Siapakah Soe Hok Gie?

Kondisi dan basis pergerakan mahasiswa kala itu tumbuh tidak dapat dilepaskan dari konteks pergolakan politik yang ada. Bisa dikatakan ketika Wakil Presiden Hatta membuka kran bagi lahirnya sistem multipartai pasca- kemerdekaan 45, organisasi sosial politik melakukan ekspansi ke dalam dan keluar untuk membesarkan organisasi, menciptakan sayap-sayapnya dan salah satunya adalah menciptakan sayap organasasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri kebanyakan organisasi mahasiswa lahir untuk tidak mengatakan dilahirkan melalui organisasi politik, untuk kemudian bisa dikatakan secara kasar, organisasi pergerakan mahasiswa pasca kemerdekaan sampai terbentuknya Orde Baru sulit melepaskan diri dari kepanjangan tangan partai partai politik yang ada.

Soe Hok Gie adalah seorang keturunan Tionghoa yang lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia lahir dari pasangan Soe Lie Pit, seorang novelis dengan Nio Hoe An. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara dari keluarga besar Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Jok Djie yang dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah sering membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Noer. Ayahnya adalah seorang penulis, sehingga tak heran jika Soe Hok Gie begitu dekat dengan sastra.

Setelah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Soe Hok Djin (Arif Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah Menengah Pertama (SMP) Stratada di daerah Gambir. Konon ketika duduk di bangku SMP ini, ia mendapat salinan kumpulan cerpen Pramoedya yang tergolong langka, misalnya “Cerita dari Blora”. Pada waktu kelas dua di SMP ini, prestasi Hok Gie sempat memburuk, bahkan ia harus mengulang, namun Gie merasa hal ini tidak adil. Sehingga ia memutuskan untuk pindah sekolah di sebuah SMP Kristen Protestan sampai akhirnya ia berhasil masuk ke SMA Kanisius Jurusan Sastra, sedangkan kakaknya Hok Djin juga melanjutkan di sekolah yang sama tetapi jurusan yang berbeda yaitu Ilmu Alam.

Selama di SMA inilah Soe Hok Gie memperdalam sastra dan kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sini awal catatan perjalanan yang menarik, dengan membuat tulisan yang tajam dan penuh kritik. Selepas SMA kedua kakak beradik ini akhirnya berhasil melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih fakultas sastra jurusan sejarah, sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi. Di masa kuliah inilah Gie menjadi seorang aktivitis dan aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan dan pergerakan mahasiswa, diantaranya adalah ia salah satu pendiri Mapala UI. Bersama Mapala UI inilah akhir dari perjalanan hidupnya dalam ekspedisi menaklukkan gurung Semeru pada tahun 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, ia meninggal bersama rekannya Idhan Dhanvantari Lubis akibat menghirup gas beracun di gunung tersebut.

Dalam berbagai gerakan pemberontakan, demonstrasi dan huru-hara yang terjadi di berbagai tempat, salah satu tokoh yang ikut andil dalam pergerakan tersebut adalah Soe Hok Gie. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan ia termasuk orang pertama yang berani mengkritik tajam di masa awal rezim orde baru. Gie sangat kecewa terhadap teman-teman seangkatannya yang berjuang di era demonstrasi tahun 66 ikut mengkritik dan mengutuk para pejabat pemerintah yang korup dan sewenang-wenang, kemudian selepas lulus dan masuk ke lingkungan birokrasi lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66.

Gie dikenal sebagai sosok yang oposisif dan sulit diajak kompromi dengan kritikannya yang sangat tajam. Sosok Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat, tapi ia mempunyai kemauan untuk melibatkan diri dalam pergerakan, dan selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun ia meninggal di usia muda, namun banyak meninggalkan tulisan, catatan dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional, justru dengan hidup yang singkat itu seluruh hidupnya diabadikan untuk menjaga konsistensi perjuangan bangsanya dan akan selalu dikenang sebagai pemuda idealis yang berjuang membela rakyat kecil.

Kelahiran Soe Hok Gie

Gie dilahirkan pada 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk. Begitulah kutipan dari seorang demonstran, Soe Hok-Gie mulai catatan hariannya dengan kapan dan bagaimana suasana dunia meliputi dirinya ketika dilahirkan di muka bumi, cukup pendek, tetapi penuh makna. Hal itu terlihat bagaimana menghubungkan hari kelahirannya dengan situasi perang dunia. Pada masa tersebut telah terjadi Perang Dunia II. Tepatnya pertengahan 1942 dan beberapa bulan setelah pendudukan Jepang dimulai, Soe Lie Piet, ayah Soe Hok-Gie akhirnya mendapatkan rumah yang cocok untuk keluarganya di Kebon Jeruk Jakarta.

Saat itu, Nio Hoei An bersama ketiga anaknya kembali dari Bandung menuju Jakarta. Pada saat itu, Nio Hoei An tengah mengandung dirinya, sebagai anak keempat. Dan, pada 17 Desember 1942, lahirlah Soe Hok-Gie di rumah baru tersebut. Sesuai dengan hari kelahirannya yang diwarnai oleh Perang Dunia II menjadi suatu penanda akan kehidupan dunianya itu sendiri. Atau, menjadi semacam tugasnya untuk melakukan peperangan atas ketidakdilan dan perjuangan atas nama moral, yang mengharuskan dia menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan yang setelah selesai menyelesaikan tugasnya, meruntuhkan sang penguasa yang zalim, pergi entah kemana dan tidak mengharapkan balas jasa dan akan kembali lagi ketika ada penguasa yang zalim.

