Surah Al Fatihah : Tafsir Ibnu Al-Qayyim

Lingkaran Ubudiyah Berputar pada Lima Belas Kaidah

Siapa yang menyempurnakannya, berarti dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan ubudiyah. Penjelasannya, bahwa ubudiyah ini dibagi atas hati, lisan dan jawarih. Atas masing masing dari tiga bagian ini ada ubudiyah yang mengkhususkannya. Sementara hukum-hukum bagi ubudiyah ada lima: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Lima hukum ini berlaku bagi masing-masing dari hati, lisan dan jawarih. Yang wajib bagi hati ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati wajibnya hati ialah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, inaabah (kembali kepada Allah), takut, berharap, pembenaran yang pasti dan niat dalam ibadah. Inilah ukuran yang ditambahkan kepada ikhlas, karena ikhlas adalah penunggalan yang disembah dan terbebas dari selain-Nya.

Niat ibadah mempunyai dua tingkatan:

  1. Membedakan ibadah dari kebiasaan.
  2. Membedakan sebagian tingkatan-tingkatan ibadah dari sebagian yang lain.

Tiga bagian di atas merupakan sesuatu yang wajib. Begitu pula yang berlaku untuk shidq (jujur). Perbedaan antara shidq dengan ikhlas, bahwa seorang hamba itu mempunyai sesuatu yang dituntut dan sesuatu yang dicari. Ikhlas adalah menunggalkan apa yang dituntut darinya, sedangkan shidq adalah menunggalkan tuntutannya.

Maksud ikhlas, hendaknya apa yang dituntut tidak terbagi-bagi. Sedangkan shidq, hendaknya tuntutan tidak terbagi-bagi. Shidq adalah mengeluarkan usaha, sedangkan ikhlas ialah menunggalkan apa yang dituntut. Umat menyepakati wajibnya amal-amal ini atas hati ditilik dari keseluruhannya.

Begitu pula pemurnian dan ketulusan dalam ibadah. Inti agama berkisar pada hal ini. Maksudnya ialah berusaha menempatkan ubudiyah pada pola yang disukai Rabbdaw yang diridhai-Nya. Dasar hal ini adalah wajib dan kesempurnaannya merupakan tingkatan muqarrabiin. Begitu pula dengan setiap hal wajib bagi hati, yang memiliki dua sisi:

  • Wajib mustahaq (yang layak dimiliki), yaitu tingkatan ashha-abul-yamiin,
  • Kesempurnaan mustahab (yang dianjurkan), yaitu tingkatan muqarrabiin.

Sabar juga wajib hukumnya menurut kesepakatan umat. Al-Imam Ahmad berkata, “Allah menyebutkan kata sabar di sembilan puluh tempat di dalam Al-Qur’an dan bahkan lebih. Sabar juga mempunyai dua sisi: Wajib mustahaq dan kesempurnaan mustahab."

Selanjutnya Ibnu Qayyim menyebutkan bagian wajib yang di- perselisihkan, hingga perkataannya: Maksudnya, hendaknya penguasa anggota tubuh, yaitu hati, melaksanakan ubudiyahnya karena Allah.

Adapun yang haram atas hati ialah: Takabur, riya’, ujub, dengki, lalai dan nifaq. Yang haram ini ada dua macam: Kufur dan kedurhakaan.

Yang kufur seperti keragu-raguan, nifaq, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam: Besar dan kecil. Yang besar ialah: Riya’, ujub, takabur, membanggakan diri, sombong, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, senang dan gembira karena orang-orang Muslim mendapat gangguan dan musibah, suka jika kekejian menyebar di tengah mereka, dengki kepada mereka karena mereka mendapat karunia dari Allah, mengharapkan lenyapnya karunia itu dari mereka.

Yang demikian ini lebih diharamkan daripada zina, minum khamr dan lain-lainnya dari dosa-dosa besar yang nyata. Tidak ada kebaikan bagi hati dan badan kecuali dengan menjauhi semua itu dan bertaubat darinya. Jika tidak, maka itu adalah hati yang rusak. Jika hati rusak, maka
badan pun ikut rusak pula.

Bencana ini terjadi karena kebodohan tentang ubudiyah hati dan meninggalkan pelaksanaannya.
Tugas iyyaaka na ’budu terhadap hati sebelum jawarih. Jika hal ini tidak diketahui dan tidak dilaksanakan, maka hati akan dipenuhi dengan kebalikannya. Ini tidak boleh tidak. Seberapa jauh pelaksanaannya, maka sejauh itu pula hati terbebas dari kebalikannya.

Masalah-masalah ini dan lainnya yang serupa merupakan dosa kecil menurut haknya. Tapi bisa menjadi dosa besar tergantung dari kekuatan dan ukurannya.

Yang juga termasuk dosa kecil ialah bernafsu terhadap hal-hal yang haram dan mengangan-angankannya. Keragaman derajat-derajat syahwat, besar dan kecilnya, tergantung pada keragaman derajat orang yang bernafsu terhadapnya. Bernafsu terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Bernafsu terhadap bid’ah adalah kefasikan. Bernafsu terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika dia meninggalkannya karena Allah padahal dia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan kedurhakaan itu, maka dia akan mendapat pahala.

Jika dia meninggalkan kedurhakaan karena memang tidak mampu mengerjakannya, yang jika dia mempunyai kemampuan tentu akan mengerjakannya, maka dia disiksa seperti siksaan yang dijatuhkan kepada orang yang mengerjakannya. Hal ini terjadi karena masing-masing memposisikan dirinya dalam hukum pahala dan siksa, meskipun tidak memposisikan dirinya pada hukum syariat. Karena itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Jika dua orang Muslim saling berhadapan sambi! menghunus pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh berada di neraka ”,

Mereka bertanya, “Ini bisa berlaku bagi pembunuh wahai Rasulullah. Lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?”

Beliau menjawab,

“Karena yang dibunuh itu pun berambisi membunuh rekannya.”

Beliau menempatkan korban pada posisi pembunuh, karena dia pun berambisi melakukan dosa tanpa keputusan hukum. Yang serupa dengan ini dalam masalah pahala dan hati cukup banyak. Dengan begitu dapat diketahui apa yang sunat dan apa yang mubah bagi hati.

Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam. Yang wajib ialah

  • Mengucapkan syahaadatain dan membaca apa yang harus dibaca dari AlQur’an, yaitu yang menjadi ukuran sahnya shalat
  • Mengucapkan dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti perintah membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud, perintah mengucapkan Rabbanaa wa lakal-hamdu setelah i’tidal, perintah tasyahud dan takbir
  • Menjawab salam. Tentang mengawalinya ada dua pendapat.
  • Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang bodoh, Menunjuki orang yang tersesat,
  • Menyampaikan kesaksian yang diperlukan dan berkata jujur.

Yang sunat bagi lisan ialah :

  • Membaca Al-Qur’an,
  • Senantiasa berdzikir,
  • Membicarakan ilmu yang bermanfaat dan segala implikasinya.

Yang haram bagi lisan ialah:

  • Segala ucapan yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, seperti ucapan bid’ah yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, mengajak kepadanya dan menganggapnya sesuatu yang baik.
  • Menuduh, mencela orang Muslim, menyakitinya dengan perkataan, perkataan dusta, kesaksian palsu,
  • Mengatakan terhadap Allah tanpa didasarkan kepada pengetahuan, dan yang terakhir ini perkataan yang paling diharamkan.

Yang makruh bagi lisan ialah :

  • Mengatakan sesuatu yang apabila ditinggalkan justru lebih baik daripada mengatakannya, meskipun tanpa ada akibat siksa yang ditanggung.

Orang-orang salaf berbeda pendapat, apakah ada perkataan mubah yang memiliki dua sisi yang sama dan berimbang? Ada dua pendapat tentang masalah ini, seperti yang disebutkan Ibnul-Mundzir dan lain-lainnya. Salah satu di antaranya, bahwa apa pun yang dikatakan seseorang tidak
lepas dari dua kemungkinan, entah merupakan pahala ataukah merupakan siksa atas dirinya. Tidak ada perkataan tanpa mendatangkan pahala atau siksa. Mereka berhujjah dengan hadits yang masyhur,

“Setiap perkataan anak Adam merupakan dosa atas dirinya dan bukan merupakan pahala baginya, kecuali jika perkataan itu merupakan dzikir kepada Allah dan yang menolongnya.”

Mereka juga berhujjah bahwa semua perkataan akan ditulis. Sementara tidak ada yang ditulis kecuali baik dan buruk. Ada satu golongan yang berpendapat, perkataan itu ada yang mubah, bukan merupakan pahala baginya dan bukan merupakan siksa atas dirinya, seperti yang berlaku dalam gerakan anggota tubuh. Menurut mereka, sebab banyak perkataan yang tidak berkait dengan perintah dan larangan, dan inilah keadaan sesuatu yang hukumnya mubah.

Yang pasti, gerakan lisan dengan perkataan tidak bisa menjadi seimbang dua sisinya, tapi ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan. Sebab lisan mempunyai keadaan yang berbeda dengan seluruh anggota tubuh lainnya. Jika anak Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuh mengerubuti lisan seraya berkata, “Bertakwalah kepada Allah, karena kami hanya bersamamu. Jika engkau lurus, maka kami pun lurus, dan jika engkau bengkok, maka kami pun bengkok.”

Mayoritas faktor yang menyebabkan muka manusia ditelungkupkan di neraka (pada hari kiamat) ialah karena akibat lisannya. Jika yang pertama kali dilontarkan lisan adalah sesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah timbangan yang berat. Jika tidak, maka itu adalah timbangan yang memberatkan.

Hal ini berbeda dengan gerakan seluruh anggota tubuh yang lainnya. Pelakunya bisa mengambil manfaat dari gerakannya dalam hal yang mubah, yang sama dua sisinya, karena dia mendapatkan dari timbangan yang berat dan manfaatnya, sehingga penggunaannya diperbolehkan untuk hal-hal yang bermanfaat baginya, sementara tidak ada yang mendatangkan mudharat baginya di akhirat.

Adapun gerakan lisan berupa perkataan yang tidak bermanfaat baginya, bisa mendatangkan mudharat. Maka perhatikanlah baik-baik masalah ini.

Jika ada yang bertanya, “Adakalanya lisan bergerak dengan suatu perkataan yang di dalamnya ada manfaat di dunia, mubah dan seimbang dua sisinya, sehingga hukum gerakannya sama dengan hukum gerakan itu. Bagaimana hal ini?”

Dapat dijawab sebagai berikut: Gerakan lisan dengan perkataan semacam itu menjadi berat timbangannya jika memang dibutuhkan. Jika tidak dibutuhkan, maka timbangannya menjadi memberatkan dan tidak bermanfaat, sehingga ia menjadi dosa atas dirinya dan bukan menjadi pahala baginya.

Jika ada yang bertanya, “Jika perbuatan bisa menjadi seimbang dua sisinya, maka lisan bisa menjadi sarana untuk itu. Sebab hukum sarana mengikuti maksud. Bagaimana hal ini?”

Dapat dijawab sebagai berikut: Tidak mesti begitu. Bisa jadi sesuatu itu hukumnya mubah dan bahkan wajib. Sementara sarananya adalah sesuatu yang makruh, seperti hukum memenuhi ketaatan yang dinadzarkan adalah wajib. Padahal sarananya, yaitu nadzar adalah makruh dan dilarang.

Begitu pula sumpah yang makruh adalah sesuatu yang memberatkan, sementara memenuhinya adalah wajib atau dengan kafarat. Begitu pula meminta kepada makhluk pada saat membutuhkan adalah sesuatu yang makruh, namun mubah baginya memanfaatkan apa yang diberikan ketika meminta.

Contoh-contoh semacam ini banyak sekali. Sarana bisa mengandung kerusakan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan, sementara apa yang menjadi tujuan dari sarana itu bukan termasuk sesuatu yang makruh atau haram.

Lima macam ubudiyah ini juga berlaku untuk jawarih, yang berarti ada dua puluh lima tingkatan. Sebab indera ada lima. Atas setiap indera ada lima macam ubudiyah.

Atas pendengaran ada kewajiban mendengarkan dan menyimak apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya, yaitu mendengarkan Islam, iman dan kewajiban-kewajibannya. Begitu pula mendengarkan Al-Qur’an dalam shalat ketika imam menyaringkan bacaannya, mendengarkan khutbah Jumat menurut pendapat yang paling kuat menurut para ulama.

Diharamkan mendengarkan suara kufur dan bid’ah, kecuali jika di sana terkandung kemaslahatan yang kuat, seperti dimaksudkan untuk membantahnya atau memberikan kesaksian yang memberatkan terhadap orang yang mengucapkannya, atau untuk menambah kekuatan iman dan As-Sunnah, dengan mengetahui kebalikannya yang berupa kufur, bid’ah dan lain-lainnya. Diharamkan pula menguping rahasia orang yang hendak menghindar darimu secara diam-diam dan dia tidak suka jika engkau mengetahuinya, selagi tidak mengandung hak Allah yang harus dilaksanakan atau menyakiti orang Muslim dan harus diperingatkannya.
Begitu pula mendengarkan suara wanita lain mahram yang dikhawatiri akan mendatangkan cobaan lewat suaranya, selagi tidak ada keperluan kepadanya, seperti untuk kesaksian, dalam muamalah, permintaan fatwa, proses pengadilan, pengobatan dan lain sebagainya. Begitu pula mendengarkan alat musik, tabuh-tabuhan dan hal-hal yang tidak berguna, seperti seruling, tambur, dan sejenisnya. Tapi dia tidak perlu menutup telinga jika mendengarkan suara-suara itu, sementara dia tidak bermaksud mendengarnya. Kecuali jika dia khawatir atas keberadaannya di tempat itu dan menyimaknya, maka dia harus meninggalkan tempat dan harus menghindari hal-hal yang bisa menyeretnya kepada hal-hal yang diperingatkan.

Serupa dengan pengharaman ini ialah larangan sengaja mencium wewangian. Jika angin membawa aromanya sehingga dia membauinya, maka dia tidak perlu menutup hidungnya. Begitu pula pandangan secara tiba-tiba, yang hukumnya bukan haram bagi yang memandang. Tapi pandangan yang kedua menjadi haram baginya jika disengaja.

Adapun pendengaran yang dianjurkan seperti mendengarkan ilmu yang memang dianjurkan, bacaan Al-Qur’an, dzikir kepada Allah dan mendengarkan apa pun yang disukai Allah, tapi hukumnya bukan fardhu.

Yang hukumnya makruh adalah kebalikannya, yaitu mendengarkan apa pun yang dibenci Allah, namun tidak ada siksa bagi pelakunya. Sedangkan yang mubah sudah jelas.

Pandangan yang wajib ialah memandang Mushaf dan kitab-kitab ilmu yang membantunya dalam mempelajari yang wajib, pandangan yang membantu pemilahan antara yang halal dari yang haram dalam hal-hal yang harus dimakan, dinafkahkan dan disimak, dalam amanat-amanat yang harus disampaikan kepada yang berhak, sehingga bisa dilakukan pemilahan, dan lain sebagainya.

Pandangan yang haram ialah memandang wanita lain mahram yang disertai syahwat dan juga tanpa syahwat kecuali jika diperlukan, seperti laki-laki pelamar yang memandang wanita yang hendak dilamarnya, orang yang menawar barang dagangan, yang bermu’amalah, pemberi kesaksian, hakim, dokter dan mahram.

Pandangan yang dianjurkan ialah memandang kitab-kitab ilmu dan agama yang menambah iman dan ilmu, memandang Mushaf, memandang wajah para ulama yang shalih dan kedua orang tua, memandang ayat-ayat Allah yang dapat disaksikan, agar dia mendapat bukti atas tauhidNya dan hikmah-Nya.

Pandangan yang makruh ialah pandangan yang berlebih-lebihan tanpa ada kemaslahatannya. Pandangan mempunyai takaran yang berlebih seperti halnya lisan. Berapa banyak pandangan yang berlebih-lebihan yang kemudian sulit untuk dihindarkan dan sulit dicarikan penyembuhnya. Sebagian orang salaf berkata, “Banyak orang yang tidak menyukai pandangan yang berlebih-lebihan, sebagaimana mereka tidak menyukai perkataan yang berlebih-lebihan.”

Pandangan yang mubah ialah memandang sesuatu yang tidak ada mudharatnya dan tidak ada pula manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Rasa yang wajib ialah mencicipi makanan dan minuman ketika terpaksa harus memakan atau meminumnya dan dikhawatirkan akan mengakibatkan kematian. Jika dia tidak memakannya hingga mengakibatkan kematian, maka dia mati dalam keadaan durhaka dan sama seperti
bunuh diri.

Al-Imam Ahmad dan Thawus berkata, “Siapa yang terpaksa memakan bangkai, namun dia tidak memakannya hingga meninggal, maka dia masuk neraka.”

Yang termasuk hukum ini ialah menelan obat yang diyakini dapat menyelamatkannya dari kebinasaan. Ini menurut pendapat yang lebih kuat. Jika disangkakan akan mendatangkan kesembuhan dengan obat itu, apakah hal ini dianjurkan dan mubah ataukah yang afdhal meninggalkannya?

Ada perbedaan pendapat tentang hal ini antara orang-orang salaf dan khalaf. Merasakan yang diharamkan ialah merasakan khamr dan racun yang bisa mematikan. Merasakan makanan yang dilarang berlaku untuk puasa wajib.

Merasakan yang makruh ialah merasakan hal-hal yang syubhat, makan melebihi kebutuhan, merasakan makanan secara langsung, yaitu makanan yang langsung dimakan pelakunya tanpa mengundangmu untuk makan, atau seperti makan makanan di perjamuan, walimah yang dimaksudkan untuk pamer. Di dalam As-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang makanan orang-orang yang berlomba-lomba.

Yang termasuk makruh ialah merasakan makanan orang yang menjamumu, karena dia merasa malu terhadap engkau dan bukan karena ketulusan hatinya.

Merasakan yang dianjurkan ialah merasakan makanan yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah menurut perkenan dari Allah, makan bersama tamu agar dia senang, memakan makanan orang yang mengundangmu.Sebagian fuqaha ada yang mewajibkan memakan makanan walimah yang memang harus dipenuhi undangannya, seperti yang diperintahkan pembawa syariat.

Merasakan yang mubah ialah merasakan sesuatu yang di dalamnya tidak ada dosa dan tidak pula mendatangkan pahala.

Penciuman yang wajib ialah yang membantu jalan untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, seperti mencium sesuatu, apakah sesuatu itu baik atau buruk, apakah sesuatu itu mengandung racun mematikan atau tidak berbahaya, atau untuk membedakan antara yang ada manfaatnya dengan yang tidak ada manfaatnya. Yang termasuk hukum ini ialah penciuman ahli penciuman ketika dibutuhkan dalam penetapan hukum.

Penciuman yang diharamkan ialah sengaja mencium wewangian ketika ihram, mencium wewangian dari hasil mencuri dan merampas, sengaja mencium wewangian dari wanita lain mahram yang bisa mendatangkan cobaan di balik perbuatan itu.

Penciuman yang dianjurkan ialah mencium sesuatu yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah dan menguatkan indera serta menyenangkan jiwa untuk ilmu dan amal. Begitu pula menghadiahkan parfum dan wewangian. Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Siapa yang ditawari Raihan, maka janganlah dia menolaknya, karena baunya harum dan ringan bawaannya.”

Penciuman yang makruh ialah mencium wewangian orang-orang yang zhalim, para pelaku syubhat dan lain sebagainya.

Penciuman yang mubah ialah mencium sesuatu yang tidak dilarang Allah dan tidak ada akibatnya, juga yang tidak ada kemaslahatan agamanya serta yang tidak ada kaitannya dengan syariat.

Adapun rabaan yang wajib ialah rabaan suami terhadap istri ketika hendak berjima’ dengannya dan budak wanita yang boleh dijima’.

Rabaan yang haram ialah meraba wanita lain mahram yang tidak halal untuk diraba dan disentuh.

Rabaan yang dianjurkan ialah rabaan yang dapat menahan pandangan mata dan mencegah dirinya dari hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan istri.

Rabaan yang makruh ialah meraba istri ketika ihram untuk mendatangkan kenikmatan. Begitu pula ketika i’tikaf dan ketika puasa, jika dia tidak menjamin keamanan dirinya. Yang termasuk rabaan yang makruh ialah meraba badan mayit bagi orang yang tidak seharusnya memandikannya, karena badannya sama dengan aurat orang hidup yang harus dihormati. Karena itu dianjurkan dibentangkan tabir agar tidak terlihat dan memandikannya dengan kain menurut salah satu pendapat. Meraba paha juga termasuk makruh, apabila kami katakan bahwa paha itu termasuk aurat. Rabaan yang mubah ialah rabaan yang tidak mengandung kerusakan dan kemaslahatan agama.

Tingkatan-tingkatan ini juga berlaku untuk gerakan tangan dan langkah kaki. Contoh-contoh lain cukup banyak.

Mencari penghidupan menurut kesanggupan untuk nafkah diri sendiri dan keluarga juga wajib. Tentang kewajiban mencari penghidupan untuk melunasi hutang diperselisihkan. Yang benar, mencari penghidupan adalah wajib, sehingga memungkinkannya melunasi hutang, dan dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat untuk itu. Tentang kewajibannya mencari harta untuk menunaikan kewajiban haji perlu dipertimbangkan. Pendapat yang kuat berdasarkan dalil ialah wajib, kalau memang itu termasuk dalam kesanggupannya dan agar memungkinkannya melaksanakan ibadah. Namun pendapat yang masyhur, hal itu tidak wajib.

Gerakan tangan yang wajib ialah menolong orang yang dalam keadaan terpaksa, melempar jumrah, mengusapnya ketika wudhu’ dan tayammum.

Gerakan tangan yang haram ialah membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh, merampas harta, memukul orang yang tidak boleh dipukul dan lain sebagainya dari berbagai jenis main-main yang diharamkan berdasarkan nash, main dadu atau yang jauh lebih diharamkan lagi menurut pendapat penduduk Madinah, seperti catur. Begitulah menurut pendapat para ahli hadits semacam Ahmad dan lain-lainnya. Begitu pula menulis bid’ah yang bertentangan dengan As-Sunnah, menyusun kitab hingga berjilid-jilid dan membuat naskah, kecuali disertai dengan bantahan dan penentangannya. Begitu pula menulis sesuatu yang palsu dan kezhaliman, hukum orang jahat, tuduhan dan dakwaan terhadap wanita-wanita lain, menulis sesuatu yang mengandungkan mudharat bagi kaum Muslimin, baik agama maupun dunianya, apalagi jika tulisan itu dimaksudkan untuk mencari uang. Firman Allah,

"Maka kecelakaan besarlah bagimereka, akibat dari apayangditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. ’’(Al-Baqarah: 79).

Begitu pula tulisan mufti tentang suatu fatwa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, kecuali jika hal itu berdasarkan ijtihadnya dan ternyata salah. Dalam hal ini dia terbebas dari dosa.

Gerakan tangan yang makruh ialah seperti main-main dan canda yang bukan termasuk diharamkan, menulis sesuatu yang tidak ada faidah dan manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Gerakan tangan yang dianjurkan ialah menulis apa pun yang bermanfaat bagi agama atau mendatangkan kemaslahatan bagi orang Muslim, berbuat bajik dengan tangannya yang dapat membantu ketrampilannya, membuat kreasi, membantu orang yang menimba air, mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya, atau menahan kendaraannya hingga orang yang dibantunya mengangkat barangnya ke atas kendaraannya, memberikan pertolongan dengan tangannya untuk siapa pun yang memerlukan dan lain sebagainya.

Yang termasuk dalam anjuran ini ialah mengusap Hajar Aswad dengan tangannya ketika thawaf. Ada dua pendapat tentang memeluknya setelah mengusapnya.

Gerakan tangan yang mubah ialah yang tidak ada mudharatnya dan tidak pula pahalanya.

Adapun jalan kaki yang wajib ialah berjalan ke shalat Jum’at dan jama’ah menurut pendapat yang paling kuat, yang didasarkan kepada lebih dari dua puluh dalil dan yang tidak disebutkan di tempat ini saja. Begitu pula berjalan mengelilingi Ka’bah saat thawaf, berjalan sendiri antara Shafa dan Marwah atau dengan ditandu, berjalan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya jika ada seruan kepadanya, berjalan untuk silaturrahim, berbakti kepada kedua orang tua, berjalan ke majlis-majlis ilmu untuk mencari dan mempelajarinya, berjalan untuk menunaikan haji jika jaraknya sudah dekat tanpa ada mudharat yang menimpanya.

Jalan kaki yang haram ialah berjalan untuk mendurhakai Allah, yang hanya dilakukan orang dari golongan syetan. Firman Allah,

“Dan, kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki. ”(Al-Isra’: 64).

Menurut Muqatil, artinya mintalah bantuan kepada mereka dengan pengerahan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki. Setiap orang yang berjalan untuk mendurhakai Allah, maka dia termasuk pasukan Iblis. Begitu pula kaitan lima hukum ini dengan berkendara.

Yang wajib dalam berkendara ialah dalam peperangan, jihad dan haji yang wajib dilakukan.

Yang dianjurkan ialah berkendara dalam hal-hal yang memang dianjurkan, mencari ilmu, silaturrahim, berbakti kepada kedua orang tua. Tentang wuquf di Arafah ada perbedaan pendapat, apakah berkendara di sana lebih afdhal ataukah dengan berjalan kaki? Yang pasti, berkendara di sana lebih baik jika terkandung kemaslahatan, seperti karena mengajarkan manasik dan mengikutinya. Hal ini lebih dapat membantu untuk berdoa dan selagi tidak mendatangkan mudharat bagi hewan yang ditunggangi.

Berkendara yang haram ialah berkendara untuk mendurhakai Allah. Yang makruh ialah berkendara untuk main-main dan yang tak ada manfaat serta kebaikannya.

Yang mubah ialah berkendara yang tidak mendatangkan manfaat dan dosa.

Inilah lima puluh tingkatan pada sepuluh bagian: Hati, lisan, pendengaran, penglihatan, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan berkendara