Sila pertama memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa religius yang mengagungkan masalah adikodrati, sekalipun sebagian di antaranya masih mengambil bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme. Tidak dijumpai satupun komunitas bangsa ini yang tidak percaya pada eksistensi Tuhan baik dalam konteks agama formal maupun kepercayaan-kepercayaan tradisional. Nilai ketuhanan dapat dikategorikan sebagai nilai khas yang diapresiasi dari kebudayaan Indonesia, meski tata nilai yang sama juga masih hidup dalam tradisi bangsa-bangsa lain.
Apresiasi terhadap masalah ketuhanan tampaknya menjadi pembeda dari penerapan demokrasi di negeri Barat yang menempatkan sekulerisme sebagai salah satu pilar filosofisnya. Setiap keputusan manusia diambil terlepas dari pertimbangan dogma-dogma keagamaan maupun campur tangan Tuhan ataupun pihak-pihak yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan Tuhan. Sebaliknya, negara juga tidak mencampuri urusan-urusan keagamaan. Mereka menempatkan agama dan kepercayaan sebagai kebutuhan individu lepas dari campur tangan tangan negara.
Bila demokrasi mempersyaratkan sekulerisasi seperti pengalaman Barat, maka akan menghadapi persoalan tersendiri, karena perbedaan pengalaman kesejarahan antara Barat dan Indonesia dan dunia di luar Barat pada umumnya. Sekulerisme dan negara agama Eropa memang tidak dapat disepadankan dengan praktik sosial politik di Indonesia dan dunia Islam, bahkan sebelum terjadinya imperialisme dan kolonialisme Eropa. Sekulerisasi menjadi keharusan sejarah bagi Barat karena represi traumatik dari institusi agama terhadap negara dan masyarakat secara luas. Sekulerisasi dapat dilakukan secara jelas, karena persoalan awalnya bersifat institusional, yakni lepasnya institusi negara dan masyarakat dari kekuasaan institusi gereja. Sementara di dunia Islam, dan umumnya di luar Barat, agama hidup sebagai elemen kultural semata, tidak pernah berperan sebagai negara. Islam sendiri diakui Eatwall, sebagai egama yang unik karena mampu melakukan evolusi historis hingga menjadikannya sebagai agama yang paling mampu menyesuaikan diri dengan krisis modernitas.
Sejak sekulerisasi, agama (Kristen) merupakan satu institusi di atas negara. Ketika negara dan institusi kemanusiaan lainnya membebaskan diri agama, peran pengelolaan agama dapat secara tegas dilakukan oleh institusi-institusi agama yang struktur maupun sistemnya masih kokoh seperti sebelumnya. Sementara di luar Eropa, dalam hal ini Islam, institusi agama yang mapan dan kuat layaknya negara tidak pernah dikenal. Keberadaan agama dalam negara lebih dikarenakan apresiasi penguasa atas suatu agama, atau lebih spesifik lagi, penerapan hukum agama sebagai hukum negara. Sementara hukum Islam sendiri dalam banyak aspek bukanlah norma yang baku melainkan senantiasa berubah.
Dalam praktik, pada dasarnya Barat maupun Indonesia memberikan penghargaan yang sama terhadap keberadaan agama dan kepercayaan. Bedanya, di negeri-negeri Barat agama ditempatkan di luar konstitusi dan institusi negara. Sementara di Indonesia penghargaan terhadap agama dikukuhkan dalam konstitusi dan difasilitasi dengan institusi negara. Hal ini bukan berarti Indonesia berdiri sebagai negara agama sebagaimana Eropa masa dark age, melainkan bahwa nilai-nilai normatif dan moral agama harus dijunjung tinggi dalam perikehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan negara yang menyatakan diri sebagai negara agama (Islam) sekalipun dalam praktiknya tidak pernah mengabaikan peran akal dalam pengambilan keputusan. Hanya saja standar hukum yang digunakan masih memperhatikan nilai-nilai agama, yang berarti dapat dipadankan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kultural yang bersifat lokal.
Islam sebagai agama pada dasarnya hanya subordinasi negara yang tata nilainya diakui secara formal dan penganutnya dilindungi oleh undang-undang. Memasukkan sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai salah satu dasar hukum di Indonesia tidak mengubah struktur apapun dalam masyarakat Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara agama, tetapi juga tidak dengan sendirinya mensekulerkan diri. Negara sudah dengan sendirinya sekuler, meski mungkin saja hukum agama dijadikan pilihan. Dengan demikian, sekulerisasi di Indonesia akan sama halnya dengan memisahkan sesuatu yang sudah dari awalnya tidak pernah menjadi satu ataupun saling membawahi.
Di samping itu, masyarakat maupun pemerintahan di luar Eropa tidak memiliki cukup alasan untuk memisahkan agama dan negara, karena tidak pernah mengalami penderitaan akibat represi institusi agama, sebagaimana Eropa era Dark Age. Mereka tidak harus keluar dari sesuatu yang tidak pernah dimasuki, kekuasaan agama. Sekalipun tanpa sekulerisasi, hubungan negara dan agama sudah berada pada relasi harmonis dan relatif tanpa momentum yang mengharuskan peninjauan kembali hubungan agama dan negara, sebagaimana urgensi awal sekulerisme di Eropa. Upaya-upaya sekulerisasi justeru merusak harmoni dan menimbulkan skisma antara mereka yang condong pada agama dan tidak.
Meski terdengar klise, tapi pernyataan pemerintah Orde Baru bahwa Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler bukanlah statement yang mengada-ada. Indonesia dengan Pancasilanya pada dasarnya lebih dekat pada model negara sekuler dari pada agama. Sekalipun mengidealkan negara republik yang di Barat berarti menerapkan sistem demokrasi, tapi di Indonesia persoalan ketuhanan merupakan realitas yang harus disikapi secara berbeda. Sekulerisasi ala Barat yang dipaksakan dalam sturktur sosial masyarakat Islam justeru hanya akan mengentalkan identitas keagamaan, sebab Islam dan agama-agama lain yang berkembang di luar Eropa seolah harus ikut serta menanggung “dosa” sejarah agama Nasrani.