Gambar 1. Beras (Sumber:
Pexels.com/Vie Studio)
Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan.
Perbincangan mengenai Indonesia sebagai negara agraris, tetapi masih melakukan impor beras, bukanlah suatu hal yang baru karena topik ini sangat sering mengudara dan menjadi perdebatan panas terutama pada waktu-waktu tertentu. Namun, sebelum judgement mengenai baik tidaknya perlakuan impor beras ini, kita perlu mengetahui akar permasalahan impor beras. Jika ditinjau lebih lanjut, permasalahan impor beras bukan hanya permasalahan 1 arah, tetapi diibaratkan seperti sistem di mana banyak elemen yang berkorelasi satu sama lain yang menjadi tonggak dilakukannya impor beras.
Mengapa Indonesia menjadi net importir produk pertanian terutama beras?
Berdasarkan Berita Resmi Statistik oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, tercatat, baik luas panen maupun produksi padi mengalami kenaikan sebesar 1,02% dibandingkan tahun sebelumnya. Tentunya dengan kenaikan luas panen padi walaupun hanya sebesar 1,02%, tetapi dapat dipergunakan untuk mengimbangi kebutuhan beras nasional atau konsumsi beras masyarakat [1]. Hal ini dibuktikan dengan data yang dirilis oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia bahwa pada Triwulan I terjadi ketidakseimbangan antara produksi dengan konsumsi masyarakat di mana tercatat surplus atau overstock produksi beras yang hingga Juni 2021 besarnya sekitar 10,29 Juta ton [2]. Pada artinya, beras Indonesia sudah cukup, bahkan surplus, tetapi sisi lain yang perlu digarisbawahi pula bahwa impor beras bukan hanya berbicara mengenai keseimbangan antara produksi dan konsumsi, tetapi terdapat pertimbangan lain yang merupakan masalah konsepsi pertanian di Indonesia sehingga impor beras dijadikan sebagai strategi.
Bagaimana Impor beras dijadikan strategi dan gambaran permasalahannya?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, permasalahan impor beras merupakan suatu sistem di mana ada korelasi dari berbagai elemen. Walaupun produksi cukup, bahkan surplus, tetapi kita bisa mengetahui secara sadar bahwa adanya ketidakakuratan harga atau harga beras melambung jauh jika dibandingkan dengan beras impor yang lebih murah, padahal taraf kualitasnya sama. Jika ditinjau lagi, seharusnya jauh lebih mahal beras impor mengingat adanya biaya transportasi, kepengurusan izin, dan sebagainya. Permasalahan ini adalah akibat dari produksi pertanian dalam negeri yang tidak efisien di mana akar permasalahannya ada pada sistem distribusi dan pemasaran yang tidak efisien. Kebijakan harga beras Indonesia sendiri ditetapkan berdasar pada dimensi penentu harga yang mana alur dari petani hingga konsumen cukup banyak. Akibat dari masifnya pemangku beras hingga ke tangan konsumen, membuat beras yang dijual murah oleh petani menjadi dibeli mahal oleh masyarakat dan menjurus pada ketidaksejahteraan petani. Alur dan penjelasan mengenai kebijakan harga beras yang didasarkan dari dimensi penentu harga yang sangat kompleks telah tergambar pada Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi oleh Saptana dan Hermanto [3]. Lebih lanjut lagi, yang menjadi dasar panjangnya dimensi penentu harga adalah peran tengkulak. Para tengkulak dan kartel beras sendiri telah menguasai beras petani, serta petani juga sangat ketergantungan dengan tengkulak. Padahal tengkulak melakukan eksploitasi melalui pembelian atau markup produksi beras petani yang menjadi mahal dan juga pinjaman bunga sebagai modal petani yang cukup tinggi.
Namun, mengapa petani masih tergantung dengan tengkulak dengan segala risiko ketidaksejahteraan petani itu sendiri?
Pada dasarnya, hal ini disebabkan tengkulak seolah memberikan keuntungan timbal balik pada petani atau disebut sebagai kondisi patronase, seperti karena tengkulak merupakan pembeli yang dapat langsung membeli secara keseluruhan produksi pertanian dengan transportasi dari tengkulak itu sendiri sehingga petani tidak mengeluarkan biaya overhead lain, serta keuntungan semu lain adalah peminjaman modal. Permasalahan ini adlah permasalahan masif yang mneyangkut perekonomian petani, salah satunya teradi di Kediri melalui studi kasus yang dilakukan Megasari [4]. Petani hanya bisa melakukan peminjaman modal dengan pihak tengkulak ataupun rentenir akibat keterbatasan akses pendanaan untuk petani karena pihak perbankan, seperti bank tidak cukup masih di daerah pedesaan dan juga pihak bank tidak ingin mengambil risiko dengan memberikan permodalan kepada petani karena sektor pertanian merupakan sektor bergantung pada alam di mana hasil panen tidak dapat diprediksi 100% secara akurat terutama seperti pada masa perubahan iklim zaman ini yang membuat ketika adanya gagal panen, maka petani mungkin bisa mengalami gagal bayar ataupun kredit macet dan hal inilah yang merugikan pihak bank. Namun, selain perbankan, walaupun ada pinjaman KUR atau Kredit Usaha Rakyat, tetapi mekanismenya sangat rumit dan bahkan diperburuk dengan akses informasi dan pemahaman dari petani yang terbatas tanpa adanya sosialisasi tertentu. Hal inilah yang membuat petani ketergantungan dengan tengkulak.
Hal inilah yang menjadi pijakan dari diadakannya impor beras. Impor beras dijadikan strategi bagi institusi, perusahaan, dan kelompok lain terutama Bulog untuk melindungi masyarakat terutama kesejahteraan petani dari eksploitasi yang dilakukan tengkulak maupun kartel beras lainnya. Dengan harga beras impor yang lebih murah maka terbentuk agregasi harga sehingga harga dari beras lokal sendiri tidak terlampau murah dengan markup besar karena akan ada penyesuaian. Dari pemaparan tersebut, kita dapat mengetahui kompleksnya permasalahan impor beras atau bahkan masih terdapat faktor lain yang belum disebutkan. Namun, menurut saya sendiri, saya setuju diadakannya impor beras dengan catatan impor beras tidak dilakukan secara masif, tetapi diberlakukan hanya sebagai kebutuhan Bulog dalam penanganan eksploitasi petani oleh tengkulak melalui agregasi harga hingga nantinya diharapkan pemerintah dapat segera menyelesaikan akar permasalahan lain dalam pertanian, seperti melalui resolusi sebagai berikut.
- Mengatasi tengkulak-tengkulak licik dengan menyediakan pihak pembeli sekaligus distribusi dari pemerintah
- Keterbatasan permodalan oleh petani bisa dilakukan dengan sosialisasi pinjaman KUR mengingat telah ada pihak yang khusus menangani pinjaman-pinjaman permodalan pertanian maupun perkebunan. Sosialisasi masif perlu dilakukan sehingga petani terbuka wawasannya untuk melakukan pinjaman.
- Diperlukan adanya upaya mengatasi gagal panen akibat perubahan iklim, seperti dengan melakukan teknik tertentu, sistematika waktu tanam dan panen yang baik melalui pemanfaatan teknologi, dan lain sebagainya. Hal ini ditujukan agar pihak-pihak peminjam sendiri tidak takut dalam memberikan pinjaman karena adanya parno gagal panen.
Lebih jelas lagi, berikut merupakan rincian perlu diadakannya impor beras dengan catatan tidak dilakukan secara masif, tetapi sesuai dengan ukuran kebutuhan pasar, misal ketika diprediksi harga beras lokal jauh dari nalar. Ketika harga beras mengalami kenaikan, maka pemerintah melakukan impor untuk menciptakan excess suply sehingga harga beras turun. Rincian penjelasannya ini merupakan buah penelitian dengan topik impor beras di Indonesia oleh Paipan dan Abrar [5]. Terakhir, yang perlu digarisbawahi adalah sebagian orang mungkin belum mengetahui bahwa beras impor yang mengalami overstock tidak lantas dilakukan penyimpanan pada warehouse hingga kadaluarsa dan dibuang, tetapi beras impor tersebut akan dialihkan menuju keperluas industri non-pangan. Di titik inilah, beras impor memang hanya dijadikan sebagi strategi dalam pengendalian harga beras lokal bukan sebagai sebuah ketergantungan masif dari pihak-pihak tertentu.
Demikian dari saya, semoga dapat menjawab dan memberikan manfaat.
Referensi
[1] Badan Pusat Statistik. 2020. Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2020. Jakarta: Berita
Resmi Statistik.
[2] Kementerian Pertanian - Mentan SYL: Stok Beras Surplus, Tak Ada Impor dan PPN Sembako Umum
[3] Hermanto, Saptana. 2017. Kebijakan Harga Beras Ditinjau dari Dimensi Penentu Harga. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 35(1): 2017.
[4] Megasari, Lutfi Apreliana. 2018. Ketergantungan Petani terhadap Tengkulak sebagai Patron dalam Kegiatan Proses Produksi Pertanian. Studi Kasus. Surabaya: Universitas Airlangga.
[5] Abrar, M & Paipan, S. 2020. Determinal Ketergantungan Impor Beras di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 11 (1), 53-64.