Siapakah Max Muller?

image

Seorang tokoh yang kokoh dalam studi mitologi.

Seperti apakah Max Muller?

3 Likes

Friedrich Max Muller-lah orangnya, yang paling gigih membawa studi mitologi ke dalam diskusi ilmiah pada zamannya. Miiller benar-benar merupakan putra romantik. Ayahnya seorang penyair lagu-lagu Schubert, ayah seraninya komponis Felix Mendelsohn Bartholdy. Hampir-hampir saja Muller muda belajar musik dan bukannya kesusastraan. Setelah menyelesaikan pelajarannya Miiller menetap di Inggris. Di Inggris ia mendapat bantuan keuangan untuk menerjemahkan komentar Samhita atas Rig Veda, sebuah karya 6 jilid: jilid pertamanya terbit dalam tahun 1849, sedangkan yang keenam dan terakhir dalam tahun 1873. Semua ini berkat bantuan East India Company Inggris, yang pada masa itu tidak lagi merupakan badan pimpinan, melainkan sebuah badan penasihat dengan sarana cukup untuk berbuat sesuatu bagi ilmu pengetahuan.

Sementara itu Miiller terikat pada Universitas Oxford. Ia telah menjadi orang Inggris dan di Inggris ia mempunyai pengaruh besar. Karya utamanya ialah penerbitan sastra Sanskerta dalam Sacred Books of the East dan di bawah pimpinan redaksinya lebih dari 50 jilid diterbitkan. Karya itu merupakan pekerjaan yang sifatnya lebih abadi daripada penjelasan-penjelasan filologi dan linguistiknya, meskipun penjelasan filologi dan linguistiknya I yang membuatnya terkenal.

Asal-usul mitos menurut Miiller, bukan religius. Mitos itu, dikatakannya, terjadi berkat penyakit kanak-kanak dalam bahasa. Dalam Comparative Mythology untuk pertama kalinya ia mengemukakan teorinya tentang hal itu. Teori itu merupakan lanjutan dari suatu teori perkembangan bahasa yang kini sudah ditinggalkan. Menurut teori itu bentuk perubahan akhiran kata dan penafsiran kata kerja dan kata lain dalam bahasa munculnya baru kemudian. Aslinya bahasa itu hanya terdiri dari kata asal, dan akibatnya ialah, bahwa bentuk-bentuk bahasa yang tertua adalah sangat aktif.

Semua kata-kata itu menyatakan sesuatu perbuatan; kapak adalah pemotong, bulan itu pengukur. Tambahkan pada kata-kata tersebut jenisnya maka wajarlah kalau segala kemungkinan lainnya bisa terjadi baik untuk puisi maupun untuk salah paham. Di bidang puisi, karena bahasa ini adalah bahasa pelukisan yang kuat dan Miiller tidak segan-segan untuk menyatakan, bahwa “poetry is older than prose, and abstract speech more difficuk than the outpouring of a poet’s sympathy with nature”. Dengan demikian para sastrawan zaman klasik telah menyatakan lebih banyak daripada yang mereka dapat pertanggungjawabkan. Matahari yang terbit bisa menjadi kelahiran putra bercahaya oleh malam. Bahasa semacam itu—demikian pendapat Müller—masih lama dipakai oleh orang-orang Yunani. Perawan Kyrene, yang bertempat tinggal di Thessalia, dicintai oleh Apollo dan dilarikan ke Lybia, dalam prosa modern hanya akan diartikan, bahwa kota Kyrene di Thessalia mendirikan sebuah koloni di Lybia di bawah pengawasan Apollo. Bahasa puitis ini sebenarnya belum membuat mitos. Untuk itu diperlukan lebih banyak, dan yang diperlukan ini ialah kesalahpahaman yang secara wajar timbul, karena bahasa yang tidak sempurna adalah hal yang wajar. Bahasa yang demikian itu penuh kiasan yang lahir karena didorong oleh sekian banyak sinonim dan homonim disertai dengan ketidaksempurnaan.

Bilamana perkembangan itu terus berlangsung, maka kiasan-kiasan itu tidak lagi dapat ditangkap artinya. Kiasan itu menjadi nama orang, sedangkan arti asalnya hanya dapat dipahami secara samar. Dyaus tadinya kata untuk langit dalam arti langit yang bercahaya, lalu menjadi nama pribadi, ialah dewa India Dyaus, atau dewa Yunani Zeus dan dewa Roma Yupiter (Dyaus Pater). Bilamana stadium "language forgetting herself’ ini dicapai, maka terbukalah jalan untuk terjadinya mitologi, yang pada hakikatnya adalah cerita puitis tentang alam, di mana khususnya matahari memainkan peran besar, dan juga benda-benda angkasa lainnya serta gejala-gejala alam mendapatkan tempatnya.

Hal itu tentu saja tidak segera jelas dan salah satu tugas studi mitologi ialah membuat nama-nama itu menjadi jelas lewat etimologi atau ilmu asal kata. Dalam sejumlah banyak studi, yang dilakukan oleh Max Miiller untuk hal ini, bisa ditemui penjelasan-penjelasan yang menarik dan cerdas. Menarik dan cerdas pula penjelasan cerita dari Odysee mengenai teman-teman Ulysses yang bodoh yang tidak pulang kembali, karena mereka telah membunuh lembu-jantan Helios. Helios, sang matahari, memiliki tujuh kelompok lembu. Tiap kelompok terdiri dari lima puluh ekor, dan jumlah ini tidak pernah berkurang. Bilamana teman-teman itu membunuh binatang, itu artinya, bahwa mereka itu membuang-buang waktu mereka.

Jadi dengan cara demikian sekali-kali keterangan yang menarik bisa diperoleh, namun pada prinsipnya, hal itu lebih merupakan permainan daripada ilmu. Etimologi merupakan jalan yang tidak ada kepastiannya bagi siapa pun. Karena itu dari semua etimologi Max Miiller, hanya beberapa saja yang masih dapat bertahan. Tetapi tidak hanya itu saja. Kalau penjelasan-penjelasan mitologi alamnya itu dikaji benar-benar, maka masih juga terdapat unsur-unsur mitologi alam yang tidak bisa disesuaikan dalam skema yang mana pun. Selain itu masih ada sejumlah mitos yang watak alamnya sama sekali tidak jelas, atau hanya dijelaskan dengan berbagai akal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Bagi Max Muller mitos-mitos itu primer puisi, fantasi; dan juga dalam hal ini ia adalah seorang romantikus. Mitos-mitos itu sendiri bukan religi. Namun mitos itu bisa menjadi religi. Hal itu terjadi bilamana dalam tokoh-tokohnya dirasakan adanya sesuatu yang abadi. Bagi Max Müller—seorang penganut Kant yang bahkan menerjemahkan Kant ke dalam bahasa Inggris—religi adalah kemampuan rohani pada manusia untuk menanggapi keabadian, terlepas dari pengamatan dan rasio. Keabadian ini tidak ditelusuri oleh manusia dalam obyek-obyek yang dapat dijangkaunya, yang dapat dipegangnya di tangan, akan tetapi dalam hal-hal yang sebagian saja dapat dijangkaunya, seperti hutan, gunung, laut, sungai; atau di dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkaunya seperti langit dengan mataharinya, bulan dan bintang-bintang.

Bilamana dalam obyek-obyek itu dilihatnya keabadian di dalamnya, maka kata seperti deva, yang aslinya hanya berarti yang terang, yang bercahaya, akan mendapatkan arti yang lebih dalam daripada hanya bright dan brightness; kata itu menjadi kata penunjuk untuk dewa, ialah keabadian yang dipersonifikasikan, yang menyatakan diri dalam hal yang tidak dapat dijangkau atau yang setengah dapat dijangkau dan yang tidak boleh diidentifikasikan dengan obyek tersebut. Sama sekali tidak benar bahwa matahari dibayangkan sebagai makhluk dengan tangan dan kaki dan bukannya sebagai bola emas. Sama sekalj tidak disadari bahwa Savitri pada satu pihak adalah matahari sebagai obyek, dan di lain pihak salah satu hakikat mitos yang dihubungkan dengan matahari, artinya, salah satu dari personifikasi keabadian yang dikenali dalam matahari. Dunia dewa-dewa India mengenal banyak dewa matahari.

