Siapakah Itu S. Takdir?


S.Takdir Alisjahbana lahir di Natal (Tapanuli), 11 Februari 1908. Ia tamatan HKS (Hoorgere Kweekschool= Sekolah Guru Atas) di Bandung. Kemudian, ia melanjutkan pelajaran pada Sekolah Tinggi Hakim. Pernah ia menjadi guru di Palembang.

Bagaimanakah perjalanan hidup S.Takdir Alisjahbana?

Sejak tahun 1930, ia bekerja pada Balai Pustaka; salah seorang pendiri dan pemimpin Pujangga Baru.

Di lapangan kebudayaan, pengetahuan, dan kesusastraan, ia terkenal sebagai tokoh yang terrpenting. Khusus di lapangan karang-mengarang, ia sebagai seorang penulis yang produktif. Di samping itu, ia seorang pengusaha: mempunyai percetakan (Pustaka Rakyat), lengkap dengan toko buku.

Dalam dunia keilmuan, kebudayaan bahasa dan filsafat, ia banyak mendapat perhatian dari luar negeri. Berkali-kali ia menerima undangan, baik dari Eropa maupun dari Amerika. Akan tetapi sebaliknya, dari pihak cendekiawan bangsanya sendiri, ia banyak mendapat tantangan, bahkan seakan-akan ia disisihkan oleh sebagian bangsanya karena pendiriannya yang sangat mengagumi Dunia Barat.

S. Takdir tidak setuju dengan pandangan Ki Hajar Dewantara, yang mewakili aliran yang menghendaki supaya pendidikan (dan kebudayaan) sedapat-dapatnya didasarkan pada kebangsaan zaman dahulu.

S. Takdir tidak menyetujui pendapat Dr. Sutomo yang membela pasantren yang mengatakan bahwa pasantren lebih murah ongkosnya (jadi alasan ekonomi) dan juga di sinilah baru mungkin diberikan didikan serbaguna dalam masyarakat yang tidak hanya mementingkan kepandaian otak, tetapi juga memberi didikan untuk seluruh kehidupan.

S. Takdir sama sekali tidak menyetujui pendapat Dr. Sutomo tersebut. Bagi pandangannya sekolah-sekolah demikian hanya merupakan cita-cita alam ketenangan yang dipelihara oleh masyarakat yang tenteram tetap sifatnya; tetapi juga yang mematikan individu; dan mematikan masyarakat yang sudah seharusnya berurusan dengan masyarakat-masyarakat lain yang bersifat dinamis, hidup bergerak.

S. Takdir sangat mengecam pemujaan suatu bangunan seperti Borobudur yang dalam pandangannya hanya dapat dilihat dalam bayangan penderitaan yang tak berkeputusan dan dalam bayangan aniaya sosial. (Teeuw, 1959 : 103)

Prof. Dr. A. Teeuw berpendirian bahwa ia dalam hal ini tak perlu memilih kawan dalam pertengkaran itu. Pastilah bahwa S. Takdir sekali-sekali ada juga berbuat melebih-lebihi dan menuju Dunia Barat dengan pandangan dari satu sudut saja. Akan tetapi, pasti pula ada faedah dan manfaatnya suara demikian diperdengarkan sebab di dalam suara itu termasuk juga kebenaran yang penting artinya.

Selanjutnya S. Takdir mengatakan bahwa para seniman muda yang sudah pada tempatnya
merasakan dirinya mempunyai tugas, tetapi yang seharusnya pula melaksanakan tugas itu dalam kehidupannya. Noblesse oblige (nama besar punya tanggung jawab pula). Mereka harus memelopori bangsanya; mereka harus memimpin bangsanya dalam perjuangannya untuk memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Namailah kesenian demikian itu kesenian bertujuan.

Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan bahwa S. Takdir yang lahir dalam tahun 1908, amat mengherankan banyak kecakapannya. Pada selayang pandang bahkan menakjubkan banyak kecakapannya itu.
Apa hendak dikatakan tentang seorang pengarang cerita roman juga jadi ahli hukum; seorang guru yang juga ahli-logat; seorang penyair yang juga jadi ahli ibarat (didacticus); seorang ahli masyarakat yang juga mengarang tata bahasa sambil menjadi pengarang esai-kesusastraan yang cakap dan dalam pada itu hidup sebagai pencinta bangsa yang sadar dan giat pula dalam poloitik?

Tentang banyaknya kecakapan S. Takdir tersebut, ia tidak terhindar dari bahaya. Kadang-kadang pekerjaannya menjadi kurang dalam sifatnya dan kurang tetap mutunya, sebab menumpuknya usaha secara demikian; tak dapat tidak pekerjaan semua dilakukan dengan cepat-cepat, bahkan dengan tergesa-gesa.

Dalam tahun 1942, ia mendapat gelar Meester in de rechten. Akan tetapi dalam kehidupannya, ia
lebih tertarik kepada masalah kebudayaan, filsafat, kesusastraan, dan bahasa.

Karangannya:

  1. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
  2. Dian yang Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
  3. Anak Perawan di Sarang Penyamun (roman, 1932)
  4. Layar Terkembang (roman, 1936)
  5. Tebaran Mega (kumpulan Puisi)
  6. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1949)

Cerita SIngkat Karya S. Takdir

TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG

Roman ini berisi kisah kesedihan yang dialami oleh dua anak bersaudara, di samping yatim piatu juga sangat miskin.

Karena perlakuan yang tidak semena-mena dari paman mereka, menyebabkan tidak tahan lagi tinggal di tempat lahir mereka. Akhirnya, mereka terpaksa pindah ke Bengkulu. Di tempat ini pun mereka hanya sebentar menikmati kenikmatan hidup. Setelah mengalami berbagai penderitaan, maka si adik (Lamina, perempuan) membunuh diri ketika abangnya, Mansur, karena tuduhan palsu, ditahan dalam penjara.

Setelah Mansur keluar dari penjara, ia hidup sebatang kara; tidak memiliki apa-apa. Akhirnya, ia menjadi pelaut, mengembara ke seluruh Nusantara, ia hidup hanya menantikan waktu ajalnya datang. Akhirnya, sampailah ajalnya sebagai takdir Allah SWT., ketika ia jatuh dan tenggelam di laut Bengkulu tempat adiknya menemukan mautnya.

Roman pertama S. Takdir ini tidak menggambarkan masalah adat, tetapi soal nasib. Demikian juga roman ini tidak menggambarkan soal pertentangan Timur dan Barat.

Apakah yang menjadi tema roman S. Takdir ini? Rupanya ia tidak menginginkan bangsanya hanya pasrah saja pada nasib yang digambarkan pada pelakunya, Mansur. Ia menginginkan bangsanya hidup dinamis, bergerak, penuh semangat, menyongsong masa depan yang gemilang.

DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM

Dalam roman ini S. Takdir menceritakan percintaan yang gagal antara seorang anak desa yang miskin bernama Jasin dengan gadis bangsawan Palembang yang kaya, bernama Molek.

Pengarang mempertemukan Jasin dengan Molek di Palembang sebagai berikut. Jasin orang huluan atau orang udik. Pada suatu hari ia pergi ke Palembang dengan perahunya dengan maksud hendak menjual getahnya. Sampai di Palembang telah larut malam. Untuk menunggu hari siang, ia berlabuh dekat sebuah rumah besar, yang ternyata kepunyaan Raden Machmud, seorang bangsawan yang kaya raya. Bangsawan ini mempunyai anak perawan yang bernama Molek.

Seperti biasanya setiap hari, pada hari Jasin berlabuh dekat rumahnya itu, Molek pagi-pagi pergi mandi ketepian. Jasin melihat kaki molek di bawah dinding tempat mandi itu. Pada waktu Molek hendak naik ke rumah kembali, dapatlah pemuda dan perawan itu berpandangan sejurus lamanya; dan dikatakan pengarang bahwa pandangan yang sebentar itu telah mengikat kedua orang muda itu dalam satu perjanjian suci dan telah dapat membuat mereka mabuk-selasih.

Akibatnya Jasin tak tentu lagi pekerjaannya dan Molek menjadi satu pertanyaan besar bagi orang tuanya.

Molek pada hari itu sangat girang kelihatannya, ia berdandan seperti orang akan pergi ke peralatan dan berkali-kali ia memperhatikan wajah mukanya di muka kaca besar. Mabuk—selasih pada Jasin menyebabkan dia dalam peralatan saudara sepupu ibunya tak dapat bergembira seperti pemuda-pemuda lain.

Cerita selanjutnya

Jasin adalah orang alam yang lemah lesu, tidak mampu mencegah perkawinan Molek dengan seorang Arab yang kaya tetapi tidak berbudi, carian orang tuanya, tidak pula berhasil melarikan Molek, sungguhpun Molek hanya tinggal digendong saja oleh tangan yang kuat itu (Usman, 1959 : 206 - 207).

Pada akhirnya, orang alam Indonesia ini tidak pula berhasil mencegah Molek membunuh diri, sungguhpun hal itu telah diberitahukan oleh Molek kepadanya dengan surat.

Yang hendak dikemukakan pengarang dengan cerita ini, ialah bahwa cinta yang sejati tidak mungkin padam. Itulah sebabnya pengarang memberi nama roman ini Dian yang Tak Kunjung Padam.

