Seperti apa pergerakan mahasiswa Angkatan 1998 di akhir masa Orde Baru?

pendudukan gedung dpr

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Di kalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menanggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hidden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya, upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an. Salah satu usaha kalangan mahasiswa yang cukup berhasil ialah Musyawarah Besar (Mubes) pimpinan Senat Mahasiswa se-Jakarta di IKIP Jakarta pada tanggal 23 Maret 1996 dengan mendirikan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se- Jakarta. Organisasi yang juga memiliki hubungan kultural dengan keberadaan Forum Komunikasi Pers Mahasiwa Jakarta (FKPMJ) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) ini, lahir dari perjalanan panjang pertemuan aktivis senat mahasiswa se-Indonesia di era tahun 90-an.

Pada 1990-an lahir suatu deklarasi mahasiswa Indonesia yang redaksionalnya mirip dengan Sumpah Pemuda. Antara lain deklarasi itu berbunyi:

  1. Kami mahasiswa Indonesia menjunjung tinggi kebenaran dan bertekad membebaskan rakyat Indonesia dari ketidakadilan.
  2. Kami mahasiswa Indonesia setia dan rela berkorban pada kepentingan rakyat Indonesia dari ketidakadilan.
  3. Kami mahasiswa Indonesia sementara berjuang dengan landasan solidaritas utuh.

Pada akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an demonstrasi mahasiswa mulai mengeras. Beberapa di antaranya akhirnya memakan korban. Pada bulan Agustus 1989 terjadi penangkapan terhadap aktivis mahasiswa bernama Bambang Beathor Surjadi. Ia dipersalahkan, karena menyebarkan pamflet dan mengorganisasi demonstrasi yang menentang kenaikan tarif listrik. Pada tanggal 14 Desember 1993 Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR dengan isu Soeharto harus bertanggung jawab terhadap penyelewengan HAM. Pemerintah bereaksi keras atas aksi itu. Sebanyak 21 mahasiswa ditangkap dan dihukum 8 bulan hingga 14 bulan, diantaranya Nuku Soelaiman dan Yenny Rosa Damayanti, padahal sebelumnya vonis hanya 6 bulan.

Antara tahun 1994-1998 rezim Orde baru sepertinya mengumpulkan banyak lawan dan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh Soekarno dahulu, dengan rezim Orde Lama. Pembredelan tiga media, Tempo, Editor dan Detik pada pertengahan 1994 membuat Orde Baru mendapat lawan baru dari kaum jurnalis. Mahasiswa memanfaatkan momentum ini untuk melakukan unjuk rasa menuntut pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sejumlah aliansi gerakan pemuda dan mahasiswa terbentuk. Agak aneh juga ketika demonstrasi ini ditandingi oleh Forum Pemuda Pers Pancasila yang mendukung kebijakan pemerintah.

Gerakan mahasiswa dekade 90-an mencapai klimaksnya pada tahun 1998, diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997 harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa Orde Baru, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan yang ditandai tumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 21 Mei 1998.

Berbagai kesatuan aksi di berbagai daerah muncul untuk menentang rezim Soeharto. Di Aceh terbentuk Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Di Medan muncul Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara (AGRESU), Dewan Mahasiswa untuk Demokrasi (DEMUD). Di Bandung lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung (FKMB), Front Indonesia Muda Bandung (FIM B), Front Aksi Mahasiswa Unisba (FAMU), Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Perubahan (GMIP), Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung (KPMB), Front Anti Fasis (FAF), Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB), dan Komite Mahasiswa Unpar (KM Unpar). Di Jakarta lahir Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek (FORKOT), Front Nasional, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO). Di Bogor ada Keluarga Besar Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor (KBM-IPB). Di Yogyakarta ada Solidaritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP), Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA), dan Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY).

Di Solo, Bali, Malang, dan Surabaya juga lahir puluhan kesatuan aksi yang konsisten menentang kebijakan dan keberadaan rezim Soeharto. Gerakan yang menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada 1997-1998 ini, harus berhadapan dengan berbagai tindakan represif yang menewaskan 4 aktivis mahasiswa Trisakti. Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung adalah bukti lainnya upaya represif Soeharto untuk meredam gerakan ini. Setelah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi. Mahasiswa pada saat ini memiliki garis perjuangan dan agenda yang berbeda dengan mahasiswa lainnya.

Gerakan mahasiswa di setiap masa berkaitan dengan peristiwa penting yang menyebabkan mahasiswa terdorong dan terpanggil untuk menunjukkan perannya dalam peristiwa tersebut. Gerakan mahasiswa 1998 muncul untuk menentang keberadaan rezim yang dianggap tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat, korup dan otoriter. Munculnya gerakan mahasiwa 1998 bukan tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang terkait dengan gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya.

