Siapakah Sanusi Pane?

image

Sanusi Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 November 1905. Ia tamatan Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari Jakarta, dalam tahun 1925; ia diangkat menjadi guru pada sekolah tersebut (1926-1931). Kemudian dia pindah ke Lembang ketika sekolah itu dipindahkan ke sana (1931-1933).

Selanjutnya, ia pindah ke Perguruan Rakyat di Bandung (1933 -1936), kemudian pindah ke Perguruan Rakyat di Jakarta (1936 -1941). Pernah memimpin surat kabar Kebangunan di Jakarta (1936 -1941); kemudian menjadi kepala sidang pengarang Balai Pustaka sejak tahun 1941. Pada zaman pendudukan Jepang, dia menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan (Kaimin Bunka Shidosho) dan menjadi anggota Majelis Pertimbangan Putera.

Bagaimanakah perjalanan hidup Sanusi Pane?

Untuk memahami jalan pikiran dan perasan Sanusi Pane dapat dilakukan dengan cara mempertentangkan dengan pandangan atau pendirian Sutan Takdir Alisjahbana pada zaman Pujangga Baru.

  • Sanusi Pane memandang ke India, yang mementingkan kerohanian, filsafat Hindu dan Budha.

  • Sutan Takdir Alisjahbana memandang ke Barat, yang telah melahirkan ajaran materialisme. Dalam segala tindakan dan anjurannya berpedoman ke Barat.

Alisjahbana berpendapat bahwa paham filsafat India (yang dianut Sanusi Pane) melemahkan semangat. Bangsa kita janganlah berhenti berpikir , tetapi sebaliknya, Sanusi Pane mengatakan bahwa tulisan Takdir mudah menjadi tendensi literatur. Dan hal ini tidak berbeda dengan nasihat guru, membawa kita kepada pikiran bahwa kesusastraan ialah didaktik. Sanusi menaruh keberatan terhadap roman Layar Terkembang karena terlalu keras tendensnya (Nasution, 1963 : 108 – 109).

Sanusi Pane mulai bersajak pada usia 16 tahun. Sajaknya yang pertama ialah Tanah Air dalam tahun 1921.

Di bawah ini dicantumkan sajak Sanusi Pane yang berjudul KEPANTAI, yang mengandung romantik usia muda remaja Sanusi Pane.

KEPANTAI

Ombak berdesir,

Di pantai pasir,

Suka lagu,

Dicium samsu.

Mari gerangan adindaku sayang,

Mendengar lagu memuji cinta,

Waktu datang buat terbayang,

Kalau laksmi mengikat kita.

Permainan mata,

Ratna permata,

Bunga melati,

Sijantung hati.

Dengar laguku di tepi pantai,

Diayun gelombang cinta kalbu,

Dari hati kuatur rantai,

Mengebat engkau pada jiwaku.

Amir Hamzah pernah melukiskan tentang Sanusi Pane bahwa Sanusi Pane jiwanya terbang ke zaman Hindu dan Budha, matanya melihat ke permainan dalam candi dan stupa, takjub melihat rangkaian cempaka di kaki Pagoda. Dengan hatinya yang reda atau tenang itu dibacanya segala cerita dan kias pada dinding candi Borobudur dan candi Mendut sehingga timbullah sentosa raya dalam sanubarinya. Karangannya seperti bulan berlayar di langit hijau tenang dan sejuk.

Selanjutnya Amir Hamzah mengatakan bahwa Sanusi Pane menguasai bahasa Indonesia sampai ke urat-uratnya, payah Pujangga lain mengimpit ia, dari sebuah kata ke sebuah kata telah ditimbangnya dengan teliti.

Tentang pengaruh filsafat Hindu yang dikagumi oleh Sanusi Pane, tercantum antara lain dalam sajaknya di bawah ini.

CANDI MENDUT

Di dalam ruang yang kelam terang

Berhala Buddha di atas takhta,

Wajahnya damai dan tenung tenang,

Di kiri dan kanan Bodhisatwa.

Waktu berhenti di tempat ini,

Tidak berombak diam semata,

Asas berlawan bersatu diri,

Alam sunyi kehidupan rata,

Diam, hatiku, jangan bercita,

Jangan kau lagi mengandung rasa,

Mengharap bahagia dunia maya.

Terbang termenung, ayuhai jiwa,

Menuju kebiruan angkasa

Kedamaian petala nirwana

TEMPAT BAHAGIA

Lamalah sudah aku mencari

Berkelana kembara kian kemari,

Masuk candi menjunjung jari,

Bersuka raya di taman sari,

Baru sekarang ‘ku mengerti,

Bahwa bahagia di dalam hati.

MENCARI

Aku mencari

Di kebun India,

Aku pesiar

Di kebun Junani,

Aku berjalan

Di tanah Roma,

Aku mengembara

Di benua Barat,

Segala buku

Perpustakaan dunia

Sudah kubaca,

Segala filsafat

Sudah terperiksa,

Akhirnya ‘ku sampai

Ke dalam taman

Hati sendiri.

Di sana bahagia

Sudah lama

Menanti daku

Selain buah tangan Sanusi Pane yang berisi kumpulan sajak (Puspa Mega dan Madah Kelana), juga beberapa yang berupa drama (cerita tonil) yaitu: Kertajaya, Sandhyakala ning Majapahit dan Manusia Baru; dan dua buah yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga dan Eezame Garoeda-vlucht.

Setiap orang dapat saja mengalami perubahan cara pola pikir. Hal ini terjadi pada Sanusi Pane, yang tergambar dalam dramanya Manusia Baru. Perubahan pola pikir ini semenjak Kertajaya dan Sandhyakala ning Majapahit sudah jelas sejelas-jelasnya.

Anehnya ialah bahwa kita justru dalam dramanya yang terakhir, Manusia Baru, Sukar bertemu kembali dengan Sanusi Pane yang menghasilkan karangan-karangannya yang dahulu. Memang, ia akan mempertahankan dasar peradaban India, tetapi India abad kedua puluh; ia berusaha mengadakan perpaduan antara rohani dan jasmani.Tekanan perhatiannya diletakkannya seluruhnya pada pembaharuan, pada perubahan yang perlu diadakan, apabila hendak mendatangkan manusia baru yang sejati.

Pelakunya yang utama Surendranath Das adalah seorang yang amat dinamis dalam perbuatan dan percakapannya.

Secara teori barangkali masih belum diterima: tetapi secara kenyataan, yang jelas tampaklah dalam karangan itu (Manusia Baru), bahwa Takdir telah berhasil meyakinkan lawan-lawannya buat sebagian besar, baik tentang putusnya hubungan yang lama dengan yang sekarang, baik tentang arti sosoal seniman, maupun tentang tendens dalam kesenian (Teeuw, 1959, 1959 : 134 – 135).

Buah tangan Sanusi Pane

  • Pancaran Cinta (prosalyris, 1926)

  • Puspa Mega (kumpulan sajak 1927)

  • Madah Kelana (kumpulan sajak)

  • Kerta Jaya (Drama)

  • Sandhyakala ning Majapahit (drama)

  • Manusia Baru (drama, 1940)

  • Air Langga (drama dalam bahasa Belanda)

  • Enzame Garoedavcht (drama dalam bahasa Belanda)

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf