Tegakkan tiang berlayar (1) : rantau

CERBUNG 1

Sudah satu pekan Ibu cukup sibuk mempersiapkan kepergianku. Dua koper penuh menampung baju-baju yang sekiranya aku perlukan. Begitupula kardus-kardus yang tertumpuk di dekat jendelaku. Sedikit banyak Ibu berinisiatif memasukkan berbagai bumbu pedas kesukaanku. Hanya untuk berjaga-jaga, apabila nantinya makanan di Malang tidak cocok dengan lidahku. Aku dapat dengan mudah memasak makananku sendiri.

Sambil mengemas satu toples kecil Rendang kering, petuah dari mulut Ibu seakan tak kunjung berhenti, “Nanti kalau sudah sampai, lekas beri kabar Tante Mala… Jagalah sikap baik-baik Kak di tanah orang… Kurang-kurangilah kecintaanmu pada sambal… Ingat baik-baik usus buntu memang sudahlah sembuh, tapi bukan tak mungkin penyakit lain datang dari kesukaanmu itu…” Aku sangat menikmati celoteh nasihat Ibu, yang setiap saat senantiasa diulang-ulang. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Ku tabung dalam ingatan, sebagai amunisi apabila rindu tiba-tiba menyerang.

Sementara Ibu mengemas segala keperluanku, Ayah sibuk meneliti mobil kami satu-satunya. Nantinya, mobil inilah yang akan mengantarkanku dan Ayah menuju Bandara Soekarno Hatta di Jakarta. Sementara itu, sudah hampir dua minggu Ayah tidak menggunakan mobil ini. Maklum, Ayah lebih menyukai motor bebek miliknya, termasuk untuk menemaninya bekerja. Padahal jika dilihat dari usia, tentu motor itu memiliki usia yang lebih tua dibanding mobil Ayah. Tua sekali. Sudah berkali-kali motor ini mengalami pergantian plat. Perawatan yang rutin dilakukan, nyatanya tak mampu menutupi usia motor ini, yang hampir sama dengan usia adik bungsuku Azizah. Kerusakan sudah terjadi dimana-mana, bahkan untuk sekedar mengathui jumlah bensin, Ayah harus membuka bagian joknya. Beberapa kali orang yang meminjam motor Ayah, merasa dibohongi oleh motor ini. Tak jarang mereka harus mendorong motor berkilo-kilo meter hanya karena bahan bakar dalam tangki tak tersisa lagi.

Itulah motor Ayah. “Tua-tua keladi…” Kata Ayah. Semakin motor ini berumur, semakin banyak tingkahnya. Akan tetapi, hal-hal seperti itu tidak pernah mengurangi kecintaan Ayah pada motor semata wayangnya ini. Bahkan, dalam beberapa kali perjalanan, baik dengan Ibu atau sendiri, Ayah lebih mempercayainya. Alhasil, mobil di rumah kami hanya dipakai sesekali saja. Apabila benar-benar diperlukan, mengantarkan kami ke Pondok atau pulang kampung, misalnya. Tentu saja, aku memaklumi segala keputusan Ayah, meskipun kelihatannya Ayah sedikit meng-anak tiri-kan mobilnya. Maklum, tinggal di Jabodetabek membuat kami kenyang akan kemacetan. Sehingga motor seringkali menjadi moda trasnportasi pilihan. Selain lebih hemat, motor juga lebih praktis apabila kepadatan melanda jalanan Kota Industri ini.

“Sudah istirahat sana. Mobil sudah siap Kak…” Ayah menutup kap mobilnya. Terdengar suara cukup nyaring karena Ayah menutupnya terlalu kencang. Debu-debu dari kap mobil mengepul bersamaan dengan bertabraknya dua benda keras itu, kap dan badan mobil. Terlihat pula lengan dan kerah kaos putih yang Ayah pakai, berubah sedikit kecoklatan. Barangkali debu-debu tersebut menempel ketika Ayah memeriksa mesin bagian dalam. Terbukti sudah, kap mobil ini jarang sekali dibuka, kecuali kami sekeluarga hendak melakukan perjalanan yang cukup jauh saja.

Ayah menggandeng pundakku. Tentu saja, pundakku lebih tinggi dari pundak Ayah, akan tetapi rasa hangat dari genggamannya cukup kurasakan. Menandakan betapa tangan tersebut sering diasah sehingga menjadi cukup kuat. Barangkali, kekuatan tangan Ayah terus dilatih seiring dengan kegemarannya dalam berkebun. Sembari menepuk-nepuk pundak sebelah kiriku, Ayah mengajakku untuk segera masuk ke Rumah untuk mandi dan segera bersiap ke Masjid. “Ah… Ayah…” Hal-hal seperti inilah yang justru membuatku semakin sulit untuk kembali merantau. Entah kenapa, meski berkali-kali sudah aku tinggalkan rumah, demi menuntut ilmu di Pesantren, akan tetapi kepergianku kali ini cukup terasa berat. Aku meragukan diriku dapat hidup sendiri, di tanah yang asing, dengan tetap memegang teguh pendirian. Nantinya, tak akan ada tangan-tangan kuat Ayah, yang senantiasa mengingatku untuk sholat berjamaah. Pun, wajah marah Ibu yang mampu membuatku merasa segan untuk menyeleweng dari prinsip yang telah beliau tanamkan.