Masa Kecil di Kawasan Kumuh

Masa kecilnya dilalui dalam sebuah kawasan yang jalannya sempit dan dipenuhi dengan becak serta pedagang jalanan. Ini merupakan bagian penting yang menjadi pengalaman hidupnya di masa kanak-kanak. Disebabkan pengalaman inilah yang membedakan dirinya dengan saudara-saudaranya. Menariknya lagi ia tidak pernah berpindah tempat tinggal, sampai ia mati muda, tetap menempati kawasan tersebut. Halaman sempit yang selalu di sapu, dengan beberapa pohon berdaun lebat yang mendatangkan keteduhan dan teriknya sinar matahari, mengisi sebagian besar isi rumah.

Di ujung rumah ada beranda luar yang terbuka, yang lantainya, seperti rumah-rumah lainnya, ditutup dengan keramik yang mengkilat. Beranda itu berfungsi sebagai menerima tamu dan merupakan tempat yang baik untuk melihat jajaran penjaja jalanan dan penjual keliling yang lalu lalang di depan rumah sejak pagi buta sampai larut malam. Seingat keluarga Soe, pada awal dasawarsa 1940-an, meskipun tidak besar dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, rumah tersebut merupakan salah satu rumah yang kokoh di lingkungan itu. Pagar besi yang rendah menjadi pembatas rumah dengan jalan dan rumah itu sendiri. Hanya masuk beberapa meter dari jalan dapat dicapai melalui tangga yang rendah. Seluruh bangunannya dibangun lebih tinggi sekitar satu meter untuk berjaga-jaga jika banjir yang pernah terjadi datang lagi. Selama musim hujan, saluran air dan kanal-kanal di dekatnya yang sering tersumbat sampah tidak mampu menampung air pada saat hujan lebat dan sering menyebabkan tanggul jebol sehingga mengakibatkan banjir berpusar yang berwarna gelap melanda rumah-rumah di daerah yang rendah di kota itu.

Kondisi demikian sebenarnya bukanlah tempat yang ideal bagi perkembangan anak di masa kanak-kanak. Disebabkan dengan cara apa pun kedua orangtuanya berusaha menutupi persentuhan Soe Hok-Gie kecil dengan realitas sosial masyarakat tempat tinggalnya yang keras, sulit untuk dihindari. Rumah gubuk bambu yang sederhana berderet sepanjang jalan menunjukkan kemiskinan kebanyakan orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang bekerja keras demi mencukupi kebutuhan makan, demi menghindari bahaya kelaparan setiap harinya. Mereka rela berbuat apa saja karena dalam pikiran mereka hanya satu: besok makan apa, besok kerja apa? Kebanyakan mata pencaharian mereka terdiri dan pedagang kecil, pedagang jalanan, pengrajin- pengrajin, tukang bakul yang berjualan keranjang serta perkakas dapur yang terbuat dan bambu. Kemudian, orang Betawi yang miskin yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penjaga gerbang, penjaga makam, dan pekerja serabutan.

Ibu Soe Hok-Gie sejak kecil memberikan peringatan agar berhati-hati dan tidak terlalu akrab bergaul dengan anak-anak kampung. Walaupun sebenarnya keluarga Soe Hok Gie bukanlah keluarga yang berada. Bahkan, bisa dikatakan keluarga kelas menengah ke bawah. Meskipun dilarang, Hok Djin dan Hok Gie mendapatkan teman dan tetangga dekat mereka yang miskin. Namun, yang membedakan keluarga Soe Hok-Gie dengan kebanyakan keluarga lainnya yang miskin tersebut adalah bagaimana keluarganya tidak begitu memikirkan persoalan makan dan minum. Sementara kebanyakan keluarga lainnya adalah jenis keluarga yang tiap hari pemikirannya hanyalah soal makan saja. Tentunya hal demikian menjadi pengalaman yang membekas di hati Soe Hok-Gie dan Soe Hok Djien (Arief Budiman) itu sendiri. Begitulah, kondisi kumuh tidak akan dapat menghalangi dirinya seorang bintang. Begitu pula halnya sebuah batu berlian ditaruh dalam selokan busuk sekalipun, tetaplah akan menjadi batu berlian, Hok- Gie membuktikan itu. Meskipun masa lingkungannya begitu kumuh, tidak menghalangi ía untuk giat belajar. Tidak menghalanginya untuk menjadi pejuang kemanusiaan.

Keturunan China Daratan Selatan (Hanan)

Di Indonesia ada istilah China daratan, China peranakan, ataupun China lautan. Dari penelusuran John Maxwell yang sampai ke kakek buyut Soe Hok- Gie, Soe Hoen Tjiang adalah penduduk asli Kepulauan Hanan di China Selatan.Kakek buyut Soe Hok-Gie ini tiba di Indonesia, tepatnya di Batavia, diperkirakan tahun 1870-an sebagai seorang imigran miskin. Pada masa itu kebanyakan pemuda-pemuda yang belum menikah yang berasal dari China provinsi selatan melakukan imigrasi ke Asia Tenggara untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang baru.

Pada masa itu, Batavia yang berada dalam penjajahan Belanda, sudah ada komunitas China peranakan. Soe Hoen Tjiang, kakek buyutnya Soe Hok-Gie adalah salah satu imigran China yang beruntung. Ketika datang, dia dalam kondsi melarat, tidak membawa apa-apa hanya membawa pakaian, tetapi mampu menikahi anak perempuan keluarga peranakan China yang terkemuka. Mertua kakek buyutnya membantu memberikan apa yang dibutuhkannya untuk memulai kehidupan di daerah yang ia tempati dan tidak lama kemudian menjadi pedagang pakaian batik.

Soe Hoen Tjiang tampaknya cerdas dan mempunyai bakat pengusaha karena dalam waktu singkat ia memperoleh keuntungan besar. Soe Hoen Tjiang memiliki tujuh putra, salah satu nya hernama Soe Ho Soei, yang menjadi kakek Soe Hok-Gie. Sama seperti ayahnya, Soe Ho Soei juga menikah dengan China peranakan. Istrinya, Oei Tjit Nio adalah putri dan istri kedua tuan tanah peranakan di Batavia, Kakek dan nenek Soe Hok-Gie ini pada mulanya berbisnis roti. Namun, perkembangan bisnis rotinya mengalami kebangkrutan ketika utang yang menumpuk tidak dapat dibayar.

Keluarga Soe Ho Soel memiliki empat orang anak. Anak pertamanya bernama Soe Lie Piet (Salam Sutrawan), ayah Soe Hok-Gie, lahir di Tanah Abang, Batavia pada 20 Februari 1904. Ia sangat disayangi oleh kakeknya karena ia adalah cucu pertama. OIeh karena itu, Soe Lie Piet meminta kepada ayahnya agar dia dibesarkan di rumah kakeknya.Di rumah kakek buyutnya ini, ayahnya Soe Hok-Gie diasuh oleh bibinya yang tidak menikah. Di masa kecilnya tersebut, Ia tinggal dalam lingkungan yang menyenangkan karena bibinya sangat memanjakannya. Disebabkan lingkungannya adalah China peranakan, maka Soe Lie Piet tumbuh dengan menggunakan bahasa Melayu, dengan dialek China Melayu yang menjadi karakteristik komunitas China peranakan China Batavia.

Latar Belakang Pandangan Politik Soe Hok Gie

Jika dipertanyakan darimanakah pandangan politik seorang Soe Hok-gie terbentuk dan terpengaruh oleh pandangan-pandangan tokoh siapa saja yang membentuk karakter seorang Soe Hok-gie. Dalam catatan harian, Soe Hok-gie tidak banyak mengekspos kehidupan keluarga serta diskusi dengan keluarga terkait dengan tema politik. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, yang mempengaruhi pandangan politik serta karakter Hok-gie adalah pengaruh orang tuanya secara tidak langsung yang tercerminkan lewat aturan moral serta perilaku yang mereka coba tanamkan sejak kecil. Seperti yang sudah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, ibunya lah yang banyak berperan, dan mungkin darah yang mengalir dalam diri Soe Hok-gie dari ayahnya yang merupakan seorang penulis serta jurnalis.

Dalam catatan hariannya pula, dia menuliskan beberapa tokoh penting dan review dari buku seperti Saint Joan karya Bernard Shaw, buku ini merupakan buku tentang masalah kebenaran serta moral. Anggapan Hok-gie terhadap tokoh Saint Joan sangat hidup dan menarik dalam hal idealisasi serta interpretasinya. Bagi Shaw, Joan adalah seorang martir Protestan yang pertama, karena Joan berani berbicara bahwa Tuhan telah langsung memberinya perintah tidak lewat gereja, melainkan langsung memberikan wahyu. Dialog serta ide-ide dari buku tersebut merangsang Hok-gie untuk menganalisis lebih lanjut.

Dalam salah satu dialog ketika Joan ditentang untuk menyerang Paris, dan tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Joan berkata: “ Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. France is alone, and God is alone…The loneliness of God is the strength”. Dan Joan melaksanakan juga keinginannya walaupun ia tahu akibatnya. Bagi saya Joan sangat simpatik, bertindak terus walau ia tahu apa yang menantinya. Di sini kita jumpai pula heroisme tragis ada suatu irama perjuangan: ialah kesia-siaan. Jika ia seorang fatalis tentu ia akan menolak mati untuk ke- absurd -an. Tetapi bila demikian tidak bisa lagi kita memberi makna hidup. Bagi saya berjuang melawan kedegilan, walau untuk menciptakan yang baru, sangat simpatik dan merupakan keharusan. Dalam epilog roh Joan berkata “ Well, if I saved all those who would have been cruel to me, I was not burnt for nothing, was I?”.

Dalam catatan harian tersebut, timbul keraguan dalam diri Hok-gie, dia menganggap dirinya mati bukan untuk apa-apa. Dia menganggap Joan sebagai manusia biasa yang hidup untuk dikhianati dan pada akhirnya Joan sadar bahwa ia murtad dan suaraya merupakan suara setan.

Dalam buku Darkness at Noon oleh Koestler, sejarah merupakan Partai atau Pemerintah, karena dalam suatu negara totaliter, partai identik dengan Pemerintah. Sedangkan kebenaran dimonopoli oleh suatu golongan.

The party can never be mistaken. You and I can make a mistake “The Party, comrade, is more than you and i and a thousand others like you and i. The party is the embodiment of the revolutionary idea in history. History knows no scruples and no hesitation. Inert and unering the flows towards her goal. At easy bend in her course, she leaves the mud which she carries and the corpses of the drowned. History knows her way. She makes no mistakes. He who was not absolute faith in History does not belong to the party ranks .

Sejalan dengan karangan Toynbee berjudul The Russian Dilemma , dalam karangan tersebut dikatakan bahwasannya Rusia terpaksa harus memilih totaliterisme sebagai jawaban atas hidupnya. Karena tanpa adanya totaliter, Rusia dianggap telah lama kehilangan identitas dirinya. Seperti halnya Indonesia, yang hanya punya satu pilihan, yakni demokrasi. Sederet karangan buku yang dibaca oleh Hok-gie, secara tidak langsung telah berpengaruh dalam pembentukan karakter serta pandangannya dalam melihat, menyikapi suatu keadaan ataupun pandangan politiknya.

Merujuk pada pernyataan salah seorang teman Soe Hok-gie yakni Aristides Katoppo. Seorang wartawan asal Manado tersebut menyebut lawan debatnya sebagai seorang Humanis Universal. Karena dalam menelaah permasalahan politik ataupun permasalahan sosial, Gie selalu memandangnya dari sisi human, sisi kemanusiaan. Seperti pada masa Orde Baru, PKI dan segala yang menyangkut PKI harus dijadikan musuh serta dibabat habis. Akan tetapi lain dengan pandangan Soe Hok-gie, bahwasannya PKI juga punya hak untuk hidup, sehingga PKI punya hak untuk diadili bukan dihukum bahkan dibunuh tanpa melalui proses pengadilan.

