Studi Ilmiah Apa Saja yang Membahas tentang Religi dan Kultur dalam Antropologi?


Religi dan kultur dalam studi antropologi memiliki ikatan dalam mempelajarinya.

Studi ilmiah apa saja yang membahas tentang hal ini?

Zaman Pencerahan memiliki gagasan dasarnya sendiri tentang religi, gagasan yang lebih banyak merupakan hasil renungan falsafi daripada hasil penyelidikan ilmiah atau penyelidikan empiris. Namun renungan falsafi yang menganggap tidak perlu mengadakan penyelidikan empiris. Untuk memperluas pengetahuan empiris, baik untuk melihat gagasannya sendiri dibenarkan, maupun untuk menguji kebenarannya. Menguji kebenaran menurut sifatnya adalah sikap ilmiah yang paling tepat. Lalu apa gagasan itu?

Pada pokoknya dua. Yang pertama ialah, bahwa religi adalah bagian hidup kesusilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi. Gagasan itu diuraikan secara tuntas antara lain dalam filsafat Kant. Religi mewakili nilai-nilai dan bukan mewakili suatu sistem ilmu pengetahuan. Nilai-nilai itulah yang terpenting; apa yang dinamakan kebenaran-kebenaran kepercayaan, yang diributi oleh dogmatik, menjadi persoalan kedua. Dalam sftuasi ini cocoklah pikiran tentang sama nilainya semua religi, seperti yang diungkapkan dalam sandiwara Nathan der Weise (1779) oleh Lessing di mana agama Kristen, agama Yahudi, dan agama Islam digambarkan sebagai tiga cincin yang serupa dan sebentuk, yang tidak dapat dibedakan yang satu dari yang lainnya.

Pikiran utama kedua ialah, bahwa religi adalah masalah yang tergolong dalam alam manusia. Adanya religi alamiah (menurut ungkapan ringkas dan tajam oleh Diderot, ahli ensiklopedi radikal) di antara religi-religi yang diwahyukan, hanya merupakan bid’ah belaka. Sekali lagi ungkapan ini membuktikan, betapa kuatnya kepercayaan orang waktu itu pada alam. Tetapi juga ternyata bahwa ungkapan tersebut tidaklah begitu radikal, seperti yang diduga oleh kaun ortodoks ketika itu. Sebab yang dikemukakan adalah bahwa religi ilmiah itu ditandai oleh tiga kebenaran utama: percaya bahwa Tuhan itu ada, percaya pada hukum kesusilaan alamiah, dan pada roh yang abadi. Seorang radikal yang tidak percaya (menurut pendapat waktu itu) seperti Goethe (1749—1832) yakin sungguh-sungguh akan kebenaran tersebut. Kalau hal ini dibandingkan dengan syak wasangka keagamaan di zaman ini, pada waktu itu orang lebih dekat pada agama Kristen daripada orang-orang yang skeptis pada hari ini. Tetapi hal yang baru (dan dengannya orang benar-benar sudah jauh dari ortodoksi) ialah keyakinan, bahwa religi tidak berakar dalam wahyu, akan tetapi dalam manusia itu sendiri, yaitu dalam rasio, yang secara menyolok diungkapkan dalam Revolusi Prancis melalui sebuah patung untuk dewi rasio.

Pembuatan patung itu kemudian tidak banyak artinya; tidak lama sesudah itu patung itu dilupakan orang. Yang lebih penting ialah masalahnya sendiri. Masalah itu sendiri berarti bahwa sumber religi itu harus dicari dalam diri manusia dan tidak lagi dalam tindakan Tuhan. Hal itu membuka kemungkinan untuk mengamat-amati dengan sungguh-sungguh kepada hal-hal yang diperbuat dan dipercaya oleh manusia. Upaya pertama untuk itu terdapat dalam buku kecil yang terbit dalam tahun 1760 oleh Charles de Brosses berjudul Du Culte des Dieux fetiches (Tentang Pemujaan Berhaia/Fetisy) dan memuat anak-judul yang aneh dan patut diperhatikan: Of de overeenkomst tussen de oude Religi van Egypte en de tegenwoordige Religi van Negritie (kata terakhir itu dapat diterjemahkan dengan baik sekali dengan kata “negeri orang-orang Negro”; bagaimanapun juga ada hubungannya dengan Afrika- Barat).

Sumber-sumber yang digunakan de Brosses untuk Mesir adalah buku-buku klasik Herodotus, Strabo, dan lain-lain. (Batu Rosette masih harus ditemukan dalam tahun 1760.) Untuk Afrika Barat de Brosses dapat menggunakan kisah-kisah perjalanan di pantai Guinee, seperti karya Atkins, Bosman dan Des Marhais, sumber-sumber yang tidak perlu dianggap terlalu penting. Untuk perbandingan sepintas lalu dengan bangsa-bangsa lain ia memiliki petunjuk yang agak lebih baik dalam pemberitaan Lafitau tentang orang-orang Irokes di Amerika-Utara dan kumpulan kisah-kisah perjalanan menjelajahi Siberia, sebuah karya berjilid empat yang sering dikutip dalam etnologi lama. Karya itu terkenal dengan judul Recueil des Voyages au Nord (Kumpulan Perjalanan ke Utara).

Fetisyisme diartikan oleh De Brosses sebagai pemujaan pada binatang atau barangbarang tak bernyawa yang dijadikan dewa. Penggunaan kata itu diambilnya dari Afrika Barat. Di Afrika Barat kata itu dimasukkan oleh orang-orang Portugis untuk menunjukkan kepercayaan pada kekuatan benda-benda yang dibuat oleh ahli-ahli khusus tertentu. Feitico atau azimat, demikianlah benda-benda itu dinamakan oleh orang-orang Portugis. Nama itu mengingatkan pada azimat-azimat, uang-uang logam, serta arca-arca suci, yang memberikan perlindungan dan yang biasa dipakai oleh para pelaut di badan mereka untuk mencegah kecelakaan. Tetapi de Brosses tidak mengetahui hal ini; dan ia memberikan asal kata yang sama sekali keliru. Menurut de Brosses, fetisy adalah benda apa saja yang dipilih seseorang dan kemudian disucikan oleh seorang imam. Barang itu bisa berupa apa saja; sepotong kayu atau batu kerikil, kerang atau ekor singa, tanaman atau binatang, dan bahkan pohon, gunung, atau lautan. Fetisy, demikian de Brosses, adalah dewa, sekaligus azimat, juga benda keramat, yang dijunjung-junjung dalam arak-arakan, disembah dan digunakan sebagai sarana untuk peramalan. Sebagai contoh antara lain diberikan kasus yang sangat tidak bisa dipercaya tentang pemujaan ular di Guinea dengan seekor ular-purba yang dilayani oleh gadis-gadis dan para imam perempuan yang dibaktikan kepadanya.

Fetisyisme itu diluaskannya sampai kepada semua bentuk agama, yang dapat diketahuinya. Sapi, kucing, dan ibis yang dianggap suci oleh orang-orang Mesir tentu saja dimasukkan ke dalamnya, dan tanpa ragu-ragu dan cerdik ia menyusun suatu teori asal-usul. Ketika lembah Nil masih berhutan, dan penduduk yang masih sedikit jumlahnya itu hidup dalam masyarakat-masyarakat kecil yang terpencilpencil, demikian teori asal-usul itu, setiap kelompok setempat memiliki fetisy kelompoknya sendiri, yang dianggap suci dan tidak boleh dimakan. Lebih dari satu setengah abad cerita-cerita asal-usul yang penuh fantasi semacam itu, terpakai dalam ilmu pengetahuan keagamaan, seperti juga alasan-alasan yang dikemukakan untuk menopang cerita-cerita itu: jiwa yang tidak berkembang dan tidak beradab dari orang-orang liar itu menghalangi mereka ini untuk melihat hubungan yang tepat antara sebab dan akibat. Orang-orang liar ini seperti kanak-kanak; mereka itu hidup dalam masa kekanak-kanakan yang tidak ada henti-hentinya dan jiwanya tidak akan bisa mencapai kedewasaan lebih tua dari empat tahun! Sama saja dengan anak-anak yang menganggap boneka-boneka mereka bernyawa dan mereka bertindak sesuai dengan anggapan itu. Ketakutanlah yang menjadi asal fetisyisme itu, yang menurut anggapannya selain di Mesir, juga terdapat dalam manitou (kata ini bisa berarti Tuhan atau roh atau mana) bangsa Irokes dan dalam gagasan kepercayaan bangsabangsa Asia. Dan tanpa disadarinya sampailah de Brosses pada suatu titik yang mengherankan jauhnya dari kenyataan.

Barulah setelah berabad-abad lamanya kebiadaban ini berlangsung, demikian de Brosses, jangka waktu yang luar biasa lamanya karena konservatisme masyarakatmasyarakat itu, timbullah wawasan yang lebih baik; dan titik tolaknya adalah, bahwa setiap bangsa, juga bangsa yang sudah beradab, sadar akan kekuasaan yang lebih tinggi, karena kelemahan manusiawi memang terasa pada setiap orang. Emosi dan perasaan, yang diciptakan oleh kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi itu, jumlahnya ada empat: takut, takjub, rasa syukur, dan masuk akal. Rasa syukur dan masuk akal hanya terungkap dalam peradaban yang tinggi. Bangsa-bangsa liar hanya kenal takut dan takjub, dan dari kedua itu pada de Brosses hanya takutlah yang nampak jelas menjadi sumber religi. Kejadian-kejadian luar biasa, malapetaka, penyakit, dan peperangan membuat manusia yang ketakutan itu mempribadikan sebab-sebabnya serta membayangkannya sebagai fetisy dan berdoa kepadanya; kemudian para ahli sulap menggunakan kepercayaan ini untuk mendapatkan nafkah dengan memperluas kesempatan yang mereka peroleh itu menjadi suatu sistem. Mengenai takjub sebagai sumber religi oleh de Brosses tidak banyak digarap. Ia hanya menetapkan bahwa dari takjub timbul penyembahan pada benda-benda angkasa atau sabeisme, nama yang sekarang tidak lagi digunakan.

Semuanya sudah terdapat dalam bentuk benih pada sejumlah teori di kemudian hari. Keyakinan akan perkembangan yang terus-menerus, jiwa kekanak-kanakan pada bangsa-bangsa liar, ketakutan sebagai sumber religi, itulah tema-tema yang selama lebih dari 150 tahun selalu ditonjolkan ke depan. Bahkan tipuan imam sudah terdapat pada de Brosses sebagai penjelasan tambahan. Yang utama yang berperan sebagai pendahuluan dalam diskusi mengenai rasa takut dan takjub di atas pertimbangan yang masuk akal sebagai dasar timbulnya religi, kelak diadakan pada permulaan abad ini antara lain oleh Marett dan pengikut-pengikut aliran klasik. Memang suatu debat yang benar-benar ilmiah. Pemikiran de Brosses tidak banyak sangkut-pautnya dengan ilmu; pemikiran tersebut hanya semata-mata teori yang dengan acuh tak acuh menerapkan istilah fetisy jauh menyimpang dari kenyataan.