Siapakah Kolonel Yang rela tertembak untuk melindungi Nasution?

pierre tendean seorang ajudan kesayangan Jendral A.H. Nasution yang rela mati tertembak oleh pasukan cakra birawa

PANGLIMA TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menginspeksi calon taruna Akademi Militer (Akmil). Tiba-tiba, perhatiannya tertuju ke salah seorang calon taruna berparas bule. Hadi sempat bilang, “Wajahnya wajah Prancis”. Si calon taruna yang bernama Enzo Zenz Allie itu ternyata memang peranakan Sunda-Prancis. Masa kecilnya dihabiskan di Prancis, dan ketika SMP sempat mengeyam pendidikan pesantren di Serang, Banten.

Seperti Enzo, di masa lalu kita pernah punya kusuma bangsa berdarah Indo-Prancis. Namanya Pierre Tendean. Sejarah mencatat sosok Pierre sebagai satu dari sepuluh pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Lahir di Batavia, 21 Februari 1939 dengan nama lengkap Pierre Andries Tendean. Piere berasal dari keluarga ras campuran. Ayahnya Aurelius Lammert Tendean orang Minahasa sedangkan sang ibu Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Pierre anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan anak lelaki satu-satunya di tengah keluarga Tendean.

Menurut biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman, nama Pierre sarat dengan unsur Prancis. Nama lengkap Pierre Andries Tendean diambil dari nama kakek pihak ibu yang berdarah Prancis, Pierre Albert. Pierre dalam bahasa Prancis bermakna “kuat bagaikan batu”, suatu lambang ketegaran hidup.

“Nama ini sekaligus adalah sebuah doa yang disematkan oleh kedua orang tuanya sejak Pierre lahir agar sang putra selalu tegar dan memegang teguh prinsip hidupnya,” tulis tim penulis biografi resmi Pierre Tendean.

Tendean pindah ke Magelang sebagai wakil kepala rumah sakit di sana. Di kota ini, Pierre menghabiskan masa kecilnya sampai menyelesaikan masa sekolah dasar. Cita-cita Pierre menjadi tentara sudah tumbuh sejak kecil. Karena saat itu, Pierre kecil kerap melihat pemuda pejuang kemerdekaan yang sering mampir ke rumah menemui ayahnya meminta persediaan obat-obatan untuk kepentingan gerilya. Cita-cita ini, membuat Pierre bertekad memasuki Akademi Militer Nasional (AMN), cita-citanya sempat ditentang oleh orang tua karena orang tuanya menghedaki Pierre menempuh pendidikan Kedokteran dan jadi dokter. Tapi Pierre bersikeras mewujudkan cita-cita sebagai tentara.

Larangan orang tuanya tak lain karena Pierre adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, jika berkarir sebagai tentara orang tua khawatir karena menjadi tentara harus siap mengorbankan jiwa (kekhawatiran orang tua Pierre kelak menjadi kenyataan). Satu-satunya anggota keluarga yang setuju dengan cita-cita Pierre hanyalah Mitzi Farre, kakak perempuannya.

Untuk menghibur hati orang tuanya, selain mendaftar AMN, Pierre juga mendaftar di Fakultas Kedokteran UI. Tapi dia ternyata tidak lulus. Melihat hasil test di Fakultas Kedokteran UI yang tidak lulus itu, maka orang tua Pierre merelakan dirinya menempuh pendidikan di AMN. Menurut Mitzi, adiknya tidak lulus Fakultas Kedokteran UI bukan karena gagal, tapi karena dirinya memang tidak mengerjakan soal ujian test. Selama menempuh pendidikan sebagai taruna, Pierre dikenal disiplin dan ramah, maka dari itu Pierre disenangi teman seangkatan, senior maupun juniornya. Dia juga dikenal sebagai pribadi dengan jiwa kepemimpinan, menjadikan dirinya dipilih sebagai Wakil Ketua Senat Korp Taruna.

Pierre sendiri tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluarganya pindah ke Semarang. Kendati keluarganya menginginkannya menjadi insinyur lulusan ITB, namun Pierre lebih memilih mengabdi sebagai prajurit TNI. Pada 1958, Pierre mendaftarkan diri di Akademi Teknik AD (Atekad), jalur militer yang membawanya ke satuan zeni tempur.