“Sudah menjadi takdir lelaki di keluarga kita…” Begitu kata Ayah.

Sebagaimana diriku. Dibesarkan dari kedua orangtua yang berdarah Palembang dan Bangka, membuatku tak perlu berpikir bagaimana meminta izin untuk pergi merantau. “Bak anak panah….” Kata pepatah, “Tak akan sampai tujuan bila tak tinggalkan busur…” Seperti itulah lelaki sepatutnya. Dididik untuk kuat berdiri diatas akar sendiri. Ayah dan Ibu telah memberikan akar yang kokoh. Akar itu tak boleh hanya menembus bawah, melainkan juga harus menyebar. Mencoba setiap tanah, untuk ikut menebarkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana yang sudah Allah Subhanahu Wa Ta’alla amanatkan.


Quran surat Al-Imran, mengakhiri ibadah maghribku hari ini. Ayah dan Ibu sepertinya sudah menunggu di meja makan. Aku dan kedua adikku bergegas untuk menemui mereka. Tempat makan kami memang tidaklah mewah. Hanya ada satu meja, sedikit lebih besar dari meja tamu, dan lima kursi bundar, cukup untuk kami berlima. Seringkali kami menghabiskan banyak waktu, selepas sholat maghrib, di tempat ini. Membicarakan segala hal yang perlu kami bicarakan. Bagi Ayah dan Ibu tentu saja tempat ini adalah tempat yang nyaman untuk melakukan evaluasi bagi putra-putrinya. Ruang makan tidak terasa kaku, bagi kami yang muda. Dengan suasana makan yang santai, Ayah dan Ibu dapat memperhatikan sedikit banyak hasil dari proses pembelajaran yang telah mereka usahakan untuk kami bertiga.

“Kakak… Masakan Ibu pas ? Makanlah yang banyak… Besok Ibu bawakan masakan sama seperti ini lagi untuk bekal yo…” Ibu membuka pembicaraan. “Ibu ini, anak kito ini kan sudah jejaka. Sudah menjadi lelaki. Masak masih dibawakan bekal makanan ?” Ayah menyahut sambil menyikut lenganku. “Memangnyo kenapo Ayah ? Masakan Ibu kan lezat. Lagipulo wajah boleh tumbuh kumis, tapi hati siapo yang tahu. Anak kita ini bersihkan telinga pun masih Ibu yang layani…” Sontak adik-adik tertawa. Agaknya mereka mengingat, setiap momen aku pulang dari Pesantren. Aku selalu merengek pada Ayah dan Ibu, meminta mereka membantuku untuk sekedar membersihkan telingaku yang sudah luar biasa gata. Agak risih apabila aku harus membersihkannya sendiri. Seperti ada ulat merayap-rayap di telinga. Geli. Salah-salah justru nanti lubang telinga terluka karena aku tak bisa berhati-hati. Itulah sebabnya aku lebih suka Ibu atau Ayah yang membersihkannya.

“Kakak sudah sudah menghubungi Hasyim ?” Sambil menyeruput soup ku gelengkan kepalaku. “Mungkin besok Yah, Fakhri menghubungi Hasyim…” Hasyim adalah teman ketika aku menuntut ilmu di Pesantren. Kami adalah satu-satunya siswa yang dapat diterima di Universitas Brawijaya Malang. Bagi kami di Pesantren, teman adalah saudara. Begitupula aku dan Hasyim. Meski tidak sedekat batang dan akar, aku sudah menganggapnya sebagai saudara. Semogalah nantinya dia dapat menjadi pengingat bagiku, apabila aku terlampau keluar dari jalur yang sudah ditetapkan agama ini. Itulah mengapa Ayah seringkali menyuruhku menghubungi Hasyim.

Ayahku dan Ayah Hasyim berharap nantinya kami dapat berbagi kamar. Barang satu semester atau dua semester, agar kami bisa saling membantu dalam adaptasi. Ayah dan Ayah Hasyim sama-sama seorang perantau. “Sudah kenyang rasanyo mereka menelan gula dan garam perantauan…” Begitu kata Ibu. Oleh sebab itu, kami senantiasa usahakan untuk mengikuti saran dari mereka.


Lantunan dzikir pagi lambat-lambat mulai menghilang. Pertanda Ayah, Ibu, dan seisi rumah siap beraktivitas. Pun diriku, dengan segenap tenaga, berusaha ku tegarkan badan tinggi besar ini serta hati yang tidak kalah beratnya. Rasanya semakin tidak karuan. Tidak lagi mengantuk seperti biasa, justru mata ini tak ingin tidur kembali. Segera kupandang Ayah dan Ibu, serta kedua adikku. Menampung sedikit demi sedikit semangatku untuk pergi meninggalkan mereka meski untuk sementara.

Ibu segera memelukku. Erat sekali, hingga hangat dari badan Ibu, yang sedari sepertiga malam telah terjaga, dapat menghangatkan badanku. “Anak Perjaka Ibu… Tolong jaga diri ya Kak… Sholat ditegakkan… Ibu titip ini” Sembari menempelkan telapak tangan kanannya ke dadaku, “Titip hati ini jangan sampai lupa pada Tuhan…” Aku menghela nafas panjang. Tak banyak yang dapat kuucapkan selain kata “Insya Allah, doakan Fakhri Bu…” Begitupula ketika ku kecup kening kedua adikku. “Kakak pergi… Doakan Kakak…” Azizah dengan berat hati, berusaha menyeka air matanya. Barangkali takut apabila Ayu-nya1 tak mau diajak bermain sebagaimana kakaknya rela menghabiskan banyak waktu untuknya. Sementara Frizka, dia sudah terlampau dewasa untuk memikirkan kepergianku. Pikirannya yang lebih matang, bisa jadi yang ada di kepalanya hanyalah optimisme bahwa kakaknya sebentar lagi akan segera pulang membawa bekal ilmu yang beragam.

“Ayo Ri…” Suara Ayah memecah keharuan. Rupanya Ayah sedari tadi telah menaikkan banyak barang yang akan kubawa ke dalam Mobil. Aku yang tak enak hati, berupaya menaikkan satu koper lagi ke bagasi mobil. “Ayah tidak mau kamu kecapekan… Jadi Ayah naikkan sendiri seluruh barang yang hendak dibawa…” Seakan tahu isi hatiku, Ayah segera menjelaskannya, tetapi sungguh kata-kata Ayah justru segera membuatku merasa lebih tak enak hati. Kalaupun seandainya bukan karena usia Ayah, aku pun tetap tidak ingin Ayah justru merepotkan dirinya untuk diriku, yang memang sejak kecil sudah merepotkan. Genap semua persiapan telah diangkut. Aku segera masuk mobil, melambaikan tanganku, bukan hanya kepada Ibu dan Adik-adik tetapi juga kepada Rumah tempat kami menyisir setiap cinta.

Aku dan Ayah menempuh jalan tercepat menuju ke Bandara. Jalan Tol Cibubur telah lama diresmikan, tetapi kami jarang melewatinya kecuali ketika kami akan mudik ke Sumatera. Tol Cibubur merupakan salah satu jalan yang menjadi kesukaanku. Tol yang paling dekat dengan Rumah. Sehingga ketika berada di jalanan teratas aku bisa melihat Cileungsi dari kejauhan. Perumahan yang semrawut itu, tampak berjajar padat sebagaimana mozaik. Sehingga apabila kita perhatikan dari sudut pandang ini, Cileungsi menjadi lebih indah.

Selain itu, melalui jalur ini, perjalanan akan terasa lebih pendek. Estimasi perjalanan apabila ditempuh dengan jalur biasa, tentu memakan waktu lebih lama, sekitar tiga jam. Akan tetapi melalui jalur Tol, waktu yang dibutuhkan untuk menuju Bandara hanya sekitar 1 jam setengah. Itu artinya, kami akan tiba di Bandara sekitar Pukul 09.00. Sementara pesawat yang hendak kami tumpangi berangkat sekitar pukul setengah 11. Ayah masih memiliki waktu yang cukup untuk sekedar menitipkan mobil selama kurang lebih empat hari demi membersamaiku hingga Malang.

Aku yakin bukan perkara mudah untuk Ayah mengambil cuti sebanyak itu. Ayah adalah seorang yang pekerja keras. Baginya, waktu bersama keluarga mahal harganya. Oleh sebab itu, sudah sekitar satu bulan, Ayah lembur hingga hari minggu untuk sekedar mengumpulkan sedikit waktu bersamaku di Malang. Sebelum pada akhirnya harus kurelakan diriku mengarungi tanah Arema sendiri.

Nanti, ketika kami telah sampai di Malang, kami berencana untuk menginap beberapa hari di Rumah Tante Mala. Tante Mala sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga. Semasa kuliah, Tante tinggal satu atap bersama Keluarga Ibu. Tak heran jika Ibu dan Tante Mala, memiliki hubungan yang cukup erat. Lebih dari sekedar teman, Ibu telah menganggap Tante Mala sebagai Adiknya, begitupula Tante Mala yang lebih senang menganggap Ibu sebagai Kakaknya. Meski begitu, Ayah dengan tegas menolak saran Tante Mala, agar aku tinggal di rumahnya selama di Malang. Bukan apa-apa, tentu semua itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Ayah. Termasuk dalam rangka membentuk kepribadianku menjadi lebih mandiri dan bertanggungjawab. “Sebagaimana Ayah dulu dididik menjadi laki-laki sejati oleh Kakek dan Nenek” Pungkas cerita Ayah sembari memperhatikan jalanan di Tol Cibubur, yang sudah mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan.