Status Hukum Orang Tidak Waras?

Ada kasus penganiayaan di mana korbannya mempunyai sakit jiwa. Apakah pelakunya dapat dihukum dan bagaimanakah dengan korban tersebut apakah dapat dijadikan saksi?

Menurut pasal 145 Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR),
sebagai saksi tidak dapat didengar :

  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
  2. Istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
  3. Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya 15 tahun;
  4. Orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.

Jadi, orang yang gila (sakit jiwa) tidak dapat dijadikan saksi. Akan tetapi, mereka boleh diperiksa untuk diambil keterangannya tanpa disumpah. Hal ini diatur dalam pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mengenai apakah pelakunya dapat dihukum atau tidak, selama ia terbukti bersalah, tentu ia dapat dihukum. Jadi, masalahnya terletak pada pembuktiannya.

Dalam pasal 183 KUHAP, diatur bahwa hakim menjatuhkan pidana
atas dasar sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah selanjutnya diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Jadi, selama ada alat bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa pelaku telah melakukan penganiayaan tersebut, maka pelaku tersebut dapat dipidana.

Referensi

hukumonline.com

Dalam hukum pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang perbuatan tersebut mengganggu tata tertib masyarakat dan perbuatan tersebut dicela maka, si pelaku dapat dipidana. Tidak penting apakah pelaku tersebut gila atau tidak. Dengan mempertimbangkan kondisi mental dan kejiwaan pelaku yang dilakukan dengan kesadaran atau tanpa kesadaran. Oleh karena itu kondisi mental dan kejiwaan pelaku juga dinilai.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tolak ukur apakah seseorang dapat dipidana atau tidak melakukan perbuatan melawan hukum yang dimiliki. Serta dilihat dari ada tidaknya kesalahan yang dilakukan seseorang dan dapat atau tidaknya seseorang dimintai tanggungjawab pidananya.

Dalam teori hukum sendiri ada 3 indikator yaitu :

  1. Seseorang yang melakukan tindak pidana
    mampu memahami secara sungguh-sungguh
    akibat dari perbuatannya.
  2. Yang relevan mampu tanpa disengaja bahwa
    perbuatan itu bertentangan dengan
    masyarakat.
  3. Mampu untuk menentukan kehendak berbuat.
    Ketiga unsur tersebut akan dinilai pada diri seseorang yang melakukan tindak pidana sehingga bisa atau tidak dipidana.

Diatur didalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu :

  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit tidak terhukum.
  2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat diperuntukan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat mendorong agar orang dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai percobaan.
  3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.