Tentang Peradilan Agama

image

Tentang Peradilan Agama di Lingkungan Peradilan

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

  • Pengadilan Agama
  • Pengadilan Tinggi Agama.

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

  • perkawinan
  • waris
  • wasiat
  • hibah
  • wakaf
  • zakat
  • infak
  • sodaqoh
  • ekonomi syari’ah

Pengertian Pengadilan Agama

Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang cukup tua usianya. Lebih tua dari Departemen Agama sendiri bahkan lebih tua dari usia negara kita, kehadirannya sudah ada sejak munculnya kerajaan-kerajaan islam di Bumi Nusantara ini. Peradilan ini muncul bebarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasei, Aceh, Demak, Mataram, Cirebon, dan lain-lain.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama yang ada di Indonesia adalah beraneka nama dan dikatagorikan sebagai peradilan Kuasai, karena berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat Pengadilan Agama secara de pacto lebih rendah kedudukannya dari Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formil dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yaitu

  • Peradilan Umum
  • Peradilan Agama
  • Peradilan Militer
  • Peradilan Tata Usaha Negara

Ketentuan diatas menegaskan, bahwa ada empat lingkungan Peradilan yang setara di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Pernyataan kesetaraan empat lingkungan Peradilan yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya Peradilan Agama, merupakan koreksi terhadap ketentuan yang terdapat dalam staatblad 1882 Nomor 152 dan staadblad 1937 Nomor 116 dan 610 Tentang peraturan Pengadilan Agamadi jawa dan madura, staatblad 1937 Nomor 639 Tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99) yang telah menempatkan Peradilan Agama berada di bawah Peradilan Umum.

Kewenangan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda “ competentie ”, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Bicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Aboslut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang mengajukannya gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006Tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang Relatif dan wewenang absolut. Wewenang Relatif Peradilan Agama pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 RB.g jo Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan wewenag absolut berdasarkan pasal 49 Undang-Undang 7 Tahun 1989, yaitu kewenangan mengadili perkara-perkara perata-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang ilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh an ekonomi islam.

Kekuasaan dan kewenangan Peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara, Peradilan Agama mempunyai 2 (dua) kompetensi yaitu :

  1. Kompetensi Absolut

Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu di antara lingkungan “Peradilan Khusus” sama halnya seperti Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara “tertentu” dan terhadap rakyat “tertentu”.

Penjelsan lebih lanjut mengenai kata “Perkara tertentu” dan “rakyat tertentu” dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 diatas berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang mencantumkan kata “perdata” sehingga sebelum adanya peruabahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini, maka bunyi Pasal 2 itu adalah “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dengan demikian jelas, bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tersebut membawa perubahan kewenangan Peradilan Agama, yang semula hanya berkewanangan menyelesaikan perkara perdata, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tengtang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama telah diberi kewenangan baru untuk mengadili perkara non perdata. Perubahan ini dipandang sebagai upaya pemberian landasan yuridis bagi Peradilan Agama untuk memiliki peradilan khusus yang disebut dengan nama Mahkamah Syariah untuk Tingkat Pertama dan Mahkamah Provinsi untuk Tingkat Banding sebagaimana diatur dalam Pasal 3A dan penjelesannya Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, kewenangan Absolut Peradilan Agama telah dirumuskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai berikut : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang :

  • Perkawinan;
  • Kewarisan
  • Hibah
  • Wakaf
  • Zakat
  • Infaq
  • Shodaqoh
  • Ekonomi Syariah

Selanjutnya, pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketenruan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan secara enumeratif tugas pokok Peradilan Agama, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Peradilan Agama, oleh Pasal 52 ayat (1) dinyatakan, bahwa selain mempunyai tugas pokok juga mempunyai tugas tambahan, yang dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta. Begitu juga dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan, bahwa Pengadilan Agama dapat melaksanakan tugas dan kewenagan tugas dan kewenangan lain yang diserahkan kepadanya berdasarkan undang- undang.

  1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan yang satu jenis berdasarkan daerah atau wilayah hukum. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan, bahwanPengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (Kota) atau ibukota Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintahan Kota atau Kabupaten.