Seperti apa politik etis dan transfromasi modernitas barat?

image

Menjelang 1900-an, politik kolonial Belanda masih terombangambing antara dua gagasan besar, sistem dagang dan sistem pajak. Penderitaan yang hebat pada penduduk pribumi akibat kebijakan kolonial konservatif melahirkan kritik keras dari dalam negeri Belanda sendiri, yang memunculkan upaya-upaya perbaikan politik kolonial, termasuk desentralisasi. Perkembangan di bidang ekonomi, sosial dan politik yang pesat sejak kurun 1890-an dan kritik atas penderitaan rakyat akibat kebijakan kolonialnya memaksa Belanda mengubah kebijakan dengan gerakan politik kemakmuran yang dikenal dengan istilah politik etis sejak 1901. Politik kolonial Belanda mulai mengarah kepada kebijakan baru yang ditandai dengan Orde Ekonomi Etis (Ethiek, Economic en Orde).

Belanda melakukan perubahan politik kolonial yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan penduduk daerah jajahan. Kebijakan ini disertai politik desentralisasi, di mana penentuan kebijakaan dalam pengelolaan daerah jajahan menjadi kewenangan pemerintah stempat. Pemerintah Belanda memberi otonomi pada pemerintah Hindia-Belanda berupa kewenangan lebih besar untuk mengelola berbagai sumber daya di wilayahnya, di antaranya dengan pemilahan anggaran belanja daerah jajahan dari negeri Belanda dan penyelenggaraan fasilitas sosial bagi penduduk, terutama pendidikan dan kesehatan. Sebagai elemen penunjang, dibentuk Dewan Rakyat (Volksraad) di daerah jajahan, yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah Belanda, Pribumi dan Timur Jauh.

Volksraad berfungsi sebagai penasehat, dan kurang merepresentasikan keterwakilan rakyat di wilayah jajahan. Keanggotaannya juga didominasi unsur Eropa dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dibanding pribumi (Inlanders). Dari 39 orang, kemudian 49 anggota Volksraad, kaum pribumi hanya diberikan porsi sepertempatnya, di mana separuhnya merupakan hasil pilihan. Seiring pertumbuhan gerakan nasional, situasi ini akhirnya dirasakan tidak memuaskan, dan diikuti dengan perubahan Grondwet 1922, yang pada prinsipnya mengubah status Hindia-Belanda menjadi bagian dari kerajaan.

Berbagai kritik atas kebijakan pemerintah Belanda melahirkan perubahan sikap dan sistem pengelolaan jajahan, dengan kebijakan pengelolaan Hindia-Belanda secara lebih otonom. Dengan berbagai batasan akses maupun fasilitas, pemerintah Hindia-Belanda juga mulai memperhatikan masalah kesejahteraan sosial, khususnya pendidikan dan kesehatan. Kesempatan pendidikan bagi masyarakat pribumi diberikan pada kalangan terbatas, khususnya bangsawan dan golongan ekonomi kuat. Baru pada kurun belakangan masyarakat bawah dapat menikmati pendidikan, meski hanya tingkat rendahan. Demikian pula untuk layanan kesehatan, di mana pemerintah hanya melakukan untuk aspek-aspek layanan yang sangat terbatas, khususnya dalam penanganan wabah penyakit.

Perubahan kebijakan tersebut secara ekonomi memberi banyak keuntungan bagi penjajah, tetapi tidak demikian halnya bagi kebanyakan penduduk rival. Penduduk rival bahkan semakin tergantung pada pemilik modal dan pengusaha yang menyewa tanah dan mempekerjakan mereka sebagai buruh, dan hanya memperlebar jarak antara pemilik modal dengan buruh. Meski demikian, imbas dari politik etis secara signifikan juga menyumbangkan perubahanperubahan sosial.

Dampak paling menonjol adalah kesempatan pendidikan yang lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya, sekalipun hanya dinikmati sekelompok kecil golongan rival, terutama dari kalangan pegawai pemerintah. Selain itu, beberapa masalah kemasyarakatan mulai ditangani pemerintah, seperti soal pauperisasi, kesehatan rakyat, kerja rodi, eksploitasi rakyat di tanah-tanah partikelir dan penyebaran agama Kristen. Periode etik juga membuka jalan bagi masuknya paham-paham dan pemikiran baru berkenaan politik dan ekonomi yang menggugah rasa nasionalisme.

Bangsa bumiputera diberi batasan-batasan dalam jabatan atas dasar rasial, di mana unsur-unsur bumiputera berada pada posisi bawah dan kulit putih berada pada posisi penentu. Pembatasan juga berlaku dalam relasi sosial, terutama berkenaan dengan hubungan antar ras. Bangsa bumiputera dilarang memasuki fasilitas-fasilitas umum yang ditujukan bagi kaum penjajah, seperti lapangan olah raga, perkumpulan-perkumpulan, sekolah, tempat umum dan daerah kediaman bangsa Eropa. Ini tampak pada bekas-bekas tata kota kolonial, di mana pemerintah menyediakan satu kawasan yang dikhususkan untuk fasilitas tempat tinggal dan kegiatan bangsa Eropa. Di sisi lain, bangsa rival cenderung mengambil jarak, membangun komunitasnya dengan pandangan dan cara hidupnya sendiri. Kartodirdjo menyebut situasi ini bagaikan masyarakat berkasta yang berlaku menurut jalur keturunan. Semua bentuk pemisahan tersebut dilindungi dengan seperangkat perundangan dan peraturan untuk mencegah keakraban dan kontak sosial antar ras. Kontak antar ras hanya berlaku dalam konteks hubungan majikan dan hamba. Kalaupun ada hubungan formal tersebut hanya berlaku bagi kelas bangsawan tertinggi.

Tidak hanya dalam fasilitasi kehidupan sosial, dalam dunia pekerjaan dan pendidikan bangsa Bumi Putera diberi porsi rendah untuk memperolehnya. Pekerjaan-pekerjaan level atas dipegang pejabat Belanda, dan baru sebagian besar pekerjaan rendahan diberikan pada kelompok Bumi Putera. Pendidikan pada mulanya hanya menjadi hak Bumi Putera secara terbatas. Siswa diseleksi berdasarkan jabatan, asal-usul keturunan, kekayaan dan pendidikan keluarganya. Hanya sedikit anak-anak Bumi Putera yang menikmati pendidikan bergaya Eropa, karena faktor status sosial dan penghasilan menjadi pertimbangan determinan.

Pendidikan lebih banyak ditujukan bagi penyiapan tenagatenaga kerja rendahan pada kantor pemerintah dan swasta, karena pesatnya perkembangan industri Belanda yang membutuhkan tenagatenaga terampil. Pendidikan menjadi langkah pragmatis untuk mencetak tenaga kerja yang bersedia dibayar murah. Semakin banyak kaum Bumi Putara berhasil mengenyam pendidikan Barat dan bersentuhan dengan paham dan informasi luar, di kemudian hari membangkitkan semangat nasionalisme. Terutama dari mereka yang berkesempatan menikmati pendidikan tinggi muncul banyak kaum cendekia lahir dan tampil menjadi juru bicara anti-kolonialisme.