Seperti Apa Jaminan Menurut Hukum Ekonomi Syariah?

Jaminan Menurut Hukum Ekonomi Syariah

Dalam konsep di Bank Syariah tidak boleh ada jaminan, sedangkan pada prakteknya di Indonesia terdapat jaminan sebagaimana yang ada dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)

Seperti Apa Jaminan Menurut Hukum Ekonomi Syariah?

Kata “jaminan” dalam peraturan perundang – undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUH Perdata dan Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan, namun dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan di atas dapat diketahui, bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang .

Dalam konsep di Bank Syariah tidak boleh ada jaminan, sedangkan pada prakteknya di Indonesia terdapat jaminan sebagaimana yang ada dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) diputuskan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau puhak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal – hal yang telah disepakati dalam akad.

Sedangkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 68/DSNMUI/III2008 Tentang Rahn Tasjily menyebutkan Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman atau transaksi lain yang menimbulkan utang piutang dengan memberikan jaminan barang dengan ketentuan barang tersebut masih dikuasai dan digunakan oleh pihak berutang .

Oleh karena itu masalah jaminan masih menjadi persoalan yang perlu dibahas secara serius dan dikaji secara teliti untuk mendapatkan ketetapan hukum yang sesuai. Secara umum konsep jaminan dalam hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu jaminan yang berupa orang ( personal guaranty ) dikenal dengan istilah dlaman atau Kafalah , dan jaminan berupa harta benda dikenal dengan istilah Rahn .

Kafalah


Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung ( kafil ) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan . Landasan Hukum Kafalah : Al Qur’an surat Yusuf ayat 72:

“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.

Kafalah memiliki rukun yakni :

Penjamin / penanggung ( kafil )

  1. Orang / Lembaga penerima jaminan / tanggungan.

  2. Orang / Lembaga yang meminta jaminan.

  3. Hal / jenis pertanggungan.

  4. Upah / fee .

  5. Ijab kabul ( shigat ).

Adapun syarat Kafalah , yaitu :

  1. Pihak yang berakad saling ridha dan tidak ingkar janji, serta cakap hukum.

  2. Kafil mengetahui dengan benar apa yang akan menjadi tanggungannya dan mampu melaksanakannya.

  3. Hal / perkara yang ditanggung tidak boleh bertentangan dengan syariah.

  4. Upah pertanggungan harus disepakati.

  5. Masa jabatan sebagai kafil dianggap selesai / batal apabila selesai urusannya, dilaksanakan sendiri atau dicabut oleh orang yang meminta dijamin.

  6. Penjamin.

  7. Pihak yang diberi jaminan.

  8. Barang yang dijamin.

Kafalah terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

  1. Kafalah bin – Nafs adalah akad memberikan jaminan atas diri ( personal guarantee ).

  2. Kafalah bil – Maal adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.

  3. Kafalah bit – Taslim adalah jaminan pengembalian atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir.

  4. Kafalah al – Munjazah adalah jaminan mutlak, yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan / tujuan tertentu.

Rahn


Rahn artinya tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang lebih penting penyerahan tersebut bersifat legal, misalnya penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya. Barang – barang yang dijadikan sebagai Rahn adalah barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan / bertahan lama . Landasan Hukum Rahn : Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 183

Artinya : Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barang siapa menyembunyikannya, Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hati-nya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:283).

Surat Al Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa bagi orang yang tidak mampu membayar secara tunai orang tersebut dapat berhutang dengan membuat catatan dan disaksikan minimal oleh dua orang saksi, sedangkan untuk orang yang belum dikenal untuk diberi pinjaman maka orang yang meminjam tersebut dapat diberikan pinjaman dengan cara memberikan jaminan, dan jaminan tersebut diberikan apabila satu sama lain tidak saling mempercayai.

Sebagaimana halnya dalam akad syariah, Rahn memiliki rukun, yaitu :

  1. Rahin (pemilik harta / barang).

  2. Murtahin (penerima jaminan harta rahin).

  3. Marhun (harta atau barang yang dijaminkan).

  4. Shigat (ijab kabul).

Sedangkan syarat Rahn adalah :

  1. Barang itu sah milik rahin dan berkuasa atas barang tersebut.

  2. Marhun tersebut harus jelas ukurannya, sifat, jumlah, dan nilainya.

  3. Nilai marhun ditentukan berdasarkan nilai riil pasar ( fair value ).

  4. Marhun bisa dipegang atau dikuasai langsung secara hukum positif.

  5. Pemilik boleh menggunakan / memanfaatkan marhun namun penggunaanya tidak mengurangi nilai atau harta.

  6. Apabila marhun mengalami kerusakan atau cacat ketika digunakan, maka rahin wajib memperbaikinya atau menggantinya .

Dari uraian tentang konsep jaminan di atas, jelas bahwa eksistensi jaminan diakui dalam hukum Islam, untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin kepada pihak yang berhak menerima pemenuhan kewajiban disebut dengan Kafalah . Sedangkan jaminan yang yang terkait dengan benda / harta yang harus diberikan orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang disebut dengan Rahn .