Seseorang memahami sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri

image

Seorang tukang bangunan ditugaskan oleh orang yang baik untuk membangun dan menyiapkan sebuah rumah yang akan diberikan kepada yang membutuhkan.

Tukang tersebut mulai bekerja; tetapi ia segera dikerumuni banyak orang. Sebagian dari mereka ingin belajar bagaimana membangun rumah. Dari mereka ini, hanya beberapa saja yang memiliki kemampuan. Sebagian lagi memprotesnya, berkata:

"Engkau memilih orang-orang yang kau sukai. "

Lainnya mencacinya,

“Engkau membangun rumah ini hanya untuk dirimu sendiri.”

Tukang tersebut berkata kepada mereka,

"Aku tidak dapat mengajari setiap orang.
Dan aku membangun rumah ini untuk mereka yang membutuhkan."

Mereka menjawab,

“Engkau cuma beralasan setelah didakwa, dan sekadar menjawab saja.”

Katanya,

“Tetapi bagaimana jika benar? Apakah masih disebut kebohongan?”

Mereka berkata,

“Ini tidak masuk akal; kita tidak akan mendengarkan.”

Tukang tersebut melanjutkan pekerjaannya. Beberapa pembantunya bekerja begitu dekat dengan rumah tersebut, dan untuk kebaikan mereka sendiri, mereka diusirnya. Si pengumpat berteriak:

“Sekarang ia mulai menunjukkan warna aslinya. Lihat apa yang ia lakukan terhadap teman-temannya: diusirnya!”

Salah satu dari teman sang tukang menjelaskan,

“Ia melakukan ini untuk alasan- alasan tertentu. Ini demi kebaikan orang lain.”

“Lalu mengapa ia tidak berbicara untuk dirinya sendiri, menjelaskannya secara rinci kepada kita semua?” mereka berteriak.

Si Tukang, dengan mengorbankan waktunya yang dibutuhkan untuk membangun, menghampiri mereka dan mengatakan:

“Aku ke sini untuk menjelaskan kepadamu apa yang aku lakukan dan mengapa.”

Tiba-tiba mereka berteriak,

“Lihat, setelah tahu orang suruhannya tidak dapat meyakinkan kita, ia datang sendiri, mencoba menipu kita! Jangan dengarkan ia.”

Si tukang kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara yang lain berseru di belakangnya:

“Lihat bagaimana ia menyelinap pergi … ia tidak dapat membingungkan kita, karena kita orang-orang yang berpikiran jernih.”

Salah seorang, yang memiliki pemikiran lebih adil daripada yang lain, berkata:

“Tidak dapatkah kita sedikit menyesuaikan dalam masalah ini; barangkali ia benar-benar mencoba melakukan sesuatu yang baik. Di lain pihak, jika tidak, barangkali kita dapat menentukan situasi ini berdasar kenyataan, bukan pendapat.”

Beberapa orang setuju, kendati kebanyakan menolak. Sebagian besar ini terbagi diantara mereka yang berpikir bahwa orang yang berpikiran jernih ada dalam pembayaran tukang, dan mereka yang berpikir bahwa ia kurang intelek.

Sebagian kemudian mendekati tukang batu dan berkata:

“Tunjukkan kepada kami otorisasi dari majikanmu yang murah hati, sehingga kami mungkin menjadi yakin!”

Tetapi ketika bukti otorisasi ditunjukkan kepada mereka, ternyata diketahui bahwa tidak satu pun dari mereka dapat membaca.

“Bawa ke mari orang yang dapat membaca, dan aku akan terbantu, sehingga kita dapat mengakhirinya!” ujar tukang bangunan.

Beberapa dari mereka pergi dengan muak, berkata:

“Kita minta bukti, dan segala yang ia lakukan adalah menggerutu soal bacaan dan tulisan…”

Lainnya mencari dan kembali dengan orang yang berakal cerdik dan ahli yang buta huruf, yang menyatakan bahwa mereka dapat membaca. Semuanya, beranggapan bahwa di dunia ini tidak satu pun yang dapat membaca, meminta sekantong besar uang kepada tukang tersebut sebagai penukar penegasan kebenaran otorisasinya. Tetapi si tukang menolak untuk bekerja sama dengan mereka.

Orang-orang yang bisa baca-tulis, engkau tahu, sangat langka di negeri ini. Mereka yang dapat membaca dan menulis tidak dipercaya oleh khalayak, atau lainnya.

Kenyataan dari situasi ini adalah, bahwa masyarakat menginterpretasi (memahami) mereka sesuai keinginan sendiri.

(Mudir Ali Sabri)

Sumber : Idries Shah, Jalan Sufi : Reportase Dunia Ma’rifat, Judul asli: The Way of the Sufi, penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha, Penerbit Risalah Gusti, November 1999