Siapakah Ali Ar-Ridha ?

Imām Alī bin Mūsā ar-Riđhā (diperkirakan 1 Januari 765 - 26 Mei 818) adalah imam ke-8 dalam tradisi Syi’ah Dua Belas Imam. Dalam Bahasa Persia, dia sering dipanggil dengan nama Imam Reza dan dijuluki dengan panggilan Abu al-Hasan. Dia hidup pada masa berkuasanya tiga orang Khalifah Bani Abbasiyah yaitu Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dan diangkat oleh al-Ma’mun menjadi putra mahkota kekhalifahan di mana hal ini menyebabkan pemberontakan dari keluarga Bani Abbasiyah lainnya terhadap al-Ma’mun.

Bagaimanakah kisah dan biografi Ali ar-Ridha?

Ali Ar Ridha mempunyai nama lengkap Ali bin Musa bin Ja`far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib . Lahir di Madinah al-Munawarah (tahuh 148 H), meninggal (tahun 203 H) dan dikuburkan di kota Thus (Masyhad) Iran. Menurut Syiah Imamiyah, beliau adalah Imam yang ke delapan dari Ahlul Bait Rasulullah Saw.

Kisah Ali Ar Ridha

Berikut adalah kisah-kisah Ali Ar Ridha, yang diambil dari situs alhassanain.org

Nasehat untuk Saudara


Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha.

Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.

Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit.

Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.
Tatkala Imam Ali Ar-Ridha diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam.

Imam Ali Ar-Ridha sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya Imam Ali Ar-Ridha berkata, "Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok?! Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah az Zahra telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka?! Celakalah kau Zaid!
Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw. dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, akan tetapi Hasan dan Husein.

"Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali ketaatan kepada Allah swt.

Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah?! Kalau begitu, kau lebih besar dari pada Allah dan dari ayahmu Musa bin Ja’far as.!".

Zaid berkata,“Bukankah aku saudaramu?!”. Imam menjawab, "Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah.

Bagaimana Nabi Nuh as. memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih’.

"Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh’.

“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya”.

Di Majelis Ma’mun


Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh madzhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha

Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam Ali Ar-Ridha di hadapan mereka.

Imam Ali Ar-Ridha bertanya kepada seorang sahabatnya yang bernama Hassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh madzhab itu?”.

Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu”. Imam Ali Ar-Ridha berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?”.

“Tentu”, jawab Naufal.

Imam Ali Ar-Ridha berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah”.

Imam Ali Ar-Ridha menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah.

Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.

Jatsliq (pendeta besar) berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya”.

Imam Ar-Ridha berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”.

“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.

Lalu Imam Ali Ar-Ridha membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as. mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa).

Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.

Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu”.

Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.

Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam.

Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.

Ketika masuk waktu zuhur, Imam Ali Ar-Ridha bangkit untuk melaksanakan shalat.

Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak.

Lalu dia menghadap kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.

Perjalanan ke Moro


Tak seorangpun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha menjadi penggantinya kelak.

Ketika Imam Ali Ar-Ridha tinggal di Madinah Al-Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Moro. Imam Ali Ar-Ridha menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Basrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qum yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana.

Kala itu, Imam Ali Ar-Ridha menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah”.

Di Neisyabur

Neisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis.

Mereka menunggu Imam Ali Ar-Ridha meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw., sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam
Ali Ar-Ridha dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu”.

Imam Ali Ar-Ridha berkata, "Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan, "Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, "Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, "Aku mendengar ayahku Ali bin Husein mengatakan, "Aku mendengar ayahku Husein bin 'Ali mengatakan, "Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw.bersabda, "Aku mendengar Jibril berkata, "Aku mendengar Allah berfirman,

“Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barang siapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku”.

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas).

Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ar-Ridha meninggalkan Neisyabur pada waktu pagi.

Di tengah perjalanan masuk waktu zuhur, Imam Ali Ar-Ridha meminta air untuk berwudhu, akan tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya.

Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ar-Ridha dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu.

Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam Ali Ar-Ridha masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid.

Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, ”Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan, Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku.

Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami Ahlul Bait".

Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.

Di Moro

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha di Moro.

Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan.

Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.

Imam Ali Ar-Ridha tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun.

Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan.

Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta? Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait.

Dia menetapkan kewajiban mentaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Ma’mun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam Ali Ar-Ridha , dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib ).

Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawwad.

Shalat Ied

Imam Ali Ar-Ridha dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201.

Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri.

Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha untuk menjadi imam Shalat Ied.

Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.

Imam Ali Ar-Ridha menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Shalat Ied sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as. keluar.

Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ar-Ridha mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya.

Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat.

Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama.

Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam Ali Ar-Ridha dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka.

Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as. dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota.

Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan. Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Ied yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari makna takbir.

Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw. dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha .

Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat, segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun.

Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khutbah.

Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha yang masih dalam perjalanan.

Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, "Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah.

Kami senang bila Anda istirahat.

Untuk itu, kembalilah!". Imam Ali Ar-Ridha kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya.

Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Ma’mun

Tak seorangpun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha sebagai pengganti kekhalifahannya.

Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:

  1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as. sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.

  2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.

  3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha.

Tentunya, Imam Ali Ar-Ridha mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Shalat Ied, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Da’bal Al-Khuza’i


Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi.

Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud- maksud politik.

Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal AlKhuza’i.

Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shlat Al-Harawi meriwayatkan, "Da’bal menjumpai Imam Ar-Ridha di Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya’.

Imam Ali Ar-Ridha menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Da’bal ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci kini telah sunyi dari pengunjung Rumah wahyu tidak lagi dituruni kabar-kabar langit

Pusara di Kufah dan yang lainnya di Thaibah (Baqi’), Pula yang di Fakh (Karbala) senantiasa tercurah salawatku

Dan pusara di Baghdad, milik jiwa yang suci Tercurahkan rahmat Sang Pengasih dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya, Pusara di Thusi betapa besar Dera nestapa yang menimpanya Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”.

“Itulah kuburku wahai Da’bal!,” jawab Imam Ali Ar-Ridha. Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlul Bait.

Imam Ali Ar-Ridha menangis, air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya.

Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar. Da’bal memohon diri.

Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.

Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan. Di tangan mereka harta rampasan dari emas.

Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?” “Ini puisi Da’bal”, jawabnya.

“Akulah Da’bal”, kata Da’bal memperkenalkan diri. Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.

Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum.

Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Da’bal menolaknya.

Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam Ali Ar-Ridha untuk tabarruk dengan imbalan 1000 Dinar.

Maka, Da’bal pun merelakannya. Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya.

Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan”.

Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya.

Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikitpun berkat karamah Imam Ali Ar-Ridha.

Hari Kesyahidan


Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya.

Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam Ali Ar-Ridha .

Dia bubuhkan racun ganas di sekitar anggur. Imam Ali Ar-Ridha meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ar-Ridha as. syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran). Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya.

Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam Ali Ar-Ridha dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha.

“Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah swt.”

“Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi”.

“Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri”.

“Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya”.

“Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya”.

Nasihat Hadis Imam Ali Ar-Ridha.

“Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki 10 karakter berikut:

  1. Kebaikannya selalu diharapkan orang

  2. Orang lain merasa aman dari kejahatannya

  3. Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit

  4. Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain

  5. Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya

  6. Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya

  7. Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan

  8. Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya

  9. Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran”.

Kemudian Imam Ali Ar-Ridha. bertanya: “Yang kesepuluh, apakah yang kesepuluh?”
“Apakah yang kesepuluh?”, tanya seorang sahabat.

“Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya):, ‘Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa’”, jawabnya singkat.