Teori apa saja yang Terkait dengan Capital buffer?

Capital buffer

Teori apa saja yang Terkait dengan Capital buffer?

1 Like

Teori yang terkait dengan capital buffer yang digunakan sebagai landasan teori peneliti merujuk pada: Pecking Order Theory dan Too Big To Fail Consensus . Penelitian mengenai capital buffer memiliki kedekatan dengan struktur modal, sehingga penelitian ini juga berdasarkan pada teori struktur modal.

1 . The Pecking Order Theory

Dalam keuangan perusahaan, Pecking Order Theory menyatakan bahwa biaya pendanaan meningkat dengan informasi yang asimetris. Pendanaan berasal dari tiga sumber yaitu dana internal, utang, dan ekuitas baru. Bentuk sumber pendanaan yang diutamakan perusahaan adalah pendanaan dari internal, kemudian utang, dan ekuitas sebagai pilihan yang paling akhir. Oleh karena itu, proses sumber pendanaan perusahaan diawali dengan penggunaan pendanaan internal, ketika habis, maka perusahaan menerbitkan surat utang, dan ketika surat utang jumlahnya tidak lagi masuk akal untuk menerbitkan surat utang kembali, ekuitas diterbitkan. Pecking Order Theory pertama kali diusulkan oleh Donaldson pada tahun 1961 dan dikembangkan oleh Stewart C. Myers dan Nicolas Majluf (1984).

Pecking Order Theory diawali dengan adanya informasi asimetris sebagaimana diketahui manajer mengenai prospek perusahaan, risiko, dan nilai investor dari luar. Informasi asimetris ini mempengaruhi manajer dalam mengambil keputusan terkait sumber pendanaan, apakah pendanaan perusahaan diambil dari internal atau eksternal, serta apakah perusahaan menerbitkan utang atau ekuitas. Stewart C. Myers dan Nicolas Majluf menyatakan bahwa ekuitas memiliki biaya yang lebih mahal dibandingkan kewajiban bank lainnya dikarenakan informasi asimetris.

Ekuitas juga dinilai tidak begitu menguntungkan, dikarenakan beban bunga utang dikenakan sebelum pajak. Kelebihan modal diharapkan memiliki hubungan yang negatif terhadap biaya ekuitas. Penelitian sebelumnya menggunakan return on equity (ROE) sebagai proxy dari cost of holding capital . Di sisi lain, penelitian lainnya mengenai capital buffer menemukan hubungan yang positif antara return on equity (ROE) dengan capital buffer (Nier dan Baumann, 2006). ROE yang tinggi mengindikasikan keuntungan yang tinggi bagi bank. Keuntungan tersebut kemudian menjadi laba ditahan yang digunakan untuk meningkatkan buffer bagi bank. Hal ini sesuai dengan penjelasan mengenai Pecking Order Theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki preferensi untuk menggunakan laba ditahan sebagai tambahan modal dibandingkan mendapatkannya melalui penerbitan ekuitas yang tergolong mahal. Dengan demikian penelitian ini mengharapkan hubungan positif antara ROE dan capital buffer .

Bank mungkin dihadapkan dengan biaya penyesuaian ( cost of capital adjustment ) untuk mendapatkan rasio modal yang optimal. Biaya ini muncul ketika bank meningkatkan atau mendapatkan modal eksternal baru (Estrella, 2004). Ekuitas merupakan bentuk modal yang memiliki biaya pengawasan yang tinggi, dan bank memiliki keuntungan informasi yang lebih dibanding investor untuk menilai 28 ekuitasnya sendiri, yang akan meningkatkan biaya penyesuaian ( cost of capital adjustment ) yang diinginkan (Myers dan Majluf, 1984).

Dengan demikian, penerbitan ekuitas dapat dilihat oleh calon investor sebagai sinyal negatif terkait dengan nilai bank. Cost of shedding equity timbul dari tekanan regulator, pengawas, dan pasar untuk menjaga tingkat kesehatan modal (Estrella, 2004). Penyesuaian modal dapat menimbulkan kelebihan atau kekurangan modal. Namun, konsekuensi kekurangan modal dianggap lebih serius, sehingga bank lebih baik memiliki modal yang berlebih dibandingkan kekurangan modal. Sebagai tambahan dari asumsi informasi asimetris, mengubah tingkat modal dapat memberikan sinyal yang buruk, sehingga menyebabkan bank enggan bereaksi cepat ketika guncangan modal terjadi (Myers dan Majluf, 1984).

Ayuso et al. (2002) dan Estrella (2004) menemukan lag of capital buffer (BUFFt-1) sebagai proxy guna mengukur adjustment cost dalam mengukur capital buffer . Mereka menemukan adanya hubungan positif antara lag of capital buffer dengan capital buffer . Sedangkan Fikri (2012) menggunakan incremental capital buffer sebagai proxy dari adjustment cost dan hasilnya positif tidak signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa incremental capital buffer tidak menjadi proxy adjustment cost yang lebih baik daripada lag of capital buffer Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menggunakan lag of capital buffer sebagai proxy dari capital adjustment cost . Variabel ini diharapkan mampu memberikan hubungan positif antara lag of capital buffer dengan capital buffer .

2 . Too Big To Fail

Consensus (Kane, 2000; Mishkin, 2006) menyatakan perilaku bank-bank besar yang cenderung memiliki capital buffer yang lebih rendah dibandingkan bank-bank kecil dikarenakan sifat terlalu besar untuk gagal ( Too Big To Fail ). Selain itu, bank besar mudah dalam mendapatkan pendanaan mereka dari pasar modal, dan memiliki kenggulan komparatif untuk mengatasi masalah informasi terkait pemantauan yang mendorong mereka mencapai keseimbangan antara cost supervision dan cost of equity. Bank akan mengurangi cost of equity dengan mengurangi cadangan modalnya. Sifat Too Big To Fail berkaitan dengan ukuran dari suatu bank, dimana capital buffer sangat terkait dengan ukuran (size) bank, sehingga hal ini menjadi landasan yang jelas bagi penelitian mengenai capital buffer .

Teori yang terkait dengan capital buffer


  1. Pecking Order Theory
    Pecking Order Theory merupakan suatu kebijakan yang ditempuh oleh suatu perusahaan untuk mencari tambahan dana dengan cara menjual asset yang dimilikinya. Seperti menjual gedung, tanah, peralatan yang dimilikinya dan aset-aset lainnya. Termasuk dengan menerbitkan dan menjual saham di pasar modal dan dana yang berasal dari laba ditahan (retained earnings). Pada kebijakan Pecking Order Theory artinya perusahaan melakukan kebijakan dengan cara mengurangi kepemilikan aset yang dimilikinya karena dilakukan kebijakan penjualan. Dampak lebih jauh, perusahaan akan mengalami kekurangan aset karena dipakai untuk membiayai rencana aktivitas perusahaan baik yang sedang berjalan maupun yang akan datang.

    Berdasarkan teori pecking order, di dalamnya terdapat pemikiran sebagai berikut. Pertama, perusahaan memilih sumber pendanaan internal karena dana tersebut diperoleh tanpa mengangkibatkan sinyal negatif yang dapat menurunkan harga saham. Kedua, ketika perusahaan membutuhan sumber pendanaan eksternal, maka tahap pertama adalah menerbitkan hutang, sedangkan penerbitan ekuitas dilakukan sebagai langkah terakhir. Hal ini menunjukan penerbitan hutang lebih kecil kemugkinannya dipandang sebagai sinyal buruk oleh para investor.

    Pecking Order Theory pertama kali diperkenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961. Teori ini menunjukan urut-urutan pendanaan sebagai berikut (Brealey dan Myers dalam versi Devi Verena Sari):

  • Perusahaan lebih menyukai internal financing.
  • Perusahaan akan berusaha menyesuaikan resiko pembagian dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar.
  • Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal terkadang berlebih atau kurang investasi.
  • Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan dimulai dengan penerbitan obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru.
  1. Charter Value Theory
    Dikutip dari Noreen dkk, teori charter value yang dibuat oleh Marcus pada tahun 1984 menjelaskan bahwa bank senantiasa menahan ekstra modal untuk mengamankan mereka dari penurunan stabilitas dan menangani risiko kegagalan usaha. Teori ini juga meramalkan bahwa bank akan menghadapi kerugian atas
    pendapatannya di masa yang akan datang jika kebangkrutan terjadi dan dampak
    kerugian tersebut menerpa banyak pihak termasuk para pemegang saham. Oleh
    karena itu, bank akan mempertahankan modal yang dimilikinya melebihi modal
    minimum yang disyaratkan.

  2. Too Big To Fail Consensus
    Jika “too big to fail” diartikan secara harfiah dalam Bahasa Indonesia artinya adalah terlalu besar untuk gagal dan merupakan suatu istilah di bidang ekonomi dan keuangan yang merujuk pada beberapa institusi atau entitas bisnis. Dalam Cambrige Dictionaries Online, too big to fail diartikan sebagai istilah untuk menggambarkan sebuah bank yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara, karena itu pemerintah akan memberikan uang rakyat untuk mencegahnya gagal (bangkrut). Sedangkan dalam Investopedia, too big to fail dijelaskan sebagai sebuah gagasan bahwa suatu bisnis telah menjadi begitu besar dan begitu mengakar dalam perekonomian, sehingga pemerintah akan memberikan bantuan untuk mencegah kegagalannya (kebangkrutannya). “Terlalu besar untuk gagal” menggambarkan keyakinan bahwa jika sebuah perusahaan besar gagal, maka akan memiliki efek gelombang bencana terhadap seluruh perekonomian.

    Istilah Too Big To Fail pertama kali dilontarkan oleh Stewart Mc Kinney ditahun 1984. Beliau adalah salah satu anggota senat Amerika Serikat yang membidangi pengawasan perbankan dan lembaga keuangan. Stewart melihat bahwa adanya fenomena yang mencurigakan akan konspirasi di sektor keuangan yang dilakukan oleh industri keuangan papan atas yang beraset sangat besar yang menguasai aset industri keuangan nasional lebih dari 70% dan menurutnya institusi tersebut semakin sulit diatur karena keberadaanya sudah masuk kategori global dan saling terkait dengan industri global lainnya.

    Olehnya, karena sifat dan kondisinya yang sangat global yang menguasai lebih dari 70% aset industri keuangan serta akan berdampak sistemik keseluruh sendi-sendi negara ,maka oleh Stewart diistilahkan Too Big To Fail (TBTF). Menurutnya pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap bank-bank yang berstatus TBTF demi manjaga stabilitas ekonomi nasional dan sejak penemuan istilah TBTF tersebut maka mulailah pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang bank-bank yang berstatus TBTF.

Referensi

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39213/1/MOHAMAD%20IQBAL%20AKBARI-FEB.pdf