Seperti apa studi meteorologi di Indonesia?

image

Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari lintang geografis 7° 20’ U sampai 14° S, dan bujur 92° T sampai 141° T dengan panjang garis pantai total 43.670 mil atau 80.791 km. Dari aspek meteorologis, benua maritim Indonesia mempunyai kompleksitas dalam fenomena cuaca dan iklim. Atmosfer di atas Indonesia sangat kompleks dan pembentukan awannya sangat unik. Seperti apa studi meteorologi yang ada di Indonesia.

Indonesia sebagai benua maritim dengan iklim monsun ekuatorial memiliki dinamika atmosfer yang kompleks dan unik. Atmosfer di atas Indonesia mempunyai peranan yang sangat dominan dalam sistem cuaca dan iklim global. Kondisi ini merupakan tantangan dan juga peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan dan mengembangkan IPTEK Meteorologi dan memanfaatkan informasi cuaca yang unik untuk menunjang pembangunan dalam menyongsong era globalisasi.

Pentingnya Indonesia sebagai subjek riset atmosfer ekuatorial telah ditunjukkan oleh kemauan dan minat ilmuwan dunia untuk menyelenggarakan "The International Conference on the Scientific Result of the Monsoon Experiment’ pada tahun 1981, Denpasar Bali, dan “The International Symposium on Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia” yang diselenggarakan di Jakarta dan Bandung selama 5 tahun berturut-turut dart tahun 1989, 1990, 1991, 1992 sampai 1993. lni membuktikan bahwa pengamatan atmosfer ekuatorial di atas Indonesia menjadi sangat penting.

Realisasi dari seminar-seminar internasional tentang meteorologi dan sains atmosfer di Indonesia ialah didirikannya “Pusat Riset Cuaca dan Iklim Ekuatorial Internasional” di Koto Tabang (900 m, d.p.l) ± 20 km dari Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang diresmikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada tanggal 26 Juni 2001. Dengan demikian terbuka luas kesempatan untuk melakukan penelitian yang berskala lokal, nasional, regional, dan internasional. Lembaga Riset yang mengkaji fenomena cuaca dan sistem iklim di Indonesia adalah Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Riset di Perguruan Tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (Program Studi Meteorologi dan Kelompok Keahlian Sains Atmosfer), Institut Pertanian Bogor, dan Universitas serta Instansi Riset lain yang mengkaji masalah cuaca dan iklim. Mungkin saja Fakultas Geografi dan Fakultas Pertanian sebuah Perguruan Tinggi dapat melakukan riset dalam bidang meteorologi dan klimatologi.

Di area Pusat Riset Cuaca dan lklim Intemasional Koto Tabang dioperasikan peralatan observasi atmosfer global (Global Atmospheric Watch - GAW) oleh Badan Meteorologi Dunia ( World Meteorological Organization - WMO ). Di area ini juga dipasang Radar Lapisan Batas ( Boundary Layer Radar- BLR ), Radar Akustik (Sodar), Radiosonde, dan peralatan observasi cuaca lainnya. Akhir-akhir ini dioperasikan Radar Atmosfer Ekuatorial ( Equatorial Atmosphere Radar - EAR ) yang mempunyai sistem antena kuasi sirkular dengan diameter 110 m sebanyak 560 buah. Daya keluaran 100 kW, frekuensi 47 MHz, lebar berkas sinar 3,4° dan jangkauan observasi 1,5 - 20 km untuk turbulensi atmosfer, lebih dari 90 km untuk iregularitas ionosfer. Pusat Riset Cuaca dan Iklim Internasional merupakan kerjasama antara WMO, RASC ( Radio Science Center for Space and Atmosphere ) University of Kyoto, Jepang dan Pemerintah Indonesia melalui Instansi Riset BMG, LAPAN, dan BPPT.

Ditinjau dari aspek meteorologis, wilayah Indonesia merupakan salah satu daerah riset yang sangat menarik di muka bumi. Cuaca dan iklim Indonesia telah diinvestigasi secara intensif selama periode kolonial Belanda yang karya ilmiahnya dipublikasikan dalam " Verhandelingen ", Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium (KMMO) te Batavia . Salah satu publikasi yang hingga kini masih menjadi acuan riset meteorologi Indonesia ialah karya Braak (1929) yang membahas sejumlah fenomena skala meso yang sangat penting dan menarik, misalnya peristiwa “Bohorok” yaitu angin semacam Föhn di Sumatera yang bersifat kering, panas, dan dapat merusak tanaman. Peristiwa lain ialah “Sumatera” yaitu garis awan badai cumulonimbus (Cb) yang waktu hidupnya mencapai satu hari atau lebih.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, riset meteorologi di Indonesia masih diteruskan oleh beberapa ilmuwan Belanda. Karya ilmiahnya sebagian diterbitkan oleh Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Salah satu contoh misalnya Schmidt dan Ferguson (1952) mengkaji klasifikasi iklim di Indonesia berdasarkan metode Mӧhr. Jenis iklimnya ditentukan oleh nilai nisbah antara jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Dan nilai nisbah ini, mereka menggolongkan 8 jenis iklim, dari iklim A yang paling basah sampai iklim H yang paling kering.

Riset di daerah monsun sangat menarik, sehingga Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD) mengkoordinir pelaksanaan proyek besar di bidang meteorologi monsun yang diberi nama MONEX ( Monsoon Experiment ). Hasil-hasil risetnya diseminarkan secara internasional dan salah satunya Indonesia melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Intemasional tentang hasil-hasil MONEX. Konferensi ini diadakan di Denpasar, Bali pada tanggal 26 - 30 Oktober, 1981.

Sampai sekarang baru dua perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi meteorologi dengan terminal program strata tiga (S3) yaitu di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Program studi meteorologi di ITB lebih menekankan pada proses fisis dan dinamis atmosfer, proses fisis awan atau modifikasi cuaca, sedangkan di IPB lebih menekankan meteorologi terapan, misalnya agrometeorologi. Sejak tahun 1998 ITB menyelenggarakan program Sarjana Meteorologi, dan Pascasarjana yaitu program Magister dan Doktoral Sains Kebumian bidang khusus Sains Atmosfer di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM). Sebelumnya meteorologi digabung dengan studi oseanografi dan studi geofisika dalam Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA - ITB.

Jaringan stasiun meteorologi di wilayah Indonesia masih belum tersebar merata baik di darat maupun di laut, terutama di kawasan timur Indonesia. Jaringan stasiun atmosfer atas juga masih belum memadai jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia dan kompleksitasnya atmosfer ekuatorial. Stasiun meteorologi khusus seperti stasiun radar cuaca, stasiun listrik atmosfer dan sebagainya masih jarang didirikan di wilayah Indonesia yang merupakan daerah konvektif paling aktif dibandingkan daerah ekuatorial Afrika dan Amerika. Untuk mengatasi kekurangan data meteorologi, Indonesia bekerjasama dengan lembaga riset atau universitas luar negeri diantaranya dengan Universitas Kyoto yang membangun radar atmosfer ekuatorial di Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatera Barat, yang berlokasi pada lintang 0,20° S dan bujur 100,32 T.