Tanda-tanda Mereka Tampak Di Wajahnya

Taman Surga

Seseorang berkata: Kami sudah tahu beberapa keadaan manusia, satu demi satu. Tak ada sehelai rambut pun dari tabiat, panas, dan dinginnya, yang terlewati dari pandangan kami. Tetapi kami belum mengetahui mana keadaan yang mampu bertahan dari semua itu.

Maulana Rumi berkata: “Seandainya pengetahuan tentang hal itu bisa diperoleh hanya dengan bertanya pada orang lain, maka manusia tidak perlu berusaha, bekerja keras yang banyak dan melakukan bermacam-macam perbuatan. Seseorang juga tidak akan mau menyusahkan jiwanya dan mengorbankan diri untuk mengkajinya dengan sungguh-sungguh.”

Biar kujelaskan dengan perumpamaan: Seseorang pergi ke laut, tapi tidak ada yang dia lihat selain air garam, buaya dan ikan-ikan. Orang itu pun berkata: “Di mana mutiara yang dibicarakan orang-orang itu? Mungkin di sana tidak ada mutiara apa pun.” Bagaimana mungkin orang itu bisa mendapatkan mutiara hanya dengan memandangi lautan saja? Meskipun ia diberi kemampuan untuk menakar air laut, mangkok demi mangkok hingga seratus ribu kali, ia tetap tidak akan menemukan mutiara itu. Untuk bisa mendapatkan mutiara itu, dibutuhkan seorang penyelam. Meskipun penyelam sudah ada, tapi hanya penyelam yang beruntung dan mahir saja yang bisa mendapatkannya.

Semua ilmu dan seni manusia seperti menakar air laut dengan mangkok. Sementara cara mendapatkan mutiara adalah hal yang lain. Ada banyak orang yang dikaruniai berbagai kemahiran, kekayaan, dan juga wajah rupawan. Akan tetapi makna itu tidak disediakan untuk mereka. Sebaliknya, ada banyak orang yang raganya rusak dan tidak punya keindahan bentuk, kefasihan lisan dan kecakapan berbicara, namun makna itu ada pada diri mereka. Makna itu adalah sebuah unsur yang dengannya manusia akan dimuliakan, diagungkan, dan mengungguli makhluk lainnya.

Macan, buaya, singa dan makhluk-makhluk lainnya memiliki kemahiran, kepandaian dan keistimewaan, namun tidak memiliki makna yang tersisa itu. Seandainya manusia menyingkap unsur itu, pastilah ia akan mendapatkan rahasia atas keutamaan dan daya pembeda mereka sendiri. Jika tidak, maka tidak mungkin ia akan mendapat bagian dari keutamaan itu. Keahlian dan keistimewaan manusia ini seperti meletakkan mutiara di atas punggung cermin. Jelas wajah cermin tak akan mampu memantulkan bentuk mutiara. Oleh karenanya, wajah cermin haruslah bersih dan mengkilap. Barangsiapa memiliki wajah yang buruk, ia lebih suka dengan punggung cermin, karena wajahnya akan menyiarkan aib-aibnya. Sementara orang tampan dengan ratusan roh, ia akan memandang wajahnya di kaca, karena wajah kaca menampilkan keindahannya.

Yusuf al-Misry dikunjungi salah satu sahabatnya yang baru tiba dari sebuah perjalanan. Yusuf bertanya padanya: “Hadiah apa yang kamu bawa untukku?” Sahabatnya menjawab: “Apalagi yang belum kamu miliki dan kamu butuhkan? Namun karena tidak ada orang yang lebih tampan darimu, maka aku membawakan sebuah cermin agar setiap saat kamu bisa menatap wajahmu ke cermin itu.” Apalagi yang belum dimiliki Allah dan Dia butuhkan? Seharusnya manusia mempersembahkan hati mereka yang bersih dan mengkilau kepada Allah agar Dia bisa melihat diri-Nya dalam hati itu.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk dan amal kalian, namun Ia melihat hati kalian.”

Dalam Shahih Muslim, redaksi hadis ini berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk jasmani dan harta duniawimu, namun Dia melihat hati dan amal-amalmu.”

Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan di beberapa negeri, Tak ada yang tiada selain kemuliaan.

Potongan dari kasidah terkenal milik Abu ftayyib al-Mutanabbi.

“Ada sebuah kota di mana kamu bisa mendapatkan segala sesuatu yang kamu inginkan; wajah-wajah yang rupawan, berbagai kenikmatan, makanan yang mencandukan, dan berbagai macam perhiasan, akan tetapi di kota itu tidak kamu temukan seorang yang berakal. Maka sesuatu yang berlawanan dari semua ini adalah lebih baik.”

Kota itu adalah umat manusia. Walaupun di dalamnya terdapat seratus ribu keahlian tetapi tidak ada makna tersebut, maka akan lebih baik jika kota itu hancur. Sebaliknya, jika makna itu ada di dalam kota tersebut namun ia tidak dihiasi dengan berbagai perhiasan lahiriah, maka tak perlu ada rasa takut atasnya. Rahasia seseorang itu seharusnya terpendam. Di setiap keadaannya, manusia harus selalu menjadikan rahasianya sibuk dengan Allah.

