Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD.
** Siapakah Sapardi Djoko Damono ?**
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD.
** Siapakah Sapardi Djoko Damono ?**
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di rumah kakeknya dari pihak ayah di kampung Baturono, Solo pada tanggal 20 Maret 1940. Ia merupakan putra sulung dari dua bersaudara dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sapardi meraih gelar sarjana sastra pada tahun 1964. Dan Sapardi memperdalam pengetahuannya di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) serta mencapai gelar Doktor dari Universitas Indonesia pada 1989. Mulai sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra yang sekarang bernama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, tetapi kini sudah pensiun. Ia juga pernah menjadi dekan di sana serta menjadi guru besar. Pada saat itu ia juga menjadi redaktur pada majalah “Horison”, “Basis”, serta “Kalam”. Sapardi Djoko Damono juga banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1978, Ia menerima Cultural Award dari Australia, Anugerah Puisi Putra dari Malaysia tahun 1983, Mataram Award tahun 1985, tahun 1986 ia memperoleh anugerah SEA Write Award, Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia tahun 1990, Kalyana Kretya tahun 1996 dari Menristek RI, dan Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003.
Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan dengan berkecamuknya perang kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi sulit seperti itu, pemandangan pesawat tempur dan pembakaran rumah sudah biasa dialami Sapardi ketika masih kecil. Sapardi pernah mengisahkan dalam bukunya, awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang berkecukupan, namun keadaan berubah seiring berjalannya waktu, mereka harus menjalani keadaan hidup yang kian sulit. Sapardi teringat, saking susahnya kehidupan, ia hanya makan bubur setiap pagi dan sore. Demi menafkahi keluarga, ibu Sapardi berjualan buku. Sementara ayahnya memilih pergi, hinggap dari satu desa ke desa yang lain menghindar dari tentara Belanda yang saat itu kerap menangkapi kaum lelaki walaupun bukan seorang pejuang. Ayah Sapardi pun juga bukan seorang pejuang. Sadyoko, ayah Sapardi, awalnya bekerja sebagai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta mengikuti jejak sang ayah (kakek Sapardi). Setelah menikah, ia menjadi pegawai negeri sipil di Jawatan Pekerjaan Umum. Kakek Sapardi, selain menjadi abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, ia juga memiliki keahlian membuat wayang kulit. Sapardi dan adiknya, Soetjipto Djoko Sasono, pernah mendapat seperangkat wayang kulit pemberian sang kakek.
Pada tahun 1943, saat itu kekuasaan Belanda atas Indonesia telah berpindah ke tangan Jepang, Sadyoko memutuskan pindah ke kampung Dhawung dan menyewa sebuah rumah di sana. Kala itu, ibu Sapardi hampir saja direkrut menjadi prajurit tentara Jepang, namun dirinya selamat lantaran tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto. Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, keluarga Sadyoko pindah ke Ngadijayan, tinggal di rumah milik orang tua dari Sapariah, istrinya atau ibunda Sapardi.
AWAL MULA SAPARDI TERTARIK DUNIA SASTRA
Pada 1957, Sadyoko bersama keluarga memutuskan meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Kompang. Saat itu, suasana desa itu masih sangat sepi dan belum ada listrik. Awal-awal tinggal di rumah baru, Sapardi merasa aneh karena tak lagi bisa keluyuran menonton pertunjukan wayang kulit seperti yang sering ia lakukan ketika tinggal di Ngadijayan. Namun lambat laun, ia pun terbiasa dengan suasana baru dan memilih untuk lebih banyak tinggal di rumah.“Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” katanya. Pada saat masa-masa SMA, Sapardi bertemu dengan Jeihan Sukmantoro dan berteman baik dengannya. Selain berteman dengan seorang pelukis, Sapardi juga memiliki bakat melukis. Karya lukisnya bahkan pernah dilelang untuk amal bersama dengan beberapa pelukis lain.
Dalam dunia teater, Sapardi pernah menjadi sutradara menggarap sebuah pentas drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang. Ia juga pernah berperan sebagai lakon ketika tergabung dengan Teater Rendra pimpinan W.S. Rendra. Tatkala menempuh studi di UGM, Sapardi kerap mengisi acara-acara kampus dengan membacakan puisi bersama dengan teman-temannya yang memiliki kecintaan yang sama pada bidang seni.
KARYA-KARYA SAPARDI
Selain menulis karya-karya puisi yang sempat memperoleh berbagai penghargaan, Sapardi juga banyak menulis esai, kritik sastra, menulis artikel dalam kolom surat kabar termasuk kolom sepak bola, juga menerjemahkan karya dari penulis asing. Dalam kegiatannya menerjemahkan karya tulis asing, Sapardi telah berkontribusi dalam pengembangan sastra di Indonesia. Selain menjembatani antara penulis asing dengan penikmat sastra di Indonesia, ia juga patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.
KARYA SASTRA
Karya Nonsastra
Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada tahun 1987. Tatkala beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Di saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa tahun kemudian, lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990) yang seluruh lagunya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari beberapa penyanyi yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Album “Hujan Dalam Komposisi” menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.Karena banyaknya permintaan, album Gadis Kecil (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana Soebianto dirilis. Lalu dilanjutkan oleh album Becoming Dew (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu (Ari Reda). Pada tahun baru 2008, Ananda Sukarlan juga mengadakan konser kantata Ars Amatoria yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi dan karya beberapa penyair lain.