Siapa Yang Salah?


Hari ulang tahun Raka, adalah hari yang paling aku tunggu. Entah mengapa, rasanya bahagia menjalani hidup di hari ulang tahun sahabatku. Selain Raka, ulang tahun Dito juga selalu membuatku bahagia beberapa tahun belakangan ini.
Tapi, perasaanku mengatakan rasanya akan berbeda di tahun ini. Mungkin saja akan menyedihkan. Walau begitu, aku tetap berharap semua berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya.
~*~
“Kanaya, udah kabarin Dilla soal surprize Raka?” tanya Dito padaku.
“Udah, Dit. Tapi kata Dilla bilang gak janji dateng.”
“Masih di luar kota?”
“Katanya sih gitu.”
Namaku Kanaya, kawan-kawan akrab memanggilku ‘Aya’. Hari ini aku dan Dito berencana akan memberikan kejutan pada Raka di hari ulang tahunnya.
Aku dan Dito sudah lama bersahabat dengan Raka. Namun, tanpa di duga kami mendapat sahabat baru bernama Dilla yang sekarang sangat dekat dengan Raka.
“Eh Ay, Raka pulang les jam 8 malem. Kita stand by jam 7 aja ya di rumah Raka?”
“Iya Dit. Ohiya, Dilla gak jadi dateng ke rumah Raka. Katanya ada urusan lain.”
“Ohyaudah gak apa-apa. Semoga aja Raka tetep seneng walau cuma ada kita.”
“Gua gak yakin sih, Dit. Tau sendiri kan, Raka deket banget sama Dilla sekarang.”
Dito tak menjawab kata-kataku. Aku pun pamit untuk pulang dari rumah Dito setelah menyelesaikan hadiah untuk Raka.
Aku tidak pernah menolak kehadiran Dilla dalam persahabatan kami. Meski semuanya berubah, aku tetap menerima Dilla sebagai sahabat baruku. Bagaimana pun juga, dia baik dan selalu mengundang gelak tawa ketika kami bersama. Dan rasanya Raka jauh lebih hangat setelah kehadiran Dilla. Tapi, hangatnya Raka membuat aku semakin berjarak hari demi hari dengannya.
Dulu, Raka bukan seorang yang menceritakan segalanya padaku maupun Dito. Raka hanya akan membahas hal-hal yang sekiranya bisa di terima oleh aku dan Dito. Hanya aku dan Dito yang bawel menceritakan segalanya. Namun setelah Dilla datang, Raka sering mencurahkan isi hatinya pada Dilla dihadapanku dan Dito. Aku dan Dito hanya mendengarkan meski tak mengerti apa yang Raka ceritakan.
Pukul 07.00 malam aku dan Dito sudah berada di rumah Raka. Kami bergegas mendekor kamar milik Raka. Biasanya setelah kejutan ini, kami bertiga pergi makan di tempat makan langganan kami.
Raka pulang, aku dan Dito mendengar jelas langkah kakinya ke arah kamar. Dan setelah kami merasa Raka sudah dekat, kami menghitung satu, dua, tiga, dan…
“SURPRIZE!!! HAPPY BIRTHDAY RAKA!!” Aku dan Dito berteriak ketika Raka masuk ke dalam kamar, kami pun langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil menghampiri Raka. Raka pun meniup lilin yang sudah menyala sejak tadi.
Semua hadiah langsung Raka buka, aku merasakan kedekatan kami kembali seperti semula. Namun, tiba-tiba Raka berkata harus pergi karena Dilla sudah menunggu.
“Dilla cuma ajak lu doang, Ka?” Tanya Dito pada Raka.
“Iya Dit, tadinya gua mau ajakin lu berdua. Cuma Dilla gak bilang soal itu jadi gak enak juga. Sorry ya. Lain waktu kita makan bareng kaya biasanya. Gua pergi ya.”
Raka pergi meninggalkan aku dan Dito.
“Apa istimewanya Dilla, Dit?” Tanyaku sambil trenyuh.
“Dari yang gua liat, Dilla mau mendengar, Ay.”
“Maksudnya?” Tanyaku kembali pada Dito.
“Lu sadar gak sih, kita gak pernah denger Raka cerita? Kita cuma mau di dengar sama Raka tanpa mau mendengarkan Raka, Ay. Kita bisa apa sekarang selain bahagia liat Raka bahagia?” Dito menjelaskan padaku dengan lantang.
“Dit, gua bakal terima kok kalau Raka cerita. Tapi, Raka yang gak pernah memulai pembicaraan apapun soal hidupnya. Mana bisa gua ngerti Raka mau cerita kalau Raka sendiri gak pernah coba buat memulai pembicaraan.”
“Aya, orang lain juga gak akan mau cerita kalau dia ga dapet tempat terbuka buat cerita. Lu bilang bakal terima, gimana Raka bisa yakin soal itu kalau selama ini aja kita selalu becandain hal-hal yang Raka omongin?”
Aku terdiam.
“Udahlah, Ay. Terima aja, sekarang Raka punya tempat terbuka buat dia cerita. Paitnya, tempat terbuka itu bukan kita. Kita yang salah selalu pengen di denger tanpa nunjukin kalau kita juga mau ngedenger.”
Aku tak bisa berkata lagi, aku sadar. Selama ini aku tak pernah memikirkan perasaan Raka. Aku dan Dito selalu menganggap semua yang di katakan Raka hanya lelucon. Setelah ini, aku hanya harus bisa menerima keadaan. Dan harus belajar untuk mau mendengarkan disamping keinginanku untuk di dengar.
Ternyata, sifat egois ada diantara persahabatan kami selama ini, dan terlambat untuk kami sadari.

Sumber gambar : editan sendiri
#lombaceritamini
#2.0
#dictiocommunity
#egoismedisekitarkita
#ceritadirumahaja
#dirumahaja