Di kalangan taruna, Pierre acap kali dirisak karena paras indonya. Wajah bule dan kulitnya yang cenderung putih sesekali jadi bahan olokan. Pertanyaan sindiran berupa, “Indo ya?,” kerap dilontarkan. Mendengar itu, Pierre pernah berang juga.

“Barangkali rasa nasionalismemu lebih rendah daripada nasionalisme saya,” kata Pierre sebagaimana dituturkan karibnya semasa di Atekad, Brigjen (Purn.) Efendi Ritonga.

Tahun 1963, Pierre Tendean yang saat itu berpangkat Letnan Dua, bertugas sebagai Komandan Peleton Batalyon Tempur 2, Kodam II Bukit Barisan di Medan. Saat bertugas di Medan inilah awal mula Pierre bertemu dengan pujaan hatinya.

Kala itu ia tidak dalam keadaan dinas, diajak oleh kawannya bermain ke rumah pak Chaimin, salah satu tokoh terpandang di sana.
Kunjungan Pierre kerumah pak Chaimin menjadi sangat berkesan ketika ia berjumpa dengan putrinya, Rukmini.

Pierre yang dikenal cuek walaupun banyak digandrungi gadis-gadis semasa menjadi taruna, kala itu menjadi tertarik kepada Rukmini.

Ketertarikan Pierre tak lain adalah karena sikap Rukmini yang lemah lembut, pemalu dan tutur kata yang sopan. Sedangkan Rukmini jatuh hati kepada Pierre bukan semata karena ketampanannya, tapi sikap humoris dan kecerdasan yang membuatnya jatuh hati. Dari hari ke hari pergaulan antara mereka semakin dekat dan berlanjut kejenjang yang lebih serius.

Di kala libur, Pierre selalu menemui Rukmini kekasihnya. Kisah cinta mereka sempat terhalang restu orang tua karena perbedaan agama.
Kebersamaan sepasang kekasih ini juga harus terpisah karena Pierre mendapat panggilan sekolah intelijen untuk ditugaskan ke operasi Dwikora

Setelah berhasil menamatkan pendidikan intelijen, Pierre ditugaskan dalam operasi Dwikora memimpin pasukan relawan untuk mengadakan penyusupan ke wilayah Malaysia, berdasakan Surat Perintah No.507/11/1963, dirinya diperbantukan untuk Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat. Karena tugas yang dipikul Pierre di garis depan, sang ibunda khawatir akan keselamatan anak laki satu-satunya itu. Nyonya Cornet M.E. yang kebetulan kawan baik dari mertua dari Jenderal Nasution yang pada saat itu menjabat Menko Hankam, mengajukan penarikan tugas bagi anaknya

Ibunda Pierre juga mengajukan hal serupa kepada Mayjen Dendi Kadarsan yang kenal dengan Pierre ketika menjadi taruna. Permohonan tersebut dikabulkan, lalu Pierre menjadi rebutan para Jenderal untuk dijadikan ajudan akibat kedisiplinan dan kecerdasannya. Perebutan dimenangkan oleh Jenderal Nasution, sejak tanggal 15 April 1965, Pierre Tendean resmi dijadikan sebagai ajudan Jenderal Nasution, lalu pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Satu. Keluarga Pierre lega, karena anaknya tidak lagi berada di tengah-tengah medan pertempuran. Hal serupa dirasakan Rukmini, ia senang menerima kabar kekasihnya tak lagi bertugas dalam operasi Dwikora, jalinan hubungan jarak jauh mereka dilalui dengan surat menyurat. Pada tahun 1965 ini pula Pierre dan Rukmini mantap melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

