Seribu Langkah Yang Terhenti

SERIBU LANGKAH YANG TERHENTI
Oleh: Rika Wulansari

Terik matahari membuat hawa panas menyeruak dalam tubuhku. Kedua tanganku masih terus bermain dengan kedua stang motor matic-ku, menuju tempat berkumpul kami untuk melakukan persiapan mendaki. Bibirku terus menggumamkan nada lagu yang tidak jelas. Kakiku bergerak naik turun seiring dengan irama lagu yang kugumamkan. Mataku berkeliling memandangi sekitar.

Segala aktivitas anggota tubuhku terhenti saat aku tiba di sebuah pendopo yang telah di singgahi dua temanku. Mereka adalah Efiana Nurma dan Afra Asyari, sedangkan namaku sendiri adalah Rantiana.

Saat ini kami bertiga merupakan pelajar SMK kelas XI semester 2. Kami memanfaatkan hari libur untuk berpetualang. Mendaki bukan hal pertama lagi bagiku dan Efiana. Namun merupakan hal pertama untuk Afra, dan dengan segala pertimbangan, dia tetap menyatakan ikut meski tak diijinkan kedua orang tuanya.

Aku turun dari motorku dan menyapa mereka, setelah itu kami menuju tempat persewaan barang outdoor. Jaraknya tidak terlalu jauh dari pendopo. Setelah segala perlengkapan terkumpul kami menatanya di dalam carriel. Rencananya kami akan membawa 2 carriel.

Selesai dengan segala aktivitas prepare, kami memutuskan untuk sholat dzuhur di mushola terdekat lalu mencari makan siang dan kembali ke pendopo. Jam telah menunjukkan pukul 14.55 WIB, kami tengah menunggu seseorang yang juga akan ikut bergabung dengan kami.

Namanya Sinta Maharani, siswa kelas X, dia kekeh ingin berangkat sekolah terlebih dahulu. Padahal Hari Jum’at sekolah berakhir pukul 16.30 WIB, karena harus mengikuti ekskul terlebih dahulu. Alhasil kami bertigalah yang gelisah menunggunya. Kami menunggu hingga pukul 16.40 WIB, sebelumnya kami telah melakukan Sholat Ashar berjamaah.

Afra mendengus sebal. “Gimana sih Sinta, udah jam segini juga belum datang-datang.”

“Coba Ran telepon dia,” titah Efiana padaku. Aku bergegas mengambil handphone di saku celanaku dan menelepon Sinta.

“Sorry Mbak, ini motorku masih dibawa Mas Agus, bentar lagi pulang,” ujarnya dari balik handphone.

Aku menghela napas pelan. “Agak cepat ya Sin, keburu sore nanti malam nyampe sana.”

“Oke Mba,” jawabnya lalu kuputuskan panggilan itu.

Setelah 15 menit menunggu barulah dia muncul dengan motor matic-nya. Tanpa adanya rasa bersalah bahkan dia belum memakai sepatunya dan lagi, kami harus menata barang di carriel dia.

Setelah semuanya selesai kami langsung berangkat, perjalanan menuju Base Camp Pendakian Gunung Sindoro via Kledung kurang lebih 3 jam. Selama perjalanan sering kali kita salah jalur yang membuat kita harus putar balik dan tentu saja membuang-buang waktu.

Di tengah perjalanan kami terjebak hujan, lalu kami menepi memakai jas hujan dan tetap menerobos derasnya hujan. Masjid-masjid telah mengumandangkan seruan untuk segera menghadap-Nya. Bersyukur sekali tidak lama setelah itu kami tiba di base camp.

Kami disambut baik oleh pihak base camp yang kebanyakan adalah para lelaki. Setelah meminta kartu list barang, kami mencari tempat yang nyaman untuk membongkar barang yang kami bawa. Sebelumnya kami melakukan sholat maghrib berjamaah terlebih dahulu.

Setelah selesai pencatatan barang, aku memanggil salah satu pihak base camp untuk mengecek ulang barang kami. Dia ramah, tetapi sangat cerewet, membuat target berangkat kami tertunda dan akhirnya hujan lebat mengguyur bumi ini kembali. Hal itu membuat kami berdebat dengan lelaki itu, dia sangat tidak mengijinkan kami tetap berangkat, karena kami perempuan semua.

“Mas, boleh ya kita berangkat,” rayu Efiana.

“Kalau hujannya reda boleh,” balasnya santai.

Setelah kepergiannya kami menata ulang barang-barang lalu sholat isya berjamaah sembari menunggu hujan yang tak berhenti sama sekali. Selesai sholat kami berempat mencari lelaki tadi, berusaha meminta ijin untuk berangkat sekarang juga namun tetap tidak diijinkan.

Setelah perdebatan terjadi lagi akhirnya kami diijinkan berangkat besok pagi pukul 02.00 WIB. Kami berdiskusi dan memutuskan untuk tek tok, itu artinya kami tidak camp dan segala keperluan untuk camp ditinggalkan di base camp. Awalnya banyak sekali keraguan, karena tek tok memerlukan tenaga yang begitu ekstra. Namun kami bersikeras untuk tetap berangkat.

Kami memutuskan untuk beristirahat, pukul 01.00 WIB kami bangun, mie instan dan kopi manis sederhana menemani sarapan pagi buta kami. Segala perlengkapan yang diperlukan telah kami siapkan. Saat akan berangkat sepatu Sinta rusak, tetapi lelaki itu menali sepatu Sinta dengan tali yang dia punya.

“Kalian mau berangkat bawa kantong plastik banyak banget,” tegurnya pada kami setelah menali sepatu Sinta.

“Ngga punya tas kecil Mas,” balasku.

Dia melenggang meninggalkan kami masuk ke sebuah ruangan. Lalu keluar dengan membawa tas, dia menyodorkan tas itu agar kami memasukkan barang-barang dalam kantong plastik yang kami genggam.

“Ingat, puncak bukan tujuan utama, yang utama itu keselamatan,” tutur lelaki itu dan kami membalasnya dengan anggukan.

Setelah itu kami diinstruksikan untuk menunggu ojek, aku berpikir ojek itu motor. Namun lagi-lagi lelaki itu membuat kejutan yang tak terduga. Karena ojek yang disediakan adalah mobil pick up warna hitam. Langsung saja kami mengucapkan terima kasih dan menaiki mobil itu.

Angin malam menemani perjalanan kami, sesekali kami bersenda gurau mencoba menikmati setiap detik perjuangan yang kami tempuh. Hingga akhirnya mobil berhenti, setahuku tarif satu ojek Rp. 25.000/orang jadi aku menyerahkan uang Rp. 100.000, namun ditolak oleh sopir itu dan dia hanya ingin dibayar Rp. 80.000. Wah, apalagi sekarang? Apa ini juga ulah lelaki tadi? Jika memang, beribu ucapan terima kasih kami untuknya yang telah membantu dan melindungi kami.

Setelah selesai membayar kami berdoa bersama lalu menyiapkan senter masing-masing. Trek awal masih berupa tanah biasa namun jalan sudah menanjak. Sangat gelap, dan beruntungnya aku membawa banyak senter untuk cadangan. Di perjalanan kami benar-benar tidak bertemu siapapun. Sangat sepi dan hanya suara-suara binatang yang terdengar, kedinginan menyerang kami sejak awal perjalanan dimulai.

Sepatu Sinta menjadi kendala untuk kami, aku teringat membawa kerudung di dalam tas untuk membungkus kamera. Aku menawarkan untuk menyobek kerudung itu digunakan untuk menali sepatu. Meski tidak terlalu membantu karena beberapa kali kami harus berhenti mengencangkan tali itu.

Saat sunrise muncul, kami masih di perjalanan. Trek semakin sulit dan semua bebatuan besar, aku yang pernah mendaki saja sangat terkejut melihatnya. Seketika kami berpikir bagaimana caranya turun kembali. Bahkan untuk melihat ke bawah tidak berani karena sangat menyeramkan.

Jujur aku merasa tidak ada beban sama sekali, karena carriel pun kami tidak membawa. Namun Sinta mengeluh tidak kuat untuk melanjutkan, aku dan Efiana memperlambat langkah kami.

Hingga saat istirahat Afra berkata bahwa dia terus dihubungi oleh ibunya. Jelas aku bingung, kami telah berjalan lebih dari setengah perjalanan. Jika harus kembali sebelum menginjak puncak aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku. Di tengah istirahat, kami bertemu dengan pendaki lain yang akan turun.

“Mas, puncak masih jauh ngga?” tanyaku.

“Masih sekitar dua jam Mbak,” balasnya.

Aku cukup terkejut karena waktu sangat tidak mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Aku memikirkan Afra dan juga Sinta. Mungkin aku dan Efiana terlihat egois, tetap berjalan tanpa memikirkan mereka. Tetapi ini perjuangan, dua jam itu bukan waktu yang lama setelah melihat begitu sulitnya medan yang kita lalui. Setelah berkecamuk dengan pikiranku sendiri, Efiana membuka suara.

“Ayo naik dulu, istirahat disana. Foto bentar terus turun lagi. Ngga usah sampai puncak, kesorean nanti.”

Mendengar ucapan Efiana, runtuh sudah harapanku menginjakkan kaki di Puncak Sindoro. Aku mengerti keputusannya bukan tanpa alasan, tetapi keputusan itu belum diterima sepenuhnya olehku. Rahangku mengeras, bulir-bulir bening lolos di kedua pipiku. Ini berat untukku bahkan sangat berat, setelah perjalanan panjang, setelah banyaknya uang yang aku keluarkan aku harus turun sebelum tiba di tujuan utamaku.

Terbesit dalam pikiranku untuk tetap naik, namun kembali kuurungkan. Karena kami datang berempat dan harus kembali berempat pula. Sinta merasa tidak enak melihatku menangis, aku menyeka air mataku dengan kasar lalu bangkit.

Kami melanjutkan perjalanan sekitar 5 menit untuk mendapatkan spot foto yang bagus. Aku duduk di salah satu batu besar dan menatap lurus kedepan. Menunggu Afra dan Efiana berfoto, niatku untuk berfoto telah hilang setelah keputusan Efiana terlontar tadi. Sedangkan Sinta pun tak mau berfoto dan sibuk membetulkan sepatunya. Mungkin dia masih tak enak hati terhadapku.

“Ayo turun sekarang, nanti keburu sore,” ucapku menguatkan diri dan sesekali berlari kecil jika medan cukup aman.

Lagi-lagi sepatu Sinta yang menjadi kendala, dan Efiana melepas sepatunya untuk Sinta. Aku tidak setuju awalnya, memakai sepatu saja sangat sakit kakiku, apalagi berjalan tanpa alas kaki, namun itulah Efiana dengan segala keras kepalanya.

Aku membiarkannya untuk beberapa waktu dan perjalanan kami benar-benar semakin lama. Efiana sesekali merintih kesakitan dan kulihat kakinya memerah. Bahkan aku berdebat dengannya agar dia mau memakai sepatuku dan biarkan aku memakai sepatu Sinta yang rusak. Menurutku hanya itu cara satu-satunya, karena ukuran sepatu Sinta tidak terlalu besar untukku, namun dia tetap menolak.

Aku kembali diam, membiarkan dia dengan segala kesakitannya. Cukup sudah harapanku dijatuhkan dan aku tidak mau menyakiti hatiku lagi hanya untuk sebuah perdebatan yang tak dianggap. Namun hatiku berdesir melihat kaki kecilnya kesakitan, aku menguatkan hati dan membujuknya kembali.

“Ef, pakai caraku tadi. Dari pada kayak gini, kamu malah memperlambat perjalanan kita. Nanti sampai di base camp bisa aja dimarahi lagi karena ngga pakai sepatu,” ucapku.

Kulihat Efiana tampak berpikir. “Ya udah iya.”

Aku bernapas lega mendengar jawabannya. Segera kulepas sepatuku dan aku mengenakan sepatu Sinta. Perjalanan kami lanjutkan, rasa tidak nyaman tentu kurasakan. Mengenakan sepatu yang kedua alasnya sudah terlepas. Hanya bantuan tali kerudung yang sesekali kubenarkan. Namun biarkanlah aku yang merasakan, inilah sebuah perjuangan dan solidaritas.

Semua ini belum berakhir dan segalanya adalah perjuangan yang tak terlupakan. Perjuangan memendam amarah, perjuangan menahan ego tersulit yang pernah aku hadapi demi kepentingan bersama.

Aku berjanji, aku bertekad suatu saat aku akan kembali membawa harapanku menginjakkan kaki di Puncak Sindoro. Mewujudkan harapan yang kini telah gugur bersama tetesan-tetesan air mataku. Pohon, batu, langit, awan, burung dan juga Gunung Sumbing yang berhadapan dengan Gunung Sindoro menjadi saksi bisu pilunya hatiku dan juga besarnya tekadku untuk kembali lagi.

Sebuah apresiasi untuk diriku sendiri yang mampu mengesampingkan ego demi kepentingan orang lain. Meski saat nanti ini aku belum bisa mencapai tujuanku, aku akan mengulangnya di lain waktu.