Tong Sampah Stasiun Tua

Aku melihat gadis itu keluar dari bilik kecil di sudut stasiun. Dari matanya, aku bisa menerka bahwa ia belum reda menyingkirkan bulir air yang membekas persis di kantung matanya. Aku penasaran apakah gerangan yang terjadi pada gadis itu. Jejaknya bak diburu waktu, membuat setiap langkah kakinya ibarat lari yang sedikit direm.

Kira-kira delapan menit kemudian, seorang pria keluar dari bilik yang sama. Ia mengenakan celana panjang hitam dan baju kaos berwarna biru. Di punggungnya tertulis “Cintai Anak-Anak Indonesia”. Lelaki itu segera meleburkan diri dalam kerumunan orang banyak di sana. Barangkali tak ada satu pun yang menyadari keberadaannya. Bahwa si lelaki tua baru saja beranjak dari sebuah ruangan kecil dimana seorang gadis juga keluar dari sana dengan air mata. Ah, sial! Mungkin memang tidak ada yang memerhatikan gerak-gerik lelaki itu.

Stasiun siang itu sangat ramai. Pada masa seperti itu, orang-orang biasa menamainya “Musim Mudik”. Entah apa maksudnya. Dulu setahuku hanya ada dua musim di negeri ini, yakni musim kemarau dan musim hujan. Tapi rupanya aku sudah terlampau ketinggalan zaman. Ternyata selain kedua musim itu, ada juga musim lain. Seperti yang tadi kusebut musim mudik, mengutip penuturan orang-orang. Dan di telingaku, pernah juga mampir istilah musim kampanye, yang konon adalah musim paling mengerikan.

Tahun lalu seorang wanita mati tergantung di toilet umum stasiun ini. Kata petugas, ia bunuh diri. Omong kosong! Aku melihat hari itu, jauh setelah tengah malam, seorang lelaki menjamah pakaian wanita itu dan memboyongnya ke dalam toilet. Aku bahkan bisa mendengar jeritan serak yang tergantung di tenggorokan wanita itu. Aku tahu ia meminta tolong. Tapi apalah daya. Kalau pun aku sanggup mengubah diri menjadi seperti Power Rangers, aku pasti sudah menyelamatkannya. Sayang sekali, waktu itu bangunan tepi barat sedang direnovasi. Saat malam tiba, tak ada satu manusia pun di sana. Ada palang yang sengaja dipasang di sana sebagai penanda. Namun lelaki itu sama sekali tak memedulikannya. Sudah satu tahun berlalu, tidak pernah ada yang berhasil menangkapnya. Beberapa bulan setelahnya, aku melihat wajahnya terpampang dalam sebuah selebaran.

“Coblos nomor 4! Muda, Bijak, Tegas.” Kalimat itu terpampang bersama foto lelaki itu. Jelas aku tak salah mengenalnya. Sejak stasiun tua ini dibangun, aku sudah ada di sini.

Tinggal di stasiun, membuatku belajar banyak hal. Aku melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Aku mendengar apa yang tidak didengar orang lain. Aku merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain. Banyak yang tidak tahu, lantai di stasiun ini sering menangis saat malam bertamu. Bukan tanpa sebab, selama bertahun lamanya, lantai, dinding, atap, dan aku adalah saksi bisu semua peristiwa di tempat ini, termasuk tentang anak-anak jalanan yang kerap menjadikan lantai ini sebagai alas untuk tidur. Sayang, angin malam tak bisa membantah tugasnya.

“Jangan menangis, lantai! Maafkan aku! Aku tak bermaksud membuat kalian kedinginan. Tapi aku juga tak bisa menolak tugasku, ini,” tutur angin malam pada lantai suatu hari.

“Aku tahu. Lagi pula, ia telah pergi,” jawaban itu lahir dari mulut lantai tatkala didapatinya si anak yang membaringkan diri padanya sudah sama dinginnya dengan dirinya sendiri, pun angin malam.

Di stasiun ini, aku menyimpan banyak rahasia. Bukan cuma soal pembunuhan di toilet umum atau anak-anak jalanan yang bersetubuh dengan lantai. Tapi juga percakapan para penumpang dengan orang asing lain yang tengah menunggu kedatangan kereta, bahkan aku bisa mendengar suara hati setiap orang yang berdiam diri kurang dari sepuluh meter di dekatku. Aku tahu isi hati petugas kereta yang mereka sapa Pak Karjo itu. Sudah lima hari anak perempuannya sakit. Menurut dokter, ia mengidap alzheimer. Sebuah penyakit yang demi mendengar namanya, Pak Karjo nyaris melompat ngeri.