Pierre juga menulis surat ke keluarganya, minta doa restu untuk menikahi Rukmini. Saat mendampingi Jenderal Nasution bertugas ke Medan, pada 31 Juli 1965, Pierre menyempatkan diri menemui keluarga Rukmini untuk melamar. Hari pernikahan disepakati bulan November tahun 1965. Keseriusan Pierre dalam menikahi Rukmini memang bukan main-main, untuk menambah biaya pernikahan, bahkan setiap malam Pierre mengambil kerja sampingan sebagai sopir traktor meratakan tanah pembangunan proyek Monas. Menurut sumber lain, Untuk kerja sampingan Pierre Tendean sebagai supir traktor ini, diceritakan uangnya untuk beli televisi, dan teman seangkatannya tidak ada yang tahu juga mengenai kerja sampingannya. Selama berbulan-bulan Pierre menjalani profesi sampingan sebagai sopir traktor, ia juga rutin mencari informasi rumah kontrakan di sekitaran menteng, untuk dia tempati bersama Rukmini jika sudah menikah kelak.

Sebelum kejadian berdarah 30 September 1965, Pierre sempat mengirim surat kepada keluarga jika ia tidak bisa pulang saat perayaan hari ulang tahun ibunya, karena dalam keadaan dinas, ia berjanji akan mengucapkan selamat ulang tahun lewat telepon.

Sebenarnya ketika terjadi pengepungan rumah Jenderal Nasution malam 30 September itu, Pierre tidak dalam tugas piket, dia telah menyerahkan tugas jaga dengan Komisaris Polisi Hankam Mansyur. Mendengar kebisingan suara tembakan, atas inisiatifnya lalu ia mengambil jaket dan senjatanya menghadapi pasukan itu. Tidak jelasnya instruksi operasi kepada pasukan Tjakrabirawa membuat mereka salah tangkap dan tidak mengenali Jenderal Nasution, mereka membawa Pierre. Dia dibawa ke lubang buaya, di eksekusi di sana.

Ibunda Pierre Tendean yang sedang berulang tahun, menunggu telpon dari anak laki-laki satu-satunya itu, tapi telpon tak kunjung datang karena di malam naas yang bertepatan dengan ulang tahunnya, Pierre tewas.

Menurut buku biografi Pierre Tendean lainnya, yang berjudul Sang Patriot Pierre Tendean, Ibunda beliau menunggu kepulangan Pierre di depan rumah, selama berhari-hari dan sampat izin cuti tanggal 1 Oktober 1965 untuk pulang ke rumah. Beliau menunggu Pierre, karena tgl 1 Oktober 1965 dia janji pulang. 5 Oktober 1965, pemerintah mengirim pesawat untuk menjemput keluarga Pierre Tendean di Semarang. Melihat peti jenazah Pierre Tendean, sang ibu menangis dan meratap, “Pierre, Pierre, mijn jongen, wat is er met jou gebeurd (Pierre, Pierre, anakku, apa yang terjadi denganmu).”

Cornet juga kerap mengunjungi makam Pierre, ia memborong banyak bunga angrek untuk menutupi seluruh makam anaknya dengan bunga.
Kesehatan Cornet juga menurun, dirinya jatuh sakit, pada 19 Agustus 1967 ia wafat, ia berpesan agar jenazahnya ditutupi dengan selimut milik Pierre. Sementara Rukmini sang kekasih, terpaksa mengubur rencana pernikahan dengan Pierre Tendean, yang akan di langsungkan dua bulan lagi, kekasihnya tewas di malam 30 September itu. Tanggal 31 Juli 1965 saat lamaran, menjadi pertemuan terakhir Pierre dan Rukmini.

Saat perayaan kesaktian pancasila tahun 1967, Rukmini datang untuk mengenang kekasihnya, tangisnya pecah saat itu, lalu Bung Karno datang memeluk erat Rukmini untuk menenangkan. Butuh waktu 5 tahun bagi Rukmini untuk mengikhlaskan Pierre dan menikah dengan pria lain.

Sebagai tambahan informasi, kematian Kapten Pierre Tendean tidak seperti yang diberitakan atau difilmkan oleh pemerintah orde baru. Hasil Visum et Repertum Kapten Anumerta Pierre Tendean. Luka tembak : 2 di dada kanan 2 di punggung kanan 1 di leher belakang sebelah kiri 1 di pinggul kanan Luka lain akibat pukulan : 1 di kepala kanan 1 di tulang ubun-ubun kiri 1 di puncak kepala.