Mula-mula yang paling penting di antara mereka ini ialah Dyaus, tetapi lama-kelamaan ia didesak oleh Indra, yang berkembang menjadi semacam kepala dewa, meskipun bukan dewa tertinggi seperti Zeus, yang mengepalai sebuah kerajaan. Masing-masing dewa yang lainnya mempunyai harinya sendiri di samping Indra, dan pada hari itu semua dewa—juga dewa-dewa yang lebih tinggi dan lebih besar—tanpa ragu diperkenalkan sebagai bawahan Indra. Pada hari yang satu, dewa tertentu menjadi dewa tertinggi, dan Miiller dalam hal ini menyebutnya sebagai henotheisme atau katenotheisme, suatu praktek di mana orang tiap kali memuja seorang dewa. Katenotheisme ini ditetapkan oleh Miiller sebagai semacam monotheisme tersendiri terhadap polytheisme. Tetapi henotheisme ini, seperti yang dikatakan oleh Wilh. Schmidt, adalah khusus praktek India yang akhir-akhir ini saja, karena itu kata henotheisme tidak cocok untuk penggunaan umum. Sebab itu istilah tersebut tidak lagi didengar atau dibaca.

Salah satu dari jasa Muller yang harus diakui, ialah jasa yang benar-benar telah memikirkan tentang pertanyaan di mana sebenarnya religi itu dimulai. Baginya permulaan itu dimulai, bilamana keabadian itu terwujud dalam pandangan tentang hal-hal yang dilihat dan tentang makhluk-makhluk yang dibicarakan. Pendapat tersebut diberi penjelasan secara terinci dalam Hibbert Lecturesnya yang berjudul: On the Origin and Growth of Religion as illustrated by the Religion of India (1878), sebuah buku yang terbaik yang pernah ditulisnya tentang religi. Salah satu jasanya ialah, bahwa ia telah menyelesaikan persoalan istilah fetisyisme. Ketika menyebut cerita tentang kepala suku yang melarikan diri, memungut sebutir batu lalu membuatnya menjadi fetisynya ia berkata: Di situlah letak kesulitannya.

Bagaimanakah kepala suku itu dengan memungut batu bisa mendapatkan gagasan tentang Tuhan? Dengan tegas dikecamnya penggunaan istilah secara sembarangan seperti mendewakan. Apa yang didewakan selama orang tidak mengenal dewa? Dalam kritik ini ternyata bahwa masalahnya dilihatnya secara lebih tajam daripada yang lainnya. Bagaimana manusia mendapatkan gagasan tentang dewa-dewa, yang pada umumnya merupakan makhluk-makhluk dengan watak lain yang lebih tinggi—dalam terminologi kita—tidak terjangkau oleh empiri? Jawaban yang diberikan adalah terlalu abstrak dan terlalu samar, namun masalahnya sudah dipersoalkan. Dipersoalkan demikian baiknya, sehingga apa yang dikatakan oleh Mircea Eliade, yang disanjungsanjung sekarang ini, sedikit pun lebih daripada yang dapat dibenarkan.

Juga dalam segi-segi lain dalam buku ini Max Miiller telah menunjukkan keunggulannya. Ia mulai dengan menolak keras bahan-bahan etnografi dari zamannya, yang dianggapnya kurang dispesifikasi untuk dapat digunakan secara ilmiah, pendirian yang pada hari ini secara lebih mudah dapat dibenarkan daripada orang-orang sezamannya yang kadang-kadang menjadi marah oleh karenanya. Lebih mengena lagi, ketika di dalam buku itu juga ia mendapat kesempatan untuk menimba dari korespondensi pribadinya dengan Codrington, yang menulis kepadanya mengenai pengertian mana, dan yang digunakannya sebagai bukti, bahwa manusia sudah bisa mempunyai pengertian tentang keabadian, tanpa segera memberikan bentuk yang murni kepada pengertian tersebut.

Max Miiller memang bernasib sial, karena setelah memperoleh kemasyhuran masih hidup lebih lama. Pada hari tuanya ia memperoleh penghormatan tinggi (dalam tahun 1898 ia diangkat menjadi anggota Privy Council, suatu kejadian yang belum pernah dialami oleh seorang asing), tetapi mengalami bahwa semua teorinya satu per satu dicampakkan orang. Meskipun demikian ia tetap merupakan tokoh yang penting, bukan karena pandangan-pandangan mitologi alamiahnya yang bertahun-tahun lamanya berpengaruh besar dalam etnologi, tetapi justru karena sumbangannya yang penting dalam mengemukakan problema religi secara lebih murni, dan melalui mitologi-mitologi alamnya ia telah menunjukkan pada gejala-gejala, yang memainkan peran yang tak dapat diingkari pentingnya dalam sejumlah mitologi, meskipun peran itu tidak begitu besar seperti yang diduganya.

Friedrich Max Müller (1823-1900), sarjana dan filsuf Sansekerta adalah pelopor dalam bidang studi Veda, filsafat perbandingan, mitologi komparatif dan perbandingan agama. Müller lahir pada tanggal 6 Desember 1823 di Dessau, Jerman, dari penyair liris populer Willhelm Müller dan istrinya Adelheid, putri tertua Präsident von Basedow, perdana menteri Anhalt-Dessau. Müller mewarisi kecintaan yang kuat pada musik dari ibunya dan ayah baptisnya, komposer C. M. von Weber. Pada tahun 1827, ketika Müller baru berusia tiga tahun, ayahnya meninggal secara tak terduga, dan masa kecilnya dibayangi oleh kesedihan yang disebabkan oleh ibunya. Ia memulai pendidikan formalnya di Dessau pada usia enam tahun, dan pada 1839, pada usia 16 tahun, ia dikirim ke sekolah Nicolai di Leipzig, tempat ia belajar sastra klasik. Setelah selesai, Müller memenangkan beasiswa yang memungkinkannya untuk kuliah di Universitas Leipzig.

Pada tahun 1841, Muller memasuki Universitas Leipzig, berkonsentrasi pada studi Latin dan Yunani dan membaca Filsafat - khususnya pemikiran G. F. W. Hegel. Dia dianugerahi gelar Doktor Filsafat pada tahun 1843, pada usia 19, untuk disertasinya, “Pada Buku Ketiga Etika Spinoza, De Affectibus.” Müller melakukan perjalanan ke Berlin pada tahun 1844 untuk belajar dengan Friedrich Schelling, yang kuliahnya terbukti berhasil. sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya. Sementara di Berlin, ia juga diberi akses ke koleksi Chambers dari naskah Sansekerta. Atas permintaan Schelling, Müller menerjemahkan beberapa bagian terpenting dari Upanishad, yang ia pahami sebagai hasil terbesar dari literatur Veda. Dia menekankan perlunya mempelajari himne kuno Veda untuk dapat menghargai pertumbuhan historis pikiran India selama zaman Veda. Müller yakin bahwa semua teori mitologi dan agama akan tetap tanpa dasar yang kuat sampai seluruh Rig Veda diterbitkan.

Müller tiba di Paris pada tahun 1845 di mana ia belajar dengan sarjana Sanskerta Prancis terkenal Eugene Burnouff, yang dengannya ia tetap berteman selama bertahun-tahun. Burnouff mendorong Müller untuk melakukan persiapan dan publikasi edisi lengkap Rig Veda; proyek ini terbukti menjadi kontribusinya yang paling signifikan dan langgeng untuk beasiswa. Untuk melanjutkan pekerjaannya di Rig Veda, Müller datang ke London pada bulan Juni 1846 untuk bekerja dengan manuskrip di perpustakaan East India Company, yang akhirnya menanggung banyak biaya pencetakan Müller Rig Veda. Sementara Müller awalnya datang ke Inggris untuk menghabiskan tiga minggu di Oxford, ia tinggal di Inggris, menjadikannya rumah selama sisa hidupnya. Dia menjadi teman dekat William Howard Russell, koresponden Times yang terkenal, dan Baron von Bunsen, duta besar Prusia di London. Müller mengunjungi Paris pada awal 1848 ketika revolusi dimulai, tetapi ia dan manuskripnya yang berharga dapat kembali tanpa cedera ke Inggris. Pada tahun 1849 Oxford University Press menerbitkan volume pertama Rig Veda karya Müller, volume keenam dan terakhir tidak diterbitkan sampai tahun 1874. Pada tahun 1851 ia diangkat sebagai Profesor Bahasa Eropa Modern di Oxford dan diangkat menjadi profesor penuh pada tahun 1854. Ia menjadi menjadi warga negara Inggris yang dinaturalisasi pada tahun 1855, dan ia menikahi Georgina Adelaide pada 3 Agustus 1859; pernikahan mereka menghasilkan empat anak.

Pada tahun 1860, Müller dianggap sebagai Profesor Sanskerta di Oxford. Kursi telah dibiarkan kosong karena kematian profesor sebelumnya, dan sejauh ini Müller adalah kandidat yang paling memenuhi syarat. Namun, pada saat ini di Oxford, kandidat untuk jabatan profesor dipilih oleh semua yang memegang gelar MA dari Universitas (kebanyakan pendeta), dan lebih banyak perhatian diberikan pada pandangan politik dan agama kandidat daripada kualifikasi akademiknya. Kekristenan Müller, yang merupakan varietas Lutheran liberal, dibawa ke bawah pengawasan ketat, dan para pendukung pesaing evangelis Müller bahkan melancarkan kampanye pencemaran nama baik terhadapnya di media. Upaya mereka berhasil, karena jabatannya diberikan kepada kandidat yang kurang memenuhi syarat.

Setelah kekecewaan Müller yang pahit karena dilewatkan untuk jabatan profesor, fokus kariernya sedikit berubah. Dia terus bekerja pada Rig Veda yang monumental, tetapi sebagian besar waktunya digunakan untuk persiapan buku dan kuliah tentang filsafat perbandingan dan mitologi yang ditulis dengan pikiran publik. Dia menyampaikan serangkaian ceramah yang sangat populer di Royal Institution, London, tentang ilmu bahasa pada tahun 1861 dan 1863, yang dengan cepat diterbitkan dan dicetak ulang lima belas kali antara tahun 1861 dan 1899. Kontribusinya pada wacana publik semacam itu membawa tingkat pengakuan bahwa sangat menebus kekecewaannya di atas, dan dia umumnya dianggap sebagai tokoh utama kehidupan publik di Victoria Inggris.

Pada tahun 1868 Universitas Oxford menciptakan Ketua baru dari Comparative Philology, dan Müller menjadi penghuninya yang pertama. Posting baru ini disertai dengan penurunan tanggung jawab mengajar dan kenaikan gaji, yang keduanya merupakan perubahan yang disambut baik. Setelah dua puluh lima tahun bertugas di Oxford, ia membentuk sebuah masyarakat kecil dari para sarjana Timur terbaik dari Eropa dan India, dan mereka mulai menerbitkan serangkaian terjemahan Kitab Suci dari Timur. Müller mencurahkan tiga puluh tahun terakhir hidupnya untuk menulis dan memberi kuliah tentang agama perbandingan. Pada 1873 ia menerbitkan Pengantar Ilmu Agama, dan ia memberikan kuliah tentang subjek di Royal Institution (1870) dan Westminster Abbey (1873). Pada tahun 1878 Müller meresmikan kuliah tahunan Hibbert tentang ilmu agama di Westminster Abbey, dan dia diundang untuk menyampaikan Kuliah Gifford dalam Teologi Alamiah di Universitas Glasgow. Dia sementara pindah ke Glasgow bersama istri dan putrinya pada tahun 1888 dan memulai kuliah pertamanya dengan topik ‘agama alami’. Sejumlah 1.400 hadirin menghadiri kuliah pertamanya, termasuk sejumlah besar profesor di Glasgow, perwakilan dari gereja-gereja Glasgow dan anggota masyarakat lainnya. Müller memberikan empat kursus yang tak tertandingi, dengan total 62 kuliah, antara 1888-92.

Proyek penting Müller lainnya selama tahun-tahun itu adalah mendirikan dan mengedit serangkaian terjemahan bahasa Inggris dari teks-teks agama India, Arab, Cina, dan Iran. Müller menerjemahkan pilihan-pilihan dari nyanyian-nyanyian Rig Veda, Upanishad, dan Dhammapada, sebuah teks Buddhis dan juga berkontribusi pada The Sacred Books of the East yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Pada 1900, pada saat kematian Müller, empat puluh delapan volume terjemahan telah diterbitkan dalam seri ini, dengan hanya satu volume yang tersisa untuk diterbitkan.

Kesehatan Müller mulai memburuk pada tahun 1898, tetapi ia melanjutkan tulisannya, menerbitkan Enam Sistem Filsafat Hindu pada tahun 1899, hanya setahun sebelum kematiannya. Selama periode ini ia juga menghasilkan beberapa esai dan bahan untuk otobiografinya. Dia meninggal di rumahnya di Oxford pada 28 Oktober 1900, dan pada 1 November 1900, Hari All Saints, dia dimakamkan di Pemakaman Holywell di Oxford.

Karya-karya ilmiah Müller, yang diterbitkan sebagai Collected Works 18 volume, termasuk Sejarah Sastra Sansekerta Kuno Sejauh Mengilustrasikan Agama Primitif para Brahman (1859), Ceramah tentang Ilmu Bahasa (1864, 2 volume), Keripik dari Lokakarya Jerman (1867-75, 4 vol.), Pengantar Ilmu Agama (1873), India, Apa yang Bisa Dia Ajarkan kepada Kita? (1883), Biografi Esai (1884), The Science of Thought (1887), Six Systems of Hindu Philosophy (1899), dan empat jilid Gifford Lectures (Collected Works, vols. 1-4): Natural Religion (1889) , Agama Fisik (1891), Agama Antropologis (1892), dan Teosofi, atau Agama Psikologis (1893). Yang juga perlu dicatat adalah dua volume renungan biografinya, berjudul Auld Lang Syne (1898), My Autobiography: A Fragment (1901) dan The Life and Letters of Right Honorable Friedrich Max Müller (1902, 2 jilid)., Yang diedit oleh istrinya.

image
Gambar. The Life and Letters of Right Honorable Friedrich Max Müller

Referensi

Abraham, Sara and Hancock, Brannon. Friedrich Max Müller. Friedrich Max Müller - The Gifford Lectures. Diakses pada 22 Mei 2020.

Max Müller dengan nama lengkapnya Friedrich Max Müller, lahir pada tanggal 6 Desember 1823, di Dessau, Jerman. Ia adalah seorang sarjana Jerman dari jurusan perbandingan bahasa , agama, dan mitologi Jerman. Bidang minat khusus Müller adalah filologi Sansekerta dan agama-agama India.

Kehidupan dan pekerjaan kepala

Max Müller adalah putra Wilhelm Müller, seorang penyair terkenal, Max Müller dididik dalam bahasa Sansekerta, bahasa klasik India, dan bahasa-bahasa lain di Leipzig, Berlin, dan Paris. Ia pindah ke Inggris pada tahun 1846 dan menetap di Oxford pada tahun 1848, dimana ia menjadi wakil profesor bahasa modern pada tahun 1850. Ia diangkat menjadi profesor perbandingan filologi pada tahun 1868 dan pensiun pada tahun 1875.

Müller berperan penting dalam mengedit dan menerjemahkan beberapa teks religius dan filosofis paling dihormati di Asia ke dalam bahasa Inggris. Terutama yang patut dicatat adalah edisi-nya tentang koleksi besar himne Sansekerta Rigveda, Rig-Veda-samhitâ: The Sacred Hymns of the Bráhmans (6 vol., 1849-74); karyanya sebagai editor seri terjemahan 51 jilid The Sacred Books of the East; dan penyuntingan awalnya untuk seri Sacred Books of the Buddhists. Selain itu, Muller adalah pendukung awal penting dari suatu disiplin ilmu yang ia sebut “ilmu agama”; memang beberapa orang memuji dia karena mendirikan bidang itu. Tulisannya yang paling penting pada subjek termasuk Essays on the Science of Religion (1869), vol. 1 Chips from a German Workshop ; Introduction to the Science of Religion (1873); dan Lectures on the Origin and Growth of Religion (1878).

Gagasan Tentang Agama

Pandangan Müller tentang agama dibentuk oleh idealisme Jerman dan studi perbandingan bahasa. Dari yang pertama ia memperoleh keyakinan bahwa pada dasarnya agama adalah kesadaran Yang Tak Terbatas; dari yang terakhir ia membentuk keyakinan bahwa agama hanya dapat dipahami melalui perbandingan. Seperti yang terkenal ia katakan, “He who knows one, knows none" (“Dia yang tahu satu, tidak tahu”).

Seperti banyak orang sezamannya, Müller percaya bahwa pemahaman yang tulus tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk agama, membutuhkan pengetahuan tentang asal usul mereka. Karena itu, ia berharap ilmu agama menentukan “bagaimana agama itu mungkin; bagaimana manusia, seperti kita sekarang, memiliki agama apa pun; apa itu agama , dan bagaimana agama itu menjadi apa adanya”. Dalam mengejar tujuan ini dia menolak ketergantungan pada wahyu ilahi — suatu langkah yang lebih tidak biasa daripada sekarang - dan berusaha membatasi dirinya untuk merasakan persepsi dan alasan, dua sumber pengetahuan yang diterima secara universal.

