Seperti apa pergerakan mahasiswa pada masa orde lama?

Pengaruh Angkatan 08 dan Angkatan 28 terhadap angkatan berikutnya terus berlanjut hingga berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengaruh Angkatan 08 dan Angkatan 28 terhadap Angkatan 45 adalah kristalisasi nilai-nilai perjuangan kemerdekaan yang menjadi dasar dari perjuangan Angkatan 45. Implementasi nilai-nilai itu dapat dilihat dari peran Angkatan 45 seperti yang tampak dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa Rengasdengklok adalah gerakan kelompok bawah tanah yang dipimpin oleh dua tokoh Angkatan 45 yang sangat terkenal, yaitu Chairul Saleh dan Soekarni. Dengan kristalisasi nilai-nilai perjuangan kemerdekaan yang ada pada dirinya membuat Chairul Saleh, Soekarni dan kawan-kawannya harus menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan.

Setelah Republik Indonesia berdiri, sebagian tokoh-tokoh penting Angkatan 08, Angkatan 28 dan Angkatan 45 bergabung ke dalam kekuasaan. Soekarno dan Hatta, misalnya, masuk ke dalam bagian pemerintahan dengan menjadi pucuk pemerintahan. Sementara yang lainnya lagi, seperti Soekarni dan Chairul Saleh memilih berada di luar lingkaran kekuasaan. Meskipun tidak dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu), Soekarno pada awal-awal periode kekuasaannya memerintah dengan legitimasi yang sangat kuat. PPKI yang mengangkatnya secara aklamasi menjadi Presiden Republik Indenesia pertama dan kemudian diperkuat oleh Ketetapan MPRS menjadi ‘Presiden Seumur Hidup’ seperti tidak pernah ragu bahwa Soekarno dapat mewujudkan semua cita-cita politik yang ada dalam UUD 1945.44

Namun seiring dengan berjalannya waktu, selama periodesasi kekuasaan Soekarno, yaitu masa Orde Lama (1945-1966) berbagai bentuk penyimpangan dilakukan hingga memicu ketidakpuasan berbagai pihak termasuk pihak mahasiswa. Kemunculan gerakan mahasiswa pada tahun 1966 atau yang populer dengan Angkatan 66 adalah sebagai akibat dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang dinilai menyimpang dari cita-cita dasar yang menjadi tujuan dari perjuangan melawan kolonial, yaitu kemerdekaan untuk kemakmuran rakyat. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno, misalnya dengan membubarkan Parlemen dan menetapkan Konstitusi di bawah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Selain itu, Soekarno juga menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 lewat semboyan “Kembali ke UUD’ 45” setelah membubarkan Konstituante yang bertugas untuk menyusun Undang- Undang Dasar baru. Bahkan Soekarno memperkuat kekuasaannya dengan cara memberi posisi penting bagi militer terutama TNI AD dan memadukan tiga unsur paham atau ideologi radikal ke dalam orientasi politiknya, yaitu: Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom).

Kebijakan Soekarno kembali ke UUD 1945 dengan orientasi politik Nasakom merupakan ciri dari periode Demokrasi Terpimpin. Di bawah kontrol sistem Demokrasi Terpimpin, kebebasan dan partisipasi politik, serta kontrol terhadap kekuasaan yang menjadi ciri dari sistem Demokrasi Parlementer benar- benar berhenti bergerak. Perebutan kekuasaan yang menyebabkan kabinet jatuh bangun menjadi dasar Soekarno untuk memilih sistem Demokrasi Terpimpin. Soekarno yang melihat sistem Demokrasi Parlementer atau yang disebutnya sebagai “Demokrasi ala Barat” atau “Demokrasi 50 plus satu” tidak sesuai dengan konteks Indonesia. Soekarno lalu mengintrodusir Demokrasi Barat itu menjadi Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya sangat sesuai dengan kehidupan politik Indonesia. Demokrasi Terpimpin yang berintikan musyawarah-mufakat, kekeluargaan dan gotong royong menurut Soekarno merupakan khas demokrasi Indonesia, karena digali dari warisan nenek moyang.

Namun dalam pelaksanaannya apa yang dikatakan dan diinginkan Soekarno itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Demokrasi Terpimpin justru melahirkan sentralisasi kekuasaan yang sangat besar di tangan Presiden Soekarno. Status dan posisi politik Soekarno sebagai ‘Yang Mulia’, ‘Pemimpin Besar Revolusi’, ‘Panglima Tetinggi Angkatan Bersenjata’, dan ‘Presiden Seumur Hidup’ menjadikan semua kekuasaan berada di tangannya. Pada masa ini partai politik tidak hanya berkurang jumlahnya, tetapi juga tidak fungsional. Terbukti, dari 28 partai politik yang ada dalam sistem Demokrasi Parlementer di era sistem Demokrasi Terpimpin ini hanya tinggal 10 partai politik saja, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), NU, PSII, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo.

Kekuasaan Soekarno terus bertambah setelah memperkenalkan sistem demokrasinya yang bercorak kepemimpinan personal. Hal itu dapat dilihat dari kebijakannya yang sangat berani melawan arus demokrasi. Misalnya, DPR hasil Pemilu tahun 1955 dibubarkannya lalu digantinya dengan DPR-Gotong Royong yang anggotanya diangkat langsung oleh Soekarno. Begitu pula dengan Kabinet, Soekarno juga membubarkannya lalu digantinya dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, MPR, BPK, MA, dan Semua Kepala Staf AD, AL, AU dan Kepolisian juga diangkat sebagai menteri.

Namun Demokrasi Terpimpin yang digagas oleh Soekarno itu ternyata tidak bertahan lama seperti yang diprediksi oleh Moh. Hatta dengan mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin bagaikan rumah kertas yang tidak akan berumur panjang. Terbukti kekuasaan Soekarno berakhir pada tahun 1968 setelah MPRS mencabut ketetapannya tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Sebelum diberhentikan, MPRS juga menolak pertanggungjawaban Soekarno sebagai akibat langsung dari peristiwa tanggal 30 September 1965 —yang populer dengan istilah G.30S/PKI.50

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terutama setelah tahun 1960, terjadi eksplosif pendidikan dengan meningkatnya jumlah mahasiswa, karena murid SLTP dan SLTA di tahun 1950-an kini bertumpuk jumlahnya dan semua ingin menjadi mahasiswa. Jika pada masa sebelumnya istilah “mahasiswa” identik dengan pekerjaan yang baik dan sukses sosial, pada 1960-an sebutan “mahasiswa’ menjadi lebih egalitarian sifatnya. Karena birokrasi pemerintah tak lagi sanggup menyerap semua lulusan ini, maka sarjana-sarjana baru ini beralih diserap ke bidang politik.

Mobilisasi politik dalam Demokrasi Terpimpin menyebabkan aktifnya organisasi-organisasi massa yang bebas atau berafiliasi pada partai politik. Juga terjadi peningkatan besar-besaran jumlah anggota organisasi mahasiswa ekstra- universiter, seperti GMNI, HMI, dan CGMI. Umumnya mereka menjadi underbow partai-partai politik, seperti: GMNI dekat dengan PNI, CGMI dekat dengan PKI, dan HMI dekat dengan Masyumi.

Akibatnya, perseteruan antar partai juga merembet pada perseteruan antar organisasi mahasiswa. Dalam hal ini, menonjol perseteruan antara CGMI yang pro-PKI dengan HMI yang anti-PKI. Ketika terjadi Peristiwa G30S, HMI bekerjasama dengan kekuatan militer Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menjelang runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1966, HMI muncul mempelopori pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang ternyata mendapat simpati rakyat. KAMI didukung kelompok pemuda dan pelajar mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) dalam menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gerakan mahasiswa 1966 dianggap sebagai gerakan yang paling fenomenal dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia pasca kemerdekaan. Gerakan tersebut dianggap mampu mengartikulasikan secara tepat apa yang menjadi kegelisahan dan tuntutan rakyat saat itu. Melalui Tritura Mahasiswa 1966 mendapat dukungan masyarakat luas untuk menggerakkan reformasi yang berujung dengan kejatuhan penguasa.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sangat menyusahkan rakyat. Kepemimpinan Soekarno yang menyisakan korupsi birokrasi menimbulkan kegerahan di kalangan mahasiswa. Kaum muda ini terus protes dan berontak dengan menggelar demonstrasi atas berbagai ketimpangan sosial. Kesenjangan ekonomi semakin tampak, rakyat semakin menderita. Respon represif mulai dilancarkan dan keadaan semakin bertambah panas pasca gugurnya Arief Rahman Hakim (mahasiswa UI) yang dijuluki Pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Aliansi dibangun dengan berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Mereka aktif bergerak dan turun berdemonstrasi mendesak Tritura yaitu: Turunkan Harga, Ritul Kabinet Dwikora dan Bubarkan PKI.

Gerakan mahasiswa 1966 mengangkat isu bahaya laten komunis sebagai bahaya laten negara yang harus segera dimusnahkan dari bumi Indonesia. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, dan Yusuf Wanandi adalah di antara aktivis mahasiswa yang bergerak lantang menentang komunisme. Dimana pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai pengusung paham komunisme, telah cukup hebat merasuki sektor-sektor pemerintahan.

Dukungan masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa yang terbangun di beberapa wilayah nusantara memaksa Presiden Soekarno untuk berpihak pada rakyat. Slogan Nasakom yang dipaksakan Soekarno akhirnya runtuh dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Peristiwa ini menandai berakhirnya kepemimpinan Orde Lama (ORLA) dan memasuki era Orde Baru (ORBA) dibawah kepemimpinan Soeharto.

Saat itu beberapa aktivis ‘66 memilih menanggalkan baju idealismenya untuk mencecap kenikmatan menjadi anggota parlemen, berduyun-duyun masuk Golkar, sebuah entitas yang kemudian dikecam. Orang yang paling keras memprotes perilaku memalukan ini adalah Soe Hok Gie, aktivis ‘66 sekaligus intelektual merdeka yang mati muda. Gie marah dan kecewa menyaksikan teman- temannya sesama demonstran melebur dalam kekuasaan; tidak sabar menjadi penunggu gerbang idealisme yang selama ini digemborkan lewat aksi-aksi demonstrasinya. Gie menuduh mereka pengkhianat karena telah melacurkan diri untuk meneguhkan legitimasi rezim Orde Baru.