Seperti apa sejarah meletusnya gunung Krakatau?

Berada dalam ring of fire antara lempeng Asia dan Indo-Asia juga Pasifik menciptakan negeri Indonesia kaya akan gunung berapi dan juga gempa tektonik. Sebagian besar gunung berapi yang ada di Indonesia adalah gunung berapi yang memiliki letusan yang besar dan eksplosif. Oleh karenanya, pada radius 10 hingga 20 kilometer dari gunung berapi menjadi kawasan yang sangat berbahaya dan patut dihindari bagi pemukiman penduduk. Namun begitu, wilayah inilah yang paling subur dan selalu menarik masyarakat untuk datang bercocok tanam dan bertempat tinggal.

Sebagai negeri yang kaya akan gunung berapi, Indonesia tentunya memiliki banyak pengalaman bencana dari letusan gunung berapi. Ada sekitar 129 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia atau sekitar 13 persen dari jumlah seluruh gunung berapi di dunia. Gunung api ini berdiri sepanjang 7000 kilometer dari Aceh hingga ke Sulawesi Utara, melewati Bukit Barisan, Kepulauan Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku (Sudradjat, 1989: 15). Pulau Jawa sendiri memiliki 35 gunung berapi atau 25 persen dari seluruh gunung berapi di Indonesia. Tidak mengherankan jika Jawa memiliki beberapa pengalaman bencana letusan gunung berapi yang besar.

Namun demikian, gunung berapi telah menciptakan Pulau Jawa sebagai pulau yang paling subur di kepulauan Indonesia. Misalnya saja, tanah subur di Pulau Jawa bisa mendukung 1.200 orang per mil, di mana di Kalimantan hanya mampu mendukung 4,5 orang saja pada luas yang sama (Furneaux, 1964: 45). Hal ini dikarenakan material yang dikeluar- kan dari gunung berapi terutama di Jawa secara tidak langsung menciptakan kesuburan tanah. Dalam konteks ini, dampak positif dari letusan gunung Krakatau 1883 bagi Banten dan Sumatera adalah wilayah ini kaya akan pertanian dan usaha perkebunan.

Letusan Krakatau 1883 merupakan letusan gunung berapi yang terbesar pada masa itu. Letusannya mengeluarkan ribuan ton material berupa batu, lumpur, dan debu. Material ini memberikan dampak yang negatif pada beberapa tahun setelah letusan. Namun demikian, dampak positif berupa kesuburan ekologi dan kekayaan habitat di Pulau Krakatau dan sekitarnya terjadi pada puluhan tahun berikutnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kini banyak penduduk datang dan menempati kembali beberapa pulau di sekitar Gunung Krakatau, Pulau Sebesi salah satunya (Kompas.com, 21 November 2011). Pulau Sebesi merupakan salah satu pulau yang pada saat letusan Krakatau 1883 terkena dampak hempasan gelombang tsunami yang disertai dengan material vulkanik. Semua penghuni pulau ini tewas dan seluruh infrastruktur hancur. Namun, saat ini pulau tersebut telah ramai dihuni kembali oleh penduduk dari berbagai daerah. Kesuburan tanah dan tersedianya air bersih, membuat banyak penduduk enggan meninggalkan pulau ini, meskipun bayang-bayang letusan Gunung Anak Krakatau selalu ada setiap saat dengan minimnya sistem mitigasi dan evakuasi bencana Krakatau.

Gunung Anak Krakatau merupakan gunung yang cukup aktif dan letusan gunung Krakatau 1883 merupakan bencana vulkanik terdahsyat pada abad ke-19 setelah Gunung Tambora 1815 dan menjadi catatan dalam sejarah vulkanik dunia. Letusan Krakatau 1883 menarik perhatian para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu hingga saat ini, misalnya saja dari bidang geologi, hidrologi, meteorologi, dan oseanografi, yang memberikan kontribusi bagi wahana pemahaman peristiwa-peristiwa bencana (Simkin & Fiske 1983: 15) dan wawasan baru dalam ilmu pengetahuan ke depan.

Bagaimana sejarah letusan gunung krakatau pada tahun 1883?

1 Like

Sejarah Meletusnya Gunung Anak Krakatau

Gunung Krakatau adalah sebuah gunung api di perairan selat sunda yang menyebabkan bencana besar bagi dunia. Pada tanggal 26 agustus 1883, gunung krakatau meletus dan memicu tsunami beserta hembusan awan panas sehingga menewaskan ribuan penduduk Hindia – Belanda. Suara letusnya terdengar hingga di negara Australia dan disebut sebagai suara yang sangat berisik karena terus terjadi selama kurun waktu 40 jam

Dampak yang ditimbulkan bukan hanya tsunami saja, abu letusan tersebut sampai daratan Eropsa. Abu letusan Gunung Krakatau yang menyelimuti atmosfer menyebabkan berkurangnya intensitas sinar dan cahaya matahari yang jatuh ke permukaan bumi. Kondisi ini bertahan hingga hampir satu tahun lamanya. Efek jangka panjangnya adalah turunnya suhu udara secara global hingga abad ke-20

Berdasarkan letusannya tersebut, Gunung Krakatau dimasukkan ke dalam tipe Pelee dengan ciri – ciri erupsi berupa eksplosif dengan daya letusan yangbsangat besar karena konsentrat magma kental, tekanan gas tinggi dan dapur magma yang dalam. Ciri khas erupsi tipe Pelee adalah pembentukan awan pijar.

Di dalam daftar Volvcanic Eksplosivity Index (VEI), letusan Gunung Krakatauberada di skala 6 dari 8 yang berarti letusannya tergolong dahsyat dengan ateri vulkanik yang terlempar lebih dari 10 km2. Menurut erupsi ini akan terulang kembali dalam periode lebih dari 100 tahun.

Saat ini telah tumbuh gunung baru di lokasi bekas unung Klrakatau (pulau Rakata). Gunung yang baru tersebut diberi nama Gunung Anak Krakatau karena lokasinya yang berada di kaldera bekas Gunung Krakatau dan ukurannya yang masih lebih kecil. Gunung Anak Krakatau ini setiap hari tumbuh semakin besar, dengan rincian bertambah tinggi 6 m per tahun dan bertambah lebar 12 m pertahun

Untuk itu, pengamatan dan penelitian terhadap aktivitas gunung anak krakatau harus dilakukan sebagai antisipasi jika suatu saat terjadi letusan besar Gunung Anak Krakatau. Dengan adanya pengamatan, maka dapat dilakukan peringatan dini sebelum terjadinya letusan hingga dapat menghindari banyaknya jatuh korban dari dampak letusan. Kegiatan penelitian dapat dilakukan untuk referensi ilmu vulkanologi karena belum ada penjelasan mengenai gunung api yang muncul dari dasar laut.

Referensi

http://eprints.undip.ac.id/33802/7/Document4.pdf

1 Like