Seperti apa tipologi Islam di Nusantara?

Seperti banyak diungkap dalam sejarah nasional, sejak sebelum masuknya Islam, bangsa-bangsa di kawasan nusantara telah terbiasa berhubungan dengan bangsa India, Cina, Afrika Timur dan Arab. Hubungan dengan bangsa-bangsa di kawasan tersebut memungkinkan terjadinya interaksi budaya dan peradaban antar bangsa, yang di antara indikatornya tampak pada masuknya agama Hindu, Budha dan Islam. Dari sana terdapat beberapa versi sejarah masuknya Islam ke nusantara. Sebagian besar sejarawan meyakini Islam dibawa pedagang dari Gujarat, India selatan, sementara pendapat lain yang kurang populer menunjukkan bahwa Islam masuk dari daratan Cina. Keduanya memiliki bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Islam di nusantara memang dibawa masuk oleh para pedagang dan da‟i dari kedua kawasan, sekalipun intensitas upaya kajian yang dilakukan terhadap versi kedua jarang dilakukan. Seperti apa tipologi Islam yang berkembang di Nusantara?

Kajian sejarah nasional memang jarang mengungkap pengaruh Cina dalam penyebaran Islam, meski kemungkinan tersebut tak dapat diabaikan. Di antara bukti historisnya adalah kehadiran armada laut Cina di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Pengaruh Cina juga tampak pada berbagai pola dan cara hidup masyarakat nusantara. Bangsa Cina memperkenalkan bangsa nusantara dengan berbagai pola hidup dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pakaian yang dijahit, cara bercocok tanam, penanaman dan konsumsi beberapa komoditas seperti tebu, terong dan kacang hijau, pengolahan bahan pangan, pembuatan makanan tertentu dari kedelai dan kacang hijau, sistem pengolahan gula dan sebagainya lebih mirip dengan tradisi Cina dibanding India.

Interaksi selama berabad-abad menyebabkan keberadaan etnis Cina telah diterima luas oleh banyak pemerintahan nusantara. Pada kurun yang lebih kemudian tercatat beberapa jabatan penting di kerajaan Islam nusantara diduduki etnis Cina, terutama setelah diterimanya Islam sebagai agama resmi. Hal ini tentu tidak terjadi manakala pejabat dari etnis Cina tersebut belum beragama Islam. Etnis Cina bahkan merupakan tokoh-tokoh penting di balik tegaknya beberapa dinasti Islam nusantara, termasuk sebuah dinasti Islam dominan seperti kerajaan Islam di Demak.

Terlepas dari versi sejarah mana yang lebih dapat dipercaya, pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa berbeda dari masuknya Islam ke kawasan lain, semisal Timur Tengah, Afrika, Eropa dan India, Islam masuk ke kawasan nusantara dengan relatif tanpa gejolak. Pada kawasan lain, sejarah mencatat hampir selalu terdapat ekspedisi ataupun pengerahan pasukan bersenjata yang menandai awal masuknya Islam ke suatu kawasan. Meski banyak sejarawan Islam menolak adagium yang menyatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa senantiasa ada ekspedisi militer dan disusul hegemoni politik menandai masuknya Islam ke suatu kawasan. Sementara di wilayah nusantara, tidak ada cukup bukti sejarah yang menunjukkan adanya ekspedisi pasukan bersenjata dari kawasan pemerintahan Islam tertentu yang datang ke nusantara dalam rangka penaklukan (futuhat) ataupun misi lain.

Islam sendiri terkategori relatif terlambat masuk dan berkembang di kawasan nusantara dibanding kawasan lain, semisal India, Timur Tengah bahkan Eropa. Kondisi ini tampaknya berdampak signifikan terhadap intensitas dan karakteristik keislaman nusantara, setidaknya pada kurun awal perkembangannya. Perkembangan Islam di Mesir, Turki, ataupun Spanyol umumnya dimulai dari ekspedisi militer dan hegemoni politik, sementara pola perkembangan Islam di nusantara dimulai dari terbentuknya komunitas masyarakat Islam, baru secara bertahap mempengaruhi penguasa setempat. Barang kali karena itu intesitas kepekaan sentimen keagamaan mereka terhadap bangsa Eropa-Kristen kurang begitu menonjol. Di samping karena proses masuknya yang relatif damai dan berlangsung secara akulturatif, kebaruan waktu penyebaran serta tipologi keislamannya mempengaruhi sikap umat Islam terhadap kehadiran bangsa Eropa-Kristen.

Tentu saja hal ini belum termasuk akibat-akibat yang ditimbulkan oleh polarisasi perkembangan intelektual, budaya dan politik Islam sebagai akibat akulturasi dan berkembangnya paradigma keislaman tertentu di nusantara. Sekalipun Islam di India dimulai dengan ekspedisi militer dan penaklukan kerajaan-kerajaan Hindu, namun interaksi Islam dengan paham-paham lokal melahirkan intensitas sentimen yang berbeda. Corak keislaman asketik menjadikan intensitas kepekaan sentimen terhadap Barat-Kristen tidak lebih tajam dibanding pengalaman Islam di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah pada umumnya. Diterimanya Islam di hampir seluruh kawasan nusantara baru menimbulkan sekat ideologis setelah pendatang dari Eropa sering secara ofensif berupaya menebarkan ajaran agamanya, Kristen, menyaingi agama setempat.

Di kawasan Timur Tengah sendiri, Islam pada kurun yang sama juga bergeser seiring melemahnya kekuatan sosial politik, intelektual maupun militer. Islam bergeser dari corak keagamaan heroik yang mampu mendorong penaklukan-penaklukan, kemudian menjadi progresif akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kejayaannya, dan terakhir asketik dengan merebaknya pemahaman sufistik. Pada kurun terakhir, sekalipun pada sebagian dunia Islam kepekaan sentimen anti Barat-Kristen masih cukup besar, namun mereka tidak cukup berdaya menghadapi invasi Barat atas wilayah-wilayahnya. Sentimen anti Barat-Kristen yang tersisa juga tidak melahirkan solidaritas untuk menghadapi musuh yang sama.

Kebaruan kedatangan Islam di nusantara menjadikan perkembangannya baru berada pada taraf periferal, bahkan di lingkungan kerajaan Islam sendiri. Islam baru hidup dan berkembang sebagai simbol negara dengan serangkaian tradisi sosial keagamaannya. Islam belum menjadi paradigma sosial budaya yang disertai kedalaman sentimen keagamaan yang mampu menempatkan ajaran agama sebagai satu-satunya referensi kebenaran sebagaimana pengalaman Barat era Dark Age dan sesudahnya. Sentimen keagamaan lebih menonjol pada persoalan perbedaan internal Islam, sebagaimana skisma antar madzhab serta penghakiman terhadap tokoh-tokoh wihdatul wujud, seperti al-Hallaj atau Siti Jenar. Di Jawa, penghakiman atas Siti Jenar tidak diekspose sebagai satu bentuk perang terhadap pembuat bid’ah. Peristiwa tersebut masih dibungkus dengan berbagai mitos dan legenda hingga tidak mengesankan sebagai sebuah sadisme yang mengatasnamakan agama.

Kerajaan Islam nusantara tidak pernah benar-benar menjadi negara agama yang menempatkan hukum dan kebenaran agama mengatasi setiap keputusan sosial politik maupun intelektual. Penumpasan berbagai pemberontakan di kerajaan Demak, Pajang dan Mataram hampir seluruhnya didorong oleh motif politik. Hanya pada peristiwa perang Paderi, yang berakhir dengan kekalahan upaya penegakan ajaran agama dilakukan, yang itupun masih perlu dikaji lagi eksistensinya apakah sebagai upaya penegakan hukum agama atau persaingan kultural antara yang bertradisi Islam dengan mereka yang masih kukuh dengan tradisi lokal.

Proses Islamisasi nusantara yang berlangsung secara natural dan damai, di samping corak keislaman yang menyertai, memiliki dampak yang relatif berbeda pada terbentuknya karakter keislaman masyarakat nusantara. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan Islam berkembang sedemikian pesat, hampir-hampir secara total menggantikan peran agama Hindu dan Budha yang dalam sejarah diakui pernah diapresiasi masyarakat nusantara secara hampir merata. Kerajaan-kerajaan Hindu di pulau Jawa yang sedemikian besar dan luas pengaruhnya seolah tidak tersisa, sekalipun jejak-jejak sejarahnya masih sangat nampak baik dalam budaya maupun situssitus kesejarahannya.

Sebagaimana agama-agama sebelumnya yang masuk ke kawasan ini, masuknya Islam diikuti dengan terjadinya proses perpaduan dengan budaya nusantara. Hasil keterpaduan Islam nusantara dengan budaya lokal lebih tampak sebagai restorasi kultur dan tradisi dibanding internalisasi dogma keagamaan. Budaya sosial politik bahkan keagamaan lebih didominasi unsur budaya lokal. Pada kurun sebelumnya, pola penyebaran agama agama Hindu dan Budha kurang lebih juga berlangsung serupa. Agama Hindu dan Budha mengalami perpaduan dengan kultur lokal bahkan antar keduanya, yang di antaranya dapat dicermati pada corak keagamaan Hindu dan Budha yang berkembang di wilayah ini pada masa Majapahit.

Perkembangan nusantara pasca kolonial menunjukkan sentimen keislaman tidak cukup menonjol selain sekedar munculnya kesadaran untuk merebut kembali kejayaan yang sempat terampas oleh peristiwa penjajahan. Kecuali di beberapa kerajaan kecil, seperti Aceh, Palembang dan Maluku, tidak ditemukan momentum dan upaya kesejarahan yang menjustifikasi perilaku sosial politik bahkan keilmuan berdasarkan ajaran Islam. Impian untuk menegakkan kembali kejayaan Islam seperti sebelum masa kolonial tidak cukup berkembang sebagaimana pengalaman di India misalnya, karena kerajaan Islam pra-kolonial tidak terlalu dipandang sebagai sebuah prestise budaya yang terlalu berarti. Selain di Aceh yang memang paling akhir ditaklukkan Belanda, masa lalu kerajaan sebelum kolonialisme berlangsung tidak terangkat sebagai proto type yang akan ditegakkan kembali.

Islam di dunia selama memasuki abad 14 dan 15 pada dasarnya sudah didominasi pola keislaman sufistik. Islam masuk ke nusantara setelah mengalami berbagai pergeseran paradigma hingga sampai pada corak mutakhirnya, sufisme eskapistik. Islam bahkan telah mengalami fase kemunduran pada berbagai aspek kehidupan, baik intelektual, politik, militer dan berbagai aspek yang lebih luas. Tipologi Islam semacam itu memiliki kemiripan dengan tradisi dan budaya nusantara ketika itu yang juga sarat dengan mistisisme, dan menyebabkannya mudah diterima masyarakat nusantara yang memang pada kurun sebelumnya sarat dengan budaya mitis. Karena itu, Islam secara konseptual tidak cukup menyuntikkan progresifitas dinamika sosial maupun intelektual di kawasan nusantara.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam semakin intensif berkembang ke wilayah Asia Tenggara dan Timur jauh ketika pusat peradaan Islam mengalami tekanan dan kekalahan. Sejak runtuhnya dinasti Abbassiyah, pergerakan Islam tampak lebih intensif mengarah ke Asia Timur. Islam seolah sudah tidak dapat bergerak lagi melanjutkan ekspansinya ke Eropa, bahkan terpukul mundur dari Spanyol. Gerak penyebaran Islam ke wilayah Timur tidak disertai lagi dengan ekspedisi pasukan, karena kekuatan militer di pusat-pusat dunia Islam sudah terkonsentrasi untuk keperluan-keperluan domistik dan regional. Tidak ada pemerintahan yang memiliki kekuatan militer cukup besar dan kuat yang mampu melakukan ekspansi ke luar kawasan. Turki sebagai kerajaan terbesar hanya membangun pengaruh spiritualnya bagi dunia Islam, dan sudah tidak begitu ekstensif melakukan ekspansi teritorial di luar wilayah yang sebelumnya dikuasai. Apalagi dinasti-dinasti kecil yang mandiri, mereka hanya mampu mempertahankan diri tanpa cukup keberanian ekspansi.

Terlepas sebagai hasil kebijakan pemerintahan di pusat-pusat dunia Islam atau kehendak individual, da‟i-da‟i Islam bergerak secara hampir bersamaan dengan masuknya para pedagang dari Timur Tengah, India dan Cina. Bersama mereka ajaran Islam dapat terus menyebar ke berbagai kawasan, meski Islam yang di bawa da‟i dan pedagang tersebut sudah bukan lagi Islam yang diliputi karakter pemikiran yang progresif. Bila di Eropa dan Timur Tengah khususnya Islam melahirkan lembaga-lembaga politik dan keilmuan, rupanya tidak demikian halnya dengan Islam yang berkembang di Timur. Lembaga-lembaga keagamaan yang berkembang di Timur lebih menonjol karakter etisnya dibanding intelektualitas rasional, apalagi politis.

Pembinaan keislaman mengapresiasi lembaga-lembaga kultural setempat. Pesantren atau Meunasah merupakan lembaga keilmuan keagamaan murni yang mengajarkan Islam dengan menonjolkan dimensi etis dan normatif (syari’ah) yang menekankan aspek-aspek peribadatan, dengan tanpa menyentuh bidang-bidang keilmuan yang lain di luar disiplin keagaman. Para santri dididik disiplin keagamaan, dengan menjadikan kitab-kitab klasik sebagai acuan. Islam nusantara berkembang pada saat dunia pemikirannya mengalami stagnasi (jumud), di mana kitab-kitab klasik yang menjadi referensi diposisikan secara normatif dan bukan sebagai sesuatu yang harus dikritisi dan dikembangkan. Pada kurun kemudian, ketika muncul gerakan modernisasi Islam, mereka dikenal sebagai cikal-bakal kelompok yang dikenal sebagai muslim tradisionalis.

Madzhab fiqih yang berkembang di wilayah ini adalah Sunni, tapi tradisi spiritual keagamaan mereka lebih mirip dengan Syi‟ah, hingga memunculkan asumsi dari para sejarawan bahwa Islam pertama kali masuk ke nusantara dibawa kaum Syi‟ah. Namun demikian, kalau dicermati kultur spiritual masyarakat nusantara mungkin saja sebenarnya bukan karena adanya paham Syi‟ah yang berkembang di nusantara, tapi karena adanya akulturasi Islam dengan kultur dan paham lokal yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan tradisi Syi‟ah, dalam herarkhi spiritual dan tradisi keagamaan.

Sampai saat kehadiran dan penguasaan bangsa Eropa, Islam di nusantara belum memiliki karakteristik keagamaan yang menciptakan sentimen anti penjajah yang cukup keras. Warisan situasi konfliktif Islam dengan Kristen Barat pada kurun sebelumnya cukup mempengaruhi sikap keagamaan bangsa Eropa, sekalipun tidak demikian halnya sikap keagamaan yang ditunjukkan umat Islam nusantara. Peristiwa Perang Salib yang begitu traumatik dan memberi inspirasi besar bagi bangsa Eropa untuk membalas kekalahan ternyata tidak cukup dipandang sebagai momen sejarah berarti bagi umat Islam. Perang Salib telah menjadi pertarungan harga diri bagi Eropa, tetapi tidak demikian bagi umat Islam baik di Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, dan apalagi di Indonesia.

Hanya pada beberapa kasus, seperti perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Aceh, Perang Diponegoro dan pemberontakan kaum Tariqah di Banten, Islam sempat diangkat sebagai penggelora semangat perjuangan, meski belum sampai pada upaya menegakkan hukum-hukumnya dengan menghakimi perilaku tertentu sebagai sesuatu yang menyimpang dan harus diberantas. Sementara pada kerajaan besar, Mataram, motif keislaman bahkan kurang tampak. Rivalitas antara Mataram dengan Cirebon dan serangan atas panembahan Gresik dan Belanda lebih tampak karena politik dibanding keagamaan.

Kondisi ini secara umum mirip tradisi politik Eropa sebelum renaissance dan revolusi industri. Hanya saja, pada kurun petualangan (piracy) dan kolonialisasi, perkembangan Eropa mulai mengarah kepada kapitalisme dan merkantilisme yang meningkatkan jumlah dan nilai tawar kuat bagi aristokrat serta pemilik modal di hadapan raja. Kondisi ini masih ditunjang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta dinamika perekonomian yang berkembang pesat. Interaksi Barat dengan dunia Timur meski melampaui diselingi perang Salib yang berlangsung sekitar 300 tahun, intesitas perdagangan, ekspansi ekonomi dan kapitalisme berkembang sedemikian cepat dan luas di berbagai kota di Eropa. Sementara nusantara, kondisi serupa tidak terwujud hingga kehadiran bangsa-bangsa penjajah. Nusantara hanya mengapresiasi dari dunia Islam sofistikasi etiket, penggunaan gelar dan simbol-simbol keagamaan.

Gelar raja Islam, Sultan, menjadi kebutuhan akan legitimasi kekuasaan yang tampak ketika Panembahan Agung Mataram, yang setelah wafatnya dikenal sebagai sultan Agung berusaha memperoleh gelar Sultan dari para Ulama di Saudi Arabia. Perubahan gelar itu sendiri tidak cukup diikuti dengan perubahan sistem sosial politik kerajaan Islam. Kecuali di beberapa wilayah nusantara, khususnya luar Jawa, sistem dan tata negara pra-Islam masih lebih lebih kuat melekat berikut mitos-mitosnya. Di dunia Islam sendiri, yang kala itu berpusat di Turki sistem sosial politiknya juga masih lekat dengan sistem otokrasi tradisional, dengan legitimasi adikodrati.

Pemikiran politik nusantara masih membenarkan sistem otokrasi, dan belum ada alternatif lain, termasuk demokrasi. Konseptualisasi Islam ke dalam demokrasi yang dipadankan dengan syurâ muncul jauh setelah bangsa-bangsa dunia Islam memasuki alam kemerdekaan. Itupun berlangsung setelah para pembaharu Islam menyatakan perlunya membuka kembali pintu ijtihad yang juga masih sebatas wacana yang penuh kontroversi. Hingga memasuki masa kolonial, otokrasi masih menjadi satu-satunya tatanan yang diterima dan tidak ada cukup keberatan dari pihak manapun atas diterapkannya sistem tersebut, bahkan selalu memperoleh pembenaran yang tidak jarang disandarkan atas alasan keagamaan.

Konsep Islam tentang pemerintahan sendiri memang cenderung tidak baku. Pemerintahan Islam dalam tataran konseptual maupun praktik tidak ditentukan secara normatif keagamaan. Dalam praktiknya Islam pada kawasan tertentu cenderung berinteraksi secara dialektis dengan kultur bahkan agama setempat. Bila pada masyarakat yang belum menganut agama formal saja keislaman masyarakat berpadu dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi setempat, maka kurang lebih demikian halnya dalam sistem politik dan tata pemerintahan. Tradisi setempat bahkan cenderung memiliki pengaruh kuat dalam bangunan struktur sosial politik pemerintahan Islam.

Secara garis besar hal ini dapat dicermati dari fenomena kesejarahan Islam sejak masa nabi di Jazirah Arab hingga penyebaranannya di kawasan lain. Islam masa Nabi dan Sahabat yang berpusat di jazirah Arab dengan segala kekhasan kulturalnya mampu menghadirkan sistem sosial politik egaliter; Islam di India menunjukkan adanya pengaruh tradisi Hindu; dan ketika berada di wilayah Persia, kultur Persia juga kental dalam tradisi sosial politik dan pemerintahan hingga lahirnya monarkhi berdasarkan keturunan. Karena itu, Islam pada kawasan nusantara juga tak dapat menghindarkan dari kecenderungan serupa, di mana tradisi sosial politik dan pemerintahan Islam potensial menyesuaikan dengan situasi masyarakat setempat ataupun situasi kesejarahan pada masanya.