Pergerakan Mahasiswa Sebelum 1 Maret 1998


Pada awal periode pertama itu, isu yang ditampilkan sebatas pada kondisi aktual saat itu seperti: kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra, menuntut pemerintah untuk menurunkan harga-harga barang dan menindak penimbun Sembilan bahan pokok (sembako). Contohnya adalah aksi 150 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melakukan mimbar bebas di kampus Baranangsiang pada hari Rabu 3 Desember 1997 dengan poster-poster yang dipajang bertuliskan: Berantas Korupsi dan Kolusi, Tindak Tegas Mega Koruptor di BI, Tindak Tegas Pembakar Hutan, Tindak Tegas Aborsi sampai ke akar-akarnya.

Dari segi kuantitas, frekuensi demonstrasi mencapai 154 demonstrasi. Demonstrasi terbanyak dan terbesar dalam kurun waktu itu terjadi di Yogyakarta- 67 kali demonstrasi. Di Jakarta (termasuk Depok) hanya 19 kali. Isu terbanyak yang diangkat oleh para mahasiswa adalah isu politik nasional sebanyak 48 kali dan isu-isu internal kampus 30 kali. Selain isu yang sebatas pada kondisi aktual di atas, isu politik nasional yang mengemuka pada tahun 1997 adalah penolakan mahasiswa terhadap Pemilihan Umum 1997. Untuk isu keadilan sosial (31 kali) yang menonjol adalah solidaritas untuk korban kelaparan di Irian Jaya, dan untuk isu hak asasi manusia (26 kali) adalah penegakan hak asasi manusia dan anti kekerasan. Aktivitas mahasiswa Yogyakarta tampak menonjol dalam mengangkat isu-isu sensitif yang strategis dan berskala nasional. Tampaknya kota-kota lain sesekali muncul dan kelihatan masih menahan diri akibat trauma 27 Juli 1996.

Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi. Mahasiswa mulai bergerak dengan tuntutan awalnya adalah penurunan harga-harga. Isu ekonomis tersebut berhasil dimajukan oleh gerakan yang lebih politis. Isu kemudian berkembang menjadi penurunan Soeharto, juga pencabutan dwifungsi ABRI. Di berbagai kota kemudian muncul organisasi seperti: KMPPRL di Lampung, KPRP, SOMMASI, ARMY, FAMPERA di Yogyakarta, DRMS di Solo, FAMPR di Purwokerto, APR, ASPR di Surabaya, FKMM di Malang, AGRESU, DEMUD di Medan, FKSMJ, FORKOT di Jakarta.

Memasuki tahun baru 1998, aksi-aksi demonstrasi mulai marak lagi. Tercatat 31 aksi selama Januari di Solo, Jakarta, Bandar Lampung, Bandung, dan Yogyakarta, dengan membawa tiga isu penting: penolakan pencalonan kembali Soeharto (16 kasus), “turunkan harga” (7 kasus), dan “Megawati for President” (3 kasus), cabut paket 5 UU politik dan Dwi Fungsi ABRI” (masing-masing 2 kasus). Pada bulan ini aksi yang dimotori oleh komite mahasiswa hanya ada 7 kelompok.

Selain isu “tolak Soeharto”, kelompok aktivis mahasiswa GAOB (Gerakan Anti Orde Baru) di Lampung dan di Solo masih konsisten menyoal Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU politik selain menuntut turunnya harga-harga. Di Jakarta demonstrasi ratusan mahasiswa IKIP Negeri Jakarta di kampus pada 19 Januari 1998 juga menolak Soeharto. Kelompok kampus lainnya, mahasiswa IPB misalnya, masih sibuk dengan isu lokal di kotanya. Demonstrasi dan pernyataan anti-Soeharto juga diangkat oleh kelompok non-mahasiswa Kelompok Cipayung (minus HMI DIPO), HMI MPO, dan aliansi LSM. Dari kalangan ilmuwan dan Pegawai Negeri Sipil, 19 peneliti LIPI membuat pernyataan politik menolak Soeharto.

Isu anti Soeharto pada awal tahun1998 ini sudah mengemuka namun belum merata secara nasional. Aksi menolak Soeharto belum melibatkan massa yang besar. Aksi di Solo memang mampu mengerahkan massa dua ribuan namun isunya lokal dan lokasinya bukan di Jakarta sehingga tidak mendapatkan liputan secara nasional dan tidak menimbulkan efek politik yang signifikan. Kelompok pelaku Anti-Soeharto pun masih berasal dari kelompok yang memang dikenal secara politis kritis, seperti kelompok LSM, Cipayung (minus HMI DIPO), dan HMI MPO sehingga dianggap “biasa”.

Menjelang bulan Februari 1998, mahasiswa mulai mengaitkan isu mereka dengan Sidang Umum MPR. Beberapa mahasiswa juga melakukan aksi mogok makan seperti 2 (dua) orang mahasiswa Universitas Parahyangan, 6 (enam) mahasiswa di UGM, 7 (tujuh) mahasiswa di Universitas Airlangga pada awal Maret 1998. Salah satu alasan tindakan mogok makan adalah supaya aksi-aksi mahasiswa yang selama ini hanya diberitakan sekilas oleh pers dapat dimuat lebih serius lagi dan juga agar perhatian masyarakat luas semakin meningkat terhadap perkembangan situasi perekonomian yang semakin parah.

Pada bulan Februari 1998, kuantitas aksi demonstrasi mahasiswa memang semakin meningkat. Di luar Jawa, mahasiswa mulai aktif: Palu, Bima, Lahat, Samarinda, dan yang terbanyak Ujung Pandang. Dari 40 aksi di seluruh Indonesia selama Februari, 17 aksi di antaranya terjadi di Ujung Pandang. Sementara itu di kota-kota “tradisional” GAOB mahasiswa seperti di Bandung, Solo, Jakarta, dan Yogyakarta juga semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. “Turunkan Harga” (31 kasus) merupakan isu politik utama selama Februari 1998 dan bukan “Tolak Soeharto” (hanya 6 kasus).

Selama bulan Februari 1998 isu yang banyak diusung dalam aksi-aksi itu adalah Turunkan Harga. Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi- organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak 80-an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, KM, dan Senat-senat Fakultas. Para aktor dari kalangan kampus ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan “moral” dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica.

Pada Rabu 25 Februari 1998 ratusan mahasiswa UI menggelar aksi protes terhadap pemerintah Orde Baru di Kampus UI Salemba. Lebih dari seribu mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI), bersama ratusan anggota ILUNI UI (Ikatan Alumni UI) dan para tokoh eksponen ’66, melakukan aksi unjuk rasa di kampus UI Salemba. Aksi ini ditandai dengan penutupan papan “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orba” yang terpampang di pertigaan jalan Salemba-Diponegoro-Matraman, dengan dua helai kain putih oleh para mahasiswa. Para mahasiswa bahkan menghapus tulisan serupa yang terletak pada papan dekat Masjid Arief Rahman Hakim di bagian tengah kampus, dengan cat semprot warna hitam.

Keesokan harinya tanggal 26 Februari 1998 aksi protes UI terhadap pemerintah Orde Baru meningkat; ribuan mahasiswa dan segenap staf pengajar serta pegawai lingkungan UI yang diinisiasi dan dikoordinir oleh Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI) mengadakan aksi yang lebih besar di Kampus UI Depok. Dimulai dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sekitar 500 mahasiswa berjaket kuning melakukan arak-arakan mengelilingi kompleks kampus UI sambil mengajak mahasiswa dari fakultas-fakultas lain. Aksi civitas akademika UI menunjukkan bahwa UI menolak pemerintahan Orde Baru. Barisan mahasiswa sepanjang hampir satu kilometer itu kemudian menuju pintu gerbang kampus, sambil berteriak “Hidup Demokrasi, Hidup Reformasi”. Tugu selamat datang bertuliskan Universitas Indonesia lalu ditutupi spanduk putih bertuliskan “Kampus Perjuangan Rakyat”. Iring-iringan itu urung keluar kampus, karena pintu gerbang telah diblokir satu batalyon aparat keamanan. Komandan Kodim Depok, yang memimpin barisan petugas keamanan, mengancam bahwa ia mendapat perintah dari Pangdam V Jaya untuk menembak di tempat para pelaku demonstrasi di luar kampus. Aksi yang dimulai sekitar pukul 11.00 berlangsung tertib dan berakhir sekitar jam 14.00.

Isu yang diangkat oleh kebanyakan aktivis Keluarga Mahasiswa (KM), Senat Mahasiswa (SM) atau Keluarga Besar (KB) di dalam kampus lebih merupakan pernyataan keprihatinan atas krisis ekonomi dan politik yang melanda Republik Indonesia sejak awal 1998. Tuntutan dan isu politiknya pun bersifat umum dan mengambang yakni “reformasi ekonomi dan politik”. Selain itu mereka secara bergantian menyebut berbagai tuntutan seperti pemerintahan yang bersih dan berwibawa, turunkan harga sembako, tolak kekerasan militer, audit kekayaan pejabat, KKN, kembalikan kedaulatan rakyat, menolak IMF, dan lain-lain.

Pada tanggal 1-11 Maret 1998 diadakan Sidang Umum (SU) MPR, yang para pesertanya adalah anggota MPR/DPR hasil Pemilu 1997. SU MPR diawali dengan pidato pertanggungjawaban Soeharto. Dalam pidato itu, Soeharto tidak menyinggung-nyinggung soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), isu-isu yang justru sedang disorot tajam oleh masyarakat dan dianggap melibatkan kalangan keluarga Cendana dan kroninya. SU MPR yang diadakan di tengah krisis ekonomi ini berlangsung seolah-olah kondisi normal. Bahkan akhirnya, Soeharto oleh MPR dipilih lagi ketujuhkalinya dengan suara bulat, menjadi Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003, dengan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.

Namun susunan kabinet baru kembali menunjukkan ketidakseriusan Soeharto dalam menangani krisis. Kabinet itu diisi dengan tokoh-tokoh kroni yang makin menimbulkan frustrasi masyarakat, seperti Muhammad “Bob” Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Subiakto Tjakrawerdaya menjadi Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil; R. Hartono menjadi Menteri Dalam Negeri; bahkan putri Soeharto sendiri, Siti Hardiyanti Rukmana, ditunjuk menjadi Menteri Sosial. Inilah kabinet yang paling lemah dan paling tidak profesional di masa Orde Baru. Bau nepotismenya sangat kental. Beberapa figur yang jelas-jelas bermasalah malah dipasang lagi. Sejumlah menteri bahkan bisa dibilang sebagai figur anti reformasi dan seolah-olah tutup mata dan tutup telinga terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Menyinggung tuntutan masyarakat bagi demokratisasi dan reformasi, R. Hartono, dalam serah terima jabatan Menteri Dalam Negeri dari Moh. Yogie SM, pada tanggal 17 Maret 1998, mengatakan: "Saya sendiri tidak tahu. Jika (ada yang menuntut) demokratisasi, apa selama ini tidak demokratis. Reformasi? Apa tidak reformasi? Kalau reformasi dalam arti radikal, itu tidak sesuai dengan budaya kita. Jangan lupa, radikal dengan perubahan yang sesuai dengan tuntutan itu beda. Kita sudah laksanakan reformasi sejak tahun ’45 sejak kita merdeka. ‘Kan bertahap, bertingkat.”

Akibatnya, berbagai demonstrasi mahasiswa muncul dan terus bergelombang di kampus-kampus. Berbagai aspirasi masyarakat yang mendukung reformasi pun makin gencar dan terbuka diungkapkan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), misalnya, dalam pernyataan yang dibacakan Sekjen PB NU Achmad Bagdja yang didampingi Rois Syuriah dan KH Ilyas Ruchiat sesudah rapat pleno PB NU, tanggal 15 April 1998, mengimbau ABRI untuk mendukung reformasi. Dikatakan, perubahan (Reformasi) merupakan sunnah atau hukum Allah yang tidak dapat ditolak. Menolak reformasi atau islah (tuntutan perbaikan) sama artinya dengan menolak sunnah Allah serta mengingkari potensi manusia untuk menyempurnakan diri dan kehidupannya menjadi lebih baik.

Isu suksesi menjelang Sidang Umum MPR tanggal 1-11 Maret 1998, juga menjadi fokus perhatian para mahasiswa. Sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan Senat Mahasiswa UI menjaring 1.040 responden atau sekitar 5% dari seluruh mahasiswa UI menghasilkan, 85,6%, mahasiswa setuju agar secepatnya diadakan alih kepemimpinan nasional (suksesi). Selain itu 25,3% antaranya mendukung Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais sebagai Calon Presiden, sedangkan Try Sutrisno mendapat dukungan 10,14%, Menristek B.J. Habibie 8,01% dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menduduki urutan keempat dengan 6,9%. Aksi terus berlanjut, slogan anti-pemerintah makin lantang dikumandangkan, tapi kepada tentara dan aparat keamanan diserukan untuk bergabung dengan mahasiswa.

Menjelang berakhirnya Sidang Umum MPR, isu yang dimunculkan beberapa kampus seperti di Universitas Airlangga, Surabaya adalah permintaan agar kabinet mendatang bersih, jujur, tulus, tidak sektarian, mengacu kepada kepentingan rakyat, reformasi total, mengatasi pengangguran dan korupsi.Pada saat itu, aksi demonstrasi mahasiswa diwarnai oleh sikap dan teriakan-teriakan yang menolak pidato pertanggungjawaban Soeharto, di ITS sejak tanggal 6 Maret, di Jakarta pada tanggal 9 Maret yang diadakan di kampus masing-masing: Univeritas Indonesia Depok, ISTN, Universitas Atmajaya, UKI, Universitas Gunadarma, Univ. Jayabaya, IISIP, UNAS dan Universitas Islam Jakarta. Alasan penolakannya dikarenakan Presiden Soeharto di dalam pidato pertanggungjawabannya di MPR tidak menyinggung apa yang menjadi penyebab krisis moneter dan bagaimana upaya-upaya konkrit untuk mengatasinya.

