Sudahkah per-ekonomi-an Indonesia berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat?

##Luka INDONESIAKU : SO FEW HAVE SO MUCH, SO MANY HAVE SO LITTLE
oleh : dr. Gamal Albinsaid (CEO Indonesia Medika)


Kawan, dua tahun lalu ketika ada World Economic Forum, kami aktivis wirausaha sosial internasional bersama Oxfam launch World Equality Forum, kenapa? karena kekayaan 85 orang terkaya di dunia sama dengan kekayaan separuh populasi dunia. Lalu bagaimana dengan di Indonesia. Agaknya tidak jauh berbeda. Pada tahun 2008, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kakayaan 30 juta penduduk Indonesia. Tahun 2009, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 42 juta penduduk Indonesia. Tahun 2010, naik lagi, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 60 juta penduduk Indonesia. Tahun 2011 kian menyakitkan, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 77 juta penduduk Indonesia.

Tidak cukup sampai disitu, Bulan Februari 2017, hati kita semakin tersayat, bayangkan kekayaan 4 orang, bukan lagi 40 orang, saya ulangi kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia. Ya kawan, kita terus berjalan ke arah kesenjangan yang memicu ledakan sosial. Menyakitkan mengetahui bahwa di negara kita so few have so much, so many have so little. Saya yakin dan berterima kasih penuh hormat pada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang membacakan puisi “Tapi Bukan Kami Punya” yang mengingatkan kita kembali akan janji kemerdekaan yang tertuang dalam sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Luka itu semakin mengaga, tatkala kita tahu bahwa koefisien gini kita naik pesat dari 0,3 ditahun 2000 menjadi 0,42 saat ini. Yang lebih menyesakkan dada lagi, Credit Suisse mengatakan Indonesia kita sudah menjadi negara peringkat ke-4 yang memiliki kesenjangan ekonomi yang timpang setelah Rusia, India, dan Thailand. Bayangkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% aset di Indonesia. Bank Dunia juga angkat bicara, pertumbuhan ekonomi selama 1 dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang terkaya, sementara 80% sisanya tertinggal di belakang. Apa akibatnya, 61 persen masyarakat kita memilih menerima pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang. Lalu saya bertanya, dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?

Kesenjangan yang ada di negeri kita tidak boleh dilihat hanya soal angka, tapi itu soal luka. Luka yang harus kita ingat dan rasakan bersama. Pemerintah boleh berbangga mengatakan angka kemiskinan kita turun menjadi 10,9% masyarakat miskin atau sekitar 28 juta penduduk dan menargetkan menjadi 9-10% pada tahun ini. Tapi jika garis kemiskinan kita hanya Rp 354.386, maka saya yakin bahwa banyak orang-orang miskin yang tidak diakui miskin.

Kawan, wirausaha tidak cukup untuk menyelesaikan berbagi masalah di negeri kita. Kita butuh Wirausaha sosial, orang – orang yang bukan hanya berfikir tentang uang di tangan, tapi juga berfikir tentang kebaikan, kebermanfaatan, dan kepedulian. Kita butuh orang-orang yang bukan hanya berfikir “How to make money”, tapi mereka juga berfikir “How to solve social problems”. Sudah 2 tahun terakhir saya berkeliling Indonesia memperkenalkan tentang konsep wirausaha sosial dan mengajak sebanyak mungkin pemuda menjadi wirausaha sosial. Saya yakin tanpa wirausaha sosial pertumbuhan ekonomi kita tidak akan berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan bangsa kita. Kawan, keluarlah sejenak dari kantor atau tempat keja kita, sejenak singgahlah di kampung-kampung yang sempit sesak dan penuh dengan kemiskinan. Rasakan cobaan dan penderitaan mereka, mencobalah sedikit berempati. The great gift of human beings is that we have the power of empathy.

Tapi marilah kita tatap masa depan bangsa ini dengan penuh optimisme. Sudahlah, selesaikan dan kita tutup rapat-rapat soal perbedaan dan perselisihan. Hari ini saya yakin, Indonesia sedang memasuki era baru dimana nilai-nilai penghormatan bukan hanya diberikan kepada mereka yang punya kesejahteraan finansial, tapi kepada mereka yang punya ide, gagasan, dan kepedulian. Jadilah wirausaha negarawan yang bekerja untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa dengan dompetnya sendiri.

Pekan ini, kita memperingati Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 2017. Jangan jadikan Pancasila pemanis lisan, tapi cobalah rasakan dan amalkan. Mari kita bangun Persatuan Indonesia untuk mencapai Keadilan Sosial.

Jangan ada lagi seseorang ayah yang pulang ke rumahnya dengan penuh rasa bersalah karena tak mampu membawa makan untuk anak-anaknya… Jangan ada lagi seorang Ibu yang harus memohon belas kasih di rumah sakit agar sang anak bisa mendapatkan pengobatan… Jangan ada lagi seorang anak yang tak mampu mengangkat kepala dan dadanya di kelas karena tak mampu membayar biaya sekolah…

Kesenjangan ekonomi, biasa dikenal dengan istilah kesenjangan pendapatan, kesenjangan kekayaan, dan jurang antara kaya dan miskin, mengacu pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam kelompok, kelompok dalam populasi, atau antarnegara. Para ekonom umumnya mengakui tiga ukuran kesenjangan ekonomi: kekayaan, pendapatan, dan konsumsi.

Persoalan kesenjangan ekonomi mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan kesempatan.

Saat ini kondisi kesenjangan ekonomi bagi masyarakat di Indonesia memang sudah sangat memprihatinkan. Peringkat ke-4 terbawah harusnya sudah membuat pemerintah berpikir keras untuk memikirkan bagaimana strategi dan taktik yang paling tepat mengatasi hal tersebut. Bekerja keras saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Satu-satunya target yang harus ditetapkan pemerintah adalah dengan meningkatkan pendapatan dan kekayaan bagi masyarakat dibawah kemiskinan. Bukan menurunkan pendapatan dan kekayaan masyarakatnya yang sudah kaya. Kesetimbangan dapat dicapai dengan cara menaikkan atau menurunkan salah satu entitas yang ada bukan ?

Kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa, Kota dengan Desa, Masyarakat terdidik dan tidak terdidik merupakan Pekerjaan Rumah yang sangat susah dikerjakan. Pemikiran-pemikiran jenius saja tidak cukup untuk menyelesaikannya. Selain ke-jenius-an seorang pemimpin juga sangat dibutuhkan ke-arif dan ke-bijaksana-an pemimpin.

Masyarakat bukanlah komoditas yang dapat diperjual-belikan ataupun diperlakukan tanpa hati.

1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional.

Sebuah data statistik yang dapat mengharubirukan perasaan masyarakat Indonesia. Data diatas menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia masih “terjajah”. Kalau sebelum 1945 masyarakat kita dijajah oleh perusahaan VOC, saat ini masyarakat kita “dijajah” oleh perusahaan “segelintir masyarakat kita sendiri”

Sudahkah per-ekonomi-an Indonesia sudah berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia ?Tentu saja tidak.

Ulasan dari indonesia-investments dengan judul Kemiskinan di Indonesia sangat menarik untuk dicermati, betapa data-data ekonomi yang ada di Indonesia begitu menyedihkan, terutama dipandang dari Sila ke 5 Pancasila.

Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja.

Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.

Tabel Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia

¹ Maret 2016 Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.

Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.

Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9 persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

###Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis

Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur Indonesia).

Tabel Propinsi dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi

¹ Maret 2016 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.

Tabel Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi

¹ Maret 2016 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

¹ Maret 2016 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

###Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa

Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia tinggal di daerah perkotaan).

Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan 2015 membatasi penurunan tersebut.

Tabel Statistik Kemiskinan Pedesaan di Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena slowdown perekonomian Indonesian.

Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan membatasi defisit transaksi berjalan).

Tabel Statistik Kemiskinan Perkotaan di Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)