Seperti Apa Keadaan Ilmu Sosial Sebelum Auguste Comte?

image
Pada abad ke-19, seorang ahli filsafat dari Prancis bernama Auguste Comte , telah menulis beberapa buku yang berisikan pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Dia berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urut-urutan tertentu berdasarkan logika , dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu untuk kemudian mencapai tahap terakhir, yaitu tahap ilmiah.

Pada saat itu dia menamakan ilmu sosial yang menggunakan pendekatan di atas disebut sebagai “Sosiologi” (pada 1839). Kata sosiologi berasal dari bahasa Latin socius yang berarti ‘kawan’ dan dari kata Yunani logos yang berarti ‘kata’ atau ‘berbicara’. Dalam hal ini, sosiologi dapat diartikan sebagai ‘berbicara tentang masyarakat’.

Seperti apa keadaan ilmu sosial sebelum Auguste Comte?

Sebelum sosiologi muncul sejak digagas oleh Comte, ilmuilmuwan sosial dan pemikir-pemikir masyarakat yang muncul sejak zaman pencerahan antara lain: Thomas More dengan “Utopia”-nya; Campanella yang menulis karya City of the Sun. Keduanya sangat terpengaruh dengan gagasan-gagasan ideal tentang masyarakat atau bisa dikatakan sangat platonis.

Ilmuwan sosial yang berbeda dengan keduanya karena sangat realis dalam memandang manusia dan masyarakat adalah Nichollo Machiavelli . Dia memang pemikir sosial politik pertama yang mendiskusikan fenomena sosial tanpa merujuk pada sumbersumber etis ataupun hukum. Dengan demikian, hal itu merupakan pendekatan dalam ilmu sosial yang untuk pertama kalinya dalam sejarah ilmu dan teori sosial-politik bersifat murni scientific (ilmiah) terhadap gejala kekuasaan. Agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik, baginya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.

Dapat dikatakan bahwa pengaruh pemikiran Machiavelli dipengaruhi oleh perkembangan politik yang dilihatnya. Percaturan politik yang panas dan ganas terjadi di Itali, konfl ik, dan bahkan perang juga sering terjadi. Berbagai pemerintahan despotik, kekerasan, pengkhianatan, hingga konspirasi dan pembunuhan demi kekuasaan merupakan kenyataan yang terjadi. Moralitas politik berada dalam titik paling rendah, persaingan untuk merebut kekuasaan menghalalkan segala cara. Para politisi tampaknya kian terlatih untuk menggunakan tipu daya untuk menjatuhkan satu-sama lain. Dalam dunia yang chaos itulah pertanyaan tentang legitimasi kekuasaan politik seakan tak muncul bagi Machiavelli.

Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Discourse on the First Decade of Titus Livius) atau “Diskursus tentang Livio” dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu. Il Principe menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Isu utama dalam buku ini adalah bahwa semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Seburuk-buruknya tindakan pengkhianatan adalah penguasa yang dijustifi kasi oleh kejahatan dari yang diperintah.

Ilmuwan sosial lainnya adalah Thomas Hobbes (1588— 1679) yang terkenal dengan karyanya The Leviathan (1651). Hobbes hidup di era kebangkitan pemikiran rasional Eropa. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Descartes sehingga Hobbes menggunakan pendekatan empiris sebagai cara paling tepat untuk menemukan efek-efek dari sebab-sebab yang diketahui, atau sebab-sebab dari efek yang ia diamati dalam memahami masalahmasalah dan gejala-gejala sosial-politik, terutama masalah moral dan kekuasaan. Hobbes menganggap manusia secara alamiah dan pada dasarnya selfish (mementingkan diri sendiri), suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Kata Hobbes dalam Leviathan, “Jadi pertama-tama, penulis mengemukakan suatu kecenderungan umum dari seluruh umat manusia, suatu hasrat akan kekuasaan abadi dan tak berkesudahan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian”.

Negara ia pahami sebagai sebuah lembaga sosial yang mirip— dengan apa yang disebutnya sebagai “Leviathan ”, sejenis monster (makhluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah Perjanjian Lama. Leviathan tak hanya ditakuti, tetapi juga dipatuhi perintahnya. Bagi Hobbes, keberadaan negara itu seperti dia, yang memiliki kekuatan memaksa, menghukum, dan membuat orang harus patuh padanya. Oleh karenanya, negara harus kuat sepertinya, tak boleh lemah. Jika negara lemah, akan timbul konfl ik dan guncangan, anarki, perang sipil di dalam, dan membuat kekuasaan tak mampu mengendalikan pertengkaran di antara umat manusia yang memiliki kepentingan.

Teori sosial lain adalah mengenai “kontrak sosial ” (social contract). Dalam hal ini, Hobbes percaya bahwa manusia bisa menjamin penjagaan diri mereka hanya jika mereka bersedia membuat perjanjian dengan orang lain dengan menghapuskan hak alamiah absolut mereka pada semua hal.

Beberapa sifat defi nisi Hobbes tentang kontrak sosial antara lain: pertama, perjanjian ini bukanlah perjanjian antara ruler of nature) dan membentuk masyarakat sipil. Kedua, kontrak sosial dilakukan oleh individu-individu yang secara alamiah terisolasi dan anti-sosial. Ketiga, kesatuan orang-orang yang dibentuk oleh perjanjian sosial (social covenant) lebih merupakan konsekuensi dari kedaulatan daripada sumber kedaulatan. Sebelum individu-individu masuk ke dalam kontrak sosial, mereka tidak lain kecuali kumpulan orang-orang yang tidak teratur (disordered mass), lalu kemudian setelah perjanjian dicapai masyarakat politik yang diciptakan oleh kumpulan individu-individu yang bersifat kebetulan disatukan secara artifi sial oleh kekuasaan penguasa yang tidak terbatas sebagaimana atom-atom diatur oleh kekuatan alam. Keempat, tidak ada kebulatan suara dalam kontrak sosial versi Hobbes. Orang-orang dituntut menciptakan kedaulatan yang cukup kuat guna menjalankan tatanan internal dan mempertahankan diri dari agresi luar.

