Suka Makan Daging Ayam? Ini Satu Fakta Mengenai AGP yang Perlu Anda Ketahui

daging ayam

Produk daging unggas, khususnya daging ayam ras atau dikenal dengan nama ayam negeri atau ayam broiler sudah sangat dikenal di masyarakat.

Produk yang dijual di rumah makan cepat saji, rumah makan di berbagai tempat, hingga produk frozen di pasaran merupakan olahan dari daging ayam yang satu ini. Dalam budi daya dan pemeliharaannya, ayam ras diberi pakan komersial produksi pabrik yang mengandung aditif/bahan tambahan untuk mempercepat pertumbuhan daging, salah satunya adalah antibiotik atau disebut Antibiotic Growth Promotor (AGP). Antibiotik ini ditambahkan bukan dalam dosis sebagai obat, namun sebagai growth promotor atau pemacu pertumbuhan. Mekanismenya adalah merangsang pembentukan vitamin B kompleks dalam saluran pencernaan oleh mikrobia[1] dan membunuh bakteri jahat yang ada di dalam usus ayam[2].

Namun, penggunaan AGP secara terus menerus dapat menimbulkan efek negatif, yaitu adanya residu antibiotik di dalam daging. Konsumsi daging yang mengandung residu ini dalam jangka panjang dapat mengakibatkan resistensi mikroba terhadap antibiotik. Menurut Hari Paraton, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, 60% ayam broiler di empat wilayah peternakan di Sumatera mengandung residu antibiotik.[3] Tahun 2014 terdapat 700.000 kasus kematian/tahun akibat resistensi bakteri. Jika tidak ada kebijakan dan usaha untuk mencegah, maka diperkirakan tahun 2050 setiap tahunnya resistensi bakteri terhadap antibiotik ini dapat mengancam nyawa 10 juta orang di seluruh dunia [4].

Di Eropa, penggunaan AGP telah dihentikan sejak tahun 2006 karena risiko yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada awal tahun 2018 ini, tepatnya 1 Januari 2018, pemerintah Indonesia menyusul melakukan langkah maju, yaitu melarang penggunaan AGP. Larangan ini tertuang dalam Pasal 16 Permentan No 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Larangan tersebut mengacu pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan [5]. Tentu saja kebijakan ini tidak serta merta langsung dapat diterima oleh peternak karena walaupun telah melalui proses sosialisasi, pelarangan ini membutuhkan solusi alternatif pengganti AGP. Beberapa alternatif tambahan pakan pengganti AGP yang dapat diaplikasikan antara lain probiotik, prebiotik, acidifier, dan enzim. Zat-zat tersebut memang telah dibuktikan dalam beberapa penelitian dapat meningkatkan produksi daging tanpa efek samping.

Namun, para pelaku usaha peternakan memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan pelarangan ini. Menurut perkiraan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak, Desianto Budi Utomo, dampak akan terlihat pada kenaikan persentase kematian unggas. Dalam satu siklus hidup ayam, angka kematian biasanya 5%-6% per kandang komersial kapasitas 2.000-20.000 ekor. Menurutnya dengan pelarangan ini, kematian akan melonjak hingga 12%. Padahal, angka 5% saja menurutnya sudah tinggi karena idealnya hanya 2%[6]. Secara ekonomi, para pelaku usaha harus segera berbenah dan melakukan perhitungan ulang untuk mempertahankan profit dengan menggunakan alternatif pengganti AGP.

Bahkan biaya alternatif pengganti AGP dalam beberapa kasus bisa lebih mahal maupun lebih murah. Ferry Poernama, Senior Vice President, Head of Feed Technology and Nutrition PT Japfa Comfeed Indonesia menjelaskan bahwa penggunaan AGP sekitar 1,2 USD per ton pakan, dan bila diganti propionic acid paling tidak biayanya 2,5 USD, harus ditambah enzim 2 USD lebih. Jadi biaya yang dikeluarkan setidaknya 4 kali lipat biaya penggunaan AGP[7]. Sebaliknya, Pengusaha ternak ayam petelur di Malang, Muhammad Alfan Nurrohman, menjelaskan biaya penggunaan probiotik sebagai pengganti AGP yang dikeluarkan sekitar Rp 500 per ekor. Sedangkan untuk antibiotik Rp 1.000 per ekor.

Selain menggunakan alternatif pengganti AGP, pemerintah mengimbau kepada para pelaku dan pemerhati peternakan untuk melakukan penggunaan feed supplement yang berkualitas, penerapan Biosecurity 3 zona, peningkatan kualitas pakan, serta pemilihan Day Old chick (DOC) yang sehat dan berkualitas (Bersertifikat). Penerapan biosecurity 3 zona adalah dengan membagi sebuah peternakan ke 3 zona, yaitu zona merah atau kotor, zona kuning untuk persiapan, dan zona hijau sebagai zona bersih untuk produksi.

Sumber: