Teori-teori apa saja yang berisi penjelasan tentang antropologi hukum?

antropologi hukum

Antropologi Hukum mengkaji hukum sebagai bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai Pedoman Berlaku dan Pengendalian Sosial. Dalam Antropologi Hukum, Hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan, karena dirumuskan, ditetapkan, dan diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat.

Teori Forum Shopping dari Keebet von Benda Beckmann (2000) merupakan hasil penelitiannya di Sumatera Barat yang berlangsung bulan Juni 1974 – September 1975. Teori ini dibangun dari fakta persengketaan harta warisan kolam Batu Panjang yang diklaim oleh dua kaum yang berbeda. Dari fakta-fakta penelitian itu, Keebet membangun sebuah teori yang di-analogkan dari istilah hukum perdata internasional, yaitu Forum Shopping.

Forum Shopping berarti orang-orang yang bersengketa dapat memilih lembaga dan mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa tersebut. Sedangkan Shopping Forum berarti pihak pengadilan, baik pengadilan adat ditingkat masyarakat maupun di pengadilan pemerintah terlibat memanipulasi sengketa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan politik atau malah menolak sengketa yang mereka (hakim) kawatirkan akan mengancam kepentingan mereka.

Teori berikutnya dari Marc Galanter (dalam Ihromi,1993) yang bertajuk Justice in Many Rooms. Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang hukum, di satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada dimensi sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu produk eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara.

Dengan demikian ada gerak sentripetal dari masyarakat untuk menyelesaikan perkaranya, artinya satu-satunya cara untuk mencari keadilan hanya ditemukan di temukan di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah. Akibatnya terjadi banyak penumpukan perkara (terutama di MA) sehingga membutuhkan waktu yang panjang, tenaga dan biaya yang berlebih.

Teori Semi Autonomous Social Fields merupakan hasil penelitiannya di bidang agraria di Tanzania, tepatnya pada suku Chagga. Latar belakang munculnya teori ini bermula dari adanya dikotomi tentang hukum, dari Roscoe Pound dan Cochrane. Ahli sosiologi hukum Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi sebagai alat untuk merubah/merekayasa masyarakat (law as a tool of social engeneering), artinya dengan pemberlakuan hukum dari pemerintah maka perilaku masyarakat dapat diarahkan sesuai dengan hukum tersebut (perubahan sosial). Sebaliknya Cochrane mengemukakan bahwa masyarakatlah yag menentukan hukum, bukan masyarakat yang diarahkan oleh hukum dari pemerintah.

Pandangan Antropologi Hukum

Bronislaw Malinowski

Sarjana Antropologi hukum bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang pernah melakukan pada masyarakat Trobian di Kepulauan Solomon Papua Nugini mengemukakan bahwa untuk membedakan antara aturan hukum dengan aturan
emasyarakatan yang lain ialah dilihat dari mekanisme kekuatan mengikat. Bahwa ciri-ciri aturan hukum itu dapat dirinci pengertiannya sebagai berikut:

  1. Dikatakan aturan-aturan hukum apabila aturan itu dirasakan dan dianggap menimbulkan kewajiban di satu pihak dan hak-hak di lain pihak.
  2. Aturan hukum itu mempunyai sanksi negatif atau sanksi positif berdasarkan kejiwaan dan adanya mekanisme (cara bekerja) kekuatan yang mengikat
  3. Kekuatan mengikat itu terwujud dari adanya hubungan timbal balik karena proses tukar menukar jasa.
  4. Kekuatan mengikat itu didasarkan pada adanya hak untuk saling menuntut dalam hubungan yang bersifat ganda.
  5. Kekuatan mengikat itu bertambah kuat dengan adanya upacara dalam proses transaksi, karena dengan diadakan upacara berarti umum mengetahui dan terbuka mengemukakan pendapatnya.
  • Dengan demikian yang pertama, bukan rasa kebersamaan atau tanggung jawab bersama yang menjadi sebab dan menjamin ketaatan terhadap adat sehingga timbul sifat mengikat, sehingga adat itu menjadi hukum adat.

  • Kedua tidaklah benar jika dikatakan dengan adanya kepercayaan yang supernatural dan kemungkinan terhadap si pelaku pelanggaran hukum akan dikucilkan, merupakan tindakan yang sudah cukup untuk mencegah seseorang melakukan pelanggaran.

  • Ketiga bahwa setiap pelanggaran adat itu dijatuhi pidana, bahkan menurut mekanisme yang berlaku dapat diketahui yang mana yang merupakan hukum pidana dan yang mana yang hukum perdata.

  • Begitu pula halnya dengan masyarakat Melanesia menurutnya:

  1. Hukum itu tidaklah berproses dalam
    lembaga yang mandiri.
  2. Hukum itu adalah suatu aspek dari kehidupan masyarakat sederhana yang sekaligus sebagai bagian dari susunan masyarakat, dan tidak terpisahkan se- bagai lembaga sendiri.
  3. Hukum tidaklah terdapat dalam ben- tuk keputusan yang berkaitan dengan pelanggaran yang akan terjadi kemu- dian dan kemudian baru diatur penang- gulangannya.
  4. Hukum adalah hasil dari susunan hak dan kewajiban yang mencegah seseorang untuk menghindari tanggung jawab dari pelanggaran, oleh karenanya ia harus menanggung akibatnya.15 Teori yang dikembangkan Malinowski terhadap hukum adalah adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteratuan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial.

E. Adamson Hoebel

  • Sarjana Antropologi Amerika E. Adam- son Hoebel adalah antropolog pertama yang melakukan kerja sama antar disiplin sarjana hukum Karl Llewellyn sehingga melahirkan antropologi hukum. Mereka antara lain melakukan penelitian lapangan terhadap orang-orang Indian Comanche, Chyenne, Pueblos Keresan (New Mexico).

  • Dia memulai pengertian hukum itu dengan pengertian suatu definisi, karena suatu definisi hanya menguraikan kata-kata sedangkan fakta-fakta adalah kenyataan yang terjadi; memang suatu definisi adalah sekunder, tetapi gunanya bersifat fungsional.

  • Dalam buku mereka (Hoebel dan Karl Llewellyn) “ Cheyenne Way” mereka mengemukakan adanya empat unsur hakiki dari hukum yang mengelompok sebagai suatu gejala yang disebut ‘ authority ’, baik dalam kelompok masyarakat maupun dalam suatu kebudayaan.

Unsur-unsur dimaksud adalah:

  • unsur imperatif (yang memerintah), bahwa hukum itu dibuat atau ditetapkan oleh pihak yang memerintah, untuk mengatur warga masyarakat pada suatu arah tertentu,
  • supremasi (yang tertinggi), bahwa hukum itu menunjukkan sebagai fakta dan jika hukum itu diperlukan,

  • Sistem, bahwa hukum itu merupakan tata yang bertautan satu sama lain,dan

  • Resmi, bahwa hukum itu memiliki kualitas umum (publik) yang diakui oleh masyarakat dengan resmi.

  • Authority menurut Hoebel dan Karl Llewellyn merupakan suatu ringkasan pe- ngertian ciri hukum yang dikaitkan dengan keputusan dari seseorang atau berbagai ke- lompok dan kebudayaan. Sehingga kekua- saan itu merupakan acara ( procedure ) atau merupakan pola kegiatan atau kaedah-kae- dah kegiatan yang sudah lemah derajatnya terhadap seseorang. Misalnya dalam hukum yang sudah kuno, terdapat tabu atau panta- ngan yang mempunyai kekuatan tanpa ada petugas yang memaksakan berlakunya, dan atau suatu cara menyelesaikan kekecewaan dengan mengadakan perjanjian, sumpah atau pertandingan keagamaan yang dilaksanakan tanpa adanya petugas yang mengawasi. Dengan demikian kekuasaan ini adalah dalam arti yang abstrak.
    Esensi pandangan Hoebel tentang hukum, adalah antara lain:

  1. Ia menggunakan metode kasus dari studinya sebagai alat yang memungkinkan baginya untuk mela- kukan pendekatan terhadap bahan hukum dari suatu kebudayaan (“the law stuff of a culture”). Ia menolak investigasi terhadap aturan-aturan yang abstrak, atau abstraksi semata dari perilaku sosial.
  2. Konsep dari beberapa pakar antropologi tentang “lawless tribal society” (masyarakat yang tidak mengenal hukum) ditolaknya sebagai suatu mitos. Ketegasannya mengatakan tidak ada tribal groups.
  3. Ada tiga unsur esensial hukum yang mungkin digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi yang mana yang termasuk fenomena-fenomena hukum, ketiga unsur esensial itu adalah :
  • Keteraturan hidup (regularity);
  • Otoritas pajabat (official authority);
  • Sanksi, secara yuridis sanksi ini merupakan aplikasi paksaan secara fisik yang dilaksanakan secara resmi (officially) maupun quasi-officially, atas nama masyarakat secara keseluruhan dan dengan penerimaan masyarakat secara umum terhadap legitimasinya.
  1. Fungsi hukum yang dikaitkan Hoebel dengan pola-pola budaya, dilihat dalam empat lapis, yaitu :
  • The determination and promul- gation of the mode of relations among members of a group, involving the acceptance or prohibition of certain declared types of behavior.

  • The allocation of authority in relation to the prevention and punishment of those who ignore norms.
    c- The resolution of disputes so that social cohesion might continue.
    d- The continue re-examination of social relationship so that legal system might reflect, and adapt to, change.

