Seperti apa pro dan kontra gerakan mahasiswa pada masa Presiden B.J Habibie?

Pasca lengsernya Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa yang masif, Wakil Presiden B.J. Habibie pun resmi menggantikan posisi Presiden meski dalam waktu yang singkat. Kejatuhan Presiden B.J Habibie pun tidak lepas gerakan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, yang pada periode ini terpolarisasi menjadi kelompok yang pro dan kontra. Organisasi dominan di pihak pro yang mendukung B.J. Habibie misalnya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Di lain pihak, kelompok yang kontra yang menentang B.J. Habibie misalnya adalah Forum Kota (FORKOT) dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).

Secara politik polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie berlangsung sejak B. J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Soeharto yang menyatakan berhenti sebagai Presiden.

Untuk sebagian polarisasi gerakan mahasiswa diperkuat oleh pro-kontra elit politik terhadap legitimasi hukum dan politik Presiden B.J. Habibie. Oleh karena itu dukungan dan penentangan gerakan mahasiswa, seperti HMI dan KAMMI terhadap B.J. Habibie tidak dapat dilihat sebagai sikap yang penuh dengan kemandirian. Sarbini, Aktivis FKSMJ dan Mahasiswa UNTAG Jakarta melihat adanya pengaruh elit politik dalam gerakan mahasiswa setelah mencermati sikap HMI dan KAMMI yang mendukung B.J. Habibie. Sarbini mengatakan:

”Kalau saya melihat yang lebih kental pro-Habibie itu KAMMI dan HMI. Lebih kental kesana kalau bicara mahasiswanya. Nah kalau yang kesini ini kalau mau kita jujur memang ada dorongan-dorongan dari link tertentu dari yang anti Habibie. Ya saya melihatnya seperti itu mungkin bisa ditanya Bang Rizal Ramli kenapa pada saat itu. Ya saya melihat ada seperti itulah, kalau yang anti Habibie. Ya tapi kalau bicara agenda memang pada saat itu saya secara pribadi pilihan sulit. Artinya satu sisi kita melihat Soeharto sudah selesai nah di satu sisi ada polarisasi nah satu sisi ada kepentingan yang bercampur. Memang ada isu yang menurut kita cocok dengan kita ada isu yang menurut kita tidak cocok dengan kita."

Pengamatan Sarbini yang melihat adanya dorongan-dorongan dari jaringan politik tertentu secara tidak langsung dibenarkan oleh Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum PB HMI pendukung Pemerintahan B.J. Habibie. Menurut Anas Urbaningrum gerakan mahasiswa tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait dengan arus konstestasi politik nasional atau konteks politik secara keseluruhan. Anas Urbaningrum mengatakan:

“Gerakan mahasiswa kan tidak berdiri sendiri. Terkait dengan konteks politik secara keseluruhan, berbagai kelompok mahasiswa itu, langsung atau tidak langsung bertemu dengan kontestasi politik nasional, jadi kalau kemudian ada polarisasi, itu bukan suatu hal yang aneh, karena suara mahasiswa dianggap penting oleh dinamika kontestasi ini. Jadi kalau pendekatannya dari politik murni, sebenarnya polarisasi itu adalah kepanjangan dari kontestasi politik nasional. Tapi pendekatan itu tidak bisa menjelaskan dengan penuh karena terlalu simplistik, kalau dikatakan gerakan mahasiswa itu hanya alat dari kepentingan politik. Pertemuan arus kontestasilah saya kira.”

Sebagian elit politik melihat peralihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie tidak memiliki legitimasi hukum dan politik, serta sebagiannya lagi memandang sudah sesuai dengan hukum ketatanegaraan yang berlaku. Elit politik yang melihat peralihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie tidak memiliki pijakan legitimasi hukum dan politik mendasarkan pandangannya pada argumen bahwa TAP MPR tentang pengangkatan Presiden hanya ditunjukan kepada Soeharto, bukan B.J. Habibie, sehingga bila Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden maka MPR seharusnya memilih Presiden baru, karena mandat MPR ke Soeharto secara otomatis kembali kepada MPR. Sebaliknya, elit politik yang melihat peralihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie telah memiliki pijakan hukum dan politik yang kuat mendasarkan pandangannya pada argumen bahwa berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 Wakil Presiden secara otomatis akan menjabat sebagai Presiden hingga masa jabatan berakhir jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Presiden dalam masa jabatannya.

Oleh sebab itu polarisasi tersebut setidaknya menjelaskan adanya kelompok politik yang mendukung dan yang menentang B.J. Habibie menduduki posisi sebagai Presiden. Di kalangan Islam tradisional dan modernis, misalnya, tidak semuanya menerima B.J. Habibie. Terdapat elit Islam yang tidak puas terhadap B.J. Habibie karena B.J. Habibie dinilai telah mempolitisir simbol-simbol Islam untuk mempeluas basis dukungan politiknya. Di tubuh militer juga demikian, terdapat elit militer yang tidak puas terhadap B.J. Habibie, karena kebijakan
B.J. Habibie yang membeli sejumlah kapal bekas dari Jerman. Juga di kalangan teknoratis terdapat teknokrat yang tidak puas terhadap B.J. Habibie karena kebijakan B.J. Habibie yang pro-teknologi high-tech yang dianggapnya hanya menghambur-hamburkan uang negara.

Namun polarisasi gerakan mahasiswa tidak seluruhnya merupakan cermin dari pro-kontra elit politik terhadap legitimasi hukum dan politik Presiden B.J. Habibie. Polarisasi gerakan mahasiswa juga berasal dari perbedaan penilaian terhadap posisi B.J. Habibie pasca jatuhnya Soeharto. Gerakan mahasiswa penentang B.J. Habibie, seperti FORKOT dan FKSMJ menilai B.J. Habibie selain masih merupakan bagian dari rezim Orde Baru, juga dinilai orang yang paling loyal terhadap Soeharto. Penolakan sebagian gerakan mahasiswa terhadap
B.J. Habibie pasca 21 Mei 1998 dilakukan dalam bentuk tuntutan reformasi total. Penolakan mahasiswa terhadap Presiden B.J. Habibie, karena dianggap rezim Orde Baru hanya ”berganti baju”. Abdullah, Aktivis FORKOT, mengatakan :

“Habibie kita lihat sebagai representasi kekuasaan lama, yaitu kekuasaan Soeharto. Yang waktu itu ingin meninggalkan kekuasaan tanpa pertanggungjawaban dengan berlindung di balik sosok yang bernama Habibie. Sementara prosedur yang selalu diagung-agungkan yaitu pendekatan konstitusi, mestinya ditaati oleh mereka. Ada syarat, ketika Soeharto akan melepaskan jabatan dan melimpahkan kepada Habibie, mestinya itu ada tempat yang khusus kan, Yaitu Gedung MPR/DPR. Tetapi dia (Soeharto) tidak melakukan itu, malah melakukannya di Istana. Nah itu yang membuat kami kecewa”

Sebaliknya, gerakan mahasiswa pendukung B.J. Habibie, seperti KAMMI menilai B.J. Habibie dan pemerintahannya bukanlah kelanjutan dari rezim Orde Baru. Fachri Hamzah, Ketua KAMMI pendukung B.J. Habibie mengatakan:

“Jadi, mereka menganggap Habibie sama dengan Soeharto, suatu pandangan yang saya sendiri saya tentang. Karena, Orde Baru tanpa Soeharto itu sendiri itu sudah selesai. Sebab roh daripada Orde Baru itu, yah Soeharto sendiri. Roh dalam arti yang berhasil membangun kekuatan secara permanen, yang paling kuat network nya itu, hanya Soeharto. Di luar itu tidak akan ada lagi yang bisa dianggap, direspek oleh kekuatan yang kita sebut Orde Baru itu. Habibie tidak bisa menjadi tokoh. Siapa dia? Dia bukan Tentara, dia bukan orang Jawa, dia sebetulnya, yah di Golkar bolehlah, tapi basisnya kan bukan politisi, memang dia Ketua Dewan Pembina. Cukup kuatlah, tapi kita tahu, bahwa Habibie, akarnya itu, kepada aktivitas politik baik dalam birokrasi, dalam ABRI dan Golkar itu, tidak kuat. Kemudian tidak punya kharisma seperti yang dibangun oleh Soeharto."

Dukungan gerakan mahasiswa pendukung B.J. Habibie, seperti KAMMI yang menilai B.J. Habibie dan pemerintahannya bukanlah kelanjutan dari rezim Orde Baru ditentang oleh Eros Djarot elit politik PDIP penentang B.J. Habibie yang mengatakan :

“Kenapa kita menentang Habibie. saya mewakili pemikiran kaum nasionalis waktu itu yah, saya berpikir, Habibie itu berpikir sangat liberal. Karena liberal ini tidak dipahami sebelumnya, sebenarnya liberalisme itu tidak ada kebebasannya, ada batasan juga. Maka batasan-batasan itu tidak disediakan. Akhirnya menjadi hyperliberal seperti yang sekarang kan. Itu yang kita khawatirkan, dan terjadi sampai sekarang. Jadi semua kekacauan ini menurut saya, yah dialah (B.J. Habibie) letaknya dan dasarnya. Jadi kalau misalnya ada orang yang mengatakan Pak Habibie begini, begitu, yah silahkan, dia gak jelek semua loh, ada kepemimpinan-kepemimpinannya yang saya apreciate , tapi yang sangat mendasar bagaimana konsep menjalankan negara berdasarkan Indonesia, kalau konsep Jerman yah silahkan aja! Maka saya berkewajiban untuk menegur dia, begitu gak mau ditegur, yah kita lawan. Jadi pengertian perlawanan di sini masalah ideologis.”

Selama pertengahan bulan Mei 1998, yaitu tanggal 21-22, penolakan terhadap B.J. Habibie sudah berlangsung secara diaspora di berbagai kota-kota penting di Indonesia. Di luar Jakarta, Solo misalnya, sekitar dua puluh ribu massa DRMS berkumpul di kantor DPRD II Solo melakukan aksi:

  1. menolak B.J. Habibie
  2. menuntut pembubaran MPR/DPR
  3. nasionalisasi kekayaan Soeharto
  4. membentuk UU Anti Monopoli
  5. mencabut paket 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI
  6. membebaskan Tapol/Napol Orde Baru tanpa syarat;
  7. mengadili Soeharto.

Aksi DRMS itu kemudian berlanjut di pelataran Balai Kota Solo setelah mendapat dukungan sekitar 5.000 massa yang terdiri dari pedagang, buruh dan ibu rumah tangga. Di kampus Universitas Udayana Denpasar Bali, mahasiswa Universitas Udayana bersama ribuan massa lainnya menolak Harmoko, Hartono, dan Habibie (3H), serta Ida Bagus Oka sebagai Menteri.Di Purwokerto juga demikian, ribuan massa FAMPR membentuk barisan dan berpawai sepanjang kurang lebih 2 km dengan kurang lebih 1.000 motor, 8 mobil, dan 1 truk menyambut turunnya Soeharto dan menuntut pengadilan Soeharto dan kroni-kroninya.

Di Jakarta tidak kalah seriusnya. FORKOT dan FKSMJ yang menentang B.J. Habibie menurunkan ribuan massanya dari berbagai perguruan tinggi se-Jabotabek untuk menyambut kejatuhan Soeharto untuk:

  1. menolak naiknya B.J. Habibie sebagai Presiden
  2. menuntut pemilu dipercepat
  3. menuntut pertanggungjawaban dan pengusutan kekayaan Soeharto sambil mengingatkan bahwa reformasi terus berlanjut.

Bahkan bagi FORKOT, FKSMJ dan Gerakan Kontra Orde Baru (GKOB) peringatan bahwa reformasi belum selesai atau tuntutan reformasi total sama artinya dengan penolakan terhadap Presiden B.J. Habibie.

Sementara sikap tegas FORKOT, FKSMJ, dan GKOB yang menolak Presiden B.J. Habibie rupanya tidak mendapat tempat di hati para pendukung B.J. Habibie. Kelompok-kelompok gerakan pendukung B.J. Habibie berusaha memperlihatkan sikap ketidaksukaannya terhadap kelompok-kelompok gerakan penentang B.J. Habibie dengan cara bersedia melakukan konfrontasi. Di pelataran gedung DPR/MPR Senayan tanggal 22 Mei 1998, ribuan massa pendukung B.J. Habibie dan ”reformasi konstitusional” yang dipimpin oleh Ahmad Soemargono (KISDI), Andreanto (HUMANIKA), Fadly Zon (International Policy Studies/IPS) dan Muchtar Biki bersama kelompok Pendekar Banten, GPI, Yayasan Pedagang Muslim Sukabumi, Bakor Pondok Pesantren Indonesia, GPA, GPII, PPII, HMII, DDII, IMM, PII hampir bentrok dengan ribuan massa FORKOT dan Front Nasional.

Dukungan terhadap B.J. Habibie dengan cara bersedia melakukan konfrontasi ini dilakukan karena menganggap B.J. Habibie sebagai simbol Islam dan merupakan tokoh yang dianggap mampu membawa perbaikan. Ahmad Sumargono, aktivis KISDI, elit politik pendukung B.J. Habibie mengatakan:

“Senayan dikuasai oleh kelompok-kelompok kiri itu, termasuk Adnan Buyung Nasution, Emil Salim dan mahasiswanya, hampir sebulan, itu dia kibarkan penghinaan terhadap Habibie, saya tidak ada hubungan emosional dengan Habibie, gak ada saya itu, dekat juga gak, Cuma beberapa kali saya ketemu. Nah, ketika penghinaan-penghinaan terhadap Habibie, “Habibie biadab, Habibie turun, Habibie ini…” Saya dengan kawan-kawan dengan kekuatan Islam, bukan saya sendiri, merencanakan bagaimana untuk menembus ini, kita usir orang-orang ini. Kebetulan saya sebagai Korlap, M.S. Kaban sebagai wakil saya, menyerbu Senayan, kita datang kesana, kita turun kan, dan kita kuasai.”

Sedangkan HMI yang mendukung B.J. Habibie secara organisasional tidak langsung berkonfrontasi dengan FORKOT dan FKSMJ. Akan tetapi aktivis HMI yang turut serta membentuk KAMMI secara tidak langsung menggunakan KAMMI untuk menghadang aksi-aksi FORKOT dan FKSMJ. Mengenai sikap HMI yang mendukung B.J. Habibie, Anas Urbaningrum Ketua Umum PB HMI mengatakan:

“Memang, pada waktu itu, tidak terbayangkan sebelumnya, ringkas cerita bahwa Pak Harto menyatakan berhenti, dan atas nama konstitusi, Habibie yang mengganti untuk meneruskan masa jabatan Pak Harto. Nah, karena itu jalan pikiran PB HMI waktu itu adalah bukan sempit untuk mendukung Habibie, tetapi mendukung Habibie sebagai Presiden menggantikan Pak Harto adalah semata-mata untuk menyelamatkan situasi transisi politik, dan itu yang terbaik untuk menyiapkan Pemilu. Konteksnya adalah untuk keselamatan pemerintahan, keselamatan transisi politik dan tidak ada kekosongan kekuasaan. Kalau ada transisi kemudian ada kekosongan kekuasaan karena presiden yang menggantikan Pak Harto ditolak, itu akan menjadi krisis politik yang susah dikalkulasi implikasinya. Dasarnya itu. Tentu juga, secara implisit, ada ada pertimbangan subjektifnya. Tapi ini bagian kecil saja dalam konteks itu. Habibie pada saat itu dinilai sebagai salah satu representasi politik yang akomodatif terhadap kepentingan umat.”

Dukungan terhadap B.J. Habibie yang dianggap sebagai simbol Islam, ditolak oleh gerakan mahasiswa penentang B.J. Habibie. Gerakan Mahasiswa penentang B.J. Habibie menganggap bahwa pendukung B.J. Habibie menggunakan politik aliran Islam untuk mempertahankan B.J. Habibie. Syafieq, aktivis FORKOT dan FAMRED mengatakan:

“Ya, saya menganggap bahwa mengapa mereka mendukung Habibie karena Habibie adalah representasi dari identitas politik dia. Semua kelompok yang mendukung Habibie waktu itu bisa di lacak mereka berakar dari politik Islam, hampir semua dari situ. Jadi begitu Soeharto jatuh beberapa kalangan kembali ke kelompok mulai mempraktekan politik aliran kembali dari kelompok lama yang mendukung Habibie saya kira secara nyata mereka mempraktekan koalisi aliran.”

Konfrontasi antara kelompok pendukung dan kelompok penentang B.J. Habibie di satu sisi menggambarkan masih adanya kekuatan sumber daya politik B.J. Habibie tapi di lain sisi juga menjelaskan adanya potensi kelemahan dari basis dukungan politiknya. Kekuatan sumber daya politik B.J. Habibie antara lain:

  1. secara de facto memegang kekuasaan pasca-Soeharto
  2. sumber finansial yang tergolong kuat
  3. mesin politik Golkar yang masih tetap eksis di berbagai daerah-daerah
  4. kendali atas birokrasi
  5. secara institusional masih mendapat dukungan dari ABRI.

Kekuatan sumber daya politik B.J. Habibie adalah selain didukung oleh orang-orang dekatnya, intelektual dan faksi Islam, eks Orde Baru yang sedang mencari suaka politik, B.J. Habibie juga didukung oleh para avonturir/oportunis politik.

