Sebelum saya membahas terkait hubungan antara kebangkitan inovasi dengan sistem pendidikan Tinggi, saya ingin menceritakan terkait latar belakang mengapa kebangkitan inovasi harus dimulai dari perbaikan Sistem Pendidikan di Indonesia, terutama dari Pendidikan Tinggi, yang tentunya juga harus didukung oleh Pendidikan Menengah dan Pendidikan Dasar.
Mengutip data dari Tulisan Prof Badri, yang dimuat di Jawa Pos, dengan Judul Kebangkitan Inovasi Indonesia, bahwa berdasarkan dari laporan World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 50 (2019), turun 5 peringkat dibandingkan tahun 2018, dimana indikator kapabilitas Inovasi berada pada peringkat 74 (2019), turun 6 peringkat (#68 di tahun 2018).
Salah satu variabel yang mempunyai peranan dalam kebangkitan Inovasi adalah besaran dana riset, dimana Indonesia merupakan negara dengan alokasi dana riset terkecil di ASEAN, yaitu sebesar 0,1%.
Tabel 1. Perbandingan alokasi dana riset di ASEAN Sumber : CNBC
Salah satu penyebab kecilnya dana riset di Indonesia adalah kecilnya kontribusi sektor swasta, dimana pada tahun 2020, menurut Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyakan bahwa pihak swasta “hanya” menyumbang 8 persen. Bandingkan dengan negara-negara maju, dimana penyumbang terbesar dana riset adalah pihak swasta.
Tabel 2. Perbandingan kontribusi swasta dan rasio PDB negara-negara maju Sumber : CNBN
Dari data diatas terlihat bahwa angka 8 persen terlihat sangat kecil apabila dibandingkan dengan kontribusi pihak swasta di negara maju.
Mengapa kontribusi swasta begitu kecil ?
Karena industri di Indonesia masih sedikit yang model bisnisnya membutuhkan dana riset yang besar dalam pengembangan produknya. Sebagai contoh, industri di bidang telekomunikasi masih didominasi oleh sektor jasa telekomunikasi, dimana perusahaan-perusahaan tersebut lebih fokus pada jasa layanannya. Bisa jadi alat-alat telekomunikasi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah produksi Luar Negeri, dimana untuk mengembangkan alat-alat telekomunkasi tersebut membutuhkan dana riset yang jauh lebih besar dibandingkan dana riset yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk jasa layanan.
Sebagi pertimbangan, dalam acara talk show yang disiarkan oleh salah satu televisi di Indonesia beberapa tahun yang lalu, salah satu pimpinan perusahaan besar di bidang otomotif Indonesia, menjawab sebuah pertanyaan, “Mengapa perusahaan sebesar perusahaan Anda tidak membuat produk mobil sendiri, tetapi lebih memilih fokus pada penjualan mobil ?” (kurang lebih) sebagai berikut,
“Untuk membuat mobil dibutuhkan biaya yang sangat besar. Ambil contoh, produsen mobil sekelas Toyota. Mereka mempunyai pegawai khusus di bidang Research and Development sebanyak 2000 orang lebih dengan kualifikasi lulusan Doktor. Kita anggap gaji mereka 20 juta/bulan (kenyataannya pasti jauh lebih besar), maka dalam satu bulan dibutuhkan biaya sebesar 40 Milyar hanya untuk menggaji mereka. Dalam satu tahun dibutuhkan 480 Milyar rupiah hanya untuk menggaji mereka, belum biaya yang dibutuhkan terkait fasilitas-fasilitas pendukung research tersebut (seperti alat laboratorium, gedung, listrik dan lain sebagainya). Biaya sebesar itu, hasilnya hanyalah sebuah prototype mobil, dimana untuk memproduksinya membutuhkan biaya yang jauh lebih besar lagi. Lalu bagaimana dengan risiko apabila produk yang dihasilkan tidak laku dijual ? Atau yang lebih parah lagi, produk yang dihasilkan adalah produk yang gagal ? Sekelas Toyota, yang mempunyai pengalaman membuat mobil puluhan tahunpun dan didukung tenaga ahli sebegitu banyak, masih bisa menghasilkan produk yang gagal. Itulah alasan kami lebih fokus pada bisnis penjualan mobil dibandingkan membuat mobil sendiri.”
Pernyataan diatas sangat logis bagi dunia bisnis, mengingat sebuah perusahaan pasti memikirkan manajemen risiko-nya dalam setiap pengambilan keputusan strategis.
Sebuah Studi Kasus
Sebagai gambaran nyata, berikut adalah dana riset yang dikeluarkan oleh pabrikan mobil VW.
Gambar 1. Grafik pengeluaran dana riset perusahaan VolksWagen. Sumber : Statista
Pada tahun 2019 saja, VW mengeluarkan dana riset sebesar 14,3 Milyar Euro, jauh lebih besar dibandingkan dana riset Indonesia yang sebesar 2,13 Milyar US Dollar. Dana sebesar 14,3 Milyar Euro tersebut menghasilkan 7600 paten yang didaftarkan atas nama VW pada tahun 2019, dimana paten tersebut kebanyakan berada pada bidang driver assistance systems and automation, lightweight construction, connectivity, dan alternative drive systems. Dana riset Indonesia hanya sekitar 16% dana riset 1 perusahaan.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, dalam persaingan pembuatan mobil listrik, dikutip dari Bloomberg, VW mengumumkan bahwa perusahaannya mengalokasikan dana riset khusus sebesar 60 Milyar Euro hingga tahun 2024, atau dengan kata lain, 12 Milyar Euro per tahun, hanya untuk penelitian di bidang hybridization, electric mobility dan digitalization.
Kita bisa membayangkan, dana sebesar 2,13 Milyar Dollar, yang oleh Indonesia digunakan untuk penelitian di berbagai bidang, dibandingkan 12 Milyar Euro yang hanya digunakan pada penelitian mobil listrik, seperti layaknya pertarungan antara David dan Goliath.
Proposisi
Melihat data diatas, bagaimana kita menyikapinya ? Solusi apa yang bisa kita tawarkan ?
Apabila hanya data diatas yang dijadikan acuan, maka satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah membentuk perusahaan-perusahaan dimana industri tersebut adalah industri yang mengeluarkan produk “nyata” yang dapat bersaing di dunia global, sehingga secara ototmatis, juga akan meningkatkan dana riset yang dikeluarkan oleh perusahaan. Baik pemerintah maupun swasta dapat terlibat dalam pembuatan perusahaan tersebut.
Pemerintah dapat membentuk industri-industri strategis, seperti yang sudah pernah dilakukan oleh Presiden kedua RI, Bapak Soeharto, dimana beliau membentuk industri strategis dalam menyambut persaingan di era Globalisasi, sehingga Industri strategi tersebut dapat memberikan dukungan secara penuh kepada pembangunan nasional.
Beberapa industri strategis yang dibentuk pada jaman Soeharto adalah lndustri Pesawat Terbang, PT Industri Telekomunikasi Indonesia, PT PAL Indonesia, PT Industri Kereta Api, PT Pindad dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) pada saat itu sudah mampu membuat pesawat telepon rumah (dimana awal tahun 90an, telepon genggam masih belum populer di Indonesia). Kita bisa bayangkan apabila PT Industri Telekomunikasi Indonesia pada saat itu mulai mengembangkan produk telepon genggam, bisa jadi saat ini produk mereka bisa bersaing dengan smartphone lainnya.
Sebagai perbandingan, Samsung mengeluarkan produk telepon genggam pertama kali pada tahun 1985, dimana produk tersebut tidak laku di pasaran. Di tahun yang sama, Nokia baru mengeluarkan 3 produk telepon genggamnya. Telepon genggam mulai booming di Indonesia pada akhir 1990 atau awal 2000an.
Berdasarkan informasi diatas, maka proposisi pertama adalah pemerintah Indonesia harus meningkatkan peran perusahaan strategis yang sudah ada, dimana produk-produk yang akan dihasilkan adalah produk-produk yang akan diluncurkan 5-10 tahun kedepan. Suka tidak suka, kita sudah kalah apabila harus bersaing untuk produk-produk yang digunakan pada saat ini, tetapi untuk produk yang diproyeksikan akan digunakan 5-10 tahun ke depan, semua perusahaan akan mempunyai peluang yang hampir sama. Oleh karena itu, pemimpin yang visioner dan inovatif menjadi syarat mutlak dalam memimpin perusahaan strategis ini.
Selain itu, pemerintah juga dapat berperan aktif dalam menciptakan iklim yang kondusif agar perusahan-perusahaan inovatif di bidang sains dan teknologi dapat tumbuh subur. Kebangkitan Inovasi di Indonesia dapat ditandai dengan munculnya startup-startup di bidang sains dan teknologi.
Berkaca dari pengalaman Amerika, penyelamat ekonomi Amerika pada awal 1980an adalah startup, diantaranya adalah Apple dan Microsoft, dimana kedua startup tersebut sukses mendatangkan uang yang begitu besar kedalam negara Amerika melalui kesuksesannya dalam penjualan produk Apple dan Microsoft di seluruh dunia.
Begitu juga pada kejadian krisis ekonomi pada tahun 2008, dimana salah satu faktor penyelamat ekonomi Amerika pada saat itu adalah munculnya startup-starup dibidang sains dan teknologi yang sukses. Beberapa startup yang berkontribusi besar pada kebangkitan ekonomi Amerika setelah masa krisis Amerika 2008 antara lain :
- Whatsapp, 2009, dibeli facebook tahun 2012 sebesar 19 Milyar US Dollar
- Instagram, 2010, dibeli facebook tahun 2012 sebesar 1 Milyar US Dollar
- Uber, 2009, nilai perusahaan saat ini 46 Milyar US Dollar, 644 Trilliun
- Pinterest, 2010, nilai perusahaan saat ini 8,6 Milyar US Dollar, 120,4 Trilliun
- Slack, 2009, nilai perusahaan saat ini 15,9 Milyar US Dollar, 222,6 Trilliun
- Square, 2009, nilai perusahaan saat ini 23 Milyar US Dollar, 322 Trilliun
- Cloudera, 2008, nilai perusahaan saat ini 2,2 Milyar US Dollar, 30,8 Trilliun
- Groupon, 2008, nilai perusahaan saat ini 726 Juta US Dollar, 10,164 Trilliun
Melihat data diatas, tidaklah mengherankan mengapa Amerika begitu melindungi hak kekayaan intelektual mereka, terutama di bidang sains dan teknologi, hingga terjadi perseteruan sengit dengan Cina, dimana Cina juga lagi gencar-gencarnya mengembangkan industri sains dan teknologi.
Berdasarkan informasi diatas, proposisi kedua adalah startup di bidang sains dan teknologi harus mendapatkan perhatian khusus dan dukungan penuh dari pemerintah, sehingga pertumbuhan starup di bidang sains dan teknologi dapat tumbuh subur di Indonesia.*
Startup dan Dunia Pendidikan
Mengingat sangat strategisnya peran startup bagi perekonomian suatu negara, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya agar startup dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia ?
Salah satu kuncinya adalah dari dunia pendidikan. Startup dan dunia pendidikan tidaklah bisa dipisahkan, karena startup merupakan hasil dari proses pembelajaran, terutama di perguruan tinggi. Berikut adalah pernyataan seorang Rektor dari salah satu Universitas terkenal,
“Saya tidak bangga apabila lulusan Universitas ini bekerja di perusahaan besar. Saya hanya bangga apabila lulusan Universitas ini dapat membuat perusahaan besar”
Dari pernyataan seorang Rektor tersebut tercermin semangat yang luar biasa bahwa salah satu tujuan dari pendidikan tinggi adalah mencetak lulusan-lulusan yang mau berkecimpung di dunia startup, pada awalanya, yang suatu saat nanti akan menjadi perusahaan besar.
Seperti kita ketahui bersama, perusahaan seperti Google, Microsoft, Facebook, Uber, Dell dan masih banyak lagi, didirikan oleh anak-anak muda, yang kebanyakan produk-produk unggulannya dibuat ketika mereka masih berada pada bangku kuliah.
Catatan Penting : Perusahaan tersebut tidak didirikan oleh para konglomerat atau perusahaan besar, tetapi dirintis oleh mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi.
WealthX pada tahun 2019 mengeluarkan data terkait jumlah Alumni suatu perguruan tinggi yang mempunyai kekayaan lebih dari 30 Juta Dollar Amerika, atau sekitar 420 Milyar Rupiah. 10 Besar Universitas dengan jumlah alumni terbanyak dan jumlah kekayaan terbesar dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 2. 10 Besar Universitas dengan Jumlah Alumni mempunyai Jumlah Kekayaan terbesar. Sumber data : WealthX. Sumber gambar : Visualcapitalist
Seperti kita lihat dari gambar diatas, Universitas Harvard merupakan universitas yang paling sukses, dengan jumlah alumni yang mempunyai kekayaan diatas 420 Milyar sebanyak 13.650 alumni, dengan total kekayaan sebesar 4,769 Trilliun Dollar Amerika, atau sekitar 66.800 Triliun Rupiah, bandingkan pendapatan Negara Indonesia tahun 2019 yang sebesar 2.165 Triliun Rupiah. Pendapatan Indonesia dalam satu tahun hanya sekitar 3% dari kekayaan alumni Harvard.
Informasi yang menarik lainnya dari data tersebut adalah alumni Stanford, walaupun jumlah alumninya lebih kecil dibandinngkan Harvard, tetapi rata-rata kekayaan alumninya merupakan yang tertinggi, yaitu sekitar 519,5 Juta Dollar, atau sekitar 7,273 Triliun Rupiah. Hal ini tidak mengagetkan, karena banyak sekali Alumni Stanford yang sukses mendirikan startup, yang pada akhirnya menjadi perusahaan raksasa (Beberapa praktisi bahkan menyebutnya dengan sebutan Hyper Giant).
Alumni Stanford yang sukses mendirikan Startup, misalnya Evan Spiegel (Pendiri Snapchat), Larry Page dan Sergey Brin (Pendiri Google), Mukesh Ambani (Orang terkaya di India), Marissa Mayer (CEO Yahoo), Peter Thiel (pendiri PayPal), Reed Hastings (Pendiri Netflix), Kevin Systrom dan Mike Krieger (Pendiri Instagram ), Reid Hoffman (Pendiri LinkedIn), Steve Ballmer (CEO Microsoft), Phil Knight (Pendiri Nike), Bill Hewlett dan David Packard (Pendiri Hewlett-Packard) dan masih banyak lagi…
Universitas dari Amerika masih mendominasi kesuksesan “program” entrepreneuship, dimana tidak ada satupun Universitas dari luar Amerika yang masuk kedalam 10 besar. Apabila data tersebut diperluas menjadi 25 besar, baru terdapat beberapa Universitas dari luar Amerika, yaitu Universitas Cambridge (#15), Institut Européen d’Administration des Affaires (INSEAD) (#18), Universitas Oxford (#19), London School of Economics and Political Science (#20).
Satu-satunya universitas dari Asia yang masuk kedalam 25 besar adalah National University of Singapore yang berada pada peringkat 25.
Gambar 3. 25 Besar Universitas dengan Jumlah Alumni mempunyai Jumlah Kekayaan terbesar. Sumber data : WealthX. Sumber gambar : Visualcapitalist
Hal ini linier dengan dengan yang disampaikan oleh Prof. Yogi Sugito, Rektor Universitas Brawijaya 2006-2014 yang mengatakan bahwa indikator terpenting dari kualitas Perguruan TInggi adalah kualitas alumninya. Hal ini menjadi masuk akal, mengingat produk terbesar dari universitas adalah alumni perguruan tinggi tersebut dan berdasarkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tugas dan tanggung jawab terbesar Perguruan Tinggi adalah Pendidikan, selain tugas dan tanggung jawab lainnya yaitu Penelitian dan Pengabdian.
Perbaikan Sistem Pendidikan Tinggi
Setelah kita sepakat bahwa Perguruan Tinggi mempunyai peranan yang penting dalam pertumbuhan startup, pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus dilakukan oleh Perguruan Tinggi agar hal tersebut tercapai ?
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perbaikan Kurikulum
Kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia, untuk Strata 1, kebanyakan masih dibuat untuk kepentingan di era Industrialisasi, dimana kurikulum tersebut lebih menekankan pada spesialisasi suatu bidang atau sub bidang, dibandingkan pada generalisasi suatu keilmuan. Model pendidikan spesialisasi masih sesuai apabila diterapkan untuk mahasiswa pascasarjana, tetapi tidak untuk mahasiswa strata 1, kecuali bidang kesehatan.
Mengapa demikian ?
Karena era industrialisasi sudah kita tinggalkan dan saat ini kita sudah berada didalam era inovasi, dimana menurut Schumpter, usaha inovatif merupakan penggerak utama perekonomian suatu negara. Untuk menjadi seorang yang kreatif dan inovatif, dibutuhkan pengetahuan akan segala bidang, dan kemampunan menghubungkan tiap-tiap pengetahuan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, untuk membuat sebuah produk Digital (IT) dibutuhkan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, dimana proses pengembangan perangkat lunak berakar pada bidang ilmu informatika, mengkonseptualisasikan model bisnis dan merumuskan strategi berakar pada bidang ilmu manajemen, sementara menciptakan usaha baru berakar pada bidang ilmu entrepreneurial, dimana ilmu entrepreneurial berakar pada bidang ilmu psikologi dan ilmu sosial.
Salah satu ciri dari spesialisasi adalah adanya sistem keminatan, dimana untuk mata kuliah pilihan, mahasiswa “diwajibkan” untuk memilih mata kuliah berdasarkan keminatan yang dipilihnya. Model seperti ini sangat membatasi pengetahuan peserta didik itu sendiri. Sebuah ciri khas program studi seharusnya sudah dapat diwakili oleh mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa program studi tersebut. Oleh karena itu, dalam perencanaan kurikulum program studi, pimpinan program studi perlu fokus dan berhati-hati dalam menentukan mata kuliah wajib, karena disitulah ciri lulusan program studi tersebut.
Mata kuliah pilihan seharusnya difungsikan sebagai penunjang dan pengembangan keilmuan maupun pengembangan diri mahasiswa. Disinilah peran pembimbing akademik menjadi penting.
Kebijakan Kampus Merdeka yang digagas oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan Indonesia, merupakan terobosan yang luar biasa dalam menjawab tantangan di era inovasi ini. Pertanyaan besarnya adalah, sudah siapkan konsep tersebut dieksekusi oleh para pimpinan Perguruan Tinggi ? Mengingat merubah pola pikir civitas akademik Perguruan Tinggi bukanlah pekerjaan yang mudah.
2. Perbaikan Fasilitas Pendidikan
Fasilitas pendidikan merupakan salah satu fakor penting dalam menunjang proses belajar mengajar. Terkait dengan tulisan ini, penekanannya adalah fasilitas untuk mahasiswa untuk tujuan menumbuhkembangkan startup. Selain karena mahasiswa merupakan penggerak utama startup, mahasiswa juga merupakan stakeholder terbesar yang ada di kampus. Jumlah mahasiswa pasti jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dosen dan tenaga akademik. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila pengembangan fasilitas untuk mahasiswa menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pimpinan.
Alasan lainnya, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa 1 SKS kuliah terdiri dari 50 menit tatap muka, 60 menit kegiatan akademik terstruktur (tugas, proyek, dsb) dan 60 menit kegiatan akademik mandiri. Sayangnya, pengembangan fasilitas mahasiswa kebanyakan masih fokus pada kegiatan pertama yaitu tatap muka perkuliahan dan atau praktikum di laboratorium. Lalu bagaimana dengan fasilitas untuk dua kegiatan mahasiswa lainnya ? Sudahkah kampus menyediakan fasilitas untuk mengerjakan tugas, berdiskusi atau mengerjakan proyek kuliah ?
Selain fasilitas penunjang wajib, seperti perpustakaan, jaringan internet dan olahraga, fasilitas semacam coworking space bisa digunakan untuk kedua kegiatan tersebut. Coworking space bisa berfungsi dalam banyak hal, misalnya tempat mehasiswa mengerjakan tugas, baik individu maupun kelompok, tempat mahasiswa berdiskusi mengeksplore ide-idenya atau bahkan dapat juga dijadikan sebagai “kantor” sementara bagi mahasiswa yang sudah memiliki startup. Selain coworking space, perlu juga disediakan lab riset bersama yang dapat digunakan sebagai penelitian bersama antara dosen dengan mahasiswa.
Masih banyak lagi fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang kegiatan mahasiswa dalam mengeksplorasi kreatifitas dan inovasi mereka, yang tentunya tiap prgram studi mempunyai kebutuhan masing-masing. Intinya, kampus sebaiknya dibuat seindah dan senyaman mungkin agar mahasiswa dapat merasa nyaman dan betah untuk berlama-lama melakukan aktivitas di kampus.
3. Perbaikan Sistem Belajar Mengajar
Model pembelajaran product based learning merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan inovasi dan kreativitas mahasiswa. Mata kuliah tidak lagi “diperlakukan” secara terpisah, tetapi mata kuliah diperlakukan sebagai ilmu pendukung dalam pembuatan sebuah produk. Konsep sistem belajar mengajar dari prodi ilmu kedokteran bisa dijadikan referensi, dimana sistem pembelajarannya menggunakan sistem blok.
Sebagai contoh, apabila produk yang diharapkan dalam proses belajar mengajar adalah produk berbasis website, maka matakuliah user experience , pemorgraman web, basis data dan matakuliah lainnya yang mendukung pembuatan produk tersebut dapat dijadikan kedalam satu blok, sehingga terdapat keterhubungan yang kuat diantara mata kuliah tersebut.
Konsep ini mungkin bisa dilakukan pada semester 3-5, dimana semester 1-2 merupakan ilmu-ilmu dasar (umum sesuai bidang ilmunya) sebagai persiapan dalam pengambilan matakuliah sistem blok. Disini dosen berperan sebagai seorang product manager yang bertugas untuk menunjukkan jalan bagi mahasiswa dalam pembuatan sebuah produk.
Sistem belajar mengajar seperti ini menuntut keaktifan mahasiswa untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi terkait dengan bidang ilmu yang ditekuninya dan bidang ilmu penunjang lainnya. Berikut adalah testimoni seorang mahasiswa terkait perilaku mahasiswa Universitas Harvard, dimana dia kuliah di S1 di Tsinghua University dan mengambil pascasarjana di Universitas Harvard.
Perbedaan antara mahasiswa di Tsinghua University dengan mahasiswa di Harvard adalah mahasiswa Tsinghua lebih banyak melakukan eksploitasi terkait dengan materi kuliah yang didapat di kelas. Mereka sangat ahli dalam bidang keilmuannya, tetapi kurang inovatif dan kreatif apabila dibandingkan mahasiswa Universitas Harvard. Berbeda dengan mahasiswa Harvard, selain melakukan eksploitasi keilmuan, mereka juga melakukan eksplorasi terkait dengan produk-produk apa yang bisa dihasilkan dari materi-materi yang telah dipelajari di kelas. Asrama mahasiswa di Universitas Harvard tidak ubahnya sebagai “laboratorium”, yang aktif hingga pagi hari, dimana mahasiswa melakukan berbagai eksperimen dalam pembuatan produk. Mahasiswa juga terbiasa berdiskusi dimanapun, baik itu di taman, di kantin ataupun ditempat-tempat lainnya.
Dalam kasus ini, keberhasilan proses belajar mengajar dari kelas tidaklah dilihat dari seberapa banyak mahasiswa yang mendapatkan nilai A, atau nilai rata-rata, tetapi seberapa banyak produk yang telah dihasilkan dari mata kuliah tersebut.
4. Perbaikan Pola Pikir dan Perilaku Mahasiswa
Perubahan sebuah sistem dan fasilitas tidak akan berpengaruh signifikan apabila tidak diikuti perubahan pola pikir dan perilaku dari orang-orang yang berada di dalam sistem tersebut. Perubahan mendasar terkait dengan pola pikir mahasiswa adalah bahwa kuliah bukanlah hanya sekedar mendapatkan nilai baik atau mendapatkan ijazah. Kuliah adalah sebuah “kawah candradimuka” yang akan menentukan masa depan mahasiswa itu sendiri.
Terkait dengan startup, pola pikir yang harus dirubah adalah membuat startup bukanlah hanya sebuah permainan/ikut-ikutan atau hanya sekedar gengsi, tetapi membuat startup adalah pekerjaan yang sangat sulit dan menyakitkan. Seperti yang disampaikan oleh Elon Musk berikut ini,
Membuat startup itu seperti mengunyah gelas kaca, dimana pada awalnya akan terasa sangat sakit ketika gelas itu pecah di mulut kita dan mengakibatkan mulut kita terluka. Tetapi semakin lama kita mengunyah kaca tersebut, maka akan terasa semakin sakit karena pecahan-pecahan kaca tersebut akan semakin banyak dan kecil.
Dari pernyataan tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa membuat startup (produk) adalah pekerjaan yang tidak hanya membutuhkan kepandaian dalam bidang ilmu tertentu, tetapi juga dibutuhkan mental yang kuat (self esteem), mental yang tangguh (resillience) dan kepercayaan diri yang tinggi (self efficacy).
Pola pikir lainnya yang perlu dirubah adalah ketergantungan dengan lingkungan. Ketika ada masalah, biasanya mahasiswa menyalahkan lingungannya, entah dosen, fasilitas, teman atau yang lainnya. Ketika ada kemauan, disitu pasti ada jalan. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, bukanlah menjadi penghalang bagi mahasiswa untuk terus berkarya.
Softskills lainnya yang perlu mendapat perhatian khusus bagi mahasiswa adalah kemandirian dan kemampuan untuk berdiskusi. Penjelasan dari kemampuan tersebut dapat dibaca pada tulisan saya disini, Bagaimana sebaiknya kehidupan akademik sekolah dan kampus pada masa new normal?
Penutup
Mempersiapkan generasi muda agar dapat menjadi ujung tombak dalam kebangkitan Inovasi di Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Apabila dilihat dari kacamata pendidikan, tugas ini tidak hanya diemban oleh Pendidikan Tinggi saja, tetapi mulai dari Pendidikan Dasar hingga Pendidikan Menengah juga mempunyai peran yang sangat penting. Oleh karena itu, baik Pendidikan Dasar, Menengah maupun Pendidikan Tinggi haruslah dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.
Selain peran pemerintah (pengelola pendidikan formal), peran diri sendiri, keluarga dan lingkungan juga mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam proses pendidikan seseorang. Mempersiapkan generasi muda adalah tanggung jawab kita semua, dimana tanpa adanya kebersamaan dalam pembangunan pribadi generasi muda, maka kebangkitan inovasi hanyalah menjadi impian tanpa kenyataan.
Setiap entitas mempunyai pernanya masing-masing. Mari kita bersama-sama menuju Kebangkitan Inovasi Indonesia, dimana jarak ribuan kilometer ditentukan pada langkah pertama.
Referensi :
- Dear Zaky, Kunci Dana R&D Besar Itu Bukan di 'Presiden Baru'
- Volkswagen Group: research and development costs | Statista
- VW Challenges Rivals With $66 Billion for Electric Car Era - Bloomberg
- This was the first Samsung cell phone ever - PhoneArena
- https://www.wealthx.com/report/wealthy-alumni-2019/
- https://www.visualcapitalist.com/chart-which-universities-have-the-richest-graduates/