Siapakah Sosok Goenawan Mohammad?


Goenawan Mohammad, seorang budayawan da sastrawan.

Seperti apakah sosok Goenawan Mohammad?

“Saya memang bukan orang vokal. Tapi, kini saya merasa tidak ada lagi ukuran untuk bisa ditindak atau tidak bisa ditindak.”

Itu kata Goenawan Soesatyo Mohamad setelah Tempo dicabut SIUPP-nya oleh Orde Baru. Tokoh brilian yang punya sentuhan estetik yang tinggi dalam setiap tulisannya ini memang layak kalau disebut sebagai salah satu ikon pers modern Indonesia. Tempo yang didirikan dan diasuhnya sejak 1971, bukan hanya menjadi media terkemuka, tapi juga menularkan genre pers bersastra -pers yang ditulis dengan gaya cerita pendek.

Ia datang dari sebuah dusun nelayan di daerah kebudayaan Jawa, di Karangasem, Batang, Jawa Tengah pada 29 Juli 1941. GM - begitu ia biasa disapa - sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ia suka mendengarkan siaran puisi di RRI. Juga sempat menerjemahkan puisi karya penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Pendidikan formal ia lalui di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, walaupun tidak selesai.

Sang penyair muda ini adalah sosok intelektual muda yang selalu gelisah menjelang keruntuhan Orde Lama. Ia pun turut dalam perumusan Manifes Kebudayaan, yang pada zaman kekuasaan Soekarno sering diejek sebagai “Manikebu”.

Setelah Orde Lama tumbang ia menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia. Pulang dari sana ia langsung menggebrak dengan menjadi redaktur harian Kammi (1969-1970), turut mendirikan majalah Ekspress (1970-1971), dan kemudian Tempo (1971-1994). Di majalah ini tiap minggu, ia menulis Catatan Pinggir. Rubrik ini bisa dikatakan sebagai semacam komentar, gumaman, atau semacam marginalia: atau catatan-catatan yang ditorehkan di tepi halaman buku yang sedang dibaca. Wadah percikan pikiran pendek dan cepat di antara lalu lintas ide dan peristiwa- peristiwa.

Penulis Catatan Pinggir ini juga menulis puisi. Karyanya antara lain Parikesit (1969) dan Interlude (1971).

“Lirik-Lirik Goenawan membuat kita seperti menghadapi alam diam yang terus menerus melepaskan isyarat,” begitu kesan penyair dan pengamat sastra Sapardi Djoko Damono.

Burfon Raffel dalam The Development of Modem Indonesian Poetry, menyebut puisi GM religius, halus, dan terselubung.

Sosok yang low profile ini akhirnya tersengat juga ketika Tempo bersama Detik dan Editor diberangus dengan SK Menteri Penerangan No. 123 tanggal 21 Juni 1994. la tiba-tiba rajin turun ke jalan, memprotes pembreidelan itu. Sejak itu, GM mengubah haluannya. Kendati majalah yang dipimpinnya sejak 1971 lahir kembali pada 1998, GM memutuskan lengser dari kursi pemimpin redaksi. la memilih berkutat dalam komunitas budaya di Teater Utan Kayu. Selain itu, ia juga sibuk dengan lahan barunya, Radio Berita 68 H yang dioperasikan ISAI (Institut Studi Arus lnformasi).

Mungkin seperti Catatan Pinggir yang ditulisnya di Tempo, hidupnya memang tidak pemah mau menunjukkan sikap yang jelas. Mengapa?

“Memang, banyak hal yang saya sendiri tak tahu jawabnya. Dunia ini sebetulnya sudah penuh dengan jawaban. Dari Ayatullah Khomeini, Karl Marx, Lenin, dari para penatar P-4, sudah cukup to?”* begitu jawabannya