Sebaliknya, didorong oleh kesadaran akan ancaman dari potensi kelemahan dari basis dukungan politiknya, B.J. Habibie kemudian berusaha agar pemerintahannya tetap dapat diterima oleh berbagai kalangan. B.J. Habibie kemudian menggalang simpati dan dukungan dari berbagai pihak dengan cara mengakomodasi kepentingan dan tuntutan dari pihak-pihak lain terutama kelompok-kelompok yang menentangnya, seperti:

  1. mengumumkan susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998
  2. menjanjikan pemerintahan yang bersih, efesien dan bebas KKN, serta kesempatan ekonomi yang adil
  3. mengeluarkan serangkaian kebijakan liberalisasi politik yang selama era Soeharto mustahil diwujudkan.

Fachri Hamzah, Mantan Ketua KAMMI Pusat, mengatakan:

“Dan itu terbukti, 7 bulan kekuasaannya itu, betul-betul dia gunakan secara efektif, untuk membangun fondasi bagi demokrasi, baik dalam 300-an UU yang dia buat selama itu, dan juga kemudian membangun kebebasan dan menyerahkan masyarakat itu untuk lebih partisipatif, dalam semua hal, termasuk dalam media, kebebasan pers.”

Pengumuman susunan Kabinet Reformasi Pembangunan diakui membuat tenang situasi, setidaknya untuk sementara, karena tumbuhnya optimisme pemerintahan yang bersih, efesien dan bebas KKN. Hal itu dapat dicermati dari 36 nama yang diumumkan B.J. Habibie terdapat 16 orang yang tergolong orang baru di pemerintahan, terdapat 6 Jenderal TNI AD aktif dan purnawirawan, 3 orang dari luar Golkar: 2 orang dari PPP, yaitu Hamzah Haz dan A.M. Saefuddin dan 1 orang dari PDI, yaitu Panangian Siregar. Sedangkan 20 orang yang merupakan wajah lama terdapat 15 orang yang tetap di posnya semula dan 5 orang pada pos baru. Pemberhentian putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut) dari jabatan Menteri Sosial, Jenderal Hartono dari jabatan Menteri Dalam Negeri, Bob Hasan dari jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Fuad Bawazier dari jabatan Menteri Keuangan, B.J. Habibie ingin menunjukkan bahwa pemerintahannya profesional, aspiratif, kredibel, bebas dari KKN, serta memberi kesempatan kepada semua kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat.

Reaksi positif datang kalangan intelektual, seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Emil Salim. Amien Rais meskipun mendukung B.J. Habibie tetap melihat Kabinet Reformasi sebagai pemerintahan transisi yang hanya bertugas mempersiapkan pemilu dan paket UU politiknya, Sidang Umum MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru hingga enam bulan ke depan. Nurcholish Madjid dan Emil Salim juga mengeluarkan pernyataan yang ”moderat”, yaitu menerima susunan Kabinet Reformasi dan memposisikan B.J. Habibie sebagai pemerintahan transisi. KAMMI Solo dan AMIN di Salatiga juga memberikan kesempatan pada B.J. Habibie dan kabinet barunya sampai diadakannya pemilu. SMPT STIE-AMKOP di Ujung Pandang meminta Presiden B.J. Habibie untuk segera menyelesaikan krisis ekonomi, sosial, dan politik, menghapuskan KKN serta menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa.

Akan tetapi, upaya dan janji B.J. Habibie tersebut tidak seluruhnya disambut baik oleh semua kalangan. Sejumlah pihak, seperti Kelompok Petisi 50 tetap melihat komposisi Kabinet Reformasi masih berbau KKN. Kelompok Kerja Petisi 50 tetap mengeluarkan Pernyataan Keprihatinan. Kelompok Kerja Petisi 50 yang dimotori oleh Ali Sadikin bahkan mengajukan tuntutan ”reformasi paripurna di semua bidang kehidupan masyarakat” yang oleh mahasiswa disebut sebagai reformasi total dan menilai pelantikan B.J. Habibie sebagai Presiden oleh Mahkamah Agung tidak konstitusional.

Terkait dengan tuntutan pemerintahan profesional, aspiratif, kredibel, bebas dari KKN, serta memberi kesempatan kepada semua kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat. Selama bulan Juni hingga bulan Juli 1998 sejumlah aksi-aksi menuntut mundurnya pejabat pemerintah yang dinilai ’tidak bersih’ mewarnai politik nasional. Muncul desakan mundur terhadap pejabat yang dinilai terlibat dalam tragedi 27 Juli 1996, desakan mundur Menteri KLH Panangian Siregar oleh gabungan 38 LSM dan mahasiswa di Yogyakarta, karena dinilai tidak memiliki kompetensi di bidangnya dan ditengarai terlibat dalam kasus penyerbuan DPP PDI 27 Juli 1996. Di Ujung Pandang, di halaman kantor Bapedal, ratusan aktivis pro-demokrasi, pengacara, serta aktivis Mapala menuntut mundur Panangian Siregar.

Di Padang, ribuan mahasiswa Universitas Bung Hatta mengajukan keberatan terhadap susunan Kabinet Reformasi. Mereka tidak puas karena B.J. Habibie mengangkat mantan Gubernur Sumatera Barat, Hasan Basri Durin, sebagai sebagai Menteri Agraria yang dianggap tidak bersih dari KKN. Di Semarang, aksi-aksi FKPI mempertanyakan mekanisme pengangkatan B.J. Habibie, menuntut pertanggungjawaban Soeharto dan menuntut recall anggota DPR/MPR yang berjumlah 700 orang. Di Bandung gabungan mahasiswa Jawa Barat menolak pengangkatan B.J. Habibie dan menuntut reformasi total serta pelaksanaan Sidang Istimewa (SI).

Tuntutan serupa diajukan oleh mahasiswa Universitas Warmadewa di Denpasar. Mahasiswa Universitas Warmadewa menuntut proses pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto. Di Medan, aksi mahasiswa dan pengurus Senat Mahasiswa Universitas Sumatera Utara mempertegas enam hal, yaitu:

  1. pemerintahan B.J. Habibie merupakan pemerintahan transisi
  2. pembebasan tapol/napol
  3. pencabutan UU Subversif dan UU Pemilu
  4. rasionalisasi kekayaan pejabat pemerintah dan swasta yang diperoleh secara illegal
  5. menciptaan iklim perekonomian yang lebih kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan dengan menghindari praktek-praktek monopoli, oligopoli dan kartel
  6. penurunan dan stabilisasi harga sembako.

Di Lampung, KMPPRL bersama ribuan massa dari kampus UBL melakukan long march ke RRI Bandar Lampung sambil menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI, pembebasan Tapol/Napol, pembentukan Dewan Rakyat untuk pemerintahan transisi, dan referendum bagi rakyat Maubere.

Mengenai penegasan bahwa pemerintahan B.J. Habibie merupakan pemerintahan transisional, baik pendukung maupun penentang B.J. Habibie tampak sependapat. Akan tetapi tuntutan Dewan Rakyat, Pemerintahan Presidium, Komite Rakyat Indonesia atau yang sejenisnya, HMI menegaskan ketidaksetujuannya. Penolakan HMI terhadap tuntutan Dewan Rakyat, Pemerintahan Presidium, Komite Rakyat Indonesia atau yang sejenisnya bukan saja karena konsep itu tidak memiliki legitimasi politik dan hukum yang kuat, tetapi juga utopis dalam implementasinya. Anas Urbaningrum, Ketua Umum PB HMI, mengatakan:

“Bayangkan kalau Pak Harto turun, Habibie ditolak kemudian dibentuk pemerintahan presidium. Mengoperasikan Pemerintahan Presidium itu, yah sangat tidak rasional. Konsepnya sih bagus, artinya di atas kertas bisa dimengerti, tetapi mengoperasikan itu hampir tidak ada jalanlah. Yang pertama, landasan konstitusinya apa? Yang kedua, kalau misalnya disepakati ada Presidium, cara memilihnya seperti apa? Siapa yang harus dipilih, dasar legitimasi politiknya apa, dan terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan tentang operasional Pemerintahan Presidium, saya kira juga belum ada preseden tentang Pemerintahan Presidium. Meskipun ide itu diformatkan sebagai ide- ide pada masa transisi, ide itu hanya indah di konsep, tapi dalam pengoperasiannya rasanya hampir utopis.”

Sebaliknya, kelompok gerakan mahasiswa penentang B.J. Habibie, seperti FORKOT menilai B.J. Habibie dan pemerintahannya adalah kelanjutan dari rezim Orde Baru karena itu FORKOT menuntut dibentuknya Komite Rakyat Indonesia sebagai pemerintahan sementara. Syafieq, Aktivis FORKOT dan FAMRED, mahasiswa STF Driyarkara mengatakan:

“Kita waktu itu tidak menuntut pemilu segera tetapi kita ingin ada pemerintahan transisional yang memastikan rambu-rambut yang memastikan aturan main sehingga anasir-anasir Orde Baru tidak bisa kembali lagi ke kekuasaan. Posisi FORKOT ketika Soeharto jatuh kemudian juga FAMRED dua-duanya juga sama-sama. Mereka (FORKOT dan FAMRED) tidak mengusung isu pemilu, mereka lebih mengusung pemerintahan yang transisional yang terdiri dari orang yang relatif tidak terlibat kejahatan politik dan ekonomi Orde Baru dan mereka inilah nanti diharapkan menyelengarakan pemilu ulang. Kita sudah sempat menyusun kita membayangkan ada semacam Presidium sementara yang kita beri nama Komite Rakyat Indonesia yang bayangannya, ya seperti Komite Nasional Indonesia Pusat. Kita menginginkan dibentuk pemerintahan sementara semacam Presidium yang beranggotakan orang-orang yang tidak terlibat dengan Orde Baru. Waktu itu kita menghubungin banyak sekali orang ada yang menghubungin Megawati, saya sendiri menghubungi Gus Dur, ada yang menghubungi Amien Rais, jadi kita membagi tugas. Kita tak berpersepsi bahwa kita yang membentuk karena kita tahu diri bahwa rakyat Indonesia bukan cuma kita tapi kita mengusulkan dan kita sudah menghubungi beberapa tokoh-tokoh Gus Dur waktu itu tidak keberatan, kita menghubungi Kwik dan Megawati juga. Beberapa teman, seperti Abdulah waktu itu sempat bertemu Megawati tetapi Megawati tidak terlalu antusias.”

Kabinet Reformasi Pembangunan yang dilantik di Istana Negara pada tanggal 23 Mei 1998 oleh semua unsur kekuatan yang ada tetap dilihat sebagai pemerintahan transisional. KAMMI, misalnya, dalam Rapat Akbarnya di Lapangan Masjid Al-Azhar pada tanggal 22 Mei 1998 yang juga menghadirkan Amien Rais sebagai pembicara menegaskan bahwa pemerintahan B.J. Habibie sebagai pemerintahan transisional. KAMMI bahkan menegaskan batas waktu bagi
B.J. Habibie, yaitu hanya enam bulan untuk menuntaskan agenda-agenda reformasi di bidang politik. Penegasan batas waktu 6 bulan bagi pemerintahan transisional membuat Presiden B.J. Habibie pada tanggal 23 Mei 1998 harus mengundang Amien Rais, Emil Salim, Rudini, Nurcholis Madjid, Adnan Buyung Nasution, dan Sudjana Syafe’i untuk meminta masukan.

Sebaliknya, kelompok penentang B.J. Habibie seperti Gerakan Kontra Orde Baru (GKOB) dan FORKOT selain tetap konsisten dengan sikapnya yang menolak pemerintahan baru B.J. Habibie dan menganggap pemerintahan B.J. Habibie sebagai metamorfosis dari pemerintahan Orde Baru, juga mengajukan alternatif untuk pembentukan pemerintahan transisi B.J. Habibie. Di Jakarta, pada 28 Mei 1998, FORKOT dan FKSMJ dengan ribuan massanya kembali menggempur gedung DPR/MPR dengan tuntutan pembentukan Komite Rakyat Indonesia (KRI) untuk mengangkat eksekutif melalui MPRS/DPRS. Sedangkan FKSMJ tetap menuntut percepatan pelaksanaan SI.

Selama pertengahan hingga akhir bulan Mei 1998 tercatat 90 aksi mahasiswa dari 536 jumlah total demonstrasi di berbagai daerah dengan tiga isu utama

  1. menolak B.J. Habibie
  2. percepat SI MPR
  3. pemilu ulang.

Sesudahnya, sepanjang Juni 1998 tercatat 274 demonstrasi dengan dua isu politik utama yaitu percepatan SI MPR; dan pengadilan Soeharto. Meskipun demikian aksi-aksi yang menuntut perubahan politik dan ekonomi yang menandai perjalanan Kabinet Reformasi Pembangunan juga tetap terlihat di daerah-daerah. Penetapan B.J. Habibie sebagai pengganti Presiden Soeharto telah terbukti mengandung komplikasi politik. Kedekatan B.J. Habibie dengan Soeharto telah menyulitkan B.J. Habibie di hadapan para penentangnya. Tudingan bahwa
B.J. Habibie tidak memiliki keberanian moral dan politik untuk menetapkan Soeharto sebagai sumber dari semua malapetaka ekonomi dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia dan tudingan ketakutan mengadili Soeharto terbukti benar setelah pemerintahan B.J. Habibie mendeponir kasus Soeharto. Padahal tuntutan paling pokok dari gerakan reformasi sebagaimana yang tampak dari jargon, pamflet, poster, orasi, seruan dan pernyataan para penentang B.J. Habibie adalah B.J. Habibie harus memiliki keberanian memutus hubungannya dengan Soeharto.

Tudingan para penentang B.J. Habibie tersebut justru menemukan alasan pembenarnya setelah pemerintah B.J. Habibie tampak gigih menepis semua kemungkinan penggunaan langkah politik dan hukum untuk meminta pertanggung jawaban Soeharto, keluarga dan para kroninya. Oleh karena itu di satu sisi sikap penentangan yang diterima B.J. Habibie merupakan akibat logis dari kedekatan politik B.J. Habibie dengan Soeharto. Di lain sisi strategi ” divide and rule ” yang berhasil dikembangkan Soeharto merupakan sumber dari semua pembelahan, kompetisi dan konflik politik baik di kalangan kelompok gerakan mahasiswa maupun di lapisan elit politik masa pemerintahan B.J. Habibie. Strategi strategi ” divide and rule ” Soeharto digambarkan oleh Eli Salomo dengan menjelaskan konflik antara FORKOT dan KAMMI. Eli Salomo, Mahasiswa ISTN Jakarta, aktivis FORKOT mengatakan:

”Kita juga kan banyak kenal tokoh-tokoh yang ada di KAMMI baik tokoh yang di tingkat kampus, level Jakarta, maupun level nasional dan karakternya kita sudah tahu dan bertarungnya sudah terjadi, dan kita paham benar mereka selama ini yang mencoba menggembosin gerakan anti-Orde Baru dan gerakan anti-Soeharto selama bertahun-tahun di dalam kampus. Kemudian pada sisi oportunis pada sisi akhir pemerintahan Soeharto mereka mengambil pilihan oportunis melawan tuannya sendiri. Kita paham benar mereka kok yang menggembosin dalam kampus, mereka yang menuduh kita komunis dalam kampus. Jadi tidak pusing, tidak terlalu terkejut saat kemudian KAMMI menjadi oportunis terhadap kekuasaan yang ada, karena pilihannya menyusup pada kekuasan yang ada. Jadi kita tidak terlalu pusing, tapi kita paham inilah lawan kalau di level mahasiswa yang kita hadapin sehari-harinya sebelum Soeharto jatuh maupun pada saat Habibie berkuasa.”

Di mata FORKOT dukungan KAMMI dan HMI terhadap B.J. Habibie bukan lagi bersifat moral, melainkan sudah bersifat politik, sehingga KAMMI dan HMI tampak sebagai underbouw politik. Polarisasi antara FORKOT dan KAMMI/HMI yang sangat tajam dapat dilihat dari sikap FORKOT yang menuding gerakan KAMMI dan HMI sebagai gerakan politik partai di level mahasiswa. Adian Napitupulu, Aktivis FORKOT, mengatakan:

“Jadi dari segi historisnya, mereka sebenarnya bukan gerakan mahasiswa, tapi gerakan politik partai di level mahasiswa. Nah, bagi saya itu dua hal yang berbeda. Jadi kalau dibilang bagaimana terjadinya polarisasi dalam konteks kekuasaan Habibie pada saat itu, saya tidak menganggap sama sekali HMI dan KAMMI sebagai gerakan mahasiswa. Mereka underbouw nya partai”.

Kontroversi terpilihnya B.J. Habibie sebagai Presiden juga diperburuk oleh kenyataan bahwa hampir semua elit politik yang setia terhadap Soeharto selama masa pemerintahannya mendukungnya tanpa berusaha menarik simpati publik dan pembelaan. Padahal justru kenyataan inilah yang nantinya memberikan alasan kuat bagi para penentang B.J. Habibie dan para pendukung gerakan reformasi untuk tetap meyakini bahwa rezim Orde Baru Soeharto tetap eksis. Oleh karena itu dapat dimengerti bila terdapat elit politik yang melihat pemerintahan B.J. Habibie sebagai Orde Baru jilid dua.Rahman Tolleng, elit politik penentang B.J. Habibie mengatakan:

“Ketika Soeharto turun dan kemudian terdengar secara konstitusional Habibie yang naik memang secara konstitusi mengatakan begitu. Terus terang itu tidak cukup karena tidak terjadi perubahan. Habibie kan bagian dari rezim dan sebelumnya dikenal sebagai pemuja Soeharto, Soeharto sebagai gurunya.”

Tudingan elit politik penentang B.J. Habibie bahwa pemerintahan B.J. Habibie merupakan Orde Baru jilid dua bukan hanya dikaitkannya dengan pengalaman sebelumnya yang dilihatnya sebagai gejala normal, tetapi juga suatu proses yang mesti terjadi dalam proses transisi, sehingga apa yang dilakukan oleh B.J. Habibie tidak perlu dipuji tapi perlu dicurigai.

Kenyataan bahwa legitimasi politik Presiden B.J. Habibie tidaklah terlalu kuat, karena tidak dipilih melalui Pemilu dan mobilisasi politik terhadapnya juga relatif kurang membuat posisi politik B.J. Habibie sangat rentan kritik dan oposisional. Perlawanan kelompok mahasiswa pro-Reformasi Total terhadap mobilisasi politik yang dilakukan oleh kelompok ”Reformasi Konstitusional”: Komite Umat Islam Untuk Reformasi Konstitusional (KUIRK) yang terdiri dari 43 organisasi massa untuk mendukung B.J. Habibie menegaskan bahwa dukungan politiknya tidaklah terlalu kuat. Lemahnya mobilisasi politik juga terkait dengan urgensi dan dampak dari kebijakan B.J. Habibie.

Meskipun demikian masih terdapat kebijakan B.J. Habibie yang mendapat dukungan luas, seperti pembebasan Tapol/Napol, pencabutan Permenpen No.1/1984 yang membatasi kebebasan pers, serta mempersiapkan RUU Pemilu dan Kepartaian. Akan tetapi, DPR bersama dengan pemerintahan B.J. Habibie juga mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kontradiktif, seperti Perpu No.2/1998 yang membatasi kebebasan berekspresi di muka umum melalui dan UU No.9/1998 tentang Unjuk Rasa. UU Politik juga terus dipersoalkan oleh aktivis Gerakan Kontra Orde Baru (GKOB). GOKB menuntut pencabutan paket UU Politik: UU tentang Pemilu, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU tentang Parpol dan Golkar, UU tentang Keormasan dan UU tentang Referendum.

Di mata dunia internasional, persoalan politik yang menyita perhatian sekaligus mengundang kecaman terhadap pemerintah Orde Baru, seperti kasus Timor Timur, juga muncul sejak turunnya Soeharto. Pada masa Orde Baru, persoalan Timor Timur selalu dianggap sudah selesai, dan setiap aksi untuk menuntut referendum dan kemerdekaan selalu dicap separatis, atau subversif. Kejatuhan Soeharto bagi aktivis Timor Timur yang mendukung hak penentuan nasib sendiri, merupakan pendorong untuk mengkonsolidasikan diri. Meskipun terdapat perbedaan perspektif tentang reformasi, perekat yang bisa menyatukan aktivis Timor Timur dan gerakan mahasiswa di Jawa adalah isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Di Dili, puluhan ribu massa rakyat dan mahasiswa DSMTT berkumpul di kampus Universitas Timor Timur menuntut pembebasan Xanana Gusmao dan melaksanakan referendum. Keesokan harinya 1500 aktivis Timor Timur yang diaspora dari berbagai perguruan tinggi di Jawa berkumpul di depan gedung Deplu, Pejambon, Jakarta, dengan tuntutan yang sama.

Di tengah-tengah perdebatan mengenai reformasi politik dan hukum, satu hal yang sangat menonjol adalah persoalan Dwi Fungsi ABRI. Selain UU Politik, tuntutan pencabutan Dwi Fungsi ABRI masih sering terdengar dalam aksi-aksi protes, apalagi dihubungkan dengan berbagai kekerasan politik yang terjadi pada era Orde Baru. Selama bulan Oktober 1998, gugatan terhadap Dwi Fungsi ABRI dalam wacana publik meramaikan panggung seminar dan diskusi. Dwi Fungsi ABRI merupakan distorsi dari fungsinya yang utama, yaitu menjaga ketahanan dan keamanan negara. Selama rezim Orde Baru berkuasa, ABRI hanya menjadi alat bagi pelanggengan kekuasaan dengan menempatkannya pada kursi legislatif. Sebagai alat, penempatannya dalam kursi legislatif akhirnya melegitimasi pembatasan partisipasi politik rakyat.

Memasuki bulan Oktober 1998, aksi-aksi menolak Dwi Fungsi ABRI marak di berbagai kota. ”Cabut Dwi Fungsi ABRI” mengiringi peringatan ulang tahun ABRI ke-53. Pada 5 Oktober 1998, demonstrasi secara sporadis dilakukan oleh berbagai kelompok aksi baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Umumnya disertai tuntutan agar ABRI bertanggung jawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM. Regresi proses reformasi di bidang politik yang terjadi pada pemerintahan baru ini seolah mencapai puncaknya kurang dari dua minggu menjelang pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) MPR bulan November 1998.

Tuntutan yang semakin gencar agar ABRI ”hengkang” dari kursi empuk legislatif sirna, karena posisi ABRI di DPR tidak dapat digoyahkan lagi, mengingat hal itu sudah diatur dalam Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR yang akan diputuskan dalam SI MPR menjadi TAP MPR. BP MPR sudah menyepakati bahwa anggota DPR terdiri dari unsur partai politik peserta pemilu dan anggota ABRI yang diangkat. Menjelang SI MPR 1998, kecenderungan mobilisasi massa marak di beberapa wilayah. Aksi-aksi mahasiswa dengan berbagai tuntutan yang bernada menolak maupun mendukung SI dengan ”agenda tambahan” pun berlangsung secara sporadis.

Agenda politik Kabinet Reformasi Pembangunan yang diharapkan mampu mengakomodasi tuntutan reformasi total adalah Sidang Istimewa (SI) MPR. Namun, bagi mereka yang tidak yakin akan kapabilitas pemerintahan B.J. Habibie, tuntutan untuk menolak SI bahkan semakin nyaring disuarakan. Sementara itu, pemerintah berusaha menjalankan SI yang sudah ditetapkan jadwalnya, 10-13 November 1998. Maka B.J. Habibie pun mengeluarkan peringatan di depan para pimpinan ABRI di Istana Merdeka. ”Diinstruksikan kepada seluruh jajaran ABRI untuk mengamankan agenda politik sebaik-baiknya dan tidak memberikan peluang bagi resiko sekecil apapun”.

Menjelang Sidang Istimewa (SI), ”huru-hara” masih berlangsung setelah gelombang aksi di beberapa titik sejak tanggal 9 dan 10 November 1998, sampai saat pelaksanaan SI pada 11-13 November 1998. Tuntutannya adalah ”Reformasi atau Mati!”. Pada tanggal 12 November 1998 terjadi bentrokan di tiga tempat, yaitu di depan Gedung Manggala Wanabhakti, Pejompongan dan sekitar kampus Universitas Dr. Moestopo. Ribuan mahasiswa FORKOT menaiki 20 bus metromini dihadang aparat di depan Gedung Manggala Wanabhakti. Bentrokan juga terjadi di depan kampus Universitas Dr. Moestopo. Ribuan mahasiswa dan rakyat memburu Pam Swakarsa menuju ke Senayan, tetapi dihadang oleh aparat. Sidang Istimewa yang berlangsung antara 10-13 November 1998 ditolak oleh beberapa gerakan mahasiswa. Aksi-aksi demonstrasi bahkan sudah dilakukan sebelum Sidang dimulai. Tanggal 9 November 1998, massa melakukan rally berkeliling kota Jakarta dengan meneriakkan yel-yel menolak Sidang Istimewa (SI), menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI, menuntut Soeharto diadili, serta menuntut dibentuk Pemerintahan Sementara. Setelah berkeliling kota, mereka menginap di Kampus UI, Kampus YAI di Jl. Salemba dan sebagian lagi di Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jl. Diponegoro yang berdekatan dengan kampus UI. Sementara itu, untuk menghadang gerakan pro-demokrasi yang menuntut reformasi total, militer mengorganisir para preman dan kelompok Islam bayaran. Kelompok ini tergabung dalam ”Pengamanan Swakarsa” atau lebih dikenal ”Pam Swakarsa” yang selama berhari-hari memprovokasi para mahasiswa. Mereka didatangkan dari berbagai tempat, baik dari Jakarta maupun luar Jakarta. Kelompok ini mengadakan kemah di sekitar gedung DPR/MPR dan mereka dipersenjatai bambu runcing untuk menyerang mahasiswa.

Tanggal 9 November, Pam Swakarsa menyerang kampus Universitas Atma Jaya Jakarta di Jl. Jenderal Sudirman dengan batu yang menyebabkan beberapa mobil rusak. Mereka juga melakukan provokasi di berbagai tempat di Jakarta. Di kawasan Bendungan Hilir, Jl. Jenderal Sudirman, depan Kampus Universitas Atma Jaya, kelompok ini dilawan oleh rakyat sekitar dengan batu sehingga terjadi bentrok fisik yang mengakibatkan beberapa orang luka-luka. Bentrok ini baru berhenti setelah datang pasukan Brigadir Mobil. Di kawasan Jakarta Selatan, segerombolan preman yang diorganisasi tentara dalam Pemuda Pancasila, salah satu elemen ”Pam Swakarsa”, menyerang sebuah Posko Gotong Royong PDI Megawati Soekarnoputri. Mereka merusak posko, merobek-robek gambar Megawati Soekarnoputri dan menantang berkelahi. Penyerangan itu dipimpin oleh seorang pengacara yang mengaku pro-reformasi, Ruhut Sitompul.

Hari pertama Sidang Istimewa (SI), mahasiswa dan rakyat sejak pagi melakukan aksi penolakan SI MPR. Lebih dari 10 ribu massa memadati Jl. Diponegoro dari Pertigaan Rumah Sakit Saint Carolus hingga di depan Bioskop Megaria, yang jaraknya sekitar 250 meter. Setelah itu, mereka bergerak menuju Gedung DPR melewati Tugu Proklamasi. Sementara itu, aktivis mahasiswa yang bergabung dalam FORKOT melakukan mobilisasi massa yang dimulai dari Kampus UKI Cawang. Mereka berkeliling kota dengan 40 bus yang dipenuhi oleh massa baik di dalamnya maupun di atasnya. Siang harinya terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan Pam Swakarsa di depan Hotel Hilton, Jl. Gatot Subroto, Semanggi. Seorang mahasiswa dilaporkan tergeletak di jalan tol dengan luka parah di kepalanya.

Malam harinya, massa mendatangi DPR untuk menemui para wakil rakyat boneka yang sedang melakukan SI. Mereka menuntut Soeharto diadili, Dwifungsi ABRI dicabut, dan menolak SI. Pukul 20.20 WIB mereka meninggalkan gedung DPR RI sambil mengucapkan terima kasih kepada rakyat di wilayah sekitar Gedung DPR RI, Semanggi maupun Bendungan Hilir yang telah membantu mereka dan turut menolak Sidang Istimewa.

Di Yogyakarta, 32 organisasi yang terdiri dari Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Himpunan Mahasiswa Islam-MPO (HMI-MPO), Himpunan Mahasiswa Islam-(HMI) Diponegoro, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan kelompok lain yang tergabung dalam Forum Bersama Anti-Dwi Fungsi ABRI menduduki stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) untuk memaksa agar pernyataan sikap mereka disiarkan.

Tanggal 11 November 1998, pukul 18.30, lebih dari 10 ribu mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi, yang terdiri dari Komite Mahasiswa Anti Dwifungsi ABRI (KOMRAD), Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (KOBAR), Komite Pendukung Megawati (KPM), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED), Forum Bersama (FORBES), Koalisi Nasional untuk Demokrasi, Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI) berusaha merebut Tugu Proklamasi yang selama ini diduduki oleh Pam Swakarsa. Akibatnya terjadi bentrok fisik dan berkembang menjadi kerusuhan. Setidaknya satu buah mobil Kijang di Bioskop Megaria, Jl. Diponegoro, telah dibakar.

Tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan rakyat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan Pam Swakarsa. Terjadi bentrokan di tiga tempat, yaitu Manggala Wanabhakti, Pejompongan, dan sekitar kampus Universitas Dr. Moestopo. Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Universitas Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Ribuan mahasiswa FORKOT dihadang aparat di depan Gedung Manggala Wanabhakti. Ribuan mahasiswa dan rakyat memburu Pam Swakarsa menuju Senayan, tetapi dihadang aparat. Tuntutan mahasiswa saat itu adalah: menolak Sidang Istimewa, pembentukan pemerintah transisi dan menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI.

Esok harinya Jum’at tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan rakyat sudah bergabung dan mencapai wilayah Semanggi dan sekitarnya, kemudian bergabung dengan mahasiswa dari FAMRED yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama rakyat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Saat itulah, pada hari terakhir Sidang Istimewa, terjadi tragedi Semanggi I.

Dalam tragedi tersebut 18 orang meninggal dunia, tujuh mahasiswa, satu siswa SMU, sembilan orang pejalan kaki dan satu orang polisi, 253 orang terluka, sedangkan yang terluka oleh tembakan senjata api adalah 14 mahasiswa, 1 dosen, dua siswa SMU dan 15 pejalan kaki. Di atas darah tersebut tentara merayakan kemenangannya yang telah berhasil memukul mundur gerakan mahasiswa dan rakyat dengan menyanyikan lagu ”Mars Siliwangi”. Hampir semua korban adalah mahasiswa atau pelajar, beberapa wartawan yang meliput peristiwa, beberapa karyawan swasta yang berada di sekitar tempat itu, termasuk para pedagang asongan juga mengalami kekerasan oleh tentara.

image

Berikut adalah nama-nama beberapa korban Semanggi I: Teddy Mardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia merupakan korban meninggal pertama di hari itu. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir Kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan rakyat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas air mata. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzzamil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Pada tanggal 14 November 1998 mahasiswa menguasai halaman depan DPR/MPR bersama ratusan ribu rakyat. Tetapi isunya bergeser menjadi mengadili diktator Soeharto. Jalur-jalur pawainya juga sudah tidak di jalur-jalur strategis yang dapat mengajak rakyat luas seperti pada tanggal 12-13 November 1998. Setelah tanggal 14 November 1998, berangsur-angsur halaman depan DPR/MPR ditinggalkan. Mengenai peristiwa Semanggi, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, menyatakan di depan anggota legislatif bahwa peristiwa Semanggi adalah untuk menyelamatkan kedudukan anggota legislatif —”…bila tidak demikian maka anda-anda mungkin sudah tidak duduk lagi di sini”— yang disambut dengan tawa riuh anggota-anggota legislatif.

Sementara mahasiswa dan rakyat bertempur di jalan-jalan untuk menolak Sidang Istimewa, 4 tokoh reformasi bertemu di Ciganjur pada tanggal 10 November 1998, hari pertama Sidang Istimewa. Kempat tokoh tersebut adalah: Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid , Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Amien Rais. Pertemuan yang disebut sebagai Dialog Nasional tersebut diprakarsai oleh FKSMJ, Satgas KM-ITB, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Siliwangi, setelah berhari-hari menduduki halaman rumah Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Kesepakatan ini mencerminkan persetujuan mereka atas dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR. Selain itu mereka menghendaki B.J. Habibie berhenti pada Agustus 1999.

Pertemuan tersebut menghasilkan delapan poin kesepakatan, yaitu

  1. menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa secara utuh dengan semangat Bhineka Tunggal Ika dalam Negara Kebangsaan dan Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Para pemimpin formal maupun informal haruslah konsisten dengan semangat ini

  2. mengembalikan kedaulatan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat, yang mencerminkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan penguasa

  3. mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sebagai asas perjuangan sebagai proses pembangunan bangsa, ke arah masyarakat yang adil dan sejahtera melalui cara-cara yang demokratis. Dalam rangka itu, haruslah dilakukan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan kemampuan daerah dan ditetapkan refund sharing (perimbangan keuangan) yang adil antara pemerintah pusat dan daerah; pengusutan harta kekayaan Soeharto sesuai ketentuan yang berlaku

  4. mendesak seluruh pengamanan swakarsa Sidang Istimewa (SI) MPR untuk segera membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing agar tidak memperkeruh suasana.

  5. agar pelaksanaan reformasi diletakkan dalam perspektif kepentingan generasi baru bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan bangsa di masa yang akan datang

  6. segera dilaksanakannya Pemilu yang Jurdil dan dilaksanakan oleh pelaksana independen, di mana panitia pelaksanaan terdiri dari peserta Pemilu dan diawasi oleh tim independen. Pemilu merupakan jalan demokratis untuk mengakhiri pemerintahan transisi yang dipimpin oleh B.J. Habibie, sekaligus menjadi cara untuk menetapkan pemerintahan yang baru secara legitimate, selambat-lambatnya dalam tiga bulan setelah pemilu Mei 1999 berlangsung, pemerintahan baru sudah harus dibentuk melalui SU MPR

  7. penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap paling lama enam tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan, dalam rangka mewujudkan masyarakat madani

  8. dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk menghapus dan mengusut pelaku KKN, diawali dengan pengusutan harta kekayaan Soeharto sesuai ketentuan yang berlaku

  9. mendesak seluruh pengamanan swakarsa Sidang Istimewa (SI) MPR untuk segera membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing agar tidak memperkeruh suasana.

Hasil Sidang Istimewa (SI) MPR ditanggapi beragam oleh gerakan mahasiswa penentang dan pendukung B.J. Habibie. Syafieq, mahasiswa STF Driyarkara, aktivis FORKOT dan FAMRED mengatakan penolakannya terhadap hasil SI. Syafieq mengatakan bahwa SI tidak memiliki legitimasi apapun di mata rakyat, apalagi hasilnya dan sama sekali tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Sebaliknya gerakan mahasiswa pendukung B.J. Habibie melihat bahwa Sidang Istimewa adalah sarana untuk menuju reformasi total. Fachri Hamzah, aktivis KAMMI mengatakan:

“Pemerintah perlu mempercepat Sidang Istimewa dan Pemilu. Dua agenda ini merupakan cara paling realistis, representatif, dan demokratis dalam menentukan pimpinan negara baru yang legitimate guna mewujudkan dan memastikan proses demokratisasi menuju reformasi total yang damai dan konstitusional”

Empat bulan sejak peristiwa Semanggi I, gerakan mahasiswa mengalami penurunan dalam kuantitas peserta demonstrasi yang sangat drastis. Di Jakarta hampir setiap demonstrasi mahasiswa (khususnya demonstrasi dari kelompok radikal seperti FORKOT, FAMRED, KOMRAD, AMARA, KMB, dan sebagainya) selalu dipukul dengan alasan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Alat legal bagi pemukulan tersebut adalah pelanggaran terhadap UU No. 9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Sementara Presiden B.J. Habibie semakin ingin melegitimasikan kekuasaannya di mata dunia internasional. Salah satu kebijakan yang dilakukannya Presiden, B.J. Habibie memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste). B. J. Habibie mengajukan dua opsi bagi bagi rakyat Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Rakyat Timor Timur memilih opsi kedua, karena dinilai sebagai pilihan terbaik setelah mereka merasa disakiti selama 24 tahun oleh Indonesia. Pada referendum 30 Agustus 1999, Timor Timur menyatakan merdeka dari Indonesia, hasil referendum diumumkan, dan rakyat Timor Timur lepas dari kuasa Indonesia. Setelah rakyat Timor Timur menyatakan melepaskan diri dari belenggu Indonesia, kekerasan terjadi di mana-mana antara pihak yang pro dan kontra kemerdekaan Timor Timur. Mengenai Referendum bagi Timor-Timur serta kekerasan yang terjadi setelahnya, pihak TNI menyebutkan itu adalah sebuah kesalahan besar B. J. Habibie. Letjend. Fachrul Rozi mengatakan :

“Kalau masalah Timor-Timur itu kan, itu ngomong sebagai sebuah perintah, kemudian TNI melaksanakan, TNI tinggal mematangkan itu, dan mematangkan juga gak bisa dilakukan dalam waktu yang begitu singkat. Dan itu menurut saya sebagai sebuah kesalahan besar. Tiba-tiba ada referendum yang tadinya tidak ada opsi itu kan, dulunya kan opsinya cuma otonomi khusus, gak ada ngmong merdeka. Tiba-tiba muncul opsi itu kan.”

Dalam menghadapi Pemilu 1999, gerakan mahasiswa kembali terpecah. Terdapat tiga sikap gerakan mahasiswa, yaitu:

  1. mendukung pelaksanaan Pemilu tanpa syarat
  2. gerakan mahasiswa yang mendukung pelaksanaan Pemilu dengan syarat
  3. gerakan mahasiswa yang tetap meneruskan isu-isu utama sebelumnya. Antara lain, pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya, penghapusan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan pembentukan pemerintahan transisi.

Menjelang pemilu 1999 berlangsung konsolidasi gerakan mahasiswa. Konsolidasi tersebut adalah Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI). Konsolidasi ini berlangsung pada tanggal 28 Maret hingga tanggal 1 April 1999 di Universitas Udayana, Bali. RNMI dihadiri oleh 101 orang dari 52 organisasi gerakan mahasiswa dari 16 provinsi. RNMI menghasilkan 4 butir resolusi, yaitu:

  1. Pemilu yang diselenggarakan rezim B.J. Habibie 7 Juni 1999 mendatang adalah tidak demokratis, tidak Jurdil, karena dihasilkan oleh DPR hasil Pemilu 1997 yang juga melaksanakan Sidang Istimewa MPR yang berlumuran darah rakyat serta masih adanya ABRI di DPR sehingga tidak membawa kepada Indonesia ke arah yang diinginkan mahasiswa

  2. oleh karena itu dinyatakan bahwa RNMI tidak mempercayai pemilu yang akan diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 sebagai solusi atas krisis multidimensi yang saat ini berlangsung di Indonesia

  3. sebagai solusi atas krisis multidimensi harus dibentuk sebuah pemerintahan transisi yang berasal dan tak terpisah dengan arus besar gerakan rakyat dan bebas dari unsur-unsur yang sebelumnya menindas rakyat. Pemerintahan transisi ini bebas dari intervensi militer, atau harus berbasis pada demokrasi sipil

  4. untuk persoalan Aceh dan Irian Jaya, mereka melihat adanya keyakinan politik di kalangan rakyat Aceh dan Irian Jaya untuk menentukan nasibnya sendiri, bukan sekedar masalah disintegrasi.

Mereka juga menuntut referendum segera untuk Timor Leste. RNMI merupakan embrio dari berdirinya Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Tentang RNMI, Eli Salomo mahasiswa ISTN Jakarta, aktivis FORKOT penentang pemerintahan B.J. Habibie mengatakan:

“Sebenarnya kita sedang melanjutkan satu massa mengambang sehingga gak nyambung dengan basis massanya. Kita coba dengan adanya RNMI (Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia) itukan satu cara kita mengkonsolidasikan gerakan mahasiswa tapi kemudian setelah RNMI muncul beberapa kelompok nasional gerakan mahasiswa. Dan ini kan tidak bisa dibatasin, misalnya muncul FPPI, muncul LMND, dan mucul Front Mahasiswa Nasional (FMN). Itukan satu fenomena yang tidak bisa kita batasin tapi usaha untuk membangun koalisi nasional itukan yang kita coba. Misalnya dalam sektor mahasiswa di Jakarta misalnya kita membangun organ AKRAB (Aliansi Rakyat Bersatu) itu mengumpulkan mulai dari gerakan mahasiswa kemudian kelompok-kelompok sosial termasuk organisasi serikat buruh, organisasi serikat tani menjadi satu kelompok yang namanya AKRAB. Tapi kemudian itu pecah tidak bisa dipertahankan di luar kemampuan kita untuk bisa mempertahankan. Tapi usaha untuk membangun suatu koalisi nasional itu selalu ada karena tanpa itu kita berkesimpulan tidak bisa mendesakan munculnya pemerintahan yang transisi. Kita kalau dalam satu medan perjuangan kita kan harus mengambil satu fokus isu gerakan, fokus saat itu adalah kita membicarakan penggulingan pemerintahan Habibie artinya bukan cuma Habibie sebenarnya struktur- struktur Orde Baru yang masih berkuasa kemudian diganti dengan pemerintahan yang kolektif transisional kemudian akibat kita fokus itu muncullah koalisi Tentara dan aparat.

Pemilu 1999 akhirnya dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri dengan meraih 35.706.618 suara atau 33,7% dan 153 kursi, disusul Partai Golkar di urutan kedua dengan meraih 23.742.112 suara atau 22,4% dan 120 kursi, PKB di urutan ketiga dengan 13.336.963 suara atau 12,6 dan 51 kursi, PPP di urutan keempat meraih 11.330.387 suara atau 10,7 dan 58 kursi, PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 % dan mendapatkan 34 kursi.

Pasca pemilu, rezim B.J. Habibie ingin mensahkan RUU-PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan perlawanan. Penolakan tersebut karena RUU-PKB tidak lebih dari upaya tentara untuk mendapatkan kembali kekuasaan politiknya. Isi pasal- pasalnya memberikan kewenangan besar dalam tugas-tugas polisional kepada militer, dalam situasi negara dinilai darurat atau dalam keadaan berbahaya.

Di Jakarta tanggal 9 September 1999 dalam waktu yang bersamaan ratusan mahasiswa Forum Bersama (FORBES) bentrok dengan militer sampai memakan korban luka-luka. Tanggal 15 September 1999, sekitar 500 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Universitas Borobudur, dan pelajar STM melakukan aksi yang berakhir bentrok dengan militer di depan kampus Universitas Borobudur. Tanggal 22 September 1999, di Jakarta sekitar seribu massa LMND, FNPBI, Universitas Bung Karno mengadakan long march dari kampus UI Salemba menuju gedung MPR/DPR. Terjadi dua kali bentrokan antara massa dan militer. Puncak aksi penolakan terhadap RUU PKB di Jakarta terjadi pada tanggal 23-24 September 1999 yang mengakibatkan terjadinya peristiwa Semanggi II. Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban di pihak mahasiswa dan massa rakyat. Salah satu korban Semanggi II adalah Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia.

Di Bandung, tanggal 21 September 1999, sekitar 100 mahasiswa gabungan dari 12 elemen kesatuan aksi mahasiswa mendatangi gedung DPRD I Jawa Barat. Di Solo, aksi penolakan terhadap RUU PKB dilakukan oleh ratusan massa dari 28 elemen mahasiswa Indonesia yang tergabung Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) tanggal 9 September 1999 dengan long march menuju Markas Korem. Di Makassar, terjadi bentrokan dengan militer ketika sekitar 200 mahasiswa dan rakyat melakukan pendudukan gedung DPRD Sulsel. Di Surabaya, sekitar seratus mahasiswa UPN Veteran Surabaya mendatangi gedung DPRD Tingkat II Surabaya dan berhasil memaksa Fraksi ABRI/TNI, Perjuangan dan PAN menandatangani tuntutan mahasiswa untuk menolak RUU PKB.

HMI dan KAMMI adalah dua organisasi mahasiswa ekstra universiter pendukung B.J. Habibie berhadapan dengan FORKOT dan FKSMJ yang juga dua organisasi adalah ekstra universiter penentang B.J. Habibie (Lihat Tabel 3.4). Tiga isu utama yang diusung oleh HMI sebelum dan pasca gerakan Mei 1998, seperti:

  1. KKN
  2. revolusi sistemik
  3. kerapuhan ekonomi nasional
  4. hutang luar tetap dipegang hingga B.J. Habibie dipercaya oleh Soeharto untuk melanjutkan jabatannya yang masih tersisa hingga tahuan 2004.

Sementara naiknya B.J. Habibie yang dianggapnya sebagai figur Islam membuat yakin bahwa sikap tegas HMI terhadap penghentian utang luar negeri, pemutusan hubungan dengan IMF, anti-privatisasi BUMN, menuntut perlindungan bagi petani dan peningkatan subsidi untuk rakyat kecil tidak ada masalah.

Hal yang sama ditunjukkan oleh KAMMI yang aktivisnya umumnya berlatar belakang LDK yang berasal dari organisasi massa besar, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). KAMMI yang dapat dikatakan bentukan aktivis-aktivis dakwah kampus yang sebagian berasal IMM dan HMI memiliki sikap yang cenderung sama dengan HMI yaitu mendukung B.J. Habibie. Bersama dengan HMI, KAMMI yang telah membentuk basis-basis gerakan di beberapa universitas besar, seperti UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Undip dan lain-lain memilih berhadapan dengan FORKOT dan FKSMJ yang menentang B.J. Habibie

Orientasi KAMMI berupa reformasi politik dan ekonomi yang dilandasi moral dan ahlak membuatnya tidak perlu mengusik posisi B.J. Habibie. Namun, lawannya, FORKOT dan FKSMJ tetap menuntut mundur B.J. Habibie apapun prestasinya. Sebab B.J. Habibie di mata kedua organisasi gerakan mahasiswa ini hanyalah boneka dan atau ‘kaki tangan’ Soeharto. FORKOT dan FKSMJ secara tegas tetap menyatakan ingin mengganti rezim kekuasaan. FORKOT yang merupakan salah satu organ gerakan mahasiswa 1998 dengan basis kurang lebih 70 kampus di Indonesia membuat FORKOT percaya diri untuk berhadapan dengan siapa saja termasuk HMI dan KAMMI yang mendukung B.J. Habibie. Radikalisme FORKOT yang sangat terkenal itu dibuktikan dengan terjadinya bentrok melawan aktivis HMI, aktivis KAMMI dan sejumlah elemen-elemen pendukung B.J. Habibie, seperti yang terjadi di Gedung DPR/MPR ketika terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Soeharto ke tangan B.J. Habibie.

Bukan saja bentrok dengan aparat TNI-Polri, kebiasaan bentrok dalam setiap aksi-aksinya melawan pihak yang berseberangan dengannya telah menjadi ciri khas dari FORKOT. Hal itu pulalah yang membuat sejumlah pendiri FORKOT memilih keluar lalu mendirikan kelompok gerakan mahasiswa baru, seperti Syafieq, Wahab dan Abdullah mendirikan FAMRED dan Eli Salomo dan Faisal Saimima mendirikan FRONT KOTA.

Radikalisme yang menjadi ideologi gerakan FORKOT dalam menentang Soeharto dan B.J. Habibie dituding oleh berbagai pihak sebagai penganut Marxis. Bahkan Letnan Jenderal (Purn) Achmad Tirtosudiro, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), memasukkan FORKOT sebagai salah satu kelompok yang merencanakan makar terhadap B.J. Habibie. Namun FORKOT tetap berargumen bahwa tindakannya itu hanya merupakan reaksi terhadap sikap aparat yang sangat represif terhadapnya. Eli Salomo, Aktivis FORKOT, mengatakan:

“FORKOT misalnya dituduh mempersenjatai diri, pertanyaan kapan FORKOT memukul duluan kan tidak pernah itu sisi soal kekerasan yang muncul dalam aksi-aksi FORKOT itu adalah satu mekanisme pertahanan diri yang kita ambil untuk kita tetap bisa bersuara terhadap keyakinan politik kita. Yang kedua kemudian komunis dituduh anarkis segala macam itukan debat ideologi yang sangat gampang dijawabnya dan kalaupun labeling komunis bagiku itu bukan suatu kemaluan sejarah tapi di situlah bagaimana ketelanjangan sejarah melihat rezim menggunakan segala cara untuk mempertahankan dirinya termasuk melakukan fitnah terhadap organisasi misalnya FORKOT atau gerakan mahasiswa lain yang punya garis tidak mau kompromi tidak mau dibeli oleh rezim politik yang berkuasa. Dan kalau mau gampangan transaksi dengan kekuasaan bukan dengan orang yang mau berkuasa padahal belum tentu berkuasa. Karena itu FORKOT pertama menolak B.J. Habibie dengan keyakinan bahwa rezim Orde Baru tidak akan bisa menghasilkan pemerintahan yang bersih pasti dia akan mencoba melanggengkan kalau sebelumnya dengan cara penyerahan dari Soeharto ke Habibie. Maka waktu itu yang kita sangat curigai adalah mereka akan mencoba pake logika demokratis yang konstitusional lewat pemilu tersebut jadi pemilu tersebut sebenarnya punya potensi yang cukup besar untuk menjadi penyelewengan untuk mempertahankan rezim yang berkuasa Golkar dan kelompok Habibie lah pada saat itu.”

Upaya FORKOT menjatuhkan B.J. Habibie didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu:

  1. B.J. Habibie masih dianggapnya sebagai bagian dari Soeharto;
  2. B.J. Habibie dinilai tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi dan krisis politik.

Hal itu diakui oleh Eli Salomo, aktivis FORKOT mengatakan:

“Turunnya Soeharto bukan berarti aksi-aksi demonstrasi FORKOT selesai, karena turunnya Soeharto bukan berarti masalah selesai. Soeharto hanyalah salah satu poin dari reformasi total. Reformasi yang diinginkan oleh FORKOT adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. FORKOT menganggap B.J. Habibie masih bagian dari Soeharto yang juga tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi dan krisis politik yang sedang berjalan ketika itu.”

Keputusan FORKOT meluncurkan program Komite Rakyat Indonesia (KRI) bukan hanya sekedar menentang B.J. Habibie, tetapi juga untuk menjatuhkannya yang oleh Achmad Tirtosudiro disebutnya sebagai merencanakan makar. Ancaman FORKOT bahwa selama KRI belum terbentuk, maka segala kegiatan politik yang dilakukan pemerintahan B.J. Habibie dianggap tidak sah telah membuat panik kelompok pendukung B.J. Habibie seperti ICMI. Sikap FORKOT yang menentang dilaksanakannya SI MPR sejalan dengan sikapnya yang tidak ingin mengikuti agenda pemerintahan B.J. Habibie. Sebab, bagi FORKOT mengikuti agenda B.J. Habibie sama artinya dengan mengakui adanya legitimasi rakyat untuk B.J. Habibie.