Kesibukan ragawi manusia tak akan menjadi penghalang bagi kesibukan batinnya. Seperti seorang perempuan yang sedang mengandung, terlepas dari setiap keadaannya—berdamai, berperang, makan, dan tidur—janin dalam rahimnya akan tetap terus berkembang, merangkai kekuatan dan kemampuan indera, tanpa diketahui oleh perempuan itu. Begitu juga dengan rahasia yang dibawa oleh manusia:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)

Namun Allah tidak akan meninggalkan manusia dalam kezaliman dan kebodohan. Dari kehidupan ragawi kita muncullah persahabatan, kesepakatan, ribuan pemberian dan pengetahuan. Jika kepercayaan yang dibawa manusia ini juga menghasilkan persahabatan dan pengetahuan, apa yang aneh darinya? Apa yang muncul dari manusia setelah kematiannya?

Rahasia itu seharusnya tetap terpendam, sebab ia seperti akar pohon. Meski ia tersembunyi di bawah tanah, namun buahnya akan tampak di ranting-rantingnya yang tinggi. Seandainya satu atau dua ranting dipotong ketika akarnya masih kuat menancap di bumi, niscaya ranting-ranting itu akan tumbuh lagi. Tetapi jika akarnya terkena penyakit, maka tidak akan tersisa lagi ranting-ranting dan dedaunan di pohon itu.

Maksud dari firman Allah: “Assalamu’alaika ayyuha an-nabiyyu (Semoga keselamatan tercurah padamu, wahai Nabi yang mulia) ,” adalah: “Salam sejahtera bagimu dan bagi setiap orang yang sejenis denganmu.” Jika bukan ini yang dimaksud oleh Allah, maka tidak mungkin Rasulullah menambahkan: “‘Alaina wa ‘ala ‘Ibadillah al- shalihin (Semoga keselamatan juga dilimpahkan kepada kami dan kepada para hamba Allah yang salih) .” Sebab jika salam itu hanya untuk Rasulullah semata, beliau tidak akan menyandarkannya pula pada para hamba yang saleh. Dengan kata lain: “Sesungguhunya salam yang kamu berikan untukku akan sampai padaku dan pada hamba- hamba-Nya yang saleh dari jenisku.”

Demikian juga ketika Rasulullah bersabda tentang wudu: “Tidak sah salat seseorang kecuali dengan wudu ini.” Yang dimaksud di situ bukanlah pengkhususan. Sebab jika yang dimaksud adalah pengkhususan, maka salat manusia pasti salah, sebab syarat sahnya salat hanyalah wudunya Rasulullah saja. Makna yang benar dari hadis ini adalah bahwa orang yang wudunya tidak mengikuti cara wudu Rasulullah, maka salatnya batal. Sebagaimana ucapan: “Ini adalah sepiring buah delima.” Maksud dari ucapan ini tentu bukan “Ini hanya satu buah delima,” melainkan “Ini adalah buah delima.”

Seorang dari desa datang untuk bertamu ke rumah seseorang di kota. Orang kota itu menghidangkan manisan dan dimakan dengan lahap oleh orang desa, dan kemudian berkata:

“Wahai orang kota, siang dan malam aku selalu makan wortel. Sekarang aku bisa merasakan nikmatnya makan manisan ini, sampai kenikmatan wortel pun hilang. Setelah ini, aku tidak akan bisa menikmati manisan lagi setiap kali aku menginginkannya, dan apa yang aku miliki sudah tidak aku sukai lagi. Apa yang harus aku lakukan?”

Ketika seseorang dari desa mencicipi manisan dari sebuah kota, ia akan segera berhijrah ke kota itu. Orang kota telah menarik hati orang desa itu sehingga mau tidak mau orang desa itu akan mengejar hatinya di kota.

Ketika sebagian orang memberi salam, tercium bau rokok dari ucapan salam mereka, sementara dari sebagian lagi tercium bau kesturi. Orang yang bisa membedakan bau keduanya adalah orang yang memiliki penciuman yang kuat.

Setiap orang harus menguji temannya sehingga pada akhirnya ia tidak akan merugi. Ini adalah ketentuan Allah: “Mulailah dari dirimu sendiri.” Jika nafsu mengajak untuk beribadah, maka jangan diterima sebelum kamu mengujinya terlebih dahulu. Saat wudu, manusia terbiasa mencium air dengan hidungnya lalu mencicipinya terlebih dahulu sebab mereka tidak puas jika sekedar melihat saja. Terkadang air itu kelihatan bersih, tapi rasa dan baunya sudah berubah. Ini adalah ujian untuk memastikan kesucian air. Setelah mengujinya, baru mereka akan memakainya untuk membasuh muka. Apa pun yang kamu sembunyikan di hatimu, yang baik dan yang buruk, akan ditampakkan oleh Allah di ragamu. Apa pun rahasia yang dimakan oleh akar pohon di dalam tanah, hasilnya akan tampak di ranting dan dedaunan.

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka.” (QS. al-Fath: 29)

Dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:

“Kelak akan Kami beri tanda di belalainya.” (QS. al-Qalam: 16)

Jika setiap orang tidak ingin melihat hati nuranimu, lantas dengan warna apa kamu akan mewarnai wajahmu?

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum