Kemajuan managemen dan organisasi pemerintahan, militer dan perdagangan mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut mampu secara hegemonik memaksakan suatu sistem yang hanya menguntungkan diri mereka sendiri. Ketika kehendaknya ditolak penguasa setempat, serangan militer dijadikan pilihan untuk memaksa penguasa lokal yang secara politik dan militer kian lemah. Rendahnya sistem organisasi sosial politik dan ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi pada kerajaan-kerajaan nusantara membuat mereka mudah untuk ditaklukkan.
Setelah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan dan mengisolasi jalur laut, Belanda kian siap bersaing dengan kerajaankerajaan nusantara yang masih eksis, bahkan tak henti melakukan upaya-upaya ofensif untuk memaksakan akses ekonomi maupun politiknya. Pesaing lokal terberat Belanda di nusantara hanya muncul dari kerajaan Jawa, Mataram. Padahal di pihak lain, kerajaan-kerajaan nusantara, khususnya di luar Jawa sangat mengharapkan bantuan Mataram sebagai kerajaan terkuat. Hanya saja harapan tersebut tidak banyak berarti, sebab Mataram sendiri tidak memiliki cukup daya untuk mengusir Belanda yang semakin mengancam dan membatasi ruang geraknya. Sementara itu, kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa yang merasa terancam oleh ambisi Mataram untuk menguasai seluruh pulau Jawa memilih bekerjasama dengan Belanda.
Dari sini tampak bahwa sebenarnya kolonialisasi bukan proses sekali jadi. Perubahan dari petualangan dan dagang menjadi kolonialisasi merupakan proses panjang. Sebelumnya penjajahan hanya berarti hegemoni ekonomi dan upaya ekspansi keagamaan, sedangkan dominasi politik dan militer hanya menjadi alat penunjang dalam membela diri dari rival Eropa dan ancaman perlawanan kaum pribumi. Nusantara sendiri secara politik baru benar-benar dikuasai Belanda setelah kekalahan Diponegoro, yang didahului penaklukan secara bertahap atas Maluku, disusul kegagalan Mataram Islam membendung ekspansi Belanda melalui benteng-bentengnya di Batavia. Lemahnya kekuatan Mataram secara otomatis melemahkan seluruh kerajaan nusantara yang sebelumnya banyak berharap perlindungan dari Mataram. Pasca perang Diponegoro, Belanda benar-benar mengukuhkan kekuasaannya secara politik atas Hindia Belanda. Penguasaan Belanda atas nusantara kokoh tanpa satupun kekuatan perlawanan lokal yang tersisa.
Setelah penaklukan wilayah-wilayah nusantara secara politik yang meliputi wilayah yang sangat luas dari Aceh sampai Papua, Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan kawasan ini secara hegemonik melalui berbagai kebijakan. Belanda memanfaatkan struktur sosial politik lokal untuk menunjang kepentingan politik dan ekonomi kolonialnya, yang melahirkan pola penjajahan tidak langsung. Penguasa lokal dipertahankan sebagai alat kekuasaan Belanda yang pada perkembangannya sering kali tidak kalah menindas dibanding Belanda sendiri. Pemerintah Belanda sendiri dengan nyaman dapat melanjutkan politik VOC. Bahkan setelah pembaharuan politik kolonial Inggris selama menguasai wilayah jajahan Belanda, di bawah Deandels dan Raffles, Belanda memilih tetap mempertahankan politik konservatifnya. Pola-pola klasik tampak pada upaya-upaya penguasaan sumber-sumber daya ekonomi dengan mengedepankan hegemoni melalui politik monopoli. Ketika terjadi penolakan dan perlawanan dari masyarakat setempat, Belanda tidak segan-segan menggunakan kekuatan senjata.
VOC yang menjadi benteng hegemoni politik ekonomi Belanda di nusantara pada akhirnya mengalami kebangkrutan yang berakibat pada pencabutan ijin usahanya pada tahun 1798. Selain akibat korupsi, kurang cakapnya pegawai, sistem monopoli dan tanam paksa yang melemahkan moril pengusaha dan penduduk, Belanda juga menderita banyak kerugian akibat menghadapi perlawanan masyarakat pribumi maupun rival Eropanya. Sejak saat itu, penguasaan wilayah nusantara beralih langsung ke tangan pemerintah Belanda sebagai titik permulaan penjajahan secara politis atas nusantara. Belanda dapat leluasa menerapkan politik penjajahan yang semakin keras.
Penderitaan akibat penjajahan mulai dirasakan rakyat ketika kontrol atas wilayah memanfatkan struktur pemerintahan lokal. Penguasa-penguasa lokal berubah menjadi agen kolonial yang menjamim efektivitas pelaksanaan kebijakan-kebijakan kolonial. Sistem upeti yang longgar di bawah feodalisme tradisional digantikan dengan pajak, monopoli dan sistem sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang eksploitatif dan kian membebani rakyat. Kebijakankebijakan kolonial secara sistematis meningkatkan beban ekonomi dan memiskinkan rakyat. Beratnya penderitaan yang harus ditanggung rakyat terjajah, mengakibatkan politik kolonial klasik mendapatkan kritik keras, termasuk dari negeri Belanda sendiri.
Penjajahan Belanda, menurut Kartodirdjo, terbagai ke dalam beberapa periode yang masing-masing menunjukkan kekhasan pola karena perbedaan platform kebijakan politiknya. Periode tersebut dibagi ke dalam fase kolonialisme klasik atau juga diistilahkan dengan politik penjajahan konservatif; periode kolonial liberal; dan periode politik etis.26 Perubahan tersebut berdampak besar pada perubahan sikap dan perilaku bangsa terjajah, yang di satu sisi mengantarkan pada kemunduran peradaban, dan tumbuhnya nasionalisme di pihak lain.
Politik penjajahan konservatif banyak dipengaruhi oleh motivmotiv awal hadirnya bangsa Eropa. Penjajahan sejak awal berorientasi pada eksploitasi sumber daya ekonomi melalui pengumpulan pajak dan privillage perdagangan. Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung, di mana penguasa pribumi mengurus masalahmasalah kependudukan, sebagai agen yang mengawasi dan melaksanakan berbagai kebijakannya. Belanda menciptakan pola penjajahan pribumi atas pribumi yang menjadikan perlawanan tidak langsung tertuju pada penjajah, tapi pada penguasa lokal. Meski kehilangan kekuasaannya, penguasa lokal menjadi kelompok yang paling diuntungkan. Mereka bahkan meraup lebih banyak keuntungan saat rakyat kehilangan daya akibat penerapan Cultuur Stelsel.
Pengambilalihan sektor ekonomi, terutama hegemoni pasar hasil bumi oleh bangsa Eropa, mengakibatkan masyarakat nusantara mengalami kemunduran dinamika sosial ekonomi. Sebelum penguasaan bangsa Eropa, bangsa-bangsa nusantara sudah terbiasa membangun relasi dagang dengan bangsa-bangsa lain di luar kawasan ini. Kerajaan-kerajaan nusantara juga terbiasa menerima bangsabangsa asing tinggal di wilayah ini untuk kepentingan yang sama. Pentingnya jalinan kerja sama tersebut menjadikan para pendatang memperoleh perlindungan hukum dan keamanan karena kehadirannya merupakan aset perekonomian, yang memberikan kontribusi penerimaan negara berupa pajak, cukai dan menjamin distribusi komoditas ekonomi ke luar dan ke dalam negeri.
Kegiatan kolonialisme praktis menghentikan dinamika sosial ekonomi maritim bangsa-bangsa nusantara dengan daerah luar. Pedagang-pedagang nusantara yang selama berabad-abad sebelumnya melayari lautan Hindia dan Cina, kehilangan akses perdagangan dengan dunia luar. Bahkan akses terdekat dengan Malaka juga berakhir sejak kepulauan tersebut dikuasai oleh Portugis dan Inggris. Terhentinya interaksi dengan bangsa luar sekaligus menghentikan bahkan memundurkan perkembangan budaya, pola pikir, gaya hidup dan peradaban bangsa nusantara. Bangsa nusantara mengalami fase pembodohan di berbagai bidang setelah akses informasi maupun perekonomian tertutup. Akibatnya mobilitas dan dinamika bangsa ini dalam menyerap pengaruh-pengaruh luar secara kultural terhenti.
Padahal eksistensi kerajaan nusantara masa pra-kolonial tidak saja didukung oleh kesatuan politik dan teritorialnya sendiri, melainkan juga hubungan dan jalinan kerja sama dengan negara lain. Onghokham menyatakan bahwa pada kurun pra-kolonial sebenarnya kerajaan-kerajaan nusantara secara ekonomis, hukum dan politis sudah berada dalam orde multi-states yang bercorak internasional yang memungkinkan perkembangan masyarakat secara dinamis.
Kolonialisme membuat perkembangan tersebut terhenti, setelah Belanda mengambil alih seluruh kegiatan perekonomian antar negara kaum pribumi. Jaringan perdagangan kaum pribumi mulai hancur. Aktivitas perekonomian mereka terdesak kembali pada sektor agraris. Perkenalan dengan teknik-teknik yang lebih baru tertutup, dan yang paling parah, bangsa nusantara secara lambat tapi pasti kehilangan kemampuan kewirausahaannya (enterpreneurship) yang selama beberapa abad sebelumnya terbina dalam perikehidupan perekonomian mereka. Ini merupakan dampak kolonialisasi yang paling devastating bagi peradaban nusantara. Masyarakat pribumi tidak saja tercerabut dari pasar dunia, melainkan kehilangan otoritas perdagangan dalam negeri yang beralih ke etnis Cina.
Hilangnya dinamika perekonomian membuat bangsa-bangsa di kawasan nusantara mengalami kemunduran cultural secara berangsur-angsur. Mereka terpinggirkan dari tradisi perekonomian yang kosmopolit, kehilangan karakter dagang yang dinamis dan harus mundur kembali pada perekonomian yang agraris semata. Kebudayaan nusantara juga kembali akrab dengan kesadaran kelas primitif (primitive class consciousness) di mana kepercayaan mitis dan menyeruaknya simbul-simbul kekalahan memenuhi tradisi dan kebudayaannya. Hal ini ditandai dengan keislaman yang sebelumnya bercorak sufistik asketik kian kokoh dalam keberagamaan umatnya, berpadu dengan mitos-mitos tradisional.
Kegagalan penguasa memperlindungi warganya juga terekspresikan ke dalam sofistikasi tradisi kerajaan serta dalam ekspresi seni dan kebudayaan yang rumit. Kerajaan nusantara telah kehilangan lahan garapan utama sebuah negara, yaitu politik dan ekonomi. Hilangnya kekuasaan politik dan ekonomi tersublimasi ke dalam penajaman aspek-aspek etiket yang mestinya bukan hal yang terpenting sebuah pemerintahan. Kerajaan tinggal menjadi sebuah benteng tradisi yang kian mengokohkan feodalisme dalam rupa tata krama hubungan individual, menggantikan hiruk-pikuk politik dan ekonomi. Ekspresi kekalahan mengambil bentuk penajaman stratifikasi sosial, akibat kian meningkatnya sofistikasi adat istiadat dan nilai-nilai tradisi kerajaan, serta masih ditambah dengan kian irasionalnya kehidupan sosial rakyat.