Pergerakan Mahasiswa Periode Sidang Umum MPR 12 Maret - 12 Mei 1998


Setelah sempat reda selama hampir satu minggu, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi. Isu-isu yang dimunculkan pada periode ini berkenaan dengan tidak kredibelnya kabinet Pembangunan VII karena dinilai sarat dengan nepotisme dan koncoisme. Penunjukan menteri-menteri yang dikenal sebagai orang-orang yang dekat dengan Siti Hadiyanti Rukmana (Tutut) seperti R. Hartono, Subiyakto Tjakrawerdaya, dan sebagainya menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet ini.

Intensitas demonstrasi pada Maret 1998 semakin meningkat. Jumlah aksi yang tercatat sedikit lebih banyak, yakni 299 aksi. Aksi semakin merata dan meluas ke lebih dari 33 kota dari 17 provinsi. Kota Yogyakarta dan Bandung mencatat rekor tertinggi di Jawa masing-masing 40 aksi, lalu diikuti Jakarta (38 aksi), Semarang (19 aksi) dan Solo (16 aksi). Di luar pulau Jawa Kota Ujung Pandang mencatat rekor tertinggi 39 aksi, lalu Banjarmasin dan Medan masing- masing 12 aksi. Demonstrasi mahasiswa tidak hanya dilakukan oleh kota-kota besar dan menengah di Jawa, tetapi juga kota-kota kecil dan menengah di luar Jawa seperti Pontianak, Kupang, Jambi, Manado, Mataram, Samarinda, Bone dan lain-lain.

Di bulan Maret 1998 ini juga, KM UGM mencatat massa terbesar hingga 15 ribu orang pada 5 Maret dan tanggal 11 Maret 1998. Isu anti Soeharto makin meluas, baik yang secara terang-terangan menolak Soeharto maupun yang menggunakan bahasa lain seperti menuntut pergantian kepemimpinan nasional, tolak Pertanggungjawaban Presiden ataupun menuntut pemimpin baru. Kelompok yang secara eksplisit berani menyatakan tolak Soeharto antara lain Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) Solo, Forum Indonesia Muda Bandung (FIMB), dan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) Yogyakarta.

Berbeda dengan para aktivis mahasiswa di atas, isu yang diangkat oleh para aktivis kampus seperti Keluarga Mahasiswa, Senat Mahasiswa atau Keluarga Besar Kampus lebih merupakan pernyataan keprihatinan atas krisis ekonomi dan politik. Tuntutan dan isu politiknya pun bersifat umum dan mengambang yakni “reformasi ekonomi dan politik”. Selain itu, beberapa tuntutan yang mereka ajukan antara lain menuntut pemerintahan yang bersih dan berwibawa, turunkan harga sembako, tolak kekerasan militer, audit kekayaan pejabat, KKN, kembalikan kedaulatan rakyat, dan menolak IMF.

Dalam bulan April, isu dan tuntutan mahasiswa semakin meningkat. Target politiknya juga jelas yaitu menuntut Soeharto mundur. Gerakan mahasiswa yang dikenal moderat juga mulai ikut ambil bagian dalam aksi-aksi dan menuntut Soeharto mundur. Seperti yang dilakukan oleh KAMMI DIY pada 24 April 1998 yang menuntut Soeharto mundur. Begitu juga yang dilakukan oleh ARMI Yogyakarta pada tanggal 30 April 1998.

KAMMI, misalnya, melakukan “Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia” di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta pada tanggal 10 April 1998 yang dihadiri sekitar 20 ribu massa aksi. Debut pertama ini mencengangkan publik Indonesia yang sedang meningkat tensi gelombang tuntutan reformasinya. KAMMI menuntut pemerintah bertanggung jawab atas multikrisis yang terjadi dan melakukan reformasi total dengan segera. ABRI juga diseru untuk mengambil posisi yang benar, sebagai pengawal perjuangan hati nurani rakyat.

Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus. Keinginan mahasiswa untuk berdemonstrasi di luar kampus tentu memicu bentrokan dengan aparat keamanan. Ini terjadi di banyak kampus yang diawali di Universitas 11 Maret Solo pada tanggal 3 Maret yang mengakibatkan 25 orang mahasiswa luka parah. Salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik sejak tanggal 29 April hingga tanggal 7 Mei 1998. Aksi ini sempat disebut sebagai aksi yang paling beringas yang melibatkan aksi saling melempar batu antara mahasiswa dan aparat keamanan dan sebagainya. Meninggalnya Moses Gatotkaca mahasiswa Universitas Sanata Darma Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998 semakin meningkatkan militansi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Bentrokan dengan aparat sudah menjadi makanan sehari-hari bagi aksi mahasiswa. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa yang ingin melanjutkan rally keluar kampus dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2-3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikuasai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demonstran melempari militer dengan Molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari.

Kualitas isu dan tuntutan kian meningkat. Target politiknya kian jelas, menuntut Soeharto mundur. Berbagai macam cara mahasiswa dilakukan untuk menunjukkan penolakan pada Soeharto. Presidium Mahasiswa Unisba Bandung misalnya menuntut agar UUD 1945 pasal 7 mengenai jabatan Presiden direvisi. Di Ujung Pandang penolakan pada Soeharto ditunjukkan aktivis mahasiswa Universitas 45 dengan tuntutan agar masa jabatan Presiden dibatasi hingga dua periode. KM ITB menuntut sidang istimewa MPR guna menuntut pertanggungjawaban Presiden. Berbagai pernyataan atau tuntutan politik di atas sebenarnya bermuara pada satu tuntutan yakni agar Soeharto mengundurkan diri.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi penolakan mereka. Pertama, Soeharto telah berkuasa lebih dari 30 tahun, maka inilah saat yang tepat bagi terjadinya suksesi politik di Indonesia. Isu suksesi politik ini bahkan dilontarkan para dosen UGM, terutama Dr. Amien Rais. Kedua, selama Orde Baru berkuasa, kesenjangan sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Ketiga, fenomena korupsi, kolusi, nepotisme, dan monopoli belakangan ini terus meningkat. Keempat, Soeharto yang selama 1960-1970-an menjadi pahlawan dan figur yang baik untuk stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, mulai berubah menjadi beban dan faktor negatif untuk stabilitas politik dan pemulihan ekonomi. Karena itu mahasiswa mulai mencoba melontarkan isu-isu suksesi dan reformasi di bidang ekonomi, politik, dan hukum.

Pada tanggal 1 Mei 1998, Soeharto melalui Mendagri R. Hartono bereaksi dengan mengatakan, reformasi hendaknya harus tetap konstruktif dan tidak terjebak dalam pemikiran dan sikap yang akibatnya mengganggu stabilitas. Kalau ada keinginan reformasi di bidang politik, dipersilakan mempersiapkan diri setelah tahun 2003. “Bila reformasi sampai mengganggu stabilitas, terpaksa harus dihadapi demi kepentingan bangsa!”

Sikap serupa diungkapkan melalui Menteri Penerangan M. Alwi Dahlan, bahwa reformasi harus melalui MPR/DPR sebagai jalur konstitusional, tapi kalau ada yang tidak mau mengerti, akan dihadapi dengan suatu tindakan. Tetapi sesudah muncul reaksi keras terhadap pernyataan ini, Soeharto meralat ucapannya dengan mengatakan, tidak benar jika ia disebut tidak menginginkan reformasi sampai tahun 2003. Soeharto bertolak ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri Konferensi Tingkat tinggi G-15 kedelapan, 9 Mei 1998. Ketika Soeharto di luar Indonesia, terjadi insiden penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei. Pada peristiwa di Universitas Trisakti, tanggal 12 Mei itu, telah tewas: Hendriawan Sie (mahasiswa FE angkatan 1996), Hafidhin Royan (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1995), Elang Mulia Lesmana (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1996), dan Hery Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknologi industri, angkatan 1995).

Tragedi Trisakti itu disusul dengan terjadinya kerusuhan massa di Jakarta pada tanggal 13-14 Mei 1998. Karena situasi gawat, Soeharto mempersingkat kunjungannya di Mesir dan kembali ke Jakarta pada tanggal 15 Mei 1998. Pada tanggal 16 Mei, Soeharto menerima para dosen UI, yang dipimpin Rektor UI Asman Boedisantoso Ranakusuma, yang memberi masukan tentang konsep reformasi. Pada kesempatan itu, para dosen menyampaikan aspirasi rakyat, yang meminta Soeharto mundur. Presiden menjawab, semua aspirasi itu disalurkan ke DPR.

Sesudah bertemu dengan delegasi UI, Soeharto bertemu dengan para pimpinan DPR, yakni Ketua DPR/MPR H. Harmoko, Wakil Ketua Syarwan Hamid, dr. Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Achmad, dan Sekjen DPR Afif Ma’roef. Dalam pertemuan itu, Ketua DPR menyampaikan dokumen dari DPR yang menyangkut agenda reformasi DPR dan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPR oleh berbagai kekuatan sosial-kemasyarakatan, mahasiswa, cendekiawan, LSM dan sebagainya. Secara rinci Ketua DPR mengungkapkan desakan rakyat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Kabinet Pembangunan VII segera di- reshuffle dan Presiden agar mengundurkan diri.

Menanggapi hal itu, dengan alasan untuk melindungi rakyat, harta rakyat, aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Pancasila dan UUD ’45, Soeharto menjawab, ia akan melakukan tiga hal. Pertama, untuk mengamankan semua itu ia akan mengambil tindakan tegas dengan menggunakan Tap V/MPR/1998, yang memberi wewenang sangat luas kepada Presiden untuk mengambil tindakan apapun untuk keselamatan negara. Kedua, reformasi jalan terus, DPR diharapkan menggunakan usul inisiatif dan pemerintah mendukung. Ketiga, kabinet akan di- reshuffle .

Ismail Hasan Metareum mempersoalkan dampak yang akan terjadi, khususnya akibat penerapan Tap V/MPR/1998, bilamana dalam pelaksanaan operasionalnya dibentuk badan semacam Kopkamtib, yang di mata masyarakat merupakan lembaga ekstra-konstitusional yang di masa lalu sangat menyeramkan. Selain itu, bagaimana pula reaksi luar negeri. Presiden menjawab, soal nama akan dipertimbangkan agar tak ada kesan Kopkamtib gaya baru, sedangkan reaksi luar negeri tak perlu dihiraukan karena ini semata-mata urusan dalam negeri. Sikap Presiden terhadap tuntutan rakyat dengan demikian sangat jelas.

Pada Senin, tanggal 18 Mei para pimpinan DPR/MPR bertemu. Saat itu gedung MPR/DPR sudah diduduki ribuan mahasiswa, dan DPR dalam posisi terjepit antara tuntutan rakyat dan mahasiswa serta sikap keras Presiden. Dalam pertemuan itu, para pimpinan DPR menyimpulkan DPR harus bertindak, dengan membuat pernyataan yang berpihak kepada aspirasi dan tuntutan rakyat, yang dipelopori mahasiswa. Yakni, agar Soeharto mundur. Sebelum menyusun pernyataan pers, pimpinan Dewan mengundang para pimpinan Fraksi (Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Persatuan Pembangunan). Mereka satu-persatu diberitahu tentang hasil pertemuan dengan Presiden pada hari Sabtu (tanggal 16 Mei), dan tentang kesepakatan pimpinan dewan untuk membuat pernyataan pers.

Berdasarkan hasil pertemuan itu, Ketua DPR/MPR H. Harmoko pada pukul
16.00 WIB, tanggal 18 Mei, membuat manuver politik mengejutkan. Dalam jumpa pers, Harmoko mengatakan, Pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan –demi persatuan dan kesatuan bangsa—Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Namun malam harinya, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menyanggah, dengan mengatakan pernyataan Ketua MPR/DPR itu adalah sikap individual yang tidak memiliki ketetapan hukum, meskipun disampaikan secara kolektif. Pendapat DPR harus diambil seluruh anggota melalui sidang paripurna DPR.

Di tengah desakan mundur yang gencar, Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang disiarkan oleh televisi pada tanggal 19 Mei 1998. Tokoh-tokoh masyarakat yang sengaja diundang ke Istana Merdeka itu adalah: DR. Nurcholish Madjid (cendekiawan), Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (pakar Hukum Tata Negara), Prof. KH Ali Yafie dan Drs. Amidhan (MUI), KH Abdurrahman Wahid, dr. Fahmi Saifuddin, KH Ma’ruf Amin, dan KH Achmad Bagdja (NU), Emha Ainun Nadjib (Budayawan), KH Cholil Baidlowi (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), Prof. Malik Fadjar, M.Sc., Sutrisno Muhdam, dan Soewarsono (Muhammadiyah). Pada kesempatan itu, Soeharto mengatakan, tidak menjadi masalah jika ia harus mundur. Pasalnya, apakah dengan kemundurannya itu akan bisa mengatasi permasalahan. Soeharto mengatakan, ia tak mau dicalonkan kembali pada Pemilu mendatang dan akan membentuk Komite Reformasi secepatnya.

