Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar sebuah hadis disebut hadis Mutawatir?

Hadis Mutawatir

Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar sebuah hadis disebut hadis Mutawatir?

Suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis muṭawatîr bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini :

1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong.

Hadis muṭawatîr harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberikan dan mustahil sepakat untuk berdusta.

Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, masih berselisih mengenai jumlahnya antara lain sebagai berikut:

  • Abu al-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena di-qiyas-kan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.

  • Ashabu as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, karena meng-qiyas-kannya dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.

  • Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan dalam Alquran surat al-Anfal ayat 65 tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang pada tahan uji. Yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir 200 orang.

    Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalakan dua ratus orang musuh.

  • Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka meng-qiyas-kan dengan firman Allah:

    Ya nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu).

    Keadaan orang-orang mukmin pada waktu itu, baru 40 orang. Jumlahnya sekian itulah merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan. Jumlah rawi- rawi sebagaimana yang telah ditentukan batas minimal dan maksimalnya itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang dikemukakan untuk mempertahankan pendapatnya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok persoalannya.

  • Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis muṭ awatîr sekurang-kurangnya 5 orang. Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang.

  • Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadis muṭawatîr sebanyak 70.

Sebab persoalan yang prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmu al-dlarury. Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar meyakinkan, maka hadis tersebut sudah dapat dimasukkan hadis muṭ awatîr.

2. Adanya keseimbangan antara perawi pada tabaqat (lapisan pertama dengan tabaqat berikutnya

Jumlah perawi hadis muṭawatîr, antara tabaqat dengan tabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi’in, tidak dapat digolongan sebagai hadis muṭawatîr, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara tabaqat pertama dengan ta baqat seterusnya.

3. Berdasarkan tanggapan pancaindra

Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Dengan demikian, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis muṭawatîr.

Misalnya pewartaan orang banyak tentang kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang rusak adalah benda baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu itu benda baru. Demikian juga pewartaan para ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita muṭawatîr.