Tidak Menjawab Juga Merupakan Sebuah Jawaban

Taman Surga

Jauhar, seorang pelayan raja, bertanya:

“Selama manusia hidup di dunia ini, dia membaca talkin sebanyak lima kali. Padahal dia tidak memahami apa yang diucapkannya dan tidak mampu menguraikannya. Lantas setelah mati, apa yang akan ditanyakan padanya, sedang saat itu dia sudah lupa pada pertanyaan yang ia pelajari sebelumnya?”

Aku menjawab: Jika dia lupa apa yang telah ia pelajari, sungguh ia akan menjadi seorang sufi yang siap. Kamu telah mendengar ucapan-ucapanku, sebagian kamu terima, sebagian lagi kamu terima tapi hanya setengahnya, dan sebagian lagi tidak kamu pedulikan. Tak seorang pun mendengar penolakan dan penerimaan ini dengan hati penasaran dalam dirimu karena tidak ada pendorong untuk melakukan itu. Meskipun kamu kerahkan segenap perhatianmu, tak mungkin akan ada suara dari dalam hatimu yang terdengar oleh telingamu. Meski kamu mencarinya dalam batinmu, tetap saja ia tak akan berbicara. Kedatanganmu untuk mengunjungiku ini adalah sebuah pertanyaan tanpa perantaraan tenggorokan dan lisan:

“Jelaskan kepadaku suatu cara dan penjelasanmu itu akan aku jabarkan lebih detail lagi.”

Kala aku duduk bersamamu sekarang ini, sekalipun kamu berdiam diri atau berbicara, semuanya adalah jawaban bagi pertanyaan-pertanyaanmu yang tersembunyi.

Ketika kamu datang untuk melayani raja, itu juga merupakan sebuah pertanyaan yang ditujukan pada raja sekaligus jawabannya. Setiap hari raja bertanya kepada para budaknya tanpa bersuara:

“Bagaimana keadaan mereka? Bagaimana mereka makan? Bagaimana mereka melihat?”

Andai salah seorang dari mereka cacat penglihatan batinnya, maka raja akan menjawabnya dengan jawaban yang cacat pula. Bukanlah keharusan baginya untuk menguasai diri agar memberikan jawaban yang benar. Seperti halnya seseorang yang gagap, setiap kali ia akan mengutarakan ucapan yang benar, ia tidak mampu. Seorang tukang emas yang menggosok emas dengan batu akan menanyakan sepuhannya itu, dan si emas akan menjawab: “Ini aku, aku murni, atau aku campuran.”

Ketika kamu tercemar,
wadah logam akan memberitahumu

Apakah kamu itu emas murni atau tembaga yang disepuh dengan emas

Rasa lapar adalah pertanyaan yang alami: “Ada beberapa kecacatan di rumah tubuh ini, beri aku beberapa bata dan tanah liat.” Yang ingin makan menjawab: “Ambillah.” Sementara yang tidak ingin makan juga menjawab: “Sekarang aku belum membutuhkannya. Ketika bata itu belum kering, tidak baik menupuk makanan di atasnya.” Seorang dokter yang datang dan memeriksa denyut nadi pasiennya, juga merupakan sebuah pertanyaan, dan denyut nadi adalah jawabannya. Pengujian air seni juga merupakan pertanyaan dan jawaban tanpa keborosan dan kesombongan. Menanam biji di tanah adalah sebuah pertanyaan: “Aku ingin biji ini menjadi buah,” sedang tumbuhnya pohon adalah jawaban tanpa bantuan lisan. Karena jawaban tidak menggunakan huruf, maka seharusnya pertanyaannya juga tanpa huruf. Meskipun biji telah rusak dan tidak bisa menumbuhkan pohon, itu juga sebuah pertanyaan sekaligus jawaban.

“Tidakkah kamu tahu bahwa tidak menjawab juga merupakan sebuah jawaban.”

Seorang raja membaca surat sebanyak tiga kali dari orang yang sama, tapi dia tidak menulis jawaban apa pun. Penulis yang merasa teraniaya itu menulis sebuah keluhan yang berbunyi:

“Tiga kali aku melaporkan urusanku keharibaanmu, Mohon beritahu aku apakah tuntutanku diterima atau ditolak.”

Raja lalu membalas surat itu:

“Tidakkah kamu tahu bahwa tidak menjawab adalah sebuah jawaban, dan jawaban untuk orang yang tolol adalah diam.”

Sebuah pohon yang tidak tumbuh adalah bentuk penolakan jawaban, sekaligus jawaban itu sendiri. Setiap gerakan manusia adalah pertanyaan, dan setiap keadaan yang dialaminya, sedih maupun senang, adalah jawaban. Bila dia mendengar jawaban yang membahagiakan, ia wajib bersyukur dan menunjukkannya dengan mengulangi pertanyaan yang sama atas orang yang memberinya jawaban. Sementara jika dia mendengar jawaban yang tidak menyenangkan dirinya, hendaknya dia meminta ampun saat itu juga dan tidak meminta sesuatu yang sama lagi.

“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras.” (QS. al-An’am: 43)

Dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa jawaban yang mereka terima itu selaras dengan pertanyaan yang mereka ajukan.

“Dan Setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 43)

Maksudnya, ketika mereka melihat jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan, mereka berkata: “Jawaban yang buruk ini tidak sesuai dengan pertanyaanku.” Mereka tidak menyadari bahwa asap berasal dari kayu bakar, bukan dari apinya. Semakin kering kayu bakar, semakin sedikit pula asapnya. Ketika kamu memasrahkan sebuah kebun kepada seorang tukang kebun, dan tiba-tiba bau tak sedap datang dari arah kebun, anggaplah bahwa itu adalah bau si tukang kebun, bukan bau kebunnya.

Seorang laki-laki bertanya, “Kenapa kamu membunuh ibumu sendiri? Orang yang lain menjawab, “Aku melihat ibunya melakukan hal yang tidak pantas dengan laki-laki lain.” Orang pertama berkata, “Seharusnya orang asing itu yang kamu bunuh.” Orang yang kedua menimpali, “Kalau begitu aku harus membunuh orang setiap hari.” Oleh sebab itu, apa pun yang terjadi padamu, koreksilah dirimu sendiri sehingga kamu tidak perlu membunuh orang setiap hari. Jika ada yang berkata, “Semuanya berasal dari Allah.” Jawablah, “Itu benar. Bahkan mencela diri sendiri dan rela dengan setiap belenggu dunia juga berasal dari Allah.”

Ini seperti kisah orang yang kejatuhan buah aprikot dari atas pohon lalu ia memakannya. Si pemilik pohon menangkapnya dan berkata,

“Tidakkah kamu takut kepada Allah?”

Orang itu menjawab,

“Kenapa aku harus takut? Pohon ini milik Allah dan aku hamba Allah yang makan dari harta-Nya.”

Pemilik pohon itu menimpali,

“Tunggu sebentar dan lihatlah jawaban yang akan aku berikan padamu. Ambilkan tali, ikatlah orang ini di pohon dan pukul dia sampai mau menjawab dengan jelas.”

Orang tadi berteriak,

“Tidakkah kamu takut pada Allah?” Pemilik pohon menjawab, “Kenapa aku harus takut? Kamu adalah hamba Allah dan tongkat ini juga milik Allah. Aku memukul hamba-Nya dengan tongkat-Nya.”

Kesimpulannya, dunia ini seperti gunung, apapun yang kamu katakan, entah itu baik atau buruk, akan didengarnya. Kalau kamu beranggapan, ”Aku sudah berkata baik, tapi gunung itu menganggapnya jelek,” maka sesungguhnya anggapanmu itu mustahil. ketika burung Bulbul bernyanyi di pegunungan, mungkinkah nyanyiannya akan terdengar seperti suara gagak, suara manusia, atau suara keledai? Jika demikian, yakinlah bahwa saat itu kamu telah bersuara seperti suara keledai.

Perbaguslah suaramu saat kau melintasi gunung, Kenapa kamu berbicara seperti suara keledai di depan gunung?

Langit yang biru akan mempermanis gema suaramu.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum