Siapakah Sosok K.H. Ahmad Dahlan?


Seorang ulama dan pendiri Muhammadiyah.

Seperti apakah sosok K.H. Ahmad Dahlan?

1 Like

Umat Islam harus bisa menerima berbagai ilmu pengetahuan dari mana pun sumbernya. Jika sikap mengharamkan sekolah umum itu dipertahankan, ulama akan ditinggalkan umatnya karena tidak bisa menerjemahkan keagamaan secara kontekstual dalam menjawab permasalahan realitas kehidupan. Inilah kegelisahan yang berkecamuk dalam benak Ahmad Dahlan ketika masih muda.

Berbekal pendirian ini, Dahlan mulai mendobrak segala tatanan yang sudah mapan. Ialah yang merintis organisasi Islam modern, Muhammadiyah. Sejak zaman kolonial, organisasi sosial umat Islam ini aktif mendirikan sekolah-sekolah umum. Muhammadiyah telah memberi andil dalam meningkatkan kualitas hidup umat, khususnya lewat pendidikan.

K.H. Ahmad Dahlan lahir tahun 1868 dengan nama Mohammad Darwisj di kampung Kauman, Yogyakarta. Ia belajar kaidah-kaidah agama dari ayahnya, K.H. Abubakar, penghulu Masjid Agung Yogyakarta. Sebagaimana umumnya anak Kauman ketika itu, juga kalangan muslim lainnya, Dahlan hanya mendapatkan pendidikan formal lewat pesantren. Sekolah gubernemen alias sekolah umum “haram” hukumnya.


Pada usia limabelas, tepatnya pada tahun 1883, Dahlan berangkat ke tanah suci Mekkah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu agama seperti kiraat, tafsir, tauhid, fikih, tasauf, dan ilmu falak. Lima tahun berada di negeri itu, dia rajin mempelajari pandangan dan sikap tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Jamaluddin AI­ Afghani, Rasjid Ridla, dan Muhammad Abduh. Bagi Dahlan, mereka adalah ulama-ulama yang mampu mempertahankan prinsip keterbukaan pintu ijtihad yang ada; untuk kemudian memilih pendapat yang kebenarannya lebih mendekati petunjuk Alqur’ an dan sunah.

Pada 1902, untuk kedua kalinya Dahlan berangkat ke Mekkah. Pada kesempatan ini ia bertemu tokoh yang dikaguminya, yaitu Rasjid Ridla. Pada pertemuan itu mereka banyak mendiskusikan berbagai masalah pembaharuan Islam di dunia. Dahlan semakin yakin bahwa pengajaran Islam di tanah airnya sudah jauh ketinggalan zaman dan harus diganti dengan cara yang lebih modern.
image
Keinginan mengajarkan pendidikan agama Islam yang modern mulai dirintis pada 1911 di Yogyakarta. Ia mendirikan sekolah agama bernama “Muhammadiyah”. Selain ilmu agama, para siswa juga diberikan ilmu umum, macam ilmu berhitung dan membaca huruf latin. Proses pengajarannya juga tidak dilakukan di surau-surau, namun di kelas-kelas yang mirip sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda waktu itu.

Organisasi atau perserikatan “Muhammadiyah” baru resmi berdiri pada 18 November 1912. Melalui organisasi ini, Dahlan menginginkan umat Islam kembali pad a ajaran yang termaktub dalam Alquranul karim dan ajaran yang tergaris dalam sunah Rasul, sedangkan hal-hal lain yang tidak tersumber dari hal itu hendaknya ditinggalkan. Untuk melaksanakan tujuannya, Muhammadiyah membuka berbagai sekolah dan madrasah. Pada perkembangannya, organisasi ini pun banyak mendirikan lembaga sosial macam panti asuhan dan rumah sakit.

Lebih dari setengah abad setelah berdiri, Muhammadiyah berkembang menjadi organisasi yang berperan penting dalam perubahan politik Indonesia. Muhammadiyah pula yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai pegangan dan kepercayaan yang hidup dan aktif di masyarakat. Termasuk memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah dan mengajarkan pengetahuan umum di pesantren­ pesantren.

Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 miladiyah dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang kiai haji Abu Bakar bin kiai sulaiman. Khaitb di masjid Sulthan Kota Yogyakarta. Ibunya adalah Siti aminah binti kiai haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Dalam sumber lain, Muhammad Darwis dilahirkan pada tahun 1869.

Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. Adapun saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah 1) Nyai Chatib Arum, 2) Nyai Muhsinah, 3) Nyai H. Sholeh, 4) M. Darwis, 5) Nyai Abdurrahman, 6) Nyai H. Muhammad Fekih, 7) Muhammad Basir.

Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa, demikian dijelaskan oleh Hasan Basri dalam bukunya Filsafat pendidikan Islam.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putra kiai. Pendidikan dasarnya di mulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu.

Pada tahun 1903, Ahmad Dahlan kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun setelah sebelumnya pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun saat usianya 15 tahun. Pada masa ini, sempat berguru kepada Syekh ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan Pendiri Aisyiah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.

Pada usia yang masih muda, Ahmad Dahlan membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Sebagaimana dijelaskan oleh Delias Noer dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia”, tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana, Ahmad dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar dan oleh karenanya harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan cepat menyuruh orang membershikan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.

KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulama timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi, dan ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean.

Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaruan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaruan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya, pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah, beliau juga aktif di partai politik, sperti Budi utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk beramal demi kemajuan umat Islam dan bangsa. KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Februari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

Referensi

Lasmin. 2014. Konsep Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.