Pada catatan hariannya tanggal 6 Agustus 1961 juga menggambarkan bahwa dia seorang humanis. Dalam catatan tersebut Soe Hok Gie dengan Tjie Tjin Hok sedang menonton di bioskop yakni film Jepang yang berjudul Human Torpedoes Kaiten . Dia menganggap film tersebut baik dalam segi ide. Dia menangkap segi-segi kemanusiaan dan latar belakang kehidupan orang-orang yang hidupnya hanya tersisa satu hari.

Tokohnya berkisar pada tiga orang (terutama). Seorang yang nihilis (kalau boleh disebut begitu). Malam sebelum keberangkatannya ia tidur nyenyak sekali dengan sebuah panser: “supaya tidak mati, jangan dilahirkan”. Tokoh kedua pemimpin skuadron torpedo maut. Aku kira adalah tokoh yang paling tragis. Seorang mahasiswa Universitas Tokyo dan pembaca Immanuel Kant. Secara pribadi ia menolak kekejaman perang dan dengan sendirinya berpihak pada kemanusiaan. Tetapi ia mau mati. Mengapa? Supaya perang lekas berakhir dan yang paling penting: “Supaya terketuk pintu hati pemimpin-pemimpin akan ketragisan perang”, itu yang dikatakan kepada senior mahasiswa Universitas Tokyo (pelayannya). Bagiku terdapat suatu heroisme tragis ala Spengler. Ia yang paling tenang dalam arti kata sadar akan senja hidupnya. Seperti juga kebudayaan barat menanti dengan herois tetapi tragis akhir hidupnya. Permasalahannya adalah permasalahan manusia.

Tokoh ketiga takut (sebagai manusia) dan berat akan kekasihnya. Tetapi pada malam terakhir ia tenang dengan membayangkan malam itu hari bahagia. Ia mengidektifikasi suasana dengan hari perkawinannya yang kesepuluh. Kekasihnya adalah penari ballet. Suatu ballet dengan latar belakang laut dan pemotretan hitam putih, dapat membangun suasana yang mistis. Kekasihnya juga bunuh diri. Orang jepang rupanya memandang bunuh diri sebagai sifat ksatria. Aku pun berpendapat seperti itu.

Aku lebih simpati kepada tokoh kedua sebab mungkin aku belum bercintaan jadi tak mengerti dengan baik jalan pikirannya.

Akhir-akhir ini aku senang sekali dengan film-film Jepang seperti *The Rikhshawan, Kasih Tersayang . Betapa putisi tetapi dalam film-film Jepang dapat mengungkap nilai-nilai manusia.

Soe Hok-gie merupakan penulis yang berusaha mengawinkan konsep dan teori dalam kehidupan praktis sehingga tulisannya saat dikonsumsi publik memiliki ruh tersendiri. Banyaknya buku-buku yang dilahap Soe Hok-gie, membuatnya menjadi pribadi yang moralis. Seorang moralis yang memegang teguh etika absolut. Lain halnya dengan etika tanggung jawab, menurut pandangan salah seorang teman baik Gie, moralis yang penganut etika tanggung jawab tidak akan segan untuk menghabisi nyawa bilamana dia mempunyai kesempatan terlebih dulu untuk membunuh ketika dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh seseorang. Berbeda dengan seorang moralis penganut etika absolut, ketika dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh, dia tidak akan menghabisinya lebih dulu meski dia mengetahui akan dibunuh.

Soe Hok-gie mencoba menjadi pribadi yang bersikap objektif dalam melihat berbagai hal, dalam tulisannya “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang” yang diterbitkan kompas tanggal 16 Juli 1969.

Ketika kita berjuang untuk kemerdekaan Indonesia beberapa puluh tahun yang lampau, kita menghadapi suatu persoalan besar: “jika sekiranya Indonesia telah merdeka, Bagaimanakah kita „membentuk‟ dan mengarahkan nasional Indonesia di masa yang akan datang?” jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia setelah penyerahan kedaulatan.

Setahu saya, di Indonesia tidak ada kelompok-kelompok politik (kecuali beberapa gerakan mistik yang kecil tentunya) yang ingin agar suasana seperti zaman Belanda diteruskan. Membiarkan 93 persen rakyat buta huruf.15

Soe Hok-gie selalu menuliskan apa yang menjadi kegelisahannya, dalam tulisan tersebut Gie mempertanyakan sesuatu hal yang mendasar, yang menjadi kegelisahan pada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yang mungkin tidak pernah terbesit di pikiran para Bapak Bangsa. Dalam pembuatan film GIE, buku- buku yang dibaca Gie semasa kecil hingga remajanya begitu banyak. Dari karya Mochtar Lubis hingga 1984 karya George Orwell.16

Dalam catatan harian Jumat 14 Februari 1958, Soe Hok-gie menuliskan bahwa dia mulai suka filsafat walaupun dia sendiri belum tahu apa itu filsafat. Dia berkomentar mungkin pengetahuannya seperseratusribu orang yang tahu. Dia menganggap bahwa dirinya masih merupakan bakal buah (bukan tunas, bibit).17

Saat masih SMP, Gie menjadi pembaca koran yang rajin. Di rumahnya di Kebon Jeruk sepanjang dasawarsa 1950-an selalu ada Keng Po , surat kabar yang populer di kalangan Cina Indonesia. Gie selalu membaca halaman koran yang berisi pandangan kritis dan lebih terbuka terhadap kebijakan pemerintah. Adapun koran lain yang dikonsumsi Soe Hok-gie adalah Indonesia Raya (koran yang provokatif dan kadang-kadang sensasional, yang dipimpin oleh Mochtar Lubis) dan Pedoman (dipimpin oleh Rosihan Anwar yang berasosiasi luas dengan partai PSI).

