Seperti apa penjelasan masing-masing sila dalam Pancasila?

Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai umum yang dianut para pendiri dan mayoritas masyarakat republik ini. Pancasila memuat nilai-nilai yang secara keseluruhan merupakan nilai-nilai umum yang disepakati dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai ideologi terbuka sebagian ataupun secara keseluruhan memperlihatkan adanya dimensi universalitas. Substansi Pancasila sebagian mengekspresikan nilai-nilai khas keindonesiaan yang sarat dengan religiusitas; sebagian lagi merupakan nilai-nilai kemanusiaan Indonesia yang berdimensi universal dan dianut oleh bangsa manapun di dunia; dan sebagian lagi sebagai hasil apresiasi terhadap perkembangan modern.

Seperti apa penjelasan masing-masing sila?

Sila pertama memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa religius yang mengagungkan masalah adikodrati, sekalipun sebagian di antaranya masih mengambil bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme. Tidak dijumpai satupun komunitas bangsa ini yang tidak percaya pada eksistensi Tuhan baik dalam konteks agama formal maupun kepercayaan-kepercayaan tradisional. Nilai ketuhanan dapat dikategorikan sebagai nilai khas yang diapresiasi dari kebudayaan Indonesia, meski tata nilai yang sama juga masih hidup dalam tradisi bangsa-bangsa lain.

Apresiasi terhadap masalah ketuhanan tampaknya menjadi pembeda dari penerapan demokrasi di negeri Barat yang menempatkan sekulerisme sebagai salah satu pilar filosofisnya. Setiap keputusan manusia diambil terlepas dari pertimbangan dogma-dogma keagamaan maupun campur tangan Tuhan ataupun pihak-pihak yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan Tuhan. Sebaliknya, negara juga tidak mencampuri urusan-urusan keagamaan. Mereka menempatkan agama dan kepercayaan sebagai kebutuhan individu lepas dari campur tangan tangan negara.

Bila demokrasi mempersyaratkan sekulerisasi seperti pengalaman Barat, maka akan menghadapi persoalan tersendiri, karena perbedaan pengalaman kesejarahan antara Barat dan Indonesia dan dunia di luar Barat pada umumnya. Sekulerisme dan negara agama Eropa memang tidak dapat disepadankan dengan praktik sosial politik di Indonesia dan dunia Islam, bahkan sebelum terjadinya imperialisme dan kolonialisme Eropa. Sekulerisasi menjadi keharusan sejarah bagi Barat karena represi traumatik dari institusi agama terhadap negara dan masyarakat secara luas. Sekulerisasi dapat dilakukan secara jelas, karena persoalan awalnya bersifat institusional, yakni lepasnya institusi negara dan masyarakat dari kekuasaan institusi gereja. Sementara di dunia Islam, dan umumnya di luar Barat, agama hidup sebagai elemen kultural semata, tidak pernah berperan sebagai negara. Islam sendiri diakui Eatwall, sebagai egama yang unik karena mampu melakukan evolusi historis hingga menjadikannya sebagai agama yang paling mampu menyesuaikan diri dengan krisis modernitas.

Sejak sekulerisasi, agama (Kristen) merupakan satu institusi di atas negara. Ketika negara dan institusi kemanusiaan lainnya membebaskan diri agama, peran pengelolaan agama dapat secara tegas dilakukan oleh institusi-institusi agama yang struktur maupun sistemnya masih kokoh seperti sebelumnya. Sementara di luar Eropa, dalam hal ini Islam, institusi agama yang mapan dan kuat layaknya negara tidak pernah dikenal. Keberadaan agama dalam negara lebih dikarenakan apresiasi penguasa atas suatu agama, atau lebih spesifik lagi, penerapan hukum agama sebagai hukum negara. Sementara hukum Islam sendiri dalam banyak aspek bukanlah norma yang baku melainkan senantiasa berubah.

Dalam praktik, pada dasarnya Barat maupun Indonesia memberikan penghargaan yang sama terhadap keberadaan agama dan kepercayaan. Bedanya, di negeri-negeri Barat agama ditempatkan di luar konstitusi dan institusi negara. Sementara di Indonesia penghargaan terhadap agama dikukuhkan dalam konstitusi dan difasilitasi dengan institusi negara. Hal ini bukan berarti Indonesia berdiri sebagai negara agama sebagaimana Eropa masa dark age, melainkan bahwa nilai-nilai normatif dan moral agama harus dijunjung tinggi dalam perikehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan negara yang menyatakan diri sebagai negara agama (Islam) sekalipun dalam praktiknya tidak pernah mengabaikan peran akal dalam pengambilan keputusan. Hanya saja standar hukum yang digunakan masih memperhatikan nilai-nilai agama, yang berarti dapat dipadankan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kultural yang bersifat lokal.

Islam sebagai agama pada dasarnya hanya subordinasi negara yang tata nilainya diakui secara formal dan penganutnya dilindungi oleh undang-undang. Memasukkan sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai salah satu dasar hukum di Indonesia tidak mengubah struktur apapun dalam masyarakat Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara agama, tetapi juga tidak dengan sendirinya mensekulerkan diri. Negara sudah dengan sendirinya sekuler, meski mungkin saja hukum agama dijadikan pilihan. Dengan demikian, sekulerisasi di Indonesia akan sama halnya dengan memisahkan sesuatu yang sudah dari awalnya tidak pernah menjadi satu ataupun saling membawahi.

Di samping itu, masyarakat maupun pemerintahan di luar Eropa tidak memiliki cukup alasan untuk memisahkan agama dan negara, karena tidak pernah mengalami penderitaan akibat represi institusi agama, sebagaimana Eropa era Dark Age. Mereka tidak harus keluar dari sesuatu yang tidak pernah dimasuki, kekuasaan agama. Sekalipun tanpa sekulerisasi, hubungan negara dan agama sudah berada pada relasi harmonis dan relatif tanpa momentum yang mengharuskan peninjauan kembali hubungan agama dan negara, sebagaimana urgensi awal sekulerisme di Eropa. Upaya-upaya sekulerisasi justeru merusak harmoni dan menimbulkan skisma antara mereka yang condong pada agama dan tidak.

Meski terdengar klise, tapi pernyataan pemerintah Orde Baru bahwa Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler bukanlah statement yang mengada-ada. Indonesia dengan Pancasilanya pada dasarnya lebih dekat pada model negara sekuler dari pada agama. Sekalipun mengidealkan negara republik yang di Barat berarti menerapkan sistem demokrasi, tapi di Indonesia persoalan ketuhanan merupakan realitas yang harus disikapi secara berbeda. Sekulerisasi ala Barat yang dipaksakan dalam sturktur sosial masyarakat Islam justeru hanya akan mengentalkan identitas keagamaan, sebab Islam dan agama-agama lain yang berkembang di luar Eropa seolah harus ikut serta menanggung “dosa” sejarah agama Nasrani.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengandung nilai universal yang ada pada setiap bangsa. Bangsa Indonesia dibangun sebagai komunitas yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Sila ini sekaligus mempertegas bahwa dimensi kemanusiaan merupakan pertimbangan menonjol dalam perikehidupan bangsa ini.

Para pendiri republik tidak mengimpikan tatanan yang diskriminatif ataupun berpretensi memberikan privillage, meski sejak dirumuskannya Pancasila dan UUD 1945, umat Islam merupakan penduduk mayoritas Indonesia. Nilai ini kiranya sepadan dengan egalitarianisme yang mendasari tegaknya demokrasi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai keadilan dengan sendirinya menjadi jaminan kesamaan dan keadilan bagi semua yang didasarkan atas tata nilai moral dan etika manusia beradab. Dengan sila ini setiap warga negara juga diberikan jaminan akan kesetaraan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menunjukkan orientasi integritas kebangsaan yang tidak memprioritaskan masa depan negeri ini bagi sekelompok orang atau golongan. Sila ini mengekspresikan satu bentuk kesadaran nasionalisme sebagai sebuah negara nasional, bangsa Indonesia, dengan pluralitas suku, bangsa, ras maupun agama yang mendiami teritorial dari dari Sabang sampai Merauke. Dapat dikatakan bahwa sila ini merupakan ekspresi geografis dan demografis baru sebagai satu bangsa yang tercakup dalam teritorial yang luas dan realitas penduduk yang plural.