Berdasarkan kesepakatan seluruh Fraksi, DPR-RI pada hari yang sama menyatakan, dapat memahami pengunduran diri Presiden jika dilaksanakan secara konstitusional. Hari itu, makin banyak mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR Senayan. Menjelang akhir periode ini yaitu mendekati insiden Trisakti 12 Mei 1998 mahasiswa melontarkan isu lebih jauh lagi yaitu mengenai pembubaran Kabinet karena dianggap tidak dapat menyelesaikan Krisis Ekonomi serta menuntut dilakukannya Sidang Istimewa MPR. Hal ini dikarenakan pemerintah kelihatannya belum serius untuk menangani krisis yang berkepanjangan ini.

Pada bulan Mei, aksi-aksi mahasiswa semakin bertambah banyak, kampus- kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Menginjak bulan Mei 1998 terhitung dari tanggal 1 Mei hingga tanggal 20 Mei tercatat lebih dari 445 aksi demonstrasi yang merata di seluruh Indonesia. Angka ini masih terbatas pada demonstrasi yang termuat di media massa cetak, tidak termasuk aksi-aksi demonstrasi di kota-kota kecil. Isu politik semakin beragam mulai dari turunkan harga sembako, turunkan tarif listrik dan BBM, hapuskan KKN, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, paket 5 UU politik, hingga turunkan Soeharto.

Pergerakan Mahasiswa Periode 12-21 Mei 1998


Peristiwa Insiden Trisakti tanggal 12 Mei 1998 di mana aparat menembak mati 4 mahasiswa yang sedang berada di halaman kampus, menandai periode ketiga dari gerakan mahasiswa (tanggal 13 Mei-21 Mei 1998). Peristiwa ini membangkitkan kesadaran dari semua tipe mahasiswa. Peristiwa ini diyakini sebagai katalisator gerakan mahasiswa. Isu penting mengkristal ke satu arah yakni pada figur Presiden Soeharto. Tema utama adalah tuntutan agar Soeharto turun dari jabatan Presiden disertai meminta pertanggungjawabannya mengenai bencana yang menimpa bangsa Indonesia dalam Sidang Umum Istimewa MPR, dan pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota MPR, kemudian meminta MPR untuk membentuk pemerintahan transisi.

Suasana kota Jakarta kemudian pada 20 Mei 1998 sangat mencekam. Hampir seluruh kegiatan kantor, sekolah, pertokoan berhenti. Soeharto sendiri terpukul, ketika 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Kabinet Pembangunan VII, dalam pertemuan di kantor Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita memutuskan, untuk tidak duduk lagi dalam kabinet yang direncanakan Soeharto dari hasil pertemuan dengan para tokoh masyarakat, yang akan dinamai Kabinet Reformasi.

Empat belas menteri yang tidak mau lagi bergabung dalam kabinet adalah: Akbar Tandjung (Menperkim), Kuntoro Mangkusubroto (Mentamben), A.M. Hendropriyono (Mentrans PPH), Sanyoto Sastrowardoyo (Meninves/Kepala BKPM), Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri PU), Rahardi Ramelan (Menristek/Kepala BPPT), Sumahadi (Menhut/Perkebunan), Subiakto Tjakrawerdaya (Menkop/PPK), Theo L. Sambuaga (Menaker), Justika S. Baharsjah (Mentan), Giri Suseno Hadihardjono (Menhub), Haryanto Dhanutirto (Menpangan), dan Tanri Abeng (Meneg Pendayagunaan BUMN). Dua menteri di bawah Menko Ekuin yang tidak hadir adalah Bob Hasan (Menperindag) dan Fuad Bawazier (Menkeu). Namun, Bob Hasan bersedia menandatangani surat bersama itu, kecuali Fuad Bawazier. Surat kesepakatan ketidaksediaan duduk dalam kabinet baru itu rencananya akan disampaikan kepada Soeharto.

Dalam surat pernyataan kepada Soeharto yang ditandatangani 14 Menteri tertanggal 20 Mei 1998 itu dinyatakan alasannya, yaitu situasi ekonomi sudah memburuk dari jam ke jam, dari hari ke hari. Diperkirakan, situasi ekonomi tak akan sanggup bertahan dalam seminggu jika tidak segera diambil langkah politik yang cepat dan tepat, sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR-RI dengan pimpinan Fraksi-Fraksi pada Selasa, tanggal 19 Mei 1998. Ke-14 Menteri ini sependapat, pembentukan kabinet baru tidak akan menyelesaikan masalah.

Soeharto akhirnya berhenti dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden baru di Istana Merdeka. Kabinet Reformasi Pembangunan bentukan B.J. Habibie diumumkan pada tanggal 22 Mei 1998. Desakan mahasiswa yang begitu bertubi-tubi inilah yang mengakibatkan Soeharto ditinggalkan oleh pendukungnya sehingga harus mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.