Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul Dari Kaummu Sendiri

Taman Surga

Seseorang bertanya: “Apa yang lebih utama daripada salat?” Salah satu jawaban yang sudah aku ungkapkan sebelumnya adalah bahwa roh-nya salat itu lebih baik daripada salat itu sendiri, seperti yang akan aku jelaskan sekarang. Jawaban yang kedua adalah bahwa iman lebih utama daripada salat, karena salat diwajibkan dalam lima waktu, sementara iman itu berkelanjutan. Salat bisa ditinggalkan karena uzur tertentu dan bisa ditangguhkan sebagai bentuk keringanan. Sebaliknya, iman tidak bisa ditinggalkan karena uzur apapun dan juga tak dapat ditangguhkan sebagai bentuk keringanan. Iman juga tetap bermanfaat meski tanpa adanya salat, sementara salat tak akan bermanfaat tanpa adanya iman, seperti salatnya orang-orang munafik. Jawaban lainnya, salat ada di setiap agama walaupun bentuknya berbeda-beda, tetapi iman tidak berubah antara satu agama dengan agama lainnya. Tindak-tanduknya, arah-arahnya, dan hal-hal lain dalam iman tak dapat tergantikan.

Ada beberapa perbedaan lain dari keimanan, tapi penemuannya bergantung pada kesadaran ruhaniah pendengarnya. Seorang pendengar itu bagaikan tepung di tangan seorang pembuat adonan, dan perkataan laksana air yang dituangkan di atas tepung itu sesuai dengan kebutuhan.

Mataku melihat pada orang lain, lalu apa yang harus aku lakukan? Lihatlah dirimu, karena cahaya matamu itu sesungguhnya adalah dirimu sendiri.

“Mataku melihat pada orang yang lain,” artinya kamu sedang mencari pendengar yang lain, selain dirimu. “Lalu apa yang harus kulakukan - cahaya matamu itu sesungguhnya adalah dirimu sendiri?” : ketahuilah bahwa kamu hanya mencari dirimu sendiri, kamu tidak akan bisa menghindari kilauan yang membutakan dari cahaya-cahaya luar sampai cahaya batinmu menjadi seratus ribu kali lebih besar.

Ada seorang lelaki yang sangat kurus, lemah, dan begitu menyedihkan seperti burung pipit. Dia begitu menyedihkan hingga orang-orang menyedihkan yang lainnya pun melihatnya dengan pandangan jijik dan bersyukur pada Allah karena sebelum melihat lelaki tersebut mereka terbiasa meratapi tubuhnya sendiri yang juga menyedihkan. Namun demikian, ia sangat kasar ketika berkata dan kerap mengatakan hal yang bukan-bukan. Suatu ketika, ia sedang berada di istana raja, tingkah lakunya sungguh mengganggu menteri; perkataannya menjatuhkan derajat sang menteri. Datanglah suatu hari di mana menteri itu murka kepadanya, ia berteriak:

“Wahai penghuni istana, kupungut makhluk ini dari tanah dan kurawat dia. Dengan memakan rotiku dan duduk di meja makanku, dengan segala kebaikanku, pemberianku, dan demi leluhurku, sekarang ia menjadi manusia. Sekarang berani sekali dia mengucapkan hal-hal itu kepadaku.”

Lelaki yang menyedihkan tadi berdiri dan kemudian berteriak:

“Wahai penguni istana, kaum bangsawan, dan para pilar negeri, semua yang dia katakan sangat benar. Aku dididik dengan kekayaannya, aku makan roti darinya dan leluhurnya, hingga aku benar-benar mati dan terbalut oleh wujud yang menyedihkan, memalukan, dan hina seperti ini. Jika saja aku dididik oleh orang lain, memakan roti orang lain, dan menerima pemberian dari orang lain itu, niscaya penampilanku, sikapku, dan nilaiku akan lebih baik dari ini. Ia memungutku dari tanah, tetapi apa yang bisa aku katakan adalah:

“Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku adalah tanah (QS. an-Naba: 40) .”

Seandainya ada orang lain yang memungutku dari tanah itu, maka aku tak akan menjadi bahan tertawaan seperti yang kalian lihat sekarang.”

Seorang murid yang dididik oleh seorang kekasih Tuhan akan memiliki jiwa yang bersih dan suci. Tetapi seorang yang dididik oleh penipu dan orang munafik, dan belajar ilmu dari mereka, maka ia akan menjadi seperti gurunya itu; memalukan, lemah, hina, menyedihkan, dan tak ada jalan keluar baginya. Pikirannya tak bisa fokus dalam segala hal, dan inderanya juga sangat lemah.

