Seperti apa kronologi tsunami Krakatau tahun 1883?

Tsunami adalah suatu rangkaian gelombang air pasang, terutama air laut, yang bergerak secara cepat ke daratan. Gempa bumi, gerakan tanah di atas maupun di bawah air, erupsi gunung api, jatuhnya meteor, dan ledakan bom nuklir di bawah laut dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Berdasarkan jumlah air dan energi yang dihasilkan, tsunami dapat mengakibatkan kehancuran yang cukup berarti.

Contoh-contoh dari gempa bumi yang sangat kuat dan menghasilkan tsunami adalah the “Great Chilean earthquake” (May 22, 1960; 9.5 Mw), the March 27, 1964 “Good Friday earthquake” Alaska 1964 (9.2 Mw), dan the "Great Sumatra (Aceh)-Andaman earthquake" (December 26, 2004; 9.2 Mw). Gempa bumi yang lebih kecil juga dapat menyebabkan tsunami yang merusak wilayah pantai dalam waktu kurang dari 15 menit, seperti kejadian tsunami di Kepulauan Mentawai (gempa bumi dengan skala 7,7 Mw) dalam akhir bulan Oktober 2010.

Sementara itu, pada tahun 1950 mulai berkembang sebuah hipotesa bahwa tsunami yang lebih besar dapat ditimbulkan dari aktivitas longsor, letusan gunung api seperti di Santorini atau Krakatau, dan kejadian benturan/letusan sebuah benda terhadap/di dalam laut. Fenomena ini terjadi akibat adanya transfer energi dan volume dari benda yang masuk atau jatuh terhadap air laut yang dipindahkan dengan kecepatan tinggi. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai “mega- tsunami”. Mega-tsunami dapat menimbulkan gelombang yang sangat besar, seperti kejadian longsoran di Lituya Bay pada tahun 1958 yang menghasilkan tsunami hingga 528 meter di atas permukaan laut.

Salah satu tsunami terbesar dalam sejarah yang terjadi di Indonesia adalah tsunami Krakatau pada tahun 1883. Bagaimanakah kronologi bencana alam tersebut?

Tsunami merupakan jenis bencana geologi yang sering terjadi di Indonesia, bahkan pada tahun 2004 tsunami di Aceh menimbulkan korban jiwa yang mencapai +300.000 orang. Jauh sebelumnya, +36.000 orang meninggal dalam peristiwa tsunami besar di Selat Sunda akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Tsunami yang diakibatkan oleh peristiwa letusan gunung api seperti ini tidak sering terjadi, namun dampaknya bias jadi akan lebih dahsyat daripada tsunami yang dipicu oleh gempa bumi.

Selama ini sudah banyak penelitian yang dilakukan di sekitar area bekas meletusnya Gunung Krakatau, tetapi masih sedikit yang meneliti kronologi kejadian tsunami tersebut di beberapa daerah yang jauh dari lokasi letusan. Intensitas daripada tsunami juga dipengaruhi oleh bentuk lahan (bentang alam), seperti kejadian di Banda Aceh dimana tsunami yang dihasilkan dari proses gempa bumi dapat mencapai daerah dengan ketinggian 50 meter di atas permukaan laut hingga area sejauh 3– 4 km ke arah pedalaman.

Hal ini disebabkan oleh bentang alam wilayah pantai Banda Aceh yang merupakan sebuah dataran rendah deltaik dengan pedataran pasang- surut di bagian barat dan tengah, serta pantai yang agak curam di bagian timurnya. Oleh karenanya energi tsunami terkonsentrasi di bagian barat dan tengah, sedangkan di bagian timur terhalang oleh tebing-tebing yang membentang di sepanjang pantai. Kondisi yang serupa terjadi di daerah Ujung Kulon ketika terjadi tsunami Krakatau pada tahun 1883, dimana tsunami akan terkonsentrasi di tengah Teluk Selamat Datang (Welcome Bay) yang dibatasi oleh pantai yang curam di bagian timur dan dataran pantai yang rendah di bagian baratnya. Yang cukup menarik adalah di bagian ujung tengah dari teluk ini adalah berupa tanah genting (isthmus ) yang menghubungkan Semenanjung Ujung Kulon dengan Pulau Jawa, yang tentunya gelombang tsunami akan dengan mudah membanjiri wilayah ini hingga area di sekitar Samudera Hindia.

Oleh karena itu, sangatlah menarik untuk mengetahui kejadian tsunami akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 di wilayah tanah genting Semenanjung Ujung Kulon bedasarkan kajian endapan yang ditinggalkannya (endapan paleotsunami). Endapan tsunami tersebut merupakan kombinasi dari material-material gunung api yang dimuntahkan dalam jumlah yang sangat besar ke dalam laut dan material-material asli dasar laut yang digerus oleh kekuatan gelombang tsunami dalam perjalanannya menuju daratan.

Tsunami Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 telah menyebabkan kerusakan di berbagai tempat, terutama di sepanjang pesisir pantai di Selat Sunda. Energi tsunami yang sangat besar menyebabkan beberapa wilayah pedataran tergenangi oleh air laut hingga jauh ke pedalaman. Bahkan Semenanjung Ujung Kulon seakan terpisah dari Pulau Jawa akibat seluruh bagian tanah genting Laban tertutup oleh air laut. Yang menarik adalah bukti-bukti yang cukup kuat yang ditunjukkan oleh endapan tsunami di wilayah Laban yang menunjukkan adanya dua arah gelombang tsunami yang saling berlawanan.

