Surya, Senja yang Sekejap

Surya, Senja yang Sekejap

Bagiku, setiap nafas sanubari untuk bertarung melawan kerasnya hati. Beberapa diantara kami tetap bersikukuh dengan kebenaran perihal rasa yang bertahan. Di sisi lain, ada hati yang bersitegang melawan pikirannya sendiri untuk segera melupakan.

1 September 2019

Sebagai mahasiswa sejarah. Aku terlibat dalam kegiatan budaya yang menjadi acara tahunan di kota Cirebon. Sekitar 4-7 hari sebelum kegiatan dimulai. Kami datang untuk sekadar membantu seperti menyiapkan tempat, memisahkan baju, dan merapihkan tempat busana. Beberapa ada yang mencuci piring, dan mengelap peralatan masak. Kami senang bisa terlibat dengan semua ini. Teman kami, Surya dan keluarganya akan datang sebagai tamu undangan di kegiatan budaya ini.

Walau sebagai anak pejabat daerah, rupanya sederhana, perilakunya mengundang gelak tawa. Ketika aku sedang mencuci piring, ia menjailiku dengan membalikan ember besar ke dalam kepalaku. Konyol. Sapaan hangat kami adalah Kus dan Eydi. Sebelumnya, kami terlampau dekat tak mengikat. Kami dekat layaknya teman. Perasaanku berubah, ketika mengetahui dia sakit. Aku khawatir. Aku titipkan sebotol madu kepada rekanku untuk diberikan kepadanya. Malam harinya, harapku cemas. Kami sibuk membungkus 500 nasi lengko.

Aku menyajikan hidangan untuk tamu. Aku melihat, Surya. Dengan blangkon yang sepadan dengan bawahannya dan mengenakan baju khas berwarna hitam. Aku melihat dia sebagai sosok berbeda, berwibawa nan rupawan. Duduk bersama deretan tamu dan petinggi daerah.

Acara selesai, ia menghampiriku.

Surya:”Hai kus.”

Aku:”Eh, Eydi. Kamu sehatkan?”

Surya:”Sehat. Kuskus udah mam?”

Aku:”udah. Aku beres-beres dulu ya.”

Ia berbisik halus, kita akan berfoto setelah semuanya sudah beres.

Kaku bersandar tersingkap di balik lensa. Tiba-tiba, ia mendekap hangat bahuku.

-bahagia sesederhana itu bukan?

Dia pernah mengunjungi rumahku, menghormati ibuku dan menatap hangat obrolan secangkir kopi dengan ayahku, menggelar tikar nasi, dan melalui senja lewat seruput kerang hijau membuat candu seisi rumah tertawa. Sepanjang perjalanan Cirebon-Kuningan, adalah dialog kisah aku dan dia.

Saat perkemahan jurusan, uluran tangannya terasa kasihnya, meramu beberapa elusan hangat sebelum terlelap. Begitupun dawai asmara menelisik petikan gitar, dan semangkuk salad buah. Ataupun, bercakap basi 4 jam lewat udara. Serta, alunan syahdunya sebagai imam shalat magrib, memberi kabar bahwa senja adalah sejenak.

Lambat laun, aku adalah penjaranya. Ia narapidana asmara, diatur segala kegiatannya. Dan diawasi tingkahnya. Ketika tubuhku lara, belaiannya siap siaga menggenggam kuat lengan, dan mengelus halus kepalaku, bisikannya perlahan “kamu kuat,kus”. Dan hembusan nafasnya tak hilang, sampai tubuhku kuat. Seolah curahannya adalah seluruhnya nyata bukan semu menjaga.

Suatu hari.

Surya:”Kus, aku mau ke Pondok Mahasiswa dulu ya nanti nyusul diskusinya.”

Aku:”Mau apa?”

Surya:”Tasya minta berangkat bareng, aku mau jemput dia.”

Sambaran petir bukan? Tidak ada tamu tanpa undangan.

Setelah diskusi, ia menarik paksa sedikit tegas untuk naik motor dan pulang bersamanya.

Aku:”Aku ingin jalan. Ini hak aku.”

Surya:”Silahkan jalan. Aku ikut. Ini juga hak aku.”

Ia memapah motor, mematikan mesinnya. Mengantarku pulang, tanpa kalimat. Ia pergi menyertakan pesan singkat.

Surya: Cepat istirahat.

Penglihatanku kabur, hanya ada wajahnya yang datang bersama Tasya. Akan aku sampaikan marah serta merta kecewa pada awak. Aku tak beri kabar, ia juga ditelan tanpa kabar. Beberapa tetesan air mata berguguran selama sepekan masa penantian kepastian.

Aku putuskan sebuah pertemuan.

9 Oktober 2019

Aku menemuinya. Masuk dalam binar matanya.

Aku:”Ini gelangmu. Aku tidak peduli lagi dengan segala tentangmu. Mau solat atau engga. Aku gak butuh penjelasan apa-apa dari kamu. Sekarang aku sadar, aku bukan segalanya buat kamu. Dan hatimu untuk orang lain.”

Surya:”kamu gausah peduliin aku. Karena belum tentu yang kamu peduliin juga peduli sama kamu. Aku yakin kamu bisa. Semuanya butuh waktu.”

Tidak ada pembelaan darinya. Dialog kami berakhir. Aku memalingkan badan bersama terima kasih tanpa selamat tinggal.

Sesal yang bersemayam, ketika aku tak pernah tau makna pembiasan sikapnya. Dan dibalik Tasya. Tabirnya tertutup bungkam telingaku hingga tuli. Dan mati rasa tentang kekecewaan.

Pradugaku, dia tidak peduli. Dan aku pergi. Walau setelah ini, setiap nafasku adalah lara menatap mesra dirinya dengan yang lain. Tanpa tau, ujung akar alasan. Barangkali aku memenjarakannya, berharap padanya bahkan. Menganggap ia segalanya, tidak untuknya. Atau apapun, aku buta alasan. Seolah memaksa pikun kenangan.

Dan ia merdeka, tidak bersalah atas nama apapun, karena kami secangkir gurauan rasa, teman. Tak ada tanggung jawab melekat padanya, apabila aku punya cinta, cemburu, marah, bahkan meninggalkan dia.

Karena Surya, senja kami indah untuk sekejap. Lalu pergi, entah datang atau tidak esok nanti.

Kami pergi, bersama kebenaran masing-masing.