Teori sosial sejak abad ke-17 di era Hobbes tampak memfokuskan pada lembaga sosial. Ada ciri umum bahwa para ilmuwan sosial percaya bahwa lembaga-lembaga sosial terikat pada hubunganhubungan yang tetap. Kemudian, pada abad ke-18 mulai muncul ajaran kontrak sosial seperti yang diajarkan oleh John Locke (1632— 1704) dan J.J. Rousseau (1712—1778).

Locke adalah pelopor banyak gagasan liberal yang pada masa selanjutnya, terutama di abad 18, berkembang pesat. Dialah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian kekuasaan (separation of power) yang belakangan ditegaskan oleh Montesquieu. Locke melontarkan pandangan bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif harus dipisahkan jika ingin menghindari terjadinya kezaliman kekuasaan. Untuk menjamin adanya negara hukum, para wakil rakyat harus menciptakan undang-undang dan raja atau pemerintah harus menerapkannya.

Pandangannya tentang masyarakat berkaitan dengan pandangannya tentang keadaan alamiah (state of nature). Akan tetapi, keadaan alamiah menurut Locke jauh berbeda dari pemikiran Hobbes, bahkan berkebalikan. Locke justru menganggap bahwa keadaan manusia secara alamiah cenderung berada dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan diwarnai kesetaraan. Manusia dalam keadaan alamiah pada dasarnya baik, selalu terobsesi untuk perdamaian, saling tolongmenolong, dan memiliki kemauan baik dan telah mengenal hubungan-hubungan sosial.

Locke mengatakan bahwa sifat itu sesuai dengan akal manusia yang cenderung rasional dan tindakan yang dipilih secara rasional tentu tak mau merugikan orang lain atau berbuat jahat. Jadi, ia memusatkan watak kebaikan manusia dari akalnya. Ia mengatakan bahwa akal budi manusia tak lain adalah hukum alam yang memiliki sifat-sifat ketuhanan. Menggunakan istilah Platonik, Locke menyebut akal sebagai “Suara Tuhan” (reason is the voice of God).

Teorinya tentang kontrak sosial berkaitan dengan filsafat politik tempat dia dengan menempatkan keadaan alamiah asli yang ia sebut sebagai komunitas umat manusia alamiah yang besar. Kondisi ini, demikian ia menggambarkannya, adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akal tetapi tanpa otoritas. Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, ia bukan keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidak beradab, melainkan masyarakat anarki yang beradab dan rasional . Locke mengakui perlunya beberapa aturan hukum lain selain yang ada bersifat moral karena “hukum alam, sebagaimana hukum-hukum lain yang mengatur manusia di atas bumi, akan sia-sia jika tidak ada orang dalam keadaan alamiah yang mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan hukum tersebut, dan juga untuk melindungi orangorang yang tidak bersalah serta mencegah orang-orang yang ingin menyerang”.

Di sinilah pentingnya negara sebagai bentuk kontrak sosial . Beberapa sifat kontrak sosial Locke yang perlu dicatat,10 pertama, prinsip yang mengerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran, melainkan keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Orang-orang tidak lari dari kesulitan hidup dengan mencari perlindungan di balik kekuatan semua penguasa yang kuat. Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi hanya hak untuk melaksanakan hukum alam. Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu.

Ia menulis karya berjudul Social Contract yang mendefinisikan pemerintah sebagai lembaga perantara yang dibentuk antara warga negara dan penguasa, untuk menjamin hubungan mereka, ditugasi dengan pelaksanaan hukum, dan menjaga kebebasan sipil dan politik.

Sementara itu, gagasan kontrak sosial pada diri Rousseau sangat berpengaruh bagi gerakan sosial yang kelak juga menghasilkan perubahan radikal dalam masyarakat Barat. Yang terpenting adalah bahwa ia adalah pemikir yang memengaruhi sebuah gerakan dan perubahan besar dalam sejarah, revolusi. Tulisan Social Contract dapat dikatakan sebagai kitab bagi kaum Revolusioner, terutama para aktivis gerakan Revolusi Prancis , dan merupakan ilham bagi konsep negara Hegel. Rousseau juga pendukung kuat demokrasi langsung tempat semua orang, bukan kelas istimewa atau beberapa orang terpilih, yang ikut serta.

Pada awal abad ke-19 pemikiran sosial dimeriahkan oleh ajaranajaran dari Saint Simon (1760—1825). Dia menyatakan bahwa hendaknya manusia dipelajari dalam kehidupan berkelompok. Dalam bukunya yang berjudul Memoirs Sur la Science de l’Home, dia menyarankan bahwa ilmu sosial politik merupakan ilmu yang positif. Artinya, masalah-masalah dalam ilmu sosial dan politik hendaknya dianalisis dengan metode-metode yang lazim dipakai terhadap gejala-gejala lain. Dia memikirkan sejarah sebagai suatu fisika sosial. Fifi ologi sangat memengaruhi ajarannya tentang masyarakat. Masyarakat bukanlah semata-mata merupakan suatu kumpulan orang-orang belaka yang tindakan-tindakannya tak memiliki sebab kecuali kemauan masing-masing. Kumpulan tersebut hidup karena didorong oleh organ-organ tertentu yang menggerakkan manusia untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu.