Seperti Apa Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan?

Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan

Sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer menjadi dasar bagi kehidupan di Myanmar pada awal kemerdekaan untuk menunjang pembangunan dan modernisasi yang dicitacitakan.

Seperti Apa Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan?

Sejak resmi merdeka dari penjajahan Inggris pada 4 Januari 1948, banyak harapan yang muncul dari negara baru yang saat itu telah menyebut diri sebagai The Union of Burma ( Union of Myanmar saat ini), seperti pembangunan dan modernisasi di bidang ekonomi, politik, dan sosial (Maung, 1990).

Sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer menjadi dasar bagi kehidupan di Myanmar pada awal kemerdekaan untuk menunjang pembangunan dan modernisasi yang dicitacitakan. Sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer ini diadopsi dari Konstitusi 19472 yang dibuat sebelum kemerdekaan Myanmar dan Aung San adalah penggagas konstitusi tersebut (Steinberg, 2010). Dengan sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer ini Myanmar diperintah oleh seorang Perdana Menteri dan U Nu menjadi Perdana Menteri pertama di Myanmar. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan Perdana Menteri U Nu dihadapkan pada kondisi sosio politik yang rumit (Firnas, 2003). Perdana Menteri U Nu menerapkan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur) untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Namun, akhirnya strategi ini gagal mengatasi persoalan kompleks yang dihadapi Myanmar (Firnas, 2003).

Persoalan kompleks yang dihadapi Myanmar antara lain masalah demokrasi. Meski menganut sistem pemerintahan demokrasi, kondisi politik di Myanmar belum sepenuhnya mencerminkan nilai yang demokratis. Nilai-nilai demokratis seperti persamaan hak di mata hukum, kebebasan bertanggung jawab di segala bidang, adanya pemilihan umum yang adil, adanya perwakilan dari setiap suku atau golongan di dalam pemerintahan serta sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat bukan militer belum terwujud dalam kehidupan negara Myanmar. Situasi yang demikian mengakibatkan terjadinya beberapa pemberontakan atau konflik yang melibatkan suku mayoritas ( Burman ) dan minoritas ( Karen ) pada tahun 1949 (Brown, 1997). Selain itu, muncul beberapa ancaman dari luar negara Myanmar akibat masalah perbatasan wilayah, khususnya konflik perbatasan dengan negara Cina dan masalah tentara Cina Koumintang yang diusir dari Cina yang kemudian masuk dan menduduki salah satu wilayah di Myanmar yaitu Shan (Seekins, 2006).

Meski menganut demokrasi, namun pada kenyataannya sejak masa kemerdekaan 1948 Myanmar sangat dipengaruhi oleh paham sosialis atau komunis (Steinberg, 2010). Hal ini terbukti dengan adanya dua partai besar dan memiliki peran yang cukup besar di Myanmar yaitu The Red Flag Communist Party ( Communist Party of Burma ) dan The White Flag Communist Party ( Burma Communist Party ). Kedua partai ini memiliki basis militer yang kuat yang nantinya memberontak terhadap pemerintah Myanmar (Seekins, 2006). Paham sosialis atau komunis masuk ke Myanmar akibat pengaruh yang datang dari Cina yang memang memiliki kedekatan wilayah dan kemiripan etnis dengan Myanmar seperti yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya.

Pemberontakan militer yang dilakukan oleh dua partai komunis tersebut ditujukan kepada pemerintahan Myanmar (Perdana Menteri U Nu). Militer Myanmar memiliki tempat yang terhormat dalam status sosial masyarakat Myanmar dan anggota militer Myanmar juga merupakan anggota dari dua partai komunis The Red dan The White Flag Communist Party (Steinberg, 2010). Pemberontakan terhadap pemerintahan Perdana Menteri U Nu ini terjadi karena partai yang mengusung U Nu yaitu The Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL) dianggap hanya mementingkan kekuasaan bukan melakukan perbaikan di Myanmar. Menurut militer, hal tersebut dapat mengancam keutuhan negara kesatuan Myanmar. Sebelum pemberontakan terjadi, pemerintah U Nu telah berencana untuk melaksanakan pemilu pada 1958. Kemudian, militer memilih mengambil langkah pemberontakan atau kudeta terhadap pemerintah untuk mencegah terjadinya perang sipil dan pertumpahan darah saat pemilu.

Dengan adanya pemberontakan atau kudeta militer ini, Perdana Menteri U Nu mengambil langkah untuk mundur sementara dari jabatannya pada 1958 dan mengajak militer yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Ne Win untuk mengambil alih pemerintahan yang dipimpinnya. Sejak Oktober 1958, Union of Burma atau Myanmar resmi diperintah oleh militer atau yang lebih dikenal dengan istilah “ Caretaker Government ” (pemerintahan sementara). Jenderal Ne Win memerintah Myanmar dengan menerapkan tiga prinsip utama yaitu memulihkan atau memperbaiki hukum, menghilangkan pemberontakan dibidang ekonomi, dan mempersiapkan negara untuk pemilihan umum (Steinberg, 2010). Selama 18 bulan memerintah, Caretaker Goverment berhasil memimpin Myanmar dengan baik yang ditandai dengan, tidak adanya korupsi, penerapan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat dengan menurunkan harga barang dan makanan, memperkuat hukum negara Myanmar dan membersihkan kota ( Steinberg, 2010).

Pada Februari 1960 diadakan pemilihan umum sesuai dengan prinsip bebas, bersih dan adil. Pemilu ini sebagai pengganti dari pemilu yang sebelumnya tertunda pada 1958 akibat pemberontakan. U Nu mengikuti pemilihan umum kembali bersama partainya AFPFL ( The Anti-Fascist People’s Freedom League ) yang telah berubah nama menjadi Union Party . U Nu memenangkan pemilu dengan mendapat suara dari pendukungnya yang mayoritas beragama Budha. Dukungan masyarakat Budha didapatkan karena U Nu menjanjikan bahwa agama Budha akan dijadikan agama negara (Steinberg, 2010). Pemilihan Umun ini (tahun 1960) akhirnya membawa U Nu kembali memimpin Myanmar. Namun, kembalinya U Nu tidak membawa perubahan berarti, misalnya, tidak mampu mempertahankan kondisi yang cukup stabil seperti yang dicapai selama periode Caretaker Government . Ekonomi Myanmar melemah, pemberontakan atau konflik meningkat dan kekuatan militer meningkat.

Kondisi yang kembali tidak stabil dibawah pemerintahan U Nu periode kedua ini (1960-1962) membuat kekecewaan banyak pihak terutama militer. Militer menganggap U Nu tidak kompeten dalam menjalankan pemerintahan. Di saat banyak pemberontakan, pemerintahan U Nu justru membangun 60.000 pagoda atau candi yang menurutnya merupakan simbol ketenangan dan wujud nyata dari janjinya menjadikan Myanmar sebagai negara beragama Budha tanpa melakukan usaha untuk meredakan pemberontakan. Pada 1961 agama Budha secara resmi menjadi agama negara Myanmar. Namun, peresmian agama Budha ini menurut militer Myanmar dianggap menyinggung perasaan suku Kachin dan Karen yang merupakan suku minoritas di Myanmar yang menganut agama Kristen, walaupun dalam undangundang lain kebebasan beragama tetap diterapkan (Steinberg, 2010).

Anggapan dari militer Myanmar bahwa pemerintahan sipil gagal membawa perubahan dan menjadi ancaman bagi kesatuan Myanmar mendorong militer untuk mengkudeta pemerintah pada 1962. Pada 2 Maret 1962 militer Myanmar dibawah pimpinan Jenderal Ne Win melakukan kudeta. Steinberg (2010) menjelaskan dalam kudeta ini militer menangkap siapapun (baik anggota pemerintahan mulai dari badan eksekutif, legislatif juga yudikatif) yang kritis terhadap kudeta dan yang berusaha menghalangi kudeta tersebut. Bagi militer, kudeta merupakan sebuah tindakan yang dibuat untuk mengabadikan kekuasaan militer (Steinberg, 2010).