Seperti apa perkembangan demokrasi Belanda pada akhir masa kolonialisme?

Sebagaimana bangsa Eropa Barat pada umumnya, selama kurun akhir masa kolonial Belanda telah memasuki perkembangan sistem sosial politik yang demokratis. Demokrasi telah menjadi bagian dari tradisi modern negara-negara Eropa yang diwujudkan dalam tatanan sosial politik, yang di antaranya dengan membentuk lembaga parlementariat untuk membatasi kekuasaan rasa. Kultur feodal yang patriarkhis sebenarnya juga masih sangat lekat dalam tradisi Eropa yang sebagian besar masih mempertahankan sistem kerajaan, namun kejelasan sistem ketatanegaraan menjadikan partiarchalism praktis tidak menghalangi proses pengambilan kebijakan secara demokratis.

Bertahannya kultur feodal bahkan boleh jadi turut menjadi penopang jalannya demokrasi dari segi terjaganya etika politik. Sekalipun kebanyakan rakyat masih belum cukup tinggi tingkat kesadaran politiknya untuk menilai kinerja dan tanggung jawab politik wakil-wakil mereka di parlemen, namun aktor-aktor politik parlemen masih harus menjaga sikap dan perilaku politik di hadapan tradisi kerajaan, karena betapapun berpengaruhnya seorang aktor politik, pada umumnya mereka tidak lebih berpengaruh dibanding raja, bahkan harus menjaga sikap terhadap raja.

Semula demokrasi sendiri merupakan salah satu upaya penyelesaian politik di Eropa yang di antaranya mengandung pretensi penyelamatan bagi posisi kerajaan. Parlemen hanyalah elemen sosial politik yang akan lebih banyak membantu raja dalam mengambil keputusan yang semakin dibatasi pada hal-hal prinsipil. Di sisi lain, suara-suara di parlemen akan lebih mampu menampung aspirasi masyarakat luas, yang pada akhirnya akan memperkaya khazanah pertimbangan dalam penetapan sebuah keputusan. Raja tidak akan kehilangan popularitasnya bilamana kinerja pemerintahan tidak seperti harapan, sebab parlemen sendiri akan menaggung akibat dari setiap keputusan politik dan jalannya pemerintahan.

Penerapan sistem parlementer berarti pula penyelamatan kekuasaan raja atau ratu dari dinamika konflik antar golongan dan kepentingan yang menyertainya. Aktor-aktor politik boleh jadi dapat memainkan permainan demokrasi yang sangat bebas, tetapi tetap berada di bawah kendali raja, karena pada kurun tersebut umumnya pengaruh raja atau ratu masih lebih dominan dibanding parlemen yang diangkat melalui pemilihan umum. Berbeda halnya ketika kekuatan politik sudah mampu membangun kekuatan yang lebih besar, yang memungkinkan terjadinya momentum politik yang revolusioner, sebagaimana Prancis atau Jerman di kemudian hari.

Terhadap daerah jajahan, keberadaan parlemen ini pula di antaranya yang di kemudian hari mendorong perbaikan politik penjajahan. Hanya saja, kesamaan kepentingan dan motivasi nasional menjadikan pertimbangan-pertimbangan parlemen cenderung mengarah pada upaya memperkuat integritas dan komitmen nasional dalam pengelolaan daerah jajahan. Betapapun vokalnya anggota parlemen Belanda, tidak seorangpun di antara mereka yang pernah mengarah kepada upaya mengakhiri penjajahan di tanah bangsa lain. Kalaupun pada akhirnya harus diakhiri, suara parlemen akan melahirkan keputusan yang sekecil mungkin merugikan kepentingan dalam negeri Belanda.

Sebagai bagian dari upaya perbaikan politik penjajahan melalui politik etis, pemerintah Belanda membentuk Dewan Rakyat (Volksraad) Hindia-Belanda tahun 1917. Lembaga ini berdiri sebagai tindak lanjut dari tuntutan desentralisasi dan otonomi pengelolaan daerah jajahan. Kebijakan ini direspon beragam oleh kaum pergerakan di Indonesia, di mana sebagian berusaha masuk di dalamnya, dan sebagian lagi menolak. Sementara di luar lembaga tersebut, di Indonesia tumbuh gerakan-gerakan sosial politik yang semakin pesat, yang mana sebagian organisasi sosial berubah menjadi organisasi politik.

Tidak sebagaimana posisi parlemen di negeri Belanda sendiri, Volksraad pada dasarnya belum layak disebut sebagai lembaga demokrasi. Posisinya dalam pengelolaan negara masih setaraf badan penasehat yang berfungsi menampung masukan-masukan dari masyarakat daerah jajahan. Hal ini dikarenakan di atas lembaga Volksraad masih terdapat kekuasaan gubernur jenderal dan pemerintah Belanda yang lebih menentukan dibanding Volksraad sendiri. Namun demikian, keberadaan Volksraad telah memungkinkan pertimbangan konteks lokal dan aspirasi-aspirasi kaum pribumi diartikulasikan dan didengar pemerintah kolonial.

Komposisi keanggotaan dan aturan institusi politik tersebut juga tidak memadai untuk disebut lembaga demokrasi. Kaum pribumi dilibatkan dalam lembaga ini bersama bangsa Timur Jauh dan wakil pemerintah Belanda dengan perimbangan jumlah anggota yang tidak memperhatikan komposisi konstituen yang diwakili. Apalagi rekrutmen anggota bukan dilakukan melalui pemilihan umum ataupun mengangkat perwakilan lokal yang mengakar di tengah masyarakat. Keberadaan kaum pribumi di lembaga tersebut juga lebih merepresentasikan wakil partai politiknya. Kesediaan memerjuangankan kepentingan kaum pribumi muncul sebagai bentuk kepedulian sosial mereka atas situasi yang dihadapi bangsanya. Volksraad bagi kaum pergerakan merupakan alternatif perjuangan secara kooperatif. Sementara sebagian anggota masyarakat lainnya belum tertarik ikut serta dan masih lebih memilih gerakan bawah tanah atau konfrontasi budaya.

Anggota Volksraad direkrut berdasarkan pertimbangan organisasi, yang keberadaannya juga masih mempersyaratkan pengakuan dari pemerintah. Sebuah komunitas, betapapun besarnya jumlah anggota tidak akan dapat memperoleh kursi di Volksraad bilamana tidak memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah kolonial. Pengangkatan anggota Volksraad juga tidak menimbulkan protes atau keberatan dari masyarakat bawah, karena lembaga itu belum dianggap berarti, bahkan sangat mungkin pada masa itu lebih banyak rakyat negeri ini yang tidak tahu bahwa lembaga itu ada. Suara anggota dewan ini tidak lebih dari sekedar pendapat pengamat atas kepentingan bangsanya sendiri. Masalah-masalah yang diangkat dalam sidang Volksraad juga terfokus pada persoalan partikular, sementara masalah kemerdekaan masih tabu dibicarakan.

Pemerintah kolonial menarik-ulur peran kaum pribumi dalam penentuan kebijakan. Apalagi sejak PKI melakukan gerakan anarkhis pada peristiwa 1926-1927, yang berakibat pembatasan terhadap gerakan-gerakan sosial politik. Pemerintah kolonial juga memperketat peran kaum pergerakan dalam Volksraad. Beberapa anggotanya, terutama dari kalangan PKI, PNI dan PNI Baru, dengan mudah memperoleh tuduhan makar atau minimal penghasutan, yang menyebabkan banyak di antara mereka diadili, bahkan diasingkan ke daerah pembuangan.86

Meski demikian, keberadaan Volksraad membuka jalan bagi pergerakan nasional upaya-upaya politis bagi kemerdekaan. Hal ini tampak dalam tuntutan paling monumental, petisi Soetardjo dan Wiwoho. Soetardjo mengajukan peningkatan status Indonesia sebagai bagian dari pemerintah kolonial yang berpemerintahan sendiri. Konsekwensinya, Volksraad harus lebih demokratis yang mencerminkan akomodasi kekuatan sosial politik lokal. Hanya saja petisi Soetardjo yang sedemikian lunak tidak hanya ditolak pemerintah Belanda, melainkan juga ditentang kaum revolusioner yang mengambisikan kemerdekaan penuh atas seluruh bekas wilayah jajahan Belanda. Mereka mengharapkan kemerdekaan, dan bukan sekedar pemerintahan sendiri. Kemerdekaan menjadi satu-satunya harapan kalangan nasionalis revolusioner, terutama pada mereka yang kelak menjadi pendiri bangsa (the founding fathers).

ekalipun direspon beragam oleh kaum pergerakan, kegagalan petisi Sutarjo mendorong berkembangnya aliansi kekuatan politik yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Selain belajar dari kegagalan petisi Sutarjo, aliansi ini juga terbentuk akibat perkembangan internasional yang tak menguntungkan, berupa kemenangan fasis yang disertai aneksasi Jerman atas Belanda. Rendahnya perhatian pemerintah kolonial terhadap kepentingan bangsa Indonesia juga turut mendorong menguatnya aliansi tersebut. Setelah petisi Sutarjo banyak dikecam oleh kaum pergerakan, tetapi GAPI mengajukan tuntutan yang lebih realistis dengan jargon Indonesia Berparlemen. Tuntutan tersebut didasarkan atas dasar hak menentukan nasib sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi dan sosial; serta persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia, tapi usaha tersebut tidak direspon oleh pemerintah, bahkan hanya ditanggapi dengan kebijakan wajib bela (inheemse militie) negara.88

Sebagai lembaga politik, Volksraad memang lebih merepresentasikan akses politik kalangan elit dan terdidik dibanding rakyat pada umumnya, sedangkan rakyat bawah sendiri masih sangat asing dengan lembaga semacam itu. Di samping masih asing dengan tradisi perwakilan, pandangan masyarakat masih dikuasai oleh visi kepenguasaan bukan perwakilan. Bagi kebanyakan masyarakat di daerah jajahan hanya dipahami adanya pihak penguasa dan yang dikuasai. Kontrak sosial belum berlaku dalam konteks penataan kehidupan sosial politik kolonial masa politik etis. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Volksraad tidak ada keterwakilan rakyat, selain sekedar simbulisasi wakil rakyat dalam badan penasehat pemerintah.