Prinsip demokrasi dalam sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” juga merupakan ekspresi khas masyarakat Indonesia dipadukan dengan nilai-nilai modern. Pada dasarnya masyarakat negeri ini, khususnya di pedesaan, sudah terbiasa dengan praktikpraktik musyawarah untuk menemukan mufakat. Tata cara yang merupakan rembesan modernitas Barat terletak pada digunakannya sistem perwakilan, yang di dalamnya mengandung konsekwensi akan keharusan diterapkannya mekanisme pemilihan umum ataupun

Sila kelima mengekspresikan tujuan penyelenggaraan negara merdeka, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan merupakan prinsip mendasar yang menjadi jalan sekaligus tujuan penerapan demokrasi. Keadilan sosial mengandung pengertian bahwa kesejahteraan merupakan hak setiap orang Indonesia tanpa terkecuali. Negara berkwajiban memfasilitasi rakyatnya untuk meningkatkan kesejahteraan secara merata. Digunakannya ungkapan bagi seluruh rakyat Indonesia juga mengandung pengertian tidak adanya pengecualian ataupun privillage khusus pada kelompok-kelompok tertentu dalam menikmati kekayaan maupun kesempatan yang dapat diraih di muka bumi nusantara

Dalam Pancasila pada dasarnya tidak ada hal-hal yang secara signifikan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan istilah demokrasi dalam Pancasila, tapi prinsip-prinsip di dalamnya menunjukkan bahwa dari awal para pendiri republik memang bepretensi kuat membangun suatu negara dan pemerintahan yang tidak memberi tempat bagi diskriminasi ataupun privillage yang bertentangan dengan keadilan dan demokrasi. Sekalipun tidak seluruh umat Islam menyetujuinya Pancasila bahkan sering dipandang sebagian kaum Islamis sejalan dengan nilai Islam,

Nilai-nilai keindonesiaan yang disarikan para founding fathers menjadi dasar negara dari segi prinsip-prinsip umumnya memperlihatkan kompatabilitas, atau lebih tepatnya, tidak mengandung pertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Hasrat yang terlalu besar terhadap kemerdekaan memungkinkan visi dan kepentingan-kepentingan kelompok terabaikan dalam sidang badan yang menentukan masa depan Indonesia tersebut. Perubahan dari Piagam Jakarta ke UUD 1945 juga tidak secara signifikan menunjukkan perubahan konsep demokrasi. Visi para pendiri republik masih sejalan dengan tata nilai yang dianut dan diidealkan oleh mayoritas masyarakat negeri ini. Meski telah menerima pahampaham modern Barat, tampaknya nilai-nilai keindonesiaan masih lebih dominan dalam alam pikiran mereka. Pancasila yang dirumuskan mencerminkan nilai-nilai asasi yang mewakili tata nilai nusantara pada umumnya.

Itu sebabnya sidang-sidang BPUPKI maupun PPKI yang berlangsung relatif tanpa perdebatan berarti dalam membahas masalah-masalah substansial. Persoalan yang muncul kemudian terletak pada sila pertama Pancasila sebagaimana termaktub dalam Piagam Jakarta, pada kalimat yang menyatakan dan kwajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. A.A. Maramis, penganut Kristen yang merupakan seorang anggota tim perancangnya semula juga tidak memandang hal tersebut sebagai masalah krusial dan harus dihindari. Keberatan-keberatan yang muncul kemudian saja yang menyebabkan klausul yang secara spesifik mengarah pada kepentingan umat Islam tersebut harus dihilangkan.

Perubahan itupun ersebut tidak secara signifikan merubah substansi nilai Pancasila selain pada makna politisnya bagi umat Islam. Sedangkan dari sisi demokrasi justeru menjadi penegasan tidak adanya hak istimewa satu golongan untuk diakomodir secara istimewa dalam konstitusi. Lebih dari itu, rancangan dasar negara tersebut memperlihatkan bahwa para founding fathers mampu menunjukkan obyektifitas dalam menetapkan nilai-nilai ideal bagi masa depan Indonesia, meski nilai-nilai yang masih sangat umum tersebut rupanya masih terbuka pada berbagai penafsiran. Visi, konsistensi dan atmosfir sosial politik yang melingkupi akan menentukan sejauh mana para pengelola negara mampu mengimplementasikan demokrasi secara sehat berdasarkan Pancasila