Sebagai seorang filolog, Müller mengkritik orang-orang sezaman yang berusaha mengidentifikasi asal-usul agama melalui etnografi. Kritiknya terhadap teori fetisisme yang saat itu lazim (kepercayaan pada kekuatan magis dan protektif dari benda-benda material) luar biasa baik karena pengakuannya terhadap sejarah dan keanekaragaman budaya dan bahasa Afrika serta keanekaragamannya serta untuk identifikasi cara-cara di mana orang Kristen Eropa membangun gambar-gambar dari non-Kristen dan agama mereka. Alih-alih menggunakan pendekatan etnografi yang berlaku, Müller mengejar ilmu agama dengan mempelajari kata-kata dan teks. Dia mengakui bahwa agama telah berkembang secara berbeda dalam bidang bahasa yang berbeda dan bahwa pelatihannya membatasi dia pada pertimbangan orang-orang Arya — yaitu, penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa. Namun demikian, ia yakin bahwa Rigveda memberikan akses yang tak tertandingi ke proses dimana agama muncul.

Akun Müller tentang proses itu sebagian besar bersifat leksikografis. Dia mulai dengan kata-kata dan artinya dan berusaha menunjukkan bagaimana ide tentang dewa akhirnya muncul dari mereka. Dalam pandangannya, manusia pertama kali menemukan Infinite ketika mereka melihat dan menamai benda-benda yang tidak berwujud, seperti Matahari, Bulan, dan bintang, atau semitangible, seperti gunung, sungai, laut, dan pohon.

Kepada objek-objek seperti itulah nyanyian-nyanyian Rigveda ditujukan. Nyanyian-nyanyian ini bukanlah politeisme atau monoteistik tetapi henoteistis (melibatkan penyembahan satu tuhan tanpa menyangkal keberadaan tuhan lain): mereka berbicara satu objek pada satu waktu, tetapi mereka tidak pernah mengklaim bahwa itu adalah satu-satunya Tuhan yang benar. Faktanya, Müller menyatakan bahwa, meskipun fenomena alam ini memberikan keintiman sejati yang tak terbatas, mereka pada awalnya tidak dianggap sebagai dewa. Jika mereka disebut deva (“ilahi”), sebuah kata Sansekerta yang berhubungan dengan Latin deus (“dewa”), itu hanya karena mereka berbagi kualitas kecerahan; Müller sangat suka menafsirkan mitos dalam hal fenomena matahari. Namun, pada akhirnya, objek-objek yang berbagi ini dan kualitas-kualitas serupa dikelompokkan bersama ke dalam kelas-kelas, disusun secara antropomorfis, dan dijadikan subjek mitologi. Dalam istilah yang sering dikaitkan dengan Muller, numina (Latin: “dewa”) pada awalnya nomina (Latin: “nama”); mitologi adalah sejenis penyakit bahasa.

Warisan

Bahkan selama hidup Müller idenya sangat ditentang oleh para sarjana agama. Mereka menemukan ketergantungannya pada Rgveda dalam mempelajari asal usul agama-agama yang tidak beralasan dan interpretasi naturalisasinya tentang mitologi menjadi tegang. Seorang teolog kontemporer dan orientalis, R.F. Littledale, menyarankan bahwa Müller, yang telah bangkit di timur (Jerman) dan datang ke barat (Inggris) untuk membawa iluminasi, adalah dirinya sendiri sebuah mitos matahari. Namun demikian, antusiasme Müller untuk mempelajari agama tidak berkurang. “The Science of Religion,” tulisnya, "mungkin yang terakhir dari ilmu yang ditakdirkan manusia untuk diuraikan; tetapi ketika diuraikan, itu akan mengubah aspek dunia ”(Chips, xix). Antusiasme ini membantu merangsang beasiswa yang membuat ide-ide Müller sendiri menjadi usang.

Referensi

Alles, G D. Max Müller. Max Müller | German scholar | Britannica. Diakses pasa 22 Mei 2020.