[Sosial dan Budaya] *Apa Salahku?* #DictioIsUs #SpeakingUpwithDictio

Marni namanya, dia adalah wanita cantik berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya bekerja sebagai buruh pabrik dan serabutan, dan mereka tinggal di desa terpencil. Parasnya yang cantik membuat para lelaki jatuh hati padanya. Tak jarang setiap kali Marni berjalan mereka selalu menggoda, bahkan mereka berani pada saat orang tua Marni ada di sampingnya. Bukanya tak peduli, apalah daya orang tua Marni hanyalah buruh pabrik dengan upah yang tidak seberapa, untuk berbicara sepatah katapun mereka tak berani. Desa tempat tinggal Marni masih di bawah bayangan ketakutan oleh kaum berduit, dengan berkedok rentenir mereka bisa berbuat apa saja jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Warga disana bukannya tak berani, sudah beribu usaha yang mereka lakukan demi terbebas dari jelaratn rentenir, aparat pun seakan bungkam oleh segepok rupiah. Seringkali Marni mendapatkan perlakukan tidak mengenakan dari anak rentenir, sebut saja Dani, anak rentenir yang merasa paling berkuasa di desa tersebut. Selain dia, tak ada lelaki lain yang boleh mendekati Marni.

Untuk membantu keluarganya Marni harus bekerja keras dari pagi hingga sore, mengumpulkan rupiah demi kehidupan esok hari. Saat itu orang tua Marni pulang duluan, Marni masih ingin bekerjaan hingga malam, tujuan hanya satu, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar keluarganya bisa makan dengan lahap. Tak disangka mimpi buruk terjadi. Tak biasanya Marni pulang kerja hingga larut malam, hawa dingin mulai menusuki tubuhnya. Jalanan terlihat sepi, rasa takut pun mulai menghampirinya. Di pinggir jalan terlihat 3 orang pria yang menunggu di sebuah bangunan yang gelap, mereka seakan menunggu kedatangan Marni. Lelaki itu pun menghampiri Marni dengan mengucapkan kalimat-kalimat kotor. Marni yang kala itu hanya seorang diri berusaha tidak mempedulikan dan segera berjalan cepat. Tak disangka mereka mengejar Marni dan langsung menculiknya. Marni dibawa ke bangunan tua yang gelap, dimana dia dilecehkan, disiksa, dan dihina. Tak sampai disitu, Marni dijadikan bahan giliran untuk memuaskan napsu bejad ketiga orang itu, hingga akhirnya Ia menyuruh agar ketiga orang itu langsung membunuhnya. Selama di tempat itu, Ia hanya bisa membayangkan senyuman kedua orang tuanya ketika mereka bersama, walaupun dengan uang yang tak seberapa mereka bersyukur bisa makan bersama, hal itu mungkin tak akan pernah Marni rasakan lagi, sambil menangis Marni mencoba mencari jalan keluar sambil menyeret badannya sendiri agar bisa bebas. Ada sebuah jendela yang tebuka, dari situ Marni mencoba memanjat, namun Ia tak sengaja membuat jendela itu bersuara sehingga ketiga lelaki itu mendengarkannya. Mendengar suara itu, mereka tak segan menyiksanya kembali hingga Marni pun tak kuat lagi. Tendangan dari lelaki itu membuat tulang rusuknya patah dan mengalami pendarahan. Jasad Marni akhirya di buang tak jauh dari lokasi penyiksaan.

Tak ada yang tahu nasib Mirna malam itu, hingga 3 hari kemudian Ia ditemukan tewas mengenaskan di pinggir jalan. Luka yang memenuhi tubuhnya menjawab sudah kegelisahan orang tuanya selama ini. Polisi yang menyelidiki pun mengungkapkan bahwa Marni telah mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual oleh salah satu warga setempat. Tak terima anaknya tewas mengenaskan, orang tua Marni menuntut siapapun yang telah berbuat keji terhadap anaknya, orang tua Marni meminta agar pelakunya segera ditemukan dan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Akhirnya setelah seminggu menjadi buron, salah satu pelaku menyerahkan diri ke polisi, dari situ dalang utama dibalik tewasnya Marni tak lain dan tak bukan adalah Dani, anak rentenir yang ditakuti warga. Alih-alih mengungkapkan siapa penjahatnya, polisi malah bungkam dan seakan tak peduli, masyarakat curiga bahwa ada persekongkolan antara polisi dengan pelaku. Pelaku malah dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dengan alasan pelaku tak sengaja melakukannya karena mabuk. Orang tua marni yang mendengarkan hal tersebut merasa hancur, anak yang menjadi tumpuan hidup keluarga telah tiada, hati mereka sakit, warga yang mendengarkannya pun geram dengan tingkah laku aparat yang seakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Warga pun tak tinggal diam, mereka membantu keluarga Marni untuk memperjuangkan keadilan, mereka bersatu mengumpulkan tenaga dan mereka juga ingin terbebas dari jeratan rentenir di desa mereka. Mereka berkata bahwa “sesungguhnya yang harus diperjuangkan adalah kami, walaupun kami miskin tapi kami adalah warga asli yang mendiami desa ini, ini adalah tanah nenek moyang kita, sedangkan mereka hanyalah pendatang”. Mendengarkan hal itu bupati setempat langsung bertindak dan membantu mencari bukti yang kuat agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan ditemani oleh pengacara dan tim intel, akhirnya bupati tersebut bisa menyeret pelakunya. Polisi mengungkapkan motif pelaku adalah karena cintanya selalu ditolak oleh Marni. Dani yang menjadi dalang utama dibalik kejadian ini mendapatkan hukuman mati, sedangkan rekan yang lainnya yang membantu aksinya di hukum seumur hidup, orang tua Dani yang menjadi rentenir pun diusir dan mempertanggung jawabkan perbuatannya di jeruji besi, orang-orang yang dianggap telah menindas rakyat kecil pun diberi sanksi yang sama, sementara aparat yang terlibat yang dianggap menerima suap dipecat dari kesatuan dan terancam hukuman 20 tahun penjara. Desa itu pun terbebas dari bayang-bayang rentenir yang berkuasa, sementara orang tua Marni harus menerima kenyataan bahwa putri kesayangannya telah tiada. Bupati itu pun berjanji bahwa tidak akan ada lagi ketidakadilan yang menimpa warganya, kaum wanita jadi lebih dihargai dan dilindungi, tidak ada lagi penguasa, tidak ada lagi penyuapan. Diharapkan tidak ada lagi desa lain yang terdapat kasus seperti itu dan diharapkan kehidupan desa akan lebih tentram lagi.

Cerita diatas terinspirasi dari kasus kematian wanita canti asal Jepang yang bernama Junko Furuta yang terjadi pada akhir tahun1980-an. Gadis cantik ini tewas ditangan seorang remaja yang merupakan anggota dari geng Yakuza, geng yang paling ditakuti di dnia. Gadis SMA itu ditemukan tewas terbungkus di drum beton yang berisi 208 liter semen. Selain itu, cerita ini juga terinspirasi dari Marsinah yang merupakan seorang aktivis dan buruh pabrik yang tewas setelah Ia melakukan aksi protes terhadap ketidakadilan upah yang diberikan oleh perusahaan tempat Marsinah bekerja.

Poster dan cerita ini keduanya mengisakhan bahwa masih banyak wanita yang diperlakukan tidak adil, mereka dihina dan dilecehkan. Tak hanya wanita, kaum kecil juga sering diperlakukan tidak adil. Hal ini masih sering terjadi di Indonesia, dimana orang yang seharusnya mendapat keadilan hany bisa menggigit jari. Ketika kaum atas bisa menikmati indahnya hidup dengan penuh perlindungan sementara kaum kecil masih dibayang-bayangi rasa takut. Keadilan bukan suatu hak yang bisa dibeli, namun keadilan adalah suatu hal yang perlu diperjuangkan, semua orang berhak mendapatkan keadilan dan merasa hidup aman. Begitu pula dengan wanita, paras cantik bukan berarti pancingan, paras cantik bukan berarti harus dimiliki, paras cantik adalah anugerah, wanita adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, wanita merupakan hadiah sebagai wujud dari ciptaan Tuhan, bukan untuk dirusak oleh orang yang tak bertanggung jawab. Belajar dari 2 kejadian tersebut, seharusnya bisa dijadikan pelajaran, khususnya pemerintah dan aparat. Mereka yang berseragam dihormati bukan karena ditakuti, melainkan karena rasa kasih sayang dan kepercayaan.

#DictioIsUs
#SpeakingUpwithDictio

1 Like