Tidak hanya berhenti pada bacaan, Soe Hok-gie juga senang dengan menulis. Dalam catatan hariannya, Gie menuliskan tentang kegiatan sehari- harinya, intisari buku-buku yang pernah dilahapnya, kekesalannya terhadap bobroknya pemerintahan, hingga kritikan-kritikan tajam terhadap aktor politik yang berperan dalam pemerintahan kala itu. Pada tanggal 10 Desember 1959, yakni ketika dia bertemu dengan seorang yang kelaparan dan pada saat itu tengah memakan kulit mangga. Ungkapan eksplisit yang dia tuliskan tentang pemahamannya terkait dunia politik.

Karya Soe Hok Gie

Sosok Soe Hok-gie merupakan salah seorang contoh pemuda pejuang, aktivis, intelektual yang kritis, dan idealis. Yang mana meninggal sebelum teruji idealitasnya oleh waktu. Prototipe nyata seorang intelektual yang tulisannya begitu kuat dan banyak selama periode hidupnya. Ia banyak meninggalkan warisan bagi kita semua, baik di atas tanah maupun di atas kertas. Karyanya di atas tanah seperti ikut andil dalam mendirikan Mapala, sebagai bentuk mendekatkan mahasiswa mencintai alamnya. Kemudian ikut memperjuangkan serta memprotes keras suatu pemerintahan yang otoriter dan perjuangan untuk pemerintahan yang baru dan bersih, tetapi tetap kritis ketika pemerintahan yang baru yang berdiri tegak ternyata melenceng dari semangat awalnya. Kemudian karya-karyanya diatas kertas mulai dari catatan harian hingga artikel yang dilemparkan ke media massa. Berikut klasifikasinya.

Buku
Buah karya pikiran-pikiran Soe hok-gie yang dibukukan yakni Catatan Seorang Demonstran, Di Bawah lentera Merah, Orang-Orang di Persimpangan Kiri jalan, dan Zaman Peralihan.

  • Catatan Seorang Demonstran
    Buku ini merupakan curahan hati dan pikiran Soe Hok-gie sejak masa kecil hingga akhir hayatnya. Diterbitkan pertama kali oleh LP3ES bulan Mei 1983. Adapun sejarah penerbitan buku ini dimulai dengan terbentuknya Yayasan Mandalawangi yang berusaha melanjutkan cita-cita Soe Hok-gie. Selanjutnya, yayasan tersebut berusaha menerbitkan catatan harian Soe Hok-gie. Pada tahun 1972, pernah mencoba untuk dicetak dengan judul Catatan Pemuda Indonesia. Namun dari waktu ke waktu perkembangannya dihentikan. Pada tahun 1979, upaya penerbitan catatan harian tersebut dimulai lagi. Tetapi permasalahan kembali muncul karena naskah aslinya pada tahun 1972 sulit diketemukan. Kemudian ahun 1983 hingga 2005 merupakan terbitan baru atau bisa disebut dengan edisi yang diperbarui yang dikerjakan oleh Asab Mahasin, Ismed Natsir, dan Daniel Dhakidae.

  • Di Bawah Lentera Merah
    Buku ini merupakan karangan kecil yang diajukan untuk menempuh ujian Sarjana Muda jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kajian historis yang dilakukan oleh Soe Hok-gie guna mengungkap tentang organisasi terbesar pada masa pergerakan sampai terjadinya konflik yang mengakibatkan perpecahan di internal organisasi, yang kemudian memunculkan SI Putih dan SI Merah. Perpecahan tersebut merupakan latar belakang berdirinya PSI dan PKI. Buku yang berjudul Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 ini pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Frantz Fanon, Jakarta tahun 1990. Kemudian diterbitkan kembali oleh Yayasan bentang Budaya, Jokjakarta tahun 1999.

  • Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan
    Buku yang memiliki judul asli Simpang Kiri dan Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Karya ini mengisahkan tentang pemberontakan PKI di Madiun yang ditumpas habis. Soe Hok-gie mencoba memberi gambaran konflik ideologi yang terjadi hingga memakan banyak korban di Indonesia dalam bentuk pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Buku ini merupakan Skripsi Soe Hok-gie guna menempuh Sarjananya dengan gelar Drs. Diterbitkan oleh penerbit Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta pada tahun 1997 hingga cetakan ketiga pada tahun 2005.

  • Zaman Peralihan
    Buku ini dieditori oleh Stanley (wartawan senior yang sekarang menjabat sebagai komisioner Komnas HAM. Beberapa orang menyebutnya sebagai reinkarnasi dari Soe Hok-gie) dan Aris Santoso (seorang sejarawan UI). Buku ini merupakan kumpulan tulisan artikel Soe Hok- gie tentang berbagai macam persoalan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah iklim yang konsumtif-hedonis- kapitalistik, Soe Hok-gie berani menulis dan melemparkannya ke media massa. Tak tanggung-tanggung, tulisannya yang tajam, menggigit dan seringkali sinis. Buku ini berisi kurang lebih 30 artikel yang tersebar di media massa dalam kurun waktu 1965 hingga ajal menjemputnya.

    Pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto. Artikel- artikel tersebut dibuat karena Soe Hok-gie sudah tidak tahan lagi dengan pemerintahan yang baru telah membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan membiarkan pembantaian massal, proses pembunuhan atau penimpaan kesalahan tanpa proses peradilan, pemenjaraan maupun penyiksaan terhadap PKI ataupun yang dituduh PKI telah terjadi. Kemudian kritikannya terhadap beberapa gejala korupsi di Pertamina serta bagaimana mulai gencarnya mencari utangan untuk membangun ekonomi bangsa maupun perlakuan atas tawanan yang terlampaui tidak manusiawi. Dalam kamar yang dengan penerangan listrik temaram karena voltase yang selalu turun jika malam hari, Soe Hok-gie memproduksi tulisan-tulisan yang menurut keterangan Rudi Badhil jumlahnya mencapai 100 lebih. Yang kesemua tulisannya berpengaruh di era 1960an. Buku ini pertama kali diterbitkan di Jogjakarta oleh Yayasan Bentang Budaya pada tahun 1995, yang kemudian diterbitkan kembali oleh GagasMedia di Jakarta pada tahun 2005.