  • Teori yang dikembangkan Hoebel dan Karl Llewellyn terhadap hukum adalah

    • Keteraturan hidup (regularity);
    • Otoritas pejabat (official authority);
    • Sanksi,
      Pada akhirnya hukum dirumuskan sebagai berikut:
      Suatu kaedah sosial adalah hukum, apabila ada kelalaian dalam menta- atinya atau pelanggaran terhadapnya ditanggulangi dalam bentuk ancaman atau kenyataannya, dengan menerap- kan kekuatan fisik, dilakukan oleh seorang atau kelompok yang diakui masyarakat mempunyai hak istimewa"

Robert Redfield

  • Robert Redfield menulis beberapa buku ‘ La ley primitiva’, Mexicana ed Sociologica (1941); ‘ Maine’s Ancient in the Light of Primitive Societies ’, Western Political Quarterly (1950), ‘ the Primitive World and Its Transformations’ 1953) mengemukakan jika akan membahas hukum sederhana dapat memilih tiga jalur, yaitu:
  1. alur kanan, yaitu jalur yang mengakui adanya hukum apabila ada pengadilan dan kitab Undang-undang dalam suatu negara.

  2. Jalur kiri, yaitu jalur yang tidak meng- identifikasi hukum dengan pengadilan dan kitab Undang-undang.

  3. Jalur tengah, yaitu jalur yang bertitik tolak dari konsep hukum sebagai gejala yang dikenal pada masyarakat yang sudah beradab ( civilized societies) dan sudah menerapkan kekuatan secara sistematis dan formal oleh negara, di dalam melaksanakan aturan-aturan yang eksplisit.

  • Hukum pada masyarakat yang maju menunjukkan sebagai berikut:

  • Terdapat berbagai kekhususan, hukum terwujud dalam kerangka yang berbeda dari pertimbangan pribadi dan budaya, yang mendorong orang memilih pola perilaku tertentu dalam kehidupan sehari-hari,hukum terwujud dalam sendi-sendi dan batas-batas dengan berbagai macamsarana penegakannya, hukum dirasakan sebagai gejala yang berada di luar kehidupan sosial, bersifat mandiri dan memaksa.

  • Pada masyarakat sederhana sistem hukum yang rumit itu tidak akan dijumpai, tetapi akan ada aturan-aturan perilaku yang mencerminkan bentuk hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap aturan-aturan dan tata cara yang dilakukan terhadap masyarakat sederhana, jika dikembangkan akan menjadi suatu sistem hukum yang dikenal dalam masyarakat yang sudah maju. Masalah yang penting ialah bagaimana menentukan aturan-aturan perilaku tadi sebagai hukum, jika tidak ada organisasi politik dan lembaga-lembaga hukum tertentu seperti pengadilan dan kitab undang-undang. Dan perlu diperhatikan bahwa hukum sederhana itu tidak hanya satu dan sama, oleh karena masyarakat sederhana itu bermacam ragam, dengan aturan dan lembaga-lembaganya yang berbeda-beda.23

  • Teori yang dikembangkan Robert Redfield terhadap hukum adalah Jalur tengah, yaitu jalur yang bertitik tolak dari konsep hukum sebagai gejala yang dikenal pada masyarakat yang sudah beradab ( civilized societies) dan sudah menerapkan kekuatan secara sistematis dan formal oleh negara, di dalam melaksanakan aturan-aturan yang eksplisit.

. P. J. Bohannan

P.J.Bohannan, bukunya berjudul ” Justice and Judgement Among the Tiv” mengemukakan sebagai berikut:

  • Orang-orang yang terlibat dalam suatu peristiwa sosial akan menafsirkan peristiwa itu. Mereka akan menyusun sistem-sistem yang berarti dalam hubungan sosial itu, Sistem itu merupakan suatu sistem interpretasi rakyat ( folksystem of interpretation ) yang sejalan dengan cara rakyat berbicara.

  • Ajaran Paul Bohannan yang paling khusus dan terkenal adalah “a double legitimacy” . Ia berpandangan bahwa seluruh kaedah hukum berasal dari kaedah-kaedah nonhukum lain yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada kaedah hukum yang langsung lahir sebagai kaedah hukum. Keseluruhannya melalui proses penglegitimasian kembali (double legitimacy) .

  • Bagi Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban- kewajiban yang mengikat yang dipandang sebagai hak oleh suatu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain, dan yang telah dilegitimasi kembali dalam pranata- pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut.

  • Asas timbal-balik merupakan dasar kebiasaan, dan berbeda dengan hukum yang berdasarkan kepada penglegitimasian kembali. Menurut Bohannan sanksi adalah seperangkat aturan yang mengatur bagaimanapranata-pranata hukum mencampuri suatu masalah agar dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang serta dengan cara-cara yang dapat diperhitungkan.

-Suatu dilema yang tidak dapat dielak- kan banwa hukum itu selalu tertinggal dari masyarakat, oleh karenanya warga ma- syarakat harus selalu berusaha untuk mem- perkecil kesenjangan tersebut. Contohnya pada masyarakat yang sudah maju, seperti diperkotaan, prosedur pelembagaan kem- bali untuk menjadikan hukum, diserahkan kepada badan politik seperti badan pembuat Undang-undang. Sehingga terdapat kecen- drungan bahwa pada lembaga-lembaga hu- kum untuk tidak lagi mencerminkan adat ke- biasaan, tetapi malahan membentuk hukum yang baru, maka lembaga-lembaga sosial yang bukan lembaga hukum memerlukan banyak waktu untuk dapat mengejar hukum itu.

  • Pada masyarakat yang hukumnya masih sederhana atau sistem hukumnya kurang berkembang, jarang sekali para warga masyarakatnya mengajukan perkaranya kepada lembaga-lembaga hukum. Oleh karenanya maka di antara lembaga-lembaga sosial yang primer dan lembaga-lembaga hukum dapat dikatakan tidak berhubungan yang satu dan lainnya.

  • Teori yang dikembangkan Bohannan terhadap hukum adalah mengemukakan unsur-unsur hukum itu adalah penggunaan ‘paksaan fisik’ yang didampingi unsur ‘keteraturan’ dan unsur ‘authority’. Ini berkaitan dengan adanya adat kebiasaan yang ditaati masyarakat dan adanya hukum yang merupakan aturan-aturan yang ditafsirkan oleh lembaga ( institution ). Juga berkaitan dengan pelembagan ganda yang dapat mengidentifikasi hukum sebagai kaedah-kaedah yang menjabarkan hukum ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat ditautkan dengan pribadi atau kelompok-kelompok. Kesenjangan me- rupakan sifat hukum dan kemampuannya untuk melaksanakan sesuatu terhadap lembaga-lembaga sosial, terjadinya peru- bahan terhadap lembaga-lembaga primer, berakibat timbulnya kesenjangan. Lalu kekuasaan yang sifatnya unisentris (terpusat menjadi satu).

Leopold J. Pospisil

  • Leopold J. Pospisil berasal dari Cekoslovakia, bukunya yang terkenal adalah “Anthropology of Law: a Comparative Theory” . Menurutnya hukum dikenal melalui identitas yang mempergunakan atribut-atribut atau ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk membedakan hukum dari gejala-gejala sosial lainnya (misalnya ekonomi, politik dan lain-lain). Di dalam penelitiannya terhadap berbagai masyarakat, ia membuat suatu analisa perbandingan, sehingga menghasilkan 4 atribut hukum, yakni:
  1. Wewenang ( authority ), merupakan ke- kuasaan yang diakui, sehingga kepu- tusan-keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak-pihak lainnya.

  2. Tujuan agar hukum diperlakuakn secara universal ( intention of universal application ), apabila ada masalah- masalah di kemudian hari, maka hal itu akan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, walaupun kemungkinan terjadinya variasi tentu ada.

  3. Hak dan kewajiban ( obligation ), ini harus ada di dalam setiap keputusan pihak yang berwenang. Di dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hubungan antara pihak-pihak tertentu, maka salah satu pihak mempunyai hak atau wewenang, sedangkan pihak lain mendapat kewajiban atau tugas. Hak dan kewajiban tersebut hanyalah menyangkut pribadi-pribadi yang masih hidup.

  4. Sanksi ( sanction ), hanya merupakan ciri bukan suatu kriterium utama atau pokok, sebab sanksi tersebut tidak selamanya berbentuk fisik tetapi bisa juga berbentuk kejiwaan atau psikologis.

  • Teori yang dikembangkan Pospisil terhadap hukum adalah wewenang ( autho- rity ), tujuan agar hukum diperlakuakn secara universal ( intention of universal application ), hak dan kewajiban ( obligation ), dan sanksi ( sanction ).
Referensi

Hadikusuma, H. 1992. Pengantar Antropologi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hartono, S. 1993. “Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional” dalam
Analisis CSIS, Jakarta.

Ihromi, T.O. 2000. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan Antropologi. Catatan-Catatan untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat. Gramedia. Jakarta.

Keesing, R.M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi Kedua.
Terjemahan Samuel Gunawan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Koentjaraningrat (ed.), 1982. Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi
Terapan. LP3ES. Jakarta.

Soehendera, D. “Tinjauan Buku Bronislaw Malinowski” dalam Antropologi No. 47, Tahun XIII, JuliAgustus-September 1989.

Soekanto, S. dkk. 1984. Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Rajawali
Pers. Jakarta.