Siapa saja yang berperan dalam perkembangan Sosiologi Politik?

image

Apa Saja Perkembangan Sosiologi Politik?

Perkembangan sosiologi politik dapat ditelusuri dari karya-karya pemikir ilmu-ilmu sosial. Karya sosiologi politik pertama yang bersifat ilmiah dapat ditemui dalam buku Montesquieu yang berjudul Spirit of Law (1748). Keilmiahannya itu dapat dilihat dari pernyataan: “Di sisni kita laporkan apa yang ada dan bukannya apa yang seharusnya ada” (Duverger, 2005).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rush dan Althoff (2005) tokoh yang dianggap cukup menonjol karena karyanya yang penting dan mendasar dalam sosiologi politik adalah Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Sumbangan Marx sangat besar dan bervariasi dan tentu saja tidak hanya terbatas pada sosiologi politik. Pada dasarnya sumbangan Marx dapat digolongkan dalam tiga bidang teori umum, teori khusus dan metodologi. Mengikuti cara Hegel, Marx mengembangkan satu teori tentang “hal-hal yang tidak bisa dielakkan secara histories” ( Historical Inevitability ) atas landasan dari tesa, antitesis dan sintesis yang dikenal dengan sebutan dialektika. Akan tetapi, berbeda dengan Hegel yang mendasarkan dialetikanya berdasarkan ide-ide, Marx mendasarkan teorinya pada konflik material dari kekuatan-kekuatan ekonomi yang saling bertentangan yang pada akhirnya menghancurkan sistem kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas yang disebut masyarakat komunis. Penafsiran Marx tentang sejarah dilandaskan pada dwi-sendi dari teori sosiologi dan teori ekonomi. Dia kemudian mengembangkan teori “nilai-kerja” dari David Hume menjadi teori “nilai-lebih” (surplus value) dan eksploitasi terhadap kerja, yang kemudian menjadi dasar bagi teori sosiologinya yang utama, yaitu perjuangan kelas. Dia juga mengembangkan teori keterasingan ( alienasi ) dengan argumentasi bahwa kelas pekerja atau kelas proletariat menjadi semakin terasingkan dari masyarakatnya. Pekerjaan mereka hanya sekadar dijadikan alat untuk menghindari kelaparan, dan bukan menjadi sarana untuk pernyataan diri. Berkait erat dengan teori perjuangan kelas dan alienasi ini adalah konsep kesadaran kelas, yaitu pengenalan oleh individu dalam masyarakat bahwa dia menjadi bagian dari kelompok-kelompok sosial yang tertindas atas dasar ekonomi. Kesadaran kelas ini kemudian menjadi prasyarat esensial bagi konflik kelas antara kelas proletar dengan kelas borjuis untuk kemudian menjadi pendorong bagi terjadinya perjuangan kelas bagi kelas proletar.

Banyak kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan sosial terhadap teori-teori Marx. Beberapa di antaranya mengenai validitas umum dan lainnya adalah mengenal nilai-nilai prediktifnya. Mengenai validitas umum, misalnya pandangan Marx terhadap ide. Meskipun Marx tidak mengabaikan pentingnya ide sebagai faktor sosiologis, namun dia menganggapnya sebagai variable dependen (variabel yang terpengaruh) bukan sebagai variabel-

variabel yang bebas (variabel yang mempengaruhi), dan mensubordinasikannya ke dalam interpretasi ekonomi dari sejarah. Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa menurut Marx yang paling menentukan kehidupan manusia adalah materi bukan ide. Ide itu ada karena ada materi yang merangsang pikiran manusia dan selanjutnya karena materilah manusia bekerja (berproduksi). Dalam pada itu sejarah kehidupan manusia sangat ditentukan oleh materi (ekonomi) dalam hal ini adalah cara-cara berproduksi (mode of production) . Oleh karena teori Marx ini bersandar pada materi (ekonomi) sebagai faktor tunggal yang menentukan sejarah kehidupan manusia (histories materialism) maka oleh ilmuwan sosial yang
kemudian disebut economic determinism (paham yang memandang ekonomi sebagai faktor penentu. Dari penjelasan ini tampaknya, Marx menempatkan ide pada posisi bawah (subordinasi) bukan di atas (superordinasi) sebagaimana pemikiran Hegel dan melihatnya sebagai variabel yang dipengaruhi (dependen) bukan sebagai variabel yang mempengaruhi (independen atau bebas). Pemikiran seperti ini yang dikritik oleh beberapa ilmuwan sosial yang kemudian mengenalnya sebagai validitas umum.

Kritik terhadap nilai-nilai prediktif terlihat dari kegagalan-kegagalannya terutama dalam meramalkan kompetensi adaptif dari sistem kapitalisme. Marx meramalkan bahwa pada fase terakhir dari sejarah kehidupan manusia akan ditandai hancurnya sistem kapitalisme dan digantikan oleh sistem komunisme masyarakat terakhir setelah terjadi konflik kelas yang dimenangkan oleh kaum proletar melalui perjuangan kelas. Ternyata ramalan Marx ini tidak terbukti karena kompetensi adaptif sistem kapitalisme sehingga konflik kelas tidak terjadi, apalagi masyarakat komunis yang tanpa kelas. Kegagalan-kegagalan inilah yang membuat teori-teori Marx menjadi diragukan orang.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengurangi sumbangan Marx terhadap sosiologi politik. Kedua teori umumnya, yaitu determinisme ekonomi dan dialektika materialisme, dan teori-teori khususnya mengenai perjuangan kelas, kesadaran kelas, aliertasi, dan nilai-lebih semuanya merangsang pemunculan karya-karya lain. Beberapa di antaranya cenderung mendukung ide-ide Marx (kini bahkan para pendukungnya memunculkan ide neo-Marxis), sedangkan sebagian lain mencelanya.

Sumbangan Marx yang lain adalah dalam bidang metodologi. Usaha pengembangannya mengenai “sosialisme ilmiah” memberikan standar keilmuan dan metode-metode yang menjadi pendorong bagi ilmuwan-ilmuwan berikutnya. Marx selalu berusaha memberikan dasar yang kuat pada teori-teorinya dengan jalan menyajikan sejumlah besar pembuktian dan mengujinya dengan cara yang sistematis dan tepat serta teliti. Seberapa besar keberhasilan Marx dalam bidang metodologis ini masih menjadi perdebatan. Namun yang jelas, baik para pendukung maupun pengkritiknya harus berusaha keras, bila ingin menelaah teori Marx atau membangun teori baru.

Tokoh kedua yang juga sangat menonjol peranannya dalam mengembangkan sosiologi politik adalah Max Weber, salah seorang pengkritik teori-teori Marx. Sumbangan Weber tidak hanya kritik-kritik pokok terhadap teori-teori Marx, tetapi juga sejumlah studi-studi khusus dan konsep-konsep yang besar sekali artinya bagi sosiologi politik. Dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-1905) dan studi-studinya mengenai India, Cina dan Yahudi, Weber berusaha menonjolkan faktor-faktor non ekonomis, terutama ide-ide yang menjadi faktor-faktor sosiologis yang amat penting, seperti kekuasan dan status. Pikiran Weber ini jelas berbeda dengan Marx yang menonjolkan ekonomi sebagai faktor tunggal, dengan determinisme ekonominya. Dalam meneliti stratifikasi sosial di tengah bermacam-macam masyarakat, dia membuktikan bahwa strata sosial itu tidak hanya didasarkan pada “kelas” individualnya atau posisi ekonominya di dalam masyarakat, tetapi didasarkan pula pada status atau posisi sosialnya di tengah masyarakat atau pada posisi individualnya di dalam struktur kekuasaan di tengah masyarakat. Jadi menurut Weber strata sosial seseorang di dalam masyarakat dilandaskan pada kelas (posisi ekonomi), status dan kekuasaan.

Weber juga menyumbang beberapa ide konsepsional dan ide-ide metodologis yang penting artinya bagi sosiologi politik. Di antara sumbangannya dalam hal ide-ide konsepsional adalah tentang politik. Menurut Weber, politik adalah sarana perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik (kekuasaan) atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara negara-negara ataupun di antara kelompok-kelompok di dalam suatu negara. Sedangkan negara didefinisikan sebagai komunitas (masyarakat) yang dengan sukses menurut monopoli penggunaan kekuatan-kekuatan fisik yang sah di dalam suatu teritorial tertentu.

Dari dua konsepsi di atas, tampaknya Weber dalam melihat politik dan negara sangat memperhatikan masalah pelaksanaan kekuasaan dan legitimasi (keabsahan). Konsep Weber mengenai legitimasi merupakan salah satu sumbangannya yang penting bagi sosiologi politik. Menurut Weber ada tiga tipe legitimasi yang utama, yaitu sebagai berikut.

1.Dominasi tradisional
Dominasi tradisional adalah kewibawaan “hari kemarin yang kekal”, yaitu adat-istiadat yang disucikan melalui pengakuan kuno yang tidak bisa digambarkan dan orientasi kebiasaan untuk melakukan penyesuaian diri.

  1. Dominasi kharismatik
    Kharismatik adalah kewibawaan dengan keanggunan pribadi yang luar biasa, dan ketaatan yang mutlak serta kepercayaan terhadap wahyu, kepahlawan atau kualitas lainnya dari kepemimpinan individual.

  2. Dominasi kebajikan legalitas
    Dominasi kebajikan legalitas adalah kepercayaan akan validitas undang-undang dan “kompetensi’ fungsional yang dilandasi peraturan-peraturan yang dibuat secara rasional.

Tiga tipe legitimasi itu, yaitu dominasi legal, kharismatik dan tradisional adalah murni atau merupakan tipe-tipe idea (ideal types) karenanya satu sama lain sifatnya tidak eksklusif. Konsep Weber mengenai tipe ideal itu secara sederhana ingin mengonstruksikan fakta histories yang bisa diamati ke dalam satu model, dengan mana gejala-gejala yang mirip dapat diukur.

Sumbangan Weber yang lain dalam bidang metodologis adalah konsep tentang pemahaman simpatetis atau verstehen . Menurut Weber, tingkah laku manusia itu akan lebih mudah dipahami, apabila ikut memperhitungkan motif-motif dan maksud mereka yang langsung terlibat dalam pelaksanaan tingkah laku itu. Dengan memperhitungkan motif-motif dan maksud yang ada dibalik tingkah laku itu maka tingkah laku manusia akan lebih mudah dipahami. Mengapa ia berbuat begini, mengapa ia berbuat begitu. Metode ini yang oleh Weber disebut verstehen . Dari hasil pemikirannya ini, Weber berkesimpulan akan pentingnya sumbangan kekuatan ide sebagai faktor-faktor sosial dan politik, berbeda dengan Marx yang lebih menekankan materi. Namun karena inilah karyanya mendapatkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan lain, terutama dalam kaitan dengan sifat bebas nilai . Menurut para pengkritiknya, penelitian tentang motif-motif manusia itu adalah menyangkut elemen interpretatif, yang pada akhirnya tidak mungkin bersifat objektif dan karena itu berarti tidak bebas nilai. Padahal menurut Weber penelitian itu seharusnya bebas nilai. Kritik terhadap karya-karya Weber juga banyak dilontarkan atas dasar berbagai alasan, salah satunya adalah dalam kaitan dengan kecermatan histories. Namun demikian, seperti halnya karya Marx, karya-karya Weber ini menjadi perangsang bagi para ilmuwan politik dan sosiologi pada generasi-generasi berikutnya.

Selain Marx dan Weber, masih ada beberapa tokoh lain yang turut memberikan sumbangan terhadap perkembangan sosiologi politik. Meskipun boleh dikatakan kurang fundamental dan kurang menstimulir. Salah satu dari tokoh-tokoh tersebut di antaranya Alexis de Tocqueville (1905-1859). Dalam buku Ancien Regime et la Revolution (1856), Tocqueville memberikan argumentasi, bahwa Revolusi Perancis 1789 itu bukan merupakan pemutusan yang menyeluruh dengan masa silam, dan bahwa beberapa gerak kesinambungan pada akhirnya tidak bisa dihindarkan, yang kemudian bisa mengantisipasi pemunculan ide-ide di kemudian hari mengenai proses dan sifat-sifat dari perubahan sosial.

Tokoh lain ialah Walter Bagehot (1826-1877), seorang editor The Economict (1860-1877) dan seorang pengamat peristiwa-peristiwa politik selama periode tersebut yang hidup sezaman dengan Marx. Dia mempelajari mata rantai antara kebudayaan dengan kepribadian dan antara lembaga-lembaga politik dengan tingkah laku manusia. Dari studinya ia memperoleh gambaran mengenai karakter nasional dan bermacam-macam negara. Dalam karyanya The English Constitution (1867), ia menyatakan bahwa lembaga-lembaga politik Inggris itu berasal dari bermacam-macam sifat dari bangsa Inggris. Bagehot juga membedakan antara teori konstitusional dengan praktik, lalu mengemukakan masalah bagian-bagian konstitusi (Undang-undang Dasar) yang “bermartabat” dan yang “efisien”. Karya utama Bagehot yang lain dalam bidang sosiologi politik adalah Physics and Politics (1872). Dalam karyanya tersebut ia menjelaskan konsep evolusi pada asal mula dan perkembangan masyarakat-masyarakat manusia, dengan memberikan penekanan pada bagian-bagian yang dipengaruhi oleh proses peniruan.

Proses peniruan sebagai gejala sosial ini, justru menjadi ciri khas dari karya sosiolog Perancis Gabriel Tarde (1843-1904), salah seorang tokoh yang turut memberikan sumbangan terhadap perkembangan sosiologi politik. Pemikiran umum Tarde adalah mengenai kaitan antara sistem politik dengan struktur sosial masyarakat. Sumbangan Tarde lainnya adalah studinya mengenai pengaruh komunikasi modern, seperti telepon, telegraf, surat kabar dan buku-buku yang diproduksi secara massal dan memformulasikan kaitan-kaitan antara media massa dengan individu-individu. Dari hasil studinya tersebut ia berhasil menyusun teori-teori mengenai peranan individu sebagai “opinion leader” dan “komunikasi berarus dua langkah” ( two-step flow communication ). Dalam proses ini, ia menekankan peranan kaum elite, khususnya sebagai sarana untuk menyebarkan ide-ide.