“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran).” (QS. al-Baqarah: 257)

Di dalam wujud manusia, semua jenis ilmu menyatu dalam bentuk asalnya sehingga manusia bisa menampakkan segala hal yang tersembunyi. Seperti air jernih yang mampu memperlihatkan semua yang ada di bawahnya seperti batu, tanah, dan lain sebagainya. Ia juga mampu memantulkan benda-benda yang ada di atas permukaannya seperti sebuah cermin. Itulah hakikat sejati jiwa, tanpa pengembaraan atau latihan. Akan tetapi jika air jernih itu tercampur dengan debu atau warna-warna lainnya, maka karakteristik sejati dan ilmu itu akan hilang dari air dan akan dilupakan. Oleh karena itu, Allah SWT kemudian mengutus para nabi dan wali bagaikan air jernih untuk menjernihkan air hina dan kotor yang telah terkontaminasi dengan debu dan warna-warna baru. Saat itulah manusia akan ingat bahwa seandainya ia melihat dirinya dalam keadaan jernih, ia akan yakin bahwa pada mulanya manusia itu tercipta dalam keadaan suci. Ia juga akan mengerti bahwa sebenarnya kotoran dan warna-warna lain yang ada pada diri manusia adalah sesuatu yang datang kemudian.

Dengan demikian, manusia bisa kembali mengingat keadaannya sebelum sifat-sifat baru ini datang dan berkata:

“Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” (QS. al-Baqarah: 25)

Hal ini menunjukkan pada kita bahwa kehadiran para nabi dan wali adalah untuk mengingatkan tentang kondisi kita terdahulu; mereka tidak menanamkan hal yang baru dalam diri manusia. Sekarang, semua air yang kotor mengetahui air jernih itu, sembari berkata: “Aku berasal darinya, aku termasuk jenisnya, dan telah bercampur dengannya.”

Adapun air keruh yang tak mengenali air jernih itu dan menganggapnya sebagai air lain yang tidak sejenis dengannya, ia akan lebih memilih bersemayam bersama warna-warna dan kotoran agar tidak bercampur dengan lautan. Oleh karena itu, Nabi Saw. bersabda:

“Yang saling mengenali akan saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling menjauh.”

Ini adalah bagian dari hadis yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Roh-roh adalah tentara yang berkelompok-kelompok. Yang saling mengenali akan saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling menjauh.” (HR. Bukhari)

Allah SWT juga berfirman:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri.” (QS. al-Taubah: 128)

Ini berarti bahwa air yang agung itu memiliki substansi yang sama dengan air keruh dan keduanya berasal dari satu sumber, tapi air yang pertama merupakan permata di tengah-tengah air yang kedua. Air keruh yang tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari air agung itu, maka kemungkaran dan ketidaktahuannya itu bukan disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan karena polusi dari teman yang berbuat jahat kepada air tersebut. Gambaran teman ini adalah refleksi dari air itu sendiri, sementara sang air tak tahu bahwa dirinya telah keluar dari kumpulan air agung. Apakah lautan berasal dari dirinya sendiri ataukah dari bentuk teman jahatnya ini? Hal itu disebabkan karena banyaknya percampuran. Misalnya ada seseorang yang memakan tanah, ia tidak tahu apakah yang dia lakukan itu memang merupakan sifat alaminya atau karena sesuatu yang bercampur dengan sifat alaminya itu.

Ketahuilah bahwa tiap bait puisi, tiap hadis, dan tiap ayat yang dikutip, itu seperti dua orang saksi yang memberikan kesaksian, dan di setiap tempat terdapat saksi yang sesuai dengan sifat tempat itu. Dengan cara yang sama, kita juga memiliki dua orang saksi atas harta warisan sebuah rumah, dua orang saksi atas transaksi jual beli sebuah toko, dan dua orang saksi dalam prosesi pernikahan; semua kejadian yang mereka hadiri akan memberikan kesaksian yang sesuai dengan kejadian itu. Bentuk ruhaniah kesaksian mereka itu selalu satu, tapi maknanya berbeda-beda. Semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita.

“Tidak ada seorang pun yang terluka di jalan Allah, melainkan dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma minyak misk.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum