang topeng Malang. Konon di masa Hindu-Buddha pemeran sendra-tari topeng cenderung pria, sehingga tokoh peran wanita diperankan oleh laki-laki (travesty). Hal ini tergambar dalam susastra Pararaton, yang menyatakan bila Hayam Wuruk memerankan tokoh peran wanita, sebutannya adalah ‘pager antimun’. Kecen-derungan demikian kini tidak atau jarang terjadi. Kalaupun terjadi, aih-alih berlangsung pada teater ludruk. Sebagai drama-tari, wayang topeng Malang mementaskan cerita/lakon tertentu, utamanya lakon Panji. Sementara di daerah-daerah lainnya, lakon wiracarita asal India, yaitu Mahabarata dan Ramayana, maupun lakon ‘Menak’ asal Timur Tengah juga menjadi materi cerita dalam sendra-tari topeng.

Unsur sebutan ‘dalang’ dalam ‘topeng dalang’ membayangkan hadirnya penutur ceri-ta (dalang) pada pementasan wayang topeng di wilayah Malang. Dalang bukan hanya sebagai penghantar kisah, namun juga menyuarakan dialog dari masing-masing tokoh peran. Sebagai-mana halnya dalam wayang kulit, hampir semua tokoh peran tak berbicara. Pembicaraannya dituturkan oleh dalang. Oleh karena topeng menutupi seluruh muka pemain, maka menjadi kurang jelas apabila dialog disuarakan olehnya. Indikasi adanya pengaruh wayang kulit juga tampak pada posisi berdiri dari tokoh peran, yang cenderung tidak menghadap lurus ke depan (enface), melainkan enprofile yaitu sedikit serong (sekitar ¾ ke depan). Posisi berdiri tokoh peran yang demikian juga dijumpai dalam relief di beberapa buah candi pada masa Majapahit di Jawa Timur, khususnya relief yang mempunyai gaya pahat ‘wayang style’, seperti terdapat di Candi Jago, Penataran, Tigawangi, Surowono, Sukuh, dsb. Selain itu busana dan aksesori yang dikenakan oleh para tokoh peran dalam wayang topeng Malang juga menyerupai tokoh-tokoh peran dalam wayang kulit. Bahkan bila dirunut lebih jauh ke belakang, dalam sejumlah hal menyerupai busana dan aksesori pada ikonografi (seni arca) masa Hindu-Buddha.

Pengaruh atau inspirasi dari wayang kulit terhadap wayang topeng dapat dimengerti, mengingat bahwa seperti halnya wayang wwang, kahadiran wayang kulit dalam budaya Jawa lebih awal ketimbang wayang topeng. Sumber data tekstual, tepatnya kakawin Arjunawiwaha yang disurat pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1049 M), dengan jelas menyebut ada-nya pementasan wayang kulit. Sementara wayang topeng baru marak dipentaskan pada masa Majapahit (abad XIII-XVI M) dan sesudahnya. Wayang topeng atau topeng dalang dengan demikian bukanlah karya seni yang hadir dalam suasana baru sama sekali, namun merupakan ‘buah kombinasi kreatif (mixing)’ dari wayang orang dan wayang kulit, yang secara khusus menjadikan topeng sebagai properti utama dalam pementasan seninya.

C. Persebaran dan Dinamika Topeng Dalang Malang

1. Topeng Dalang Keraton dan Luar Keraton

Wilayah persebaran budaya Jawa pada Era Kemonarikhian dapat dikategorikan dalam dua lingkungan, yaitu kebudayaan: (1) keraton, dan (2) luar keraton. Sendra-tari topeng masa lalu di Malang berkembang baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton. Cukup alasan untuk menyatakan adanya sendra-tari berproperti topeng di lingkungan keraton, karena dalam kurunwaktu delapan abad pada masa Hindu-Buddha tempat-tempat tertentu di daerah Malang beberapakali dijadikan pusat pemerintahan (kadatwan) kerajaan, baik kerajaan yang bersatus indipenden ataupun kerajaan bawahan (vassal).

Berturut-turut, pada abad VIII hadir kadatwan Kanjuruhan di lembah Kali Metro, dan kemudian ‘turun status’ menjadi karakryanan dengan pusat pemerintahan digesar sedikit ke arah utara di lembah Brantas. Dua abad kemudian hadir kadatwan pertama kerajaan Mataram masa Isanavamsa, tepatnya paro pertama pemerintahan Pu Sindok atau Sri Isana (929 hingga 940-an M.). Dalam kurun waktu 70 tahun (1222 s.d. 1292 M.) hadir lagi kadatwan Tumapel di Kutaraja dan kemudian direlokasi ke Singhasari. Pada jaman Majapahit (XIV s.d. XV M.), kendati Malang tidak lagi menjadi lokasi pemerintahan pusat, namun setidaknya terdapat dua pusat pemerintahan vassal di sini, yakni pusat vassal kerajaan Majapahit di Tumapel dan di Kabalan. Pada akhir masa Hindu-Buddha, tepatnya pada paro pertama abad XVI M, di daerah Malang Selatan hadir kadatwan suatu kerajaan merdeka bernama ‘Sengguruh’ atau ‘Tanjung Sengguruh’. Di masing-masing lingkungan dalam (watek i jro) pada pusat pemerintahan itu, keculai mungkin di Era Kerajaan Kanjuruhan, besar kemungkinan terdapat seni pertunjukan berproperti topeng yang melakonkan cerita Panji atau cerita-cerita lain yang menginduk pada wiracarita India.

Sejauh ini kita belum menemukan sumber data artfektual maupun visual yang secara jelas menyatakan adanya seni tari atau sendra-tari berproperti topeng. Kendati demikian, jika kita melakukan studi komparasi sinkronis, bukan tidak mungkin bentuk kesenian itu hadir di lingkungan keraton Sunghasari maupun Majapahit. Data artefaktual yang bisa dijadikan pem-banding untuk itu adalah arca Bhairawa pada Pura Kbo Edan dan arca Catuhkaya yang juga berkenaan dengan Bhairawapuja di Pejeng. Daerah Pejeng yang berada di kawasan Badahulu (kini menjadi ‘Bedahulu’) konon adalah sentra budaya dan sekaligus kadatwan pada akhir dinasti Warmadewa. Patung Bhairawa yang sangat besar di Pura Kbo Edan – sebagai arca perwujudan raja terakhir Warmadewawamsa bernama ‘Astasuraratnabhumibanten’ – dengan jelas meragakan adegan tari dengan properti tari berupa topeng. Batas tempel topeng di wajah penari dan adanya tali ikat di batok kepala bagian belakang tak bisa memungkiri bahwa tarian sakral dalam Bhairawapuja ini mengenakan topeng sebagai properti tari. Hal serupa berlaku pula untuk arca Chatuhkaya.
Masa hidup dari Astasuraratnabhumibanten sejaman dengan Adityawarman. Menurut kakawin Nagarakretagama, Gajahmada dan Adityawarman adalah panglima Majapahit da-lam ekspansi penaklukkan Badahulu. Sebagaimana halnya raja

Astasuraratnabhumibanten di Bali, ksatria Majaphit bernama ‘Adityawarmman’ itu adalah pula penganut Bhairawapuja, terbukti arca perwujudannya berupa Bhairawa dalam ukuran amat besar. Dapat dibayangkan bahwa kala itu di kadatwan Majapahit juga terdapat tari sakral dalam konteks Bhairawapuja. Hal serupa bukan tidak mungkin ada di kadatwan Singhasari, mengingat bahwa raja terakhir-nya, yakni Kretanegara, berdasarkan informasi Pararaton maupun arca perwujudannya yang berbentuk Bhairawa, adalah seorang pelaku taat Bhairawapuja.

Jejak awal keberadaan seni pertunjukan berproperti topeng kategori luar keraton anta-ra lain tergambar dalam prasasti Himad dan Dinoyo A yang berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok. Seni pertunjukan berproperti topeng yang dipentaskan sebagai penyemarak upa-cara penetapan desa sima tersebut bisa jadi merupakan kesenian luar keraton. Demikian pula penggubahan varian cerita Panji di batur Pajaran seperti tersurat dalam prasasti Pabanyolan adalah aktifitas kesusateraan Panji yang dilakukan di luar keraton (dharma lpas). Bila benar demikian, kala itu di lembah sisi selatan Tengger pada wilayah Malang Timur telah terdapat komunitas sendra-tari topeng berlakon Panji yang masuk dalam kategori kesenian topeng luar keraton – kadatwan Majapahit berada jauh di middle Brantas, yaitu di Trowulan sekarang.

Kendati merupakan dua lingkungan seni yang berlainan, namun kesenian luar keraton tak terpisah hubungan sama sekali dengan pemerintahan kerajaan. Pihak keraton memainkan peran sebagai maecenas bagi kesenian, baik kesenian keraton maupun luar keraton. Terlebih bila sang pengusanya memiliki kepedulian terhadap kesenian. Seorang penguasa pada vassal Majapahit di nagari Kabalan bernama ‘Kusumawarddhani’ atau disebut juga ‘Bhre Kabalan’ oleh prasasti Waringin Pitu (1447 M) digambarkan sebagai piawi dalam memainkan tari dan pelantun kidung yang bersuara merdu (Cahyono, 1996:54). Sebagai seorang seniwati, cukup alasan bagi interpretasi bahwa ratu yang cantik ini menaruh perhatian untuk memajukan kese-nian di nagarinya, tidak terkecuali sendra-tari topeng berlakon Panji.

Perhatian Kusumawarddhani terhadap seni-budaya seakan menjejaki kebijakan ayah-nya, yakni maharaja Hayam Wuruk. Sebagai seorang pelaku seni, yang menurut Pararaton (VIII) piawi dalam memainkan tari topeng (anapuk) dan menurut Nagarakretagama (XC1.5) trampil dalam pertunjukan raket (Pigeaud, 1938: 125-126, 350; Cahyono, 2009:107), Hayam Wuruk sangat menaruh perhatian terhadap kesenian. Hal ini tampak pada penyelenggaraan pekan seni di lapangan Bubad setiap bulan Caitra (antara Maret-April), selepas masa panen. Pada kesempatan ini seniman dalam keraton dan seniman luar keraton bertemu dalam sebuah festival kesenian yang disemarakkan oleh keduanya. Hal itu adalah contoh padamana pihak keraton memberi kontribusi untuk pengembangan seni-budaya. Walau demikian, bukan ber-arti eksistensi atau hidup-mati kesenian sepenuhnya bergantung pada uluran tangan keraton. Kontribusinya bagi kesenian keraton terbilang signifikan, namun tidak sedemikian kuat bagi kesenian luar keraton. Terbukti, ketika budaya Hindu-Buddha mengalami dekadensi, bahkan nyaris runtuh pada abad XVI, kesenian keraron turut merosot dan runtuh, sedangkan kesenian luar keraton tetap eksis hingga memasuki Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Islam.

2. Dinamika Topeng Dalang di Pedesaan Malang

Topeng dalang Malang kategori luar keraton adalah salah satu kesenian yang mampu bertahan hidup pasca masa Hindu-Buddha, bahkan eksistensinya berlanjut hingga sekarang. Wayang topeng berlakon wiracarita asal India (Mahabarata dan Ramayana) turut surut sei-ring terjadinya dekadensi pengaruh kebudayaan India di lingkungan keraton. Tidak demikian halnya dengan wayang topeng berlakon Panji – suatu lakon dengan latar anakronisme sejarah regional Jawa masa Jenggala-Kadiri (Panjalu) serta masa keemasan Majapahit. Surut hingga runtuhnya pengaruh kebudayaan India itu tak menyebabkan wayang topeng berlakon drama-sejarah Jawa yang ditokohi oleh para Panji surut total dan kemudian ditinggalkan oleh para pemangkunya, sebab ia tidak dirasakan sebagai produk seni yang dibentuk dari anasir budaya asing.

Pasca masa Hindu-Buddha topeng dalang Malang melanjutkan eksistensinya, baik di desa-desa yang pada masa sebelumnya menjadi tempat keberadaannya maupun di desa-desa lain yang mulanya bukan tempat keberadaannya. Ada dua kawasan konsentrasi keberadaan topeng dalang, yaitu: (1) lembah dan lereng Gunung Tengger wilayah Distric Tumpang (kini meliputi Kec. Pakis, Jabung, Tumpang dan Poncokusumo); (2) lembah hingga lereng Gunung Kawi dan lereng utara Pegunungan Kapur Selatan wilayah Distrik Sengguruh (kini meliputi Kec. Komengan, Sumber Pucung, Kalipare dan Pakisaji). Selain itu, meski tidak sebanyak di kedua kawasan tersebut, ketika itu topeng dalang juga hadir di Kec. Karangploso, Lawang, Turen dan Wajak. Kendatipun Karangploso bukan merupakan kawasan sentra topeng dalang, namun pada awal abad XX di salah satu desa pada Kecamatan ini tampil Kek Reni, pimpinan sanggar topeng dalang di Polowijen sekaligus guru tari dari para calon pimpinan sanggar tari topeng di wilayah Kec. Jabung-Tumpang dan Pakisaji.

Setelah kita kehilangan informasi mengenai topeng dalang Malang dari Masa Perkem-bangan Islam (XVI-XVIII M.), informasi yang cukup rinci tentangnya didapati kembali pada Masa Imperalisme Sisipan Inggris (1810-1815). Dalam Bab VIII pada buku ‘History of Java’ karya Thomas Stamford Raffels dipaparkan perihal seni pertunjukan topeng. Namun sayang tidak disertai keterangan menanai seni topeng di daerah mana yang dipaparkannya. Namun, jika menilik karakternya, yakni topeng dalang berlakon Panji, dimana pemainnya berbusana ala busana kuno, mengingatlkan kita pada topeng dalang di Malang.

Dinyatakan lebih lanjut dalam buku itu bahwa tokoh peran tanpa kecuali diambil dari cerita petualangan Panji – pahlawan favorit di dalam cerita Jawa. Dalang menjadi sutradara sekaligus penyampai dialog. Para pemain tinggal menyesuaikan tindakkannya dengan kata-kata yang diucapkan dalang. Dalam kasus tertentu, dalang yang sudah amat mengerti tentang kejadian yang paling utama, gambaran dan kata-kata tentang sejarah, melengkapi dialog para pemain yang masih belum siap. Keseluruhan pertunjukan lebih menampilkan sifat sendratari. Percintaan dan perang adalah tema yang senantiasa ada, dan pertempuran antara dua pemim-pin yang bertentangan biasanya menjadi menutup pagelaran. Satu grup tari topeng biasanya terdiri dari 10 orang di samping dalang, dengan komposisi empat orang memainkan waditra gamelan dan enam lainnya memainkan karakter. Mereka melakukan pertunjukan pada malam hari, dan [kala itu] dibayar 10 rupe (dua puluh lima shilling) berikut makan malam.

Gambaran yang lebih rinci mengenai kesenian topeng Malangan, didapati dalam buku Th. Pigeuad “Javaansse Volksvertoningen”, 1938. Paparan didasarkan pada obyek pengamat-an terhadap wayang topeng di Malang Timur dan informasi dari Bupati Malang R.A.A. Surio Adiningrat. Tokoh-tokoh yang digambarkan semuanya dari cerita Panji, yang terdiri dari 36 tokoh peran. Tokoh yang istimewa adalah Klana Bapang, yang berhidung sangat panjang dan lancip. Cerita-Panji menjadi pokok tema pada lakon-lakon wayang topeng di Malang. Hanya sesekali terjadi ada lakon yang diambil dari wayang purwa ataupun cerita Ambiya. Kala itu Bupati Malang mempunyai seperangkat topeng yang indah.

Pada tahun 1930an sudah terjadi degradasi jumlah sanggar seni topeng di Malang. Seniman topeng yang terkenal berasal dari Pucangsongo. Bahkan kepala desanya sendiri, yaitu Saritruno, dikenal sebagai pandai menarikan topeng. Tidak semua pemainnya adalah seniman profesional, namun tak sedikit pula yang amatiran. Mereka adalah petani dan ada diantaranya yang berasal dari kalangan baik-baik. Pemberintah Kabupaten (regent) Malang kala itu bah-kan mengharuskan para pemuda dan priyayi di Malang dan di sekitarnya untuk dapat menari topeng. Tidak ada pemain perempuan, keseluruhnya adalah laki-laki.

Pertunjukan wayang topeng secara berkeliling (ambarang) jarang didapati di Malang. Waktu pementasan pada malam atau siang hari, kecuali di malam Jumat. Pementasan topeng biasanya pada acara perhelatan keluarga dan ketika pesta buka giling pabkrik gula. Gamelan pengingnya berjenis pelog, dengan alasan jenis ini lebih disukai dalang. Gending pengiring bagi Prabu Klana adalah gagaksetra, lalu giro-Jawa, kemudian biskalan. Gending pengiring untuk Gunungsari adalah bedat (barang) atau gandariya. Gending pengiring ‘perang gagal’ antara Gunungsari dan Klana adalah cerbonan, adapun pada perang yang sebenarnya adalah ayak-ayakan. Topeng Malang digambarkan dengan mulut tertutup. Ketika itu perajin topeng yang utama bertempat di Karangploso. Tekes sebagai penutup kepala tidak dikenakan disini. Tropong Klana Bapang dihias dengan garuda mungkur. Mata kaki pemian utama mengena-kan gongseng, yang ketika menari kakinya dijejakkan ke lantai, sehingga menimbulkan suara gemerincing – suara yang amat disukai oleh warga Jawa Timur dan Madura.

Tari Tropong Klana Bapang

Pada tahun 1930an wayang topeng sangat populer di Malang. Popularitasnya bahkan hingga ke daerah-daerah jirannya, seperti Pasuruan (Bangil, Pandaan, Prong, Sidoarjo) serta Lumajang. Maraknya kesenian topeng di Malang, menurut Djoko Suryo (1985:47) dan Ong Hokham (1982), adalah berkat campur tangan dari Bupati Malang R.A.A. Soerio Adingrat. Hingga tahun 1950an masih terdapat cukup banyak sanggar wayang topeng di penjuru wilayah Malang, yaitu (a) Malang Utara: Polowijen dan Jatimulyo Kec. Blimbing, Kalisurak Kec. Lawang), (b) Malang Selatan: Pojok Kec. Dampit, Gedok dan Undagan Kec. Turen, Page-laran Kec. Gondanglegi, Kedungmonggo Kec. Pakisaji, Jenggolo Kec. Kepanjen, Senggreng, Jatiguwi, Turus dan Jambuwer Kec. Sumber Pucung, Kopral Kec. Kalipare, Pijiombo Kec. Talun), © Malang Timur: Jabung dan Precet Kec. Mantren, Pucangsongo, Wangkal, Glagah-dowo dan Gubugklakah Kec. Tumpang, Jambesari dan Cada Kec. Wajak. Menilik daerah persebarannya itu, kesenian topeng Malang terkonsentrasi di lereng dan lembah G. Tengger, Kawi dan Peg. Kapur Selatan dan sedikit di lembah G. Arjuno. Basis keberadaannya adalah di pedesaan, sehingga cukup alasan untuk menyatakan bahwa topeng dalang Malang merupa-kan kesenian rakyat pedesaan. Adapun sub-area Malang barat dan tengah nyaris tak menjadi basis bagi sanggar wayang topeng.

Bupati Malang R.A.A. Soerio Adiningrat pernah memiliki koleksi kriya topeng kayu yang indah sebanyak 21 buah, yang dikoleksinya sejak tahun 1928. Namun pada tahun 1938-an benda-benda koleksinya ini telah berpindah tangan menjadi koleksi Java Instituut. Kurang jelas apakah benda-benda berharga itu kini masih berada di Museum Nasional Jakarta atau-kah telah hijrah ke Negeri Belanda. Hal serupa terjadi pada seni kriya topeng karya seniman topeng legendaris Kek Reni di Polowijen, yang kini hanya tinggal sebuah yang dimiliki oleh keturunannya. Barangkali tinggal seperangkat topeng di Pucangsongo yang masih terpelihara baik di tangan pemiliknya.

