Identitas Dayak
Dayak merupakan kelompok masyarakat yang besar di Kalimantan Barat. Besar dari sisi jumlah, persebaran dan peranannya. Dari sisi jumlah, walaupun tidak ada angka resmi, bilangan komunitas ini mencapai 30-40 persen dari total penduduk Kalbar, dan memiliki 151 sub suku dan 100 subsubsuku (Yusriadi, 2008). Sedangkan dari sisi persebaran, Dayak tersebar di semua wilayah kabupaten, di pesisir dan pedalaman. Konsentrasi terbesar ada di kabupaten Landak, Sanggau, dan Bengkayang.
Dari sisi peran, terutama peran politik, tokoh-tokoh Dayak memainkan peranan penting. Selain sebagai gubernur, beberapa di antaranya menjadi kepala daerah di kabupaten, baik sebagai bupati atau wakil bupati. Ada pula yang menduduki jabatan sebagai kepala dinas, serta ketua dan anggota DPRD di provinsi dan kabupaten. Mereka adalah sebagai pengambil kebijakan di wilayah kerjanya masing-masing.
Istilah Dayak digunakan pertama kali oleh Rademaker tahun 1790 untuk menyebut komunitas yang sekarang kita kenal sebagai pribumi yang beragama bukan Islam. Istilah ini sejajar dengan penggunaan istilah Melayu untuk penduduk yang beragama Islam (Alloy, et al., 2008)
Istilah Dayak ini pada mulanya tidak diterima oleh orang pribumi yang bersangkutan. Mereka tahu orang lain menggunakan istilah itu untuk mereka dengan konotasi yang negatif. Apalagi kemudian seiring dengan konsep Dayak itu tersirat pula makna kafir. Van Hulten (1992) menceritakan pengalamannya ketika bernegosiasi dengan orang Dayak di sebuah kampung. Orang kampung itu mengizinkan pastor masuk dengan syarat tidak menyinggung orang kampung sebagai orang kafir. Dahulu bagi pribumi bukan Islam, identitas Dayak dianggap sebagai sesuatu yang menghina dan memalukan. Mereka menganggap istilah itu digunakan orang untuk menyebut mereka dalam konotasi negatif.
Meskipun menolak menggunakan identitas Dayak, tetapi kalangan tertentu dari orang yang disebut Dayak itu melihat ada satu ikatan emosional yang bisa dipakai untuk menyatukan kekuatan politik pribumi bukan Islam. Hal ini menarik untuk dicermati dan dijelaskan lebih mendalam. Apalagi di masa itu pihak yang memiliki otoritas (pemerintah) “memaksakan” penggunaan istilah Dayak untuk semua kebijakan mereka, misalnya dalam pengelompokan sosial, istilah Dayak ini selalu dipakai (Veth, 1854) Kondisi seperti ini membuat orang pribumi mau tidak mau dan perlahan tapi pasti harus menerimanya. Penggunaan yang meluas membuat mereka tidak memiliki pilihan lain.
Beberapa sumber menyebutkan pada masa awal penerimaan penggunaan identitas itu, kalangan pribumi menerima dengan setengah hati, kalau bukan terpaksa. Mereka bisa menerima identitas Dayak tetapi dalam bentuk Daja atau Daya. Daja atau daya dianggap lebih cocok untuk menggambarkan kekuatan bangkit dan menggambarkan semangat (Alloy, et al., 2008) Pemaknaan yang diterima dan dipakai oleh mereka (self identification) berbeda dibandingkan dengan pemaknaan yang diguna dan pakai oleh orang luar.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1946, istilah Daja atau Daya digunakan oleh Oevang Oeray dan kawan-kawan7 untuk menyatukan kekuatan politik dengan melahirkan Daja in Action (DIA), yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Daya (PPD) di tahun 1945. PPD yang mendapat 12 kursi di Kalimantan Barat pada Pemilihan Umum 1955 mengantarkan Oevang Oeray menjadi gubernur di tahun 1960. Beberapa tahun kemudian kekuatan politis PPD meredup dan penggunaan istilah Daya jarang digunakan lagi (Aju dan Zainuddin, 2013. Pada fase ini, identitas Dayak cenderung dianggap sebagai sesuatu yang negatif (Lihat Yusriadi, 2008).
Meskipun pada mulanya identitas Dayak digunakan dalam konteks politik tetapi kemudian setidaknya di tahun 1990-an identitas ini memasuki ruang budaya yang lebih luas secara formal. Ketika di tahun 1999 muncul ketegangan antara orang Dayak dan Melayu berkaitan dengan pemilihan anggota MPR Utusan Daerah Kalbar, berdirilah organisasi Ikatan Keluarga Dayak Islam (IKDI). Organisasi ini didirikan oleh orang-orang Dayak yang beragama Islam dengan tokohnya, antara lain H. Alamsyah (akademisi) dan Rudy Alamsyahrum (politisi). Kehadiran organisasi ini menunjukkan penerimaan istilah Dayak secara formal dan lebih luas di daerah ini melewati batas yang selama ini telah dipakai, yaitu pribumi-bukan Islam. Sebelumnya, setiap orang pribumi yang memeluk Islam cenderung disebut Melayu. Orang yang masuk Islam disebut sebagai “masuk Melayu” (Yusriadi dan Fahmi (ed.), 2007)
Alqadrie (2012) melihat hal ini sebagai kesadaran etnis (ethnic consciousness). Hal ini menurutnya merupakan konsekuensi dari bangkitnya kelompok etnik dari proses keterpinggiran (marginalized). Kesadaran itu mendorong mereka menjadi kreatif untuk menjadikan pelbagai bahan budaya yang ditampilkan dan dipersembahkan sebagai identitas kelompok etnik. Budaya itulah yang digali, dikembangkan dan dipromosikan kepada masyarakat luas. Hari ini, ketika membicarakan Dayak, dalam mindset (pikiran) banyak orang bukan hanya akan terbayang pada pribumi bukan Islam, melainkan juga pada budaya Gawai, Naik Dango, tato khas, tarian perang, musik etnik, serta bahasa tertentu, hukum adat, pakaian dari kulit kayu dan manik-manik, topi dari bulu burung, rumah panjang (betang, lamin), mungkin juga telinga yang panjang. Meskipun dalam beberapa keadaan, tidak semua bayangan itu tepat, tetapi dalam batas tertentu bisa diterima sebagai bagian dari identitas Dayak. Bayangan itu menjadi simbol bagi komunitas ini.
Kehadiran sanggar-sanggar budaya, Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda), serta penyelenggaraan acara Gawai Dayak di Kalimantan Barat secara berkala menjadi bagian dari upaya pemertahanan, atau mungkin lebih tepatnya pemupukan, identitas Dayak di daerah ini. Selain itu, belakangan ini semakin banyak organisasi atau kelompok yang menggunakan nama Daak, di antaranya Bala Adat Dayak, Ikatan Pemuda Dayak, Bakor K2 MAD, dan Fopad. Kehadiran lembagalembaga ini menunjukkan bahwa identitas Dayak sudah diterima dan didukung secara meluas oleh banyak orang. Gerakan mereka sering kali politis, tetapi secara simbolik mereka menggunakan simbol-simbol budaya dalam aksinya.