Sajak
Hasil identifikasi puisi-puisi Soe Hok-gie yang dipublikasikan maupun yang belum dipublikasikan masih belum pasti. Dalam buku Soe Hok-Gie: Biografi Sang Demonstran 1942-1969 menyebutkan bahwa ada puluhan judul sajak Soe Hok-gie yang kini dalam proses penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Wajar bilamana Soe Hok-gie juga pandai dalam memainkan kata-kata karena dia semasa hidupnya juga akrab dengan Taufik Ismail, WS Rendra ataupun Stayagraha Hoerip.

Kawan Soe Hok Gie

Nama-nama teman diskusi Soe Hok-gie yang terlihat sentral dalam buku catatan Hariannya adalah Ong Hok Ham, dan Tan Hong Gie. Seperti saat dia selesai menonton film Five Branded Women , dia berkomentar bahwasannya pada akhir kematiannya si tokoh berkata bahwa “suatu kali manusia bisa berubah dan perang akan tiada lagi. Aku benci kepada perang dan berbuat ini supaya kita bisa hidup bebas…” betapa optimisnya si tokoh tersebut hingga membuat Soe Hok- gie teringat dengan Ong Hok Ham dan Tan Hong Gie.

Betapa optimisnya. Kadang-kadang aku ingat orang-orang seperti Ong Hok Ham dan Tan Hong Gie.

Mereka pun orang-orang begitu optimis. Aku pernah berkata pada Ong bahwa ia seperti orang 100 tahun yang lalu, pada masa Aufklarung

Si Hong Gie rupanya lebih realis dalam konfrontasi dengan obyeknya dan ia berpaling pada prasejarah (aku justru berpaling pada sejarah).

“lihat pada masa prasejarah orang begitu optimis. Begitu pasif dalam menjajak pada kemajuan, biarpun perlahan. Biarpun hidupnya keras dan kejam tapi kita tetap optimis”. Itu awabnya mengapa ia senang prasejarah. “Tapi”, kataku, “engkau tidak melihat ada apa di mukanya, di zaman sejarah ini. Aku begitu pesimis dalam belajar sejarah.” Dia Cuma tertawa. Aku berkata mengapa justru dalam setiap ide yang konstruktif ada penghianat. Seolah-olah tiap-tiap golongan kita adalah penghianat. Kita (secara keseluruhan) adalah pion-pion untuk mengisi sejarah dunia. Kita dimain-mainkan dan harus mau sukarela begitu. Lalu kita pion siapa? Tuhan? Aku tidak percaya bentuk Tuhan apapun, kecuali yang sesuai dengan idealku sendiri. Akupun tak yakin (pasti malah) tentang ke-tak-ada-annya nasib. Aku juga tak percaya kita juga. Dewasa ini aku berpendapat bahwa kita adalah pion dari diri kita sendiri sebagai keseluruhan. Kita adalah arsitek nasib kita, tapi kita tak pernah dapat menolaknya. Kita asing, ya kita asing dari ciptaan kita sendiri. Itulah mengapa aku pesimis. Barangkali cuma orang gila yang tahu tentang situasinya?

Soe Hok-gie mengatakan bahwasannya tahun 1962 merupakan tahun yang sangat berkesan dalam hidupnya dan sedikit banyak memberikan pengaruh dalam pandangan hidupnya.

Pertama hubunganku yang erat dengan Ong Hok Ham. Ia adalah seorang yang mengagumi nilai-nilai pandangan tradisional. Sedang aku sebaiknya hanya dapat melihat aspek-aspek negatif daripadanya. Dua pandangan yang berbeaa ini selalu membuat kami berdebat lama sekali. Pernah sampai jam 02.30 pagi. Kadang-kadang sampai 14 jam kami debat/ngobrol, bercanda. Dalam peredebatan-perdebatan itu Ong mulai dapat membuka perspektif-perspektif baru dalam hidupku. Aku terang tidak dapat menerima seluruh pandangan-pandangannya. Dia mengemukakan bahwa traditional way of life banyak sekali mempunyai unsur-unsur positif “kesenian yang diperkembangkan di Istana dengan segala perwujudan nilai-nilai artistik yang maksimal merupakan hasil yang nyata”, begitulah Ong berpendapat. Tetapi bagiku adalah suatu persoalan. Apakah kita boleh mengorbankan hidup sebagian terbesar rakyat untuk mencapai hasil yang maksimal itu? Apakah kita boleh mengorbankan potensi-potensi yang bisa membahagiakan manusia yang banyak demi kenikmatan dari golongan feodal yang sedikit? Bagiku lebih baik tidak ada Borobudur, Serimpi, Hotel Indonesia, bila rakyat bisa lebih menikmati hidupnya. Ong biasanya terbakar: “ya, kamu lebih setuju orang mati dimakan nyamuk, diperas rawa-rawa, ditanduk banteng atau disengat kala daripada orang mati demi keindahan Borobudur, wayang dan sebagainya”.

“lihatlah di Irian Barat, telanjang, bercawat, tidak ada kebudayaan”. Aku jelaskan pada Ong bahwa bukan hanya 2 pilihan: antara lain yaitu menikmati kebahagiaannya. Ia bisa menikmati nilai-nilai hidupnya sebagai manusia. Dan inilah tujuan dari kebudayaan. Dehumanisasi dengan pemerasan-pemerasan yang mungkin menghasilkan hasil-hasil yang indah, bagiku tetap merupakan hasil yang negatif.

Lalu Ong membawaku menonton wayang orang (tadinya aku segan, aku pikir aku akan ngantuk). Memang dasar-dasar pandanganku tidak berubah tapi aku harus mengakui bahwa pandangan Ong juga tidak salah. Banyak pandangan-pandanganku tentang tardisionalisme berubah dan aku harus mengakui bahwa bagian besar dari pendapat-pendapatku dahulu adalah hasil kemuakan + prasangka-prasangka. Jadi bukannya suatu pengamatan yang juur dan tenang.

Setelah mendapatkan penjelasan tersebut, Soe Hok-gie menganggap bahwasannya tradisionalisme memberikan sumbangsih atas pembentukan kebudayaan modern, tetapi jika ada pendemokrasian. Bahwasannya pandangan hidup pantheis dan statis, bukan hanya suatu kenihilan saja.

Setidaknya Ong membuka perspektif baru dalam pandanganku sekarang terhadap persoalan-persoalan. Ia menuduhku “Confusianis”, “anjing pankukan yang tak berani mencari, “moralis” dan sebagainya. Aku kira tuduhan yang paling menggelikan adalah bahwa aku seorang Confusianis. Entah setan apa yang merangsang Ong hingga menyebutku demikian.

Dalam pembicaraannya dengan Ong Hok Ham terkait dengan situasi yang sekarang ini teradi di kancah perpolitikan Indonesia, Ong memberikan analisa bahwasannya kekuatan yang terlihat sekarang ini hanyalah pihak militer dan PKI.

Dalam menganalisa situasi sekarang Ong berpendapat bahwa ada dua social forces yang nyata adalah militer dan PKI. Bila keduanya berkuasa maka itu merupakan jalan yang suram. Kini ada suatu social fact yaitu sarjana-sarjana tetapi mereka tak punya kekuasaan. Dan ada titik terang sekarang yaitu di SSKAD (sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) ada kerjasama antara militer sarjana. Sarjana mengajar militer dan dengan demikian pikiran sarjana dan kekuasaan militer dapat mengatasi situasi demikian ini. Tetapi dari pihak militer ada penentang- penentang.

Menariknya dalam diskusi Soe Hok-gie dengan Ong Hok Ham pada tanggal 16 Maret 1964 yakni tentang Manipol Sukarno.

Ong melihat situasi sekarang sebagai lanutan belaka daripada pertentangan Tradisionalisme. Manipol, bagi Ong adalah semacam kitab suci baru. Apakah mungkin suatu doktrin dan falsafah kenegaraan dicakup dalam 15 halaman? Ia lalu menunjuk person dan gelar Presiden Sukarno, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi. Presiden adalah jabatan kenegaraan. Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah jabatan ketentaraan dan Revolusi adalah jabatan keagamaan. Menurut Ong revolusi kini sudah menjadi agama baru. Siapa-siapa yang dicap anti revolusi, berarti anti kebenaran. Jadi Sukarno mempunyai 3 aspek. Gelar raja-raja Jawa juga sama dengan gelar politik ( kawula ing tanah Jawi ) tentara ( Senapati ing ngalanga ) dan agama ( Syekh Sahidin Ngabdulrachmad ) Presiden Sukarno adalah lanjutan daripada raja-raja tanah Jawa. Karena itu dalam tindakan- tindakannya ia bersikap seperti raja-raja dahulu. Ia beristeri banyak, mendirikan keraton-keraton dan lain-lain.

Gie menganggap aspek yang dipaparkan Ong dapat dia temui kebenaran dari peninjauan tradisinya Revolusi merupakan agama baru dan semboyan- semboyan Manipol, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin dan lain-lain tidaklah lebih dari doa-doa yang dikira mustajab. Sukarno tidak lebih dari seorang raja tradisional. Apakah mungkin Soe Hok-gie rela meletakkan masa depan Indonesia di tangan model pemimpin seperti ini? Jelas tidak mungkin.

Soe Hok-gie menerima Pancasila dan Manipol tetapi sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan sebagai cita-cita dari Indonesia, dan cita-cita tersebut memaknainya sebagai tujuan dari Revolusi Indonesia. Bahkan Soe Hok-gie melontarkan kalimat pedas terkait kesia-siaan pembangunan tugu disaat rakyat kelaparan, “Dan Sukarno memberikan istana, imoral, tugu-tugu yang tidak bisa dinikmati rakyat. Kita semua kelaparan.”

Kematian Soe Hok Gie

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.

Terlihat jelas bahwa Soe Hok-gie mengamini kata-kata seorang filsuf Yunani sehingga dia menuliskan sajak ini dalam catatan hariannya. Ketika Soe Hok-gie akan berangkat mendaki ke Gunung Semeru, dalam catatan hariannya tertanggal 8 Desember 1969 dia menuliskan:

“…saya punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”

Hingga akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di ketinggian 3.676 mdpl Puncak Mahameru tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya.

Malam hari yang sempat cerah kami jadikan ajang obrolan dan bersenda gurau dengan Hok-gie. Bayangkan, Hok-gie dengan tegas bilang, “gue akan ulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang atuh lusa itu, besok kan Selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa,” ujarnya.

Tetapi naas maut telah merenggut nyawa Soe Hok-gie terlebih dahulu. Dia meninggal bersama seorang junior dari Universitas Tarumanegara yang berumur 19 tahun waktu itu, yakni Idhan Dhanvantari Lubis.

Sambil menanti sisa rombongan –Soe, Herman, Idhan, dan Freddy, di pelataran tanah sempit di sekitar pohon cemara terakhir itu, kami ramai-ramai membersihkan dan memasang lembaran ponco sebagai atap, berikut alas dan ponco juga, untuk kemah darurat berlindungdari tetes-tetes gerimis air dingin, serta curahan pasir halus dari sisa udara letusan kepundan kawah Jonggring Seloko. Sore itu mulai remang-remang, lalu terdengar suara gemerasak lagi. Freddy Lasut rekan anggota tim termuda dan masih siswa SMA di Jakarta, tiba-tiba muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung.

“Soe, dan Idhan kecelakaan. Hok-gie dan Idhan Kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang penyebab kecelakaan kedua kawan kita. “Herman masih jaga diatas sana, masih diatas”, katanya.

Perjalanan Soe Hok-gie ke Puncak Semeru sebagai bagian dari upayanya untuk melepas penat terhadap negara yang dicintainya.

Entah beberapa puluh menit berlalu, tapi yang jelas cuaca masih belum betul- betul gelap. Lamat-lamat terdengar suara geruduk-geruduk guliran batu pasir. Kelihatan Freddy berdua dengan Herman meluncur turun, ya herman dan Freddy saja, tanpa Hok- gie dan Idhan Lubis. Herman datang duluan, sambil menghempaskan diri ke tenda darurat. Dia langsung melapor ke Tides. “Hok-gie dan Idhan so meninggal. Mereka tia- tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak,” ujar Herman.

Soe Hok-gie, seorang pejuang yang konsisten. Ketika semua teman- teman angkatan ‟66 yang turut andil dalam demonstrasi guna menggulingkan pemerintahan Sukarno sedang menikmati kursi pejabat, Soe Hok-gie lebih memilih kembali ke rutinitasnya yakni belajar dan tetap menjadi oposan pemerintah.

Gue sekarang mengundurkan diri dari kegiatan politik. Pertama karena gue nggak mau jadi politikus, itu pekerjaan yang kotor dan jorok. Kedua gue kira gue nggak punya tugas lagi. Gue lebih merasa bahwa tugas orang seperti kita-kita ini adalah pelopor-pelopor dari suatu pendobrakan. Dahulu nggak ada yang berani dobrak, karena Sukarno kuat dan tentara masih plintat-plintut. Setelah kita buka pintunya dengan nekad-nekadan, semua orang sudah masuk dan sekarang adi berani seperti singa. Dan tugas kita selesai. Sekarang gue nggak ikut politik-politik. Gue mau jadi sarjana yang baik. Sekali-kali gue nulis artikel yang tajam, kritik sana, kritik sini, termasuk ABRI.

Yang Soe Hok-gie protes ketika zaman pemerintahan Sukarno adalah ketidakadilan dan kebobrokan dalam mengelola pemerintahan. Dia memisahkan dalam mengkritik Sukarno sebagai kepala negara ataupun Sukarno secara pribadi. Soe Hok-gie kecewa kepada teman-teman aktivis mahasiswa yang berebut kursi di parlemen hingga berebut untuk mendapatkan kredit mobil Holden. Dia mengirimkan sejumlah paket make up untuk para wakil mahasiswa tersebut guna untuk tampil cantik di parlemen.

Saya usulkan pada Jopie untuk memberikan kain sarung dan kebaya buat ketua DPRGR sebagai ucapan selamat, atas “kepengecutannya”. Lalu ide ini beralih tidak pada DPRGR tapi hanya pada wakil-wakil mahasiswa yang ada disana…” Sore- sore ada pertemuan kecil soal rencana Panitia Sarung. Diputuskan tidak membeli sarung/kebaya tapi alat-alat make up.

Kematian Soe Hok-gie banyak menyisakan tanda tanya. Karena sebelum keberangkatannya ke Gunung Semeru, Hok-gie membuat geger para wakil mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Saat tim pendakian Soe Hok-gie tiba di RS. Celaket Malang, seorang teman Soe Hok-gie yang bernama Herman O. Lantang yang merupakan saksi mata segera diminta untuk ikut ke kantor polisi.

Herman dicecar pertanyaan soal pembunuh dan konspirasi politik. Polisi disana mengejar dan terus menekan dengan pertanyaan yang intinya mempertanyakan kematian Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis.

Apapun jawaban Herman sejujurnya, polisi muda itu terus mengejar dengan gaya interogasi “maling ayam”. Catatan dan pertanyaan soal Hok-gie dan Idhan bagaimana mereka tewas serta kemungkinan siapa yang berada dibalik peristiwa meninggalnya dua sahabat itu, terus saja diulang-ulang.
“Gue bicara keras soal tudingan siapa pembunuhnya, dan konspirasi politik itu binatang apaan. Tapi tetap aja mereka berlagak seakan-akan tidak mengerti bahasa Indonesia kali,” ujar Herman yang kesalnya belum habis-habis sampai sekarang.

Tulisan Mochtar Lubis yang dipersembahkan khusus untuk Soe Hok-gie dan Idhan Lubis yang berjudul “Kuntum Jatuh Sebelum Mekar”, tertanggal 23 Desember 1969

Berita tewasnya Soe Hok Gie dan Davantari Lubis dalam bencana memanjat Gunung Semeru amat mengejutkan dan membuat kita terpekur. Dua pemuda yang dahulu berjuang untuk menegakkan nilai-nilai yang mereka mimpikan bagi rakyat dan bangsa mereka kini telah gugur bagai kuntum yang jatuh sebelum mekar. Soe Hok Gie, karena karena umurnya lebih tua, lebih banyak mendapat kesempatan untuk mengembangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan-tulisan dan pembicaraan- pembicaraan.

Semoga kita yang mereka tinggalkan tidak melupakan mereka dan agar rakyat kita selalu akan ingat pada cita-cita perjuangan generasi muda kita ini, yang sampai sekarang masih belum juga tercapai.

Kita mendoakan semoga Allah Yang Mahakuasa akan menguatkan hati keluarga-keluarga yang mereka tinggalkan dan hati kita semua untuk meneruskan langkah di jalan yang tak ada ujung ini.

Dalam penggalan syair yang ditulis Soe Hok Gie di buku hariannya

tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.

setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya. tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.