D. Peta Persoalan dan Solusi

Kendati topeng dalang atau wayang topeng Malang mempunyai akar sejarah panjang, kenyataan terkahir menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah sanggar wayang topeng kian berkurang. Pada dua dasa warsa terakhir sanggar wayang topeng tinggal berada di lereng hingga lembah sisi selatan G. Tengger dan Kawi. Kalaupun masih ada sejumlah sanggar yang tersisa, tak seluruhnya memiliki tingkat “kesehatan” yang sama. Hanya beberapa daripadanya yang pelaku seni dan propertinya lengkap. Pimpinan sanggar senior dan pemain gaek satu per satu meninggal, tanpa diiringi dengan regenerasi yang seimbang, apalagi semakin meningkat. Bilapun proses regenerasi terjadi di sejumlah sanggar, namun kini baru memasuki tahap awal, dengan khalayak sasaran anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, kebanyakan pelaku seni to-peng dalang adalah pemula atau seniman yunior, yang baru berada di posisi mambang seni (seniman siswa). Khalayak penanggapnya pun mengalami penciutan, demikian juga frekuensi pementasannya menurun drastis bila dibanding dengan masa sebelumnya. Kesempatan untuk berpentas di tiap sanggar tidak sama. Ada sanggar tertentu yang memiliki frekuensi pemen-tasan cukup tinggi, namun tidak sedikit yang hanya sesekali berpentas. Persoalan lain adalah terbatasnya jumlah perajin topeng kayu. Padahal pengerjaan topeng kayu membutuhkan wak-tu cukup lama lantaran dikerjakan secara manual.

Langkah terseok-seok dari sanggar-sanggar topeng dalang Malangan sekan berjalan sendiri. Tetatih-tatih dengan hanya mengandalkan kekuatannya sendiri yang semakin renta. Peran kerajaan sebagai fasilitator (maecenas) kesenian seperti pada Era Kemonakhian dahulu tidak hadir sama kuatnya di Era Repulik. Peran tiga pemerintahan di Malang Raya (Kota dan Kab. Malang dan Kota Batu) sebagai konservator dan preservator hanya setengah hati. Acara-acara di tingkat SKPD yang disertai dengan hiburan hanya sedikit yang berkenan menanggap topeng Malang. Bahkan, pada perhelatan besar sekalipun, semisal Perayaan Hari Jadi Daerah, alih-alih cenderung menanggap wayang kulit kaliber nasional dengan biaya jauh lebih tinggi daripada biaya pementasan wayang topeng. Festival seni tahunan tiap bulan Caitra sebagima-na dicontohkan oleh maharaja Majapahit (Hayam Wuruk) dan kebijakan pemerintah yang pro kepada seni-budaya seperti diteladankan oleh Kusumawarddhani di nagari Kabalan, kini tak dijejaki oleh penguasa di Malang Raya masa ki.

Minimal perlu ada salah satu Pemerintah Daerah di Malang Raya yang memprakarsai dan lalu mewujudkan impian “Museum Topeng Dalang Malangan”. Dengan adanya museum itu, kalaupun nantinya terjadi kemungkinan terburuk, yakni topeng Malang berstatus “almarhum”, setidaknya jejaknya masih disimpan di museum. Pembuatan museum adalah salah satu bentuk upaya dokumentatif. Mustinya ada bentuk upaya dokumentasi lain, seperti pembuatan foto dan film dokumenter, yang dibuat dengan rinci, akurat serta berkemampuan eksplanatif. Riset eksploratif guna mengidentifikasikan karakter topeng Malang maupun studi kasus guna mempetakan pemasalahannya adalah upaya penting lainnya. Karakter yang teridentifikasi itu dapat memberi gambaran tentang kekhasan atau unikum topeng dalang Malang.