ANAK PERAWAN DI SARANG PENYAMUN

Seorang saudagar di Pagar Alam, Haji Sahak namanya. Pada suatu ketika, ia bersama dengan istrinya, Nyi Haja Andum, dan anaknya, Sayu, ke Palembang untuk menjual sejumlah ekor kerbaunya.
Perjalanan Haji Salak telah dimata-matai oleh sekawanan penyamun. Ketika ia kembali dari Palembang, di tengah jalan di tempat mereka bermalam di pesawangan (tempat yang sunyi), mereka didatangi kawanan penyamun, yang menyebabkan Haji Sahak tewas dalam berhadapan dengan penyamun itu. Bukan hanya harta bendanya yang dibawa kawanan penyamun itu, tetapi juga anak gadisnya, Sayu, dilarikan penyamun itu ke dalam sarang mereka.

Medasing adalah kepala kawanan penyamun itu. Ia sebenarnya bukanlah keturunan penyamun; ia berasal dari orang biasa. Pada waktu kecilnya kampungnya didatangi perampok; kampung halamannya dibakar; ia dilarikan perampok itu, seperti ia melarikan anak gadis Haji Sahak.
Dalam berbagai peristiwa, berturut-turut teman Medasing tewas, bahkan dia sendiri luka, tangannya patah.

Akhirnya, tinggal dia berdua dengan Sayu dalam rimba belantara. Ketika itulah Sayu seorang perempuan yang lemah memberanikan diri berhasil mengembalikkan Medasing ke jalan yang benar, kembali ke dalam masyarakat orang baik-baik.

LAYAR TERKEMBANG

Pelakunya:

  • Tuti Maria (adik Tuti)
  • Jusuf (mahasiswa kedokteran)

Ada dua orang bersaudara, yang sulung bernama Tuti dan adiknya bernama Maria. Keduanya berkenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran yang bernama Jusuf.

Kedua perempuan bersaudara itu berbeda perangai atau sifat. Tuti yang sulung bersifat cerdas, sungguh-sungguh, dan keras hati. Ia menjadi pelopor pergerakan kemajuan kaumnya sehingga akhirnya menjadi salah seorang pemimpinnya. Sebaliknya adiknya Maria bersifat riang, sebagai seorang gadis yang tak mengenal susah, ia suka bunga-bungaan, ingin menikmati kehidupan ini. Jusuf dan Maria saling mencintai, yang berakhir dengan pertunangan.

Tuti menyadari dirinya bahwa ia seorang perempuan yang sudah berumur hampir 30 tahun, yang akan menghadapi kesepian kelak dengan umurnya bertambah tua. Ia pernah dilamar untuk kawin dengan sejawatnya, seorang guru juga, tetapi masih kuat menolak lamaran itu. Dengan kesadarannya bahwa dirinya seorang perempuan akan menderita kesepian; dalam hatinya tumbuh cintanya kepada Jusuf, yang tak dapat dilawannya lagi.

Maria jatuh sakit, harus masuk sanatorium dan akhirnya meninggal di sana, yang sebelumnya ia berpesan supaya kakaknya harus kawin dengan Jusuf. Kehendak itu terwujud dan kisah ini berakhir dengan perkunjungan ziarah kedua pengantin itu ke kuburan Maria.

Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (1959 : 106) baru pertama sekali terjadi perkawinan seorang perempuan menurut pilihannya sendiri. Hanya secara demikian baru mungkin terdapat penghidupan yang sungguh-sungguh harmonis dan memuaskan.

Teeuw mengatakan bahwa lukisan-lukisannya tentang alam tak sedikitpun mengandung cacat; dan jarang sekali terdapat lukisan yang melebihi itu dalam kesusastraan Indonesia. Demikian juga percakapan antara pelaku-pelakunya, tidak mengandung sifat dibikin-bikin atau sifat pura-pura sulit.
Nama roman “Layar Terkembang” mengandung makna terjadinya perubahan pola-pikir dari sifat tertutup dan statis adat-istiadat masyarakat lama menjadi pola-pikir yang dinamis, bergerak, menuju terwujudnya kemerdekaan yang akan membawa kebahagiaan hidup.

S. Takdir, di samping sebagai pengarang cerita roman, ia juga sebagai penyair. Satu-satunya kumpulan sanjaknya ialah Tebaran Mega (1935).

Sebagai seorang ahli bahasa Indonesia, S. Takdir telah mengarang buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (dua jilid, 1954). Kedua jilid buku ini banyak kali digunakan sebagai bahan pelajaran, bahkan sebagai buku rujukan bagi para penulis karangan ilmiah.

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf