This is Our Story

This is Our Story

“Bisa tolong agak tenggakkan kepalanya?”

Sang model yang berada satu meter di depannya mengangguk, lalu mengikuti apa yang disarankannya tadi. Suara jepretan kamera memenuhi studio ini. Cukup lama membuat pusing, tapi tak lama kemudian pemotretan ini selesai.

Gadis bertubuh gempal dengan rambut panjang bergelombang itu menghela napas. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi masih ada satu model lagi yang harus dipotretnya malam ini juga.

“P-permisi…” Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuat dirinya mau tak mau mengalihkan pandangan dari kameranya.

“Ya, ada apa?” tanyanya ramah.

Di depannya, berdiri seorang pria yang sepertinya lebih muda darinya. “Hai, Kak. Saya Ditya, model yang akan dipotret sama kakak.”

“Ah, hai, Ditya. Saya Dyra. Mohon bantuannya nanti,” Dyra tersenyum lebar, namun yang terjadi Ditya malah semakin terlihat gugup. “Pemotretannya nggak serumit yang kamu kira kok. Tenang aja, saya bakal bantu kamu.”

Ditya tertegun, menatap manik hitam Dyra yang memancarkan kelelahan, tetapi gadis itu masih berusaha tampak ceria.

Dyra meraih dua botol air mineral dari meja di sampingnya, kemudian menyodorkan salah satunya pada Ditya. “Rileks aja. Kalau kamu rileks, saya yakin semuanya bakal berjalan lancar.”

“Terima kasih,” Ditya tersenyum.

Mereka berdua akhirnya duduk bersebelahan di kursi tunggu. Pemotretan selanjutnya baru akan mulai lima belas menit lagi, jadi masih ada waktu bagi Dyra untuk istirahat sebentar dan ada waktu bagi Ditya untuk mengontrol dirinya.

“Kakak udah berapa lama kerja disini?” tanya Ditya.

Mata Dyra menerawang sekitar, mengingat-ingat sejak kapan dia bergabung dengan orang-orang di studio ini. “Um … sekitar tiga tahun kayaknya.”

“Ah, enak ya, kakak udah dapat kerja dari lama?” Ditya tertawa hambar. “Sejak lulus kuliah, saya belum dapat kerja. Dan ini adalah pekerjaan pertama saya walaupun nggak berhubungan sama jurusan yang saya ambil dulu.”

“By the way, panggil nama aja dan jangan terlalu formal. Aku merasa tua kalau dipanggil kakak,” ujar Dyra, diakhiri kekehan kecil. “Kita sama kok, aku juga dulu susah dapat kerja. Yah, dengan penampilan aku yang kayak gini, kamu pasti bisa bayangin betapa susahnya cari kerja.”

Ditya sempat terdiam beberapa saat, namun akhirnya senyum cerah terlukis di wajahnya. “Kakak-- eh, maksudku, Dyra, aku nggak nyangka kita bakal senasib. Walaupun kamu alami itu dulu.”

“Siapa bilang?” Dyra menaikkan kedua alisnya, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ditya. “Orang-orang disini masih suka bicarain aku dibelakang, nggak jauh beda sama yang dulu.”

“Oh ya? Tapi kayaknya orang-orang disini–”

“Cih, mereka berdua emang cocok, sama-sama nggak tahu diri!”

“Dyra dengan badan gajahnya, dan Ditya dengan muka polos tapi nggak sama hatinya.”

Mereka berdua membeku. Pandangan mereka beralih menatap sekitar, mencari siapa yang dengan beraninya mengatai mereka seperti itu. Namun selanjutnya helaan napas berat lolos dari hidung Dyra.

“Jangan dimasuki hati omongan mereka, ya,” bisik Dyra. “Anggap aja cuma angin berlalu.”

Ditya menoleh, menatap wajah tenang Dyra dari samping. “Setiap hari kamu kayak gini?”

Gadis yang sedang membersihkan lensa kameranya ini tersenyum kecil tanpa menatap balik manik Ditya. “Enggak setiap hari juga, tapi lumayan sering.”

“Dan kamu diam aja?”

“Mau gimana lagi?” Dyra menoleh, lalu mengedikkan bahunya seolah-olah dia tidak peduli dengan gunjingan seperti itu. Tetapi nyatanya setiap sampai rumah, dia akan menangis di pojok kamar, memaki Tuhan yang menciptakannya dengan tubuh seperti ini.

“Kamu baik-baik aja?” Tangan Ditya terulur untuk menyentuh bahu Dyra. Dia berharap dengan cara ini, gadis di sampingnya dapat merasakan semangat yang disalurkannya.

Dyra tertawa. “Memangnya aku kenapa? Aku nggak peduli dengan omongan mereka,” dustanya.

Mereka sama-sama terdiam, menyisakan suara bising di sekitar mereka yang sedikit membuat keadaan tidak terlalu canggung.

Selama ini Dyra berusaha tidak mendengarkan semua gunjingan buruk tentang dirinya. Dia ingin menorehkan ceritanya sendiri dalam lembar kertas putihnya, bukan dengan cerita orang lain.

“Ditya,” panggil Dyra. “Karena kita senasib, jadi aku mau bagi semangat aku ke kamu. Ingat, ini cerita kita, kita yang jadi pemeran utamanya disini. Jadi, jangan dengarkan apa kata orang lain karena yang atur jalan ceritanya adalah diri kita sendiri. Kamu harus berani lukis apapun di lembar kehidupan kamu, jangan takut dengan komentar orang lain.”

Sekali lagi, Ditya dibuat tertegun oleh gadis ini. Padahal baru beberapa menit mereka bertemu, tapi entah mengapa dia sangat nyaman.

“Kita berjuang sama-sama tapi dijlaur masing-masing. Semangat, Ditya!”

Senyum Ditya merekah. “Iya. Semangat juga, Kak Dyra!”