Berdasarkan hasil analisis AMS, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua arah aliran run-up secara umum, yaitu (i) arah aliran menuju selatan Laban, dari Selat Sunda menyebar antara N122°E dan N236°E dan (ii) arah aliran yang berlawanan dari Samudera Hindia menuju bagian utara Laban, dengan arah antara N318°E dan N58°E

image

Kondisi tanah genting Laban yang sempit dan datar inilah, serta posisinya di tengah Teluk Selamat Datang dan di antara Selat Sunda dan Samudera Hindia, yang menyebabkan terbentuknya endapan tsunami yang sangat luar biasa dengan variasi yang cukup menakjubkan. Data-data yang diperoleh dari kajian endapan tsunami di wilayah ini dapat menjadi acuan yang cukup baik untuk merekonstruksi kejadian tsunami di wilayah Semenanjung Ujung Kulon.

Laporan dari The Krakatoa Committee of The Royal Society yang diterbitkan pada tahun 1888 (Symons et al., 1888) dapat dijadikan rujukan untuk penentuan kronologi kejadian tsunami Krakatau pada tahun 1883. Walaupun dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa gelombang tekanan udara hanya dapat dikaitkan dengan gelombang tsunami tertentu saja, namun data rekaman tersebut dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Semenanjung Ujung Kulon yang memiliki endapan tsunami lebih dari 4 paket dihasilkan oleh gelombang tsunami lebih dari satu kali kejadian.

Satu kali kejadian tsunami yang melanda tanah genting Laban, Ujung Kulon, terdiri atas dua kali penetrasi gelombang tsunami dengan arah yang berlawanan, yaitu penetrasi langsung sesaat setelah letusan Gunung Krakatau dari arah Selat Sunda dan penetrasi berikutnya dari arah Samudera Hindia dalam selang waktu beberapa menit kemudian. Gelombang tsunami dari arah Samudera Hindia ini masih merupakan gelombang tsunami yang sama dengan gelombang dari arah Selat Sunda, yang terbelokkan (refraksi) mengikuti bentuk Semenanjung Ujung Kulon di sekitar Pulau Panaitan dan Pulau Peucang. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang mencoba untuk mensimulasikan propagasi tsunami selama berlangsungnya erupsi Gunung Krakatau pada tahun 1883 (Maeno and Imamura, 2011; Nomanbhoy and Satake, 1995; Yokoyama, 1987),

Gelombang tsunami pertama yang terekam di Ujung Kulon berhubungan dengan gelombang tsunami pada dini hari di tanggal 27 Agustus 1883, yang sangat besar kemungkinannya ditimbulkan oleh meletusnya Gunung Perbuwatan pada pukul 05.30 WIB (Bryant, 2008; Latter, 1981; Self and Rampino, 1981). Gelombang ini juga yang telah merusak Anyer pada pukul 06.00 (Symons et al., 1888; Verbeek, 1885, 1884). Dengan mengasumsikan bahwa gelombang tsunami tiba di Anyer 30 menit setelah letusan dan tiba di Teluk Betung, Lampung, pada pukul 06.30 (Verbeek, 1884, 1885; Latter, 1981; Nomanbhoy and Satake, 1995; Maeno and Imamura, 2011; Yokoyama, I., 1987; Paris et al., 2014b), maka gelombang pertama tersebut diperkirakan tiba di Ujung Kulon di antara pukul 06.00 - 06.30 dan gelombang yang terputarkan serta melanda wilayah yang sama dari arah Samudera Hindia sekitar 5 - 10 menit kemudian (gambar a dan b).

Gelombang tsunami yang kedua dapat diasosiasikan dengan gelombang tsunami yang terekam di wilayah Merak, Anyer, Caringin, dan Teluk Betung sekitar pukul 06.30 - 09.00 (Latter, 1981; Paris et al., 2014b; Symons et al., 1888; Verbeek, 1885). Gelombang ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh letusan Gunung Danan pada pukul 06.44 (Bryant, 2008; Self and Rampino, 1981; Symons et al., 1888).

Jika gelombang tsunami mencapai Anyer pukul 07.30 dan Teluk Betung pukul 07.45 (Symons et al., 1888), maka gelombang ini diperkirakan tiba di Ujung Kulon sekitar pukul 07.30 - 07.45 dan gelombang yang datang dari Samudera Hindia pada pukul 07.45 (gambar c dan d).

Letusan terdahsyat Krakatau yang terjadi pada pukul 10.02 dipercaya sebagai pemicu timbulnya mega-tsunami yang dapat mencapai ketinggian 42 m di atas permukaan laut, yang tercatat di kota Merak.

Gelombang ini diperkirakan tiba di Ujung Kulon sekitar pukul 10.30 - 11.00 dan dari Samudera Hindia 5 - 10 menit kemudian (Latter, 1981; Maeno and Imamura, 2011; Nomanbhoy and Satake, 1995; Paris et al., 2014b; Symons et al., 1888; Verbeek, 1885; Yokoyama, I., 1987), lihat gambar e dan f. Ketebalan endapan tsunami yang mencapai 85 cm, yang ditemukan sebagai paket lapisan ketiga di tanah genting Laban, membuktikan peristiwa mega-tsunami ini. Gelombang tsunami terakhir yang melanda wilayah Ujung Kulon adalah gelombang tsunami yang tiba sekitar pukul 11.20 WIB. Gelombang tsunami ini diperkirakan terkait dengan letusan terakhir Krakatau pada pukul 10.52 dan terekam dalam data gelombang tekanan udara pada pukul 11.00 di Batavia pressure gauge (Symons et al., 1888; Verbeek, 1885), lihat Gambar g dan h.