Latar Belakang Pandangan Politik Soe Hok Gie
Jika dipertanyakan darimanakah pandangan politik seorang Soe Hok-gie terbentuk dan terpengaruh oleh pandangan-pandangan tokoh siapa saja yang membentuk karakter seorang Soe Hok-gie. Dalam catatan harian, Soe Hok-gie tidak banyak mengekspos kehidupan keluarga serta diskusi dengan keluarga terkait dengan tema politik. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, yang mempengaruhi pandangan politik serta karakter Hok-gie adalah pengaruh orang tuanya secara tidak langsung yang tercerminkan lewat aturan moral serta perilaku yang mereka coba tanamkan sejak kecil. Seperti yang sudah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, ibunya lah yang banyak berperan, dan mungkin darah yang mengalir dalam diri Soe Hok-gie dari ayahnya yang merupakan seorang penulis serta jurnalis.
Dalam catatan hariannya pula, dia menuliskan beberapa tokoh penting dan review dari buku seperti Saint Joan karya Bernard Shaw, buku ini merupakan buku tentang masalah kebenaran serta moral. Anggapan Hok-gie terhadap tokoh Saint Joan sangat hidup dan menarik dalam hal idealisasi serta interpretasinya. Bagi Shaw, Joan adalah seorang martir Protestan yang pertama, karena Joan berani berbicara bahwa Tuhan telah langsung memberinya perintah tidak lewat gereja, melainkan langsung memberikan wahyu. Dialog serta ide-ide dari buku tersebut merangsang Hok-gie untuk menganalisis lebih lanjut.
Dalam salah satu dialog ketika Joan ditentang untuk menyerang Paris, dan tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Joan berkata: “ Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. France is alone, and God is alone…The loneliness of God is the strength”. Dan Joan melaksanakan juga keinginannya walaupun ia tahu akibatnya. Bagi saya Joan sangat simpatik, bertindak terus walau ia tahu apa yang menantinya. Di sini kita jumpai pula heroisme tragis ada suatu irama perjuangan: ialah kesia-siaan. Jika ia seorang fatalis tentu ia akan menolak mati untuk ke- absurd -an. Tetapi bila demikian tidak bisa lagi kita memberi makna hidup. Bagi saya berjuang melawan kedegilan, walau untuk menciptakan yang baru, sangat simpatik dan merupakan keharusan. Dalam epilog roh Joan berkata “ Well, if I saved all those who would have been cruel to me, I was not burnt for nothing, was I?”.
Dalam catatan harian tersebut, timbul keraguan dalam diri Hok-gie, dia menganggap dirinya mati bukan untuk apa-apa. Dia menganggap Joan sebagai manusia biasa yang hidup untuk dikhianati dan pada akhirnya Joan sadar bahwa ia murtad dan suaraya merupakan suara setan.
Dalam buku Darkness at Noon oleh Koestler, sejarah merupakan Partai atau Pemerintah, karena dalam suatu negara totaliter, partai identik dengan Pemerintah. Sedangkan kebenaran dimonopoli oleh suatu golongan.
The party can never be mistaken. You and I can make a mistake “The Party, comrade, is more than you and i and a thousand others like you and i. The party is the embodiment of the revolutionary idea in history. History knows no scruples and no hesitation. Inert and unering the flows towards her goal. At easy bend in her course, she leaves the mud which she carries and the corpses of the drowned. History knows her way. She makes no mistakes. He who was not absolute faith in History does not belong to the party ranks .
Sejalan dengan karangan Toynbee berjudul The Russian Dilemma , dalam karangan tersebut dikatakan bahwasannya Rusia terpaksa harus memilih totaliterisme sebagai jawaban atas hidupnya. Karena tanpa adanya totaliter, Rusia dianggap telah lama kehilangan identitas dirinya. Seperti halnya Indonesia, yang hanya punya satu pilihan, yakni demokrasi. Sederet karangan buku yang dibaca oleh Hok-gie, secara tidak langsung telah berpengaruh dalam pembentukan karakter serta pandangannya dalam melihat, menyikapi suatu keadaan ataupun pandangan politiknya.
Merujuk pada pernyataan salah seorang teman Soe Hok-gie yakni Aristides Katoppo. Seorang wartawan asal Manado tersebut menyebut lawan debatnya sebagai seorang Humanis Universal. Karena dalam menelaah permasalahan politik ataupun permasalahan sosial, Gie selalu memandangnya dari sisi human, sisi kemanusiaan. Seperti pada masa Orde Baru, PKI dan segala yang menyangkut PKI harus dijadikan musuh serta dibabat habis. Akan tetapi lain dengan pandangan Soe Hok-gie, bahwasannya PKI juga punya hak untuk hidup, sehingga PKI punya hak untuk diadili bukan dihukum bahkan dibunuh tanpa melalui proses pengadilan.
Pada catatan hariannya tanggal 6 Agustus 1961 juga menggambarkan bahwa dia seorang humanis. Dalam catatan tersebut Soe Hok Gie dengan Tjie Tjin Hok sedang menonton di bioskop yakni film Jepang yang berjudul Human Torpedoes Kaiten . Dia menganggap film tersebut baik dalam segi ide. Dia menangkap segi-segi kemanusiaan dan latar belakang kehidupan orang-orang yang hidupnya hanya tersisa satu hari.
Tokohnya berkisar pada tiga orang (terutama). Seorang yang nihilis (kalau boleh disebut begitu). Malam sebelum keberangkatannya ia tidur nyenyak sekali dengan sebuah panser: “supaya tidak mati, jangan dilahirkan”. Tokoh kedua pemimpin skuadron torpedo maut. Aku kira adalah tokoh yang paling tragis. Seorang mahasiswa Universitas Tokyo dan pembaca Immanuel Kant. Secara pribadi ia menolak kekejaman perang dan dengan sendirinya berpihak pada kemanusiaan. Tetapi ia mau mati. Mengapa? Supaya perang lekas berakhir dan yang paling penting: “Supaya terketuk pintu hati pemimpin-pemimpin akan ketragisan perang”, itu yang dikatakan kepada senior mahasiswa Universitas Tokyo (pelayannya). Bagiku terdapat suatu heroisme tragis ala Spengler. Ia yang paling tenang dalam arti kata sadar akan senja hidupnya. Seperti juga kebudayaan barat menanti dengan herois tetapi tragis akhir hidupnya. Permasalahannya adalah permasalahan manusia.
Tokoh ketiga takut (sebagai manusia) dan berat akan kekasihnya. Tetapi pada malam terakhir ia tenang dengan membayangkan malam itu hari bahagia. Ia mengidektifikasi suasana dengan hari perkawinannya yang kesepuluh. Kekasihnya adalah penari ballet. Suatu ballet dengan latar belakang laut dan pemotretan hitam putih, dapat membangun suasana yang mistis. Kekasihnya juga bunuh diri. Orang jepang rupanya memandang bunuh diri sebagai sifat ksatria. Aku pun berpendapat seperti itu.
Aku lebih simpati kepada tokoh kedua sebab mungkin aku belum bercintaan jadi tak mengerti dengan baik jalan pikirannya.
Akhir-akhir ini aku senang sekali dengan film-film Jepang seperti *The Rikhshawan, Kasih Tersayang . Betapa putisi tetapi dalam film-film Jepang dapat mengungkap nilai-nilai manusia.
Soe Hok-gie merupakan penulis yang berusaha mengawinkan konsep dan teori dalam kehidupan praktis sehingga tulisannya saat dikonsumsi publik memiliki ruh tersendiri. Banyaknya buku-buku yang dilahap Soe Hok-gie, membuatnya menjadi pribadi yang moralis. Seorang moralis yang memegang teguh etika absolut. Lain halnya dengan etika tanggung jawab, menurut pandangan salah seorang teman baik Gie, moralis yang penganut etika tanggung jawab tidak akan segan untuk menghabisi nyawa bilamana dia mempunyai kesempatan terlebih dulu untuk membunuh ketika dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh seseorang. Berbeda dengan seorang moralis penganut etika absolut, ketika dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh, dia tidak akan menghabisinya lebih dulu meski dia mengetahui akan dibunuh.
Soe Hok-gie mencoba menjadi pribadi yang bersikap objektif dalam melihat berbagai hal, dalam tulisannya “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang” yang diterbitkan kompas tanggal 16 Juli 1969.
Ketika kita berjuang untuk kemerdekaan Indonesia beberapa puluh tahun yang lampau, kita menghadapi suatu persoalan besar: “jika sekiranya Indonesia telah merdeka, Bagaimanakah kita „membentuk‟ dan mengarahkan nasional Indonesia di masa yang akan datang?” jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia setelah penyerahan kedaulatan.
Setahu saya, di Indonesia tidak ada kelompok-kelompok politik (kecuali beberapa gerakan mistik yang kecil tentunya) yang ingin agar suasana seperti zaman Belanda diteruskan. Membiarkan 93 persen rakyat buta huruf.15
Soe Hok-gie selalu menuliskan apa yang menjadi kegelisahannya, dalam tulisan tersebut Gie mempertanyakan sesuatu hal yang mendasar, yang menjadi kegelisahan pada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yang mungkin tidak pernah terbesit di pikiran para Bapak Bangsa. Dalam pembuatan film GIE, buku- buku yang dibaca Gie semasa kecil hingga remajanya begitu banyak. Dari karya Mochtar Lubis hingga 1984 karya George Orwell.16
Dalam catatan harian Jumat 14 Februari 1958, Soe Hok-gie menuliskan bahwa dia mulai suka filsafat walaupun dia sendiri belum tahu apa itu filsafat. Dia berkomentar mungkin pengetahuannya seperseratusribu orang yang tahu. Dia menganggap bahwa dirinya masih merupakan bakal buah (bukan tunas, bibit).17
Saat masih SMP, Gie menjadi pembaca koran yang rajin. Di rumahnya di Kebon Jeruk sepanjang dasawarsa 1950-an selalu ada Keng Po , surat kabar yang populer di kalangan Cina Indonesia. Gie selalu membaca halaman koran yang berisi pandangan kritis dan lebih terbuka terhadap kebijakan pemerintah. Adapun koran lain yang dikonsumsi Soe Hok-gie adalah Indonesia Raya (koran yang provokatif dan kadang-kadang sensasional, yang dipimpin oleh Mochtar Lubis) dan Pedoman (dipimpin oleh Rosihan Anwar yang berasosiasi luas dengan partai PSI).
Tidak hanya berhenti pada bacaan, Soe Hok-gie juga senang dengan menulis. Dalam catatan hariannya, Gie menuliskan tentang kegiatan sehari- harinya, intisari buku-buku yang pernah dilahapnya, kekesalannya terhadap bobroknya pemerintahan, hingga kritikan-kritikan tajam terhadap aktor politik yang berperan dalam pemerintahan kala itu. Pada tanggal 10 Desember 1959, yakni ketika dia bertemu dengan seorang yang kelaparan dan pada saat itu tengah memakan kulit mangga. Ungkapan eksplisit yang dia tuliskan tentang pemahamannya terkait dunia politik.