Sore itu, hujan lebat gugur dari angkasa. Rupa gadis yang kuceritakan di awal tadi, kembali jatuh di pelupuk mataku. Ia mendekat ke arahku. Aku sungguh penasaran. Dilihat dari perawakannya, mungkin usianya baru 14 tahun. Itu hanya dugaanku. Bisa saja aku salah. Tapi bukan itu yang membuatku digandrungi tanya. Perkara tabiatnya beberapa hari lalu di bilik itulah yang membuat batinku tak henti bertanya-tanya.

Ia mendekat. Bahkan ia melemparkan tubuhnya persis di sampingku. Disandarkannya kepala itu.

“Apa?”

Rasa penasaranku meledak manakala aku benar-benar mendengar suara hatinya. Gadis dengan mata paling sendu yang pernah kulihat itu sejenak menyembunyikan pandangannya dari dunia. Ia memejamkan mata, seolah tak ingin lagi menyaksikan isi dunia ini.

Aku masih berdiam diri dan mencerna baik-baik suara hatinya yang kini berkumandang di kepalaku. Aku khawatir bilamana aku membuka suara, gadis ini akan ketakutan, sebab belum pernah terjadi dimana saja di belahan bumi ini, bahwa seorang manusia bisa berbicara dengan sebuah tong sampah.

“Aku tunarungu,” suara hati gadis itu tertangkap oleh gendang telingaku.

“Aku tidak bisa mendengar suara manusia. Tapi aku bisa mendengar suaramu,” kali ini gadis itu mulai meraba permukaan kakiku.

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Anggun.”

“Seanggun parasmu,” tukasku.

Ia tersenyum kecil. Ah, bagaimana bisa Anggun tersenyum? Bukankah di kepalanya sedang menyala aruna kegetiran mahadashyat? Sebegitukah naif kah manusia, hingga dengan mudah memalingkan luka dengan sebuah senyuman? Anggun mungkin terlihat tegar, tapi jauh di kedalaman hatinya, ia menyimpan derita. Dari suara hatinya aku tahu, lelaki yang saban hari itu ternyata melecehkannya di bilik kecil itu. Ia dipaksa menelanjangkan diri. Jika menolak, lelaki itu akan menembak orang-orang di stasiun. Ia bahkan memiliki senjata api. Anggun ketakutan. Dengan gemetar, ia menuruti aksi si lelaki. Anggun ternyata bukan korban pertama. Hampir semua temannya mengalami hal serupa. Namun tak ada yang berani bersuara. Mereka semua bungkam. Semua diam.

Dari suara hati Anggun yang lain, aku tahu bahwa Anggun sebenarnya memiliki orang tua. Tapi naas, dia ditinggalkan begitu saja di kereta api lima tahun lalu. Orang tuanya malu karena Anggun tidak bisa mendengar, sementara ketiga kakaknya adalah anak-anak yang berprestasi. Ketika tahu ia disingkirkan, Anggun tidak mencari cara untuk pulang. Baginya, rumah adalah pintu neraka pertama. Ia kerap dihajar oleh orang tuanya. Maka pikirnya saat jauh dari rumah, ia akan menjadi aman. Namun yang terjadi sebaliknya.

“Aku punya sesuatu untukmu,” ujarku kepada Anggun sembari memintanya untuk mengambil hadiah yang kumaksudkan itu di dalam tubuhku.

“Terima kasih,” seru Anggun tatkala benda itu sudah berada dalam genggamannya.

Keesokan harinya, ketika kedua jarum jam raksasa nyaris menyentuh angka dua belas, sebuah teriakan bergema di stasiun ini. Tidak sekali, jeritan itu terdengar sampai tiga kali. Orang-orang ikut berteriak, lalu bergegas menghindari si pemilik jeritan itu. Para petugas pontang-panting berlari, mendapati seorang pria tergeletak di lantai dengan sebilah pecahan kaca tertancap di pahanya. Darah segar membasahi lantai itu. Semua orang merinding, memandangi seorang gadis yang berdiri di depan pria itu dengan darah yang berlumuran di kedua tangannya.

“Menurutmu kemana dia pergi?” untuk pertama kalinya aku bisa mendengar suara hati seseorang pada jarak yang cukup jauh dariku.

“Aku berharap pengadilan di neraka jauh lebih adil ketimbang di dunia,” tukasku.

“Kalau pun ada neraka lain yang lebih adil, aku akan menyeretnya turun ke bumi dan membenahi segala ketidakadilan di sini,” sahutnya.

“Aku lapar,” katanya lagi.

“Di penjara ada banyak makanan,” jawabku.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku akan tetap di sini, Anggun. Menyiapkan kaca-kaca lain bagi mereka yang ingin membayar keadilan di tempat ini. Seperti engkau, aku harus membuat mereka puas, sebab keadilan harus ditegakkan.”

“Terima kasih,” tutupnya dengan borgol di kedua tangannya.

1 Like