Seperti apa identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat?

patung dayak melayu

Identitas atau jati diri sering kali menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Diskursus tersebut tersuguh di ruang publik hampir di setiap kesempatan, terutama ketika muncul pemberitaan-pemberitaan atau isu-isu ketegangan antarkelompok.

Secara awam, jati diri merupakan nama lain dari identitas atau ciri. Dari aspek leksikal, konsep jati diri itu dapat dipahami melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni: 1) ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas; 2) inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam; spiritualitas (https://kbbi. kemdikbud.go.id)

Dalam dunia akademik, istilah identitas atau identity lebih sering dipakai dibandingkan jati diri. Identity adalah kata dari bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin identidem atau idem yang berarti persamaan atau kesinambungan (Shamsul, 2001). Mesthrie dan Tabouret-Keller (2001) menyebutkan bahwa identitas adalah sifat-sifat (ciri-ciri dan sebagainya) yang terdapat pada seseorang atau sesuatu yang sebagai suatu keseluruhan memperkenalkannya atau membedakannya dari yang lain.

Setidaknya ada dua pendapat yang muncul berkaitan dengan identitas itu. Pertama, identitas sebagai satu ciri yang stabil (beku) yang tidak berubah. Kalau sekelompok orang dikenal dengan identitas itu, maka selamanya identitas itu harus melekat pada dia. Tidak bisa dibuang, tidak bisa diganti. Kedua, identitas sebagai ciri yang cair (fluid) yang dapat berubah sesuai kepentingan. Identitas seseorang bisa dipilih menurut kepentingan dan kemauan. Dari dua pendapat itu, pendapat kedua yang menganggap identitas sebagai sesuatu yang cair lebih sering dipakai di kalangan ilmuwan (Shamsul, 1996). Mayoritas kajian identitas menyepakati bahwa identitas itu dianggap sebagai sesuatu yang cair, yang dapat dibentuk, dipertahankan, dan dapat diubah. Pertimbangannya terletak pada kebutuhan yang sifatnya pragmatis (Shamsul, 2001)

Sementara itu dari sisi pembentukan dan pilihannya, identitas bisa dibentuk dan dipilih oleh si pemilik atau pemakai. Sifatnya bisa berasal dari dalam (self define), namun bisa juga dari luar (authority define) yang dibentuk dan dipakai oleh (dari) orang lain. Kedua bentuk identitas ini bisa diterima, bisa juga ditolak, dan bisa juga pada mulanya ditolak lalu kemudian diterima.

Bahan yang digunakan dalam membentuk identitas bisa bermacam-macam. Ada yang mengaitkan identitas dengan kondisi sosial, geografis, etnik, gender dan kebangsaan (Abdurrahman, 2009

Teori identitas ini dapat digunakan untuk memahami relasi-relasi yang ada di masyarakat. Salah satunya untuk memahami tentang persaingan dan konflik, serta kerukunan dan persaudaraan antara Dayak dan Melayu mewarnai ruang publik di Kalimantan Barat. Kedua kelompok utama (mayoritas) di Kalimantan Barat menjalani hubungan pasang dan surut yang menarik untuk dikaji dalam konteks identitas.

Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?

Identitas Dayak


Dayak merupakan kelompok masyarakat yang besar di Kalimantan Barat. Besar dari sisi jumlah, persebaran dan peranannya. Dari sisi jumlah, walaupun tidak ada angka resmi, bilangan komunitas ini mencapai 30-40 persen dari total penduduk Kalbar, dan memiliki 151 sub suku dan 100 subsubsuku (Yusriadi, 2008). Sedangkan dari sisi persebaran, Dayak tersebar di semua wilayah kabupaten, di pesisir dan pedalaman. Konsentrasi terbesar ada di kabupaten Landak, Sanggau, dan Bengkayang.

Dari sisi peran, terutama peran politik, tokoh-tokoh Dayak memainkan peranan penting. Selain sebagai gubernur, beberapa di antaranya menjadi kepala daerah di kabupaten, baik sebagai bupati atau wakil bupati. Ada pula yang menduduki jabatan sebagai kepala dinas, serta ketua dan anggota DPRD di provinsi dan kabupaten. Mereka adalah sebagai pengambil kebijakan di wilayah kerjanya masing-masing.

Istilah Dayak digunakan pertama kali oleh Rademaker tahun 1790 untuk menyebut komunitas yang sekarang kita kenal sebagai pribumi yang beragama bukan Islam. Istilah ini sejajar dengan penggunaan istilah Melayu untuk penduduk yang beragama Islam (Alloy, et al., 2008)

Istilah Dayak ini pada mulanya tidak diterima oleh orang pribumi yang bersangkutan. Mereka tahu orang lain menggunakan istilah itu untuk mereka dengan konotasi yang negatif. Apalagi kemudian seiring dengan konsep Dayak itu tersirat pula makna kafir. Van Hulten (1992) menceritakan pengalamannya ketika bernegosiasi dengan orang Dayak di sebuah kampung. Orang kampung itu mengizinkan pastor masuk dengan syarat tidak menyinggung orang kampung sebagai orang kafir. Dahulu bagi pribumi bukan Islam, identitas Dayak dianggap sebagai sesuatu yang menghina dan memalukan. Mereka menganggap istilah itu digunakan orang untuk menyebut mereka dalam konotasi negatif.

Meskipun menolak menggunakan identitas Dayak, tetapi kalangan tertentu dari orang yang disebut Dayak itu melihat ada satu ikatan emosional yang bisa dipakai untuk menyatukan kekuatan politik pribumi bukan Islam. Hal ini menarik untuk dicermati dan dijelaskan lebih mendalam. Apalagi di masa itu pihak yang memiliki otoritas (pemerintah) “memaksakan” penggunaan istilah Dayak untuk semua kebijakan mereka, misalnya dalam pengelompokan sosial, istilah Dayak ini selalu dipakai (Veth, 1854) Kondisi seperti ini membuat orang pribumi mau tidak mau dan perlahan tapi pasti harus menerimanya. Penggunaan yang meluas membuat mereka tidak memiliki pilihan lain.

Beberapa sumber menyebutkan pada masa awal penerimaan penggunaan identitas itu, kalangan pribumi menerima dengan setengah hati, kalau bukan terpaksa. Mereka bisa menerima identitas Dayak tetapi dalam bentuk Daja atau Daya. Daja atau daya dianggap lebih cocok untuk menggambarkan kekuatan bangkit dan menggambarkan semangat (Alloy, et al., 2008) Pemaknaan yang diterima dan dipakai oleh mereka (self identification) berbeda dibandingkan dengan pemaknaan yang diguna dan pakai oleh orang luar.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1946, istilah Daja atau Daya digunakan oleh Oevang Oeray dan kawan-kawan7 untuk menyatukan kekuatan politik dengan melahirkan Daja in Action (DIA), yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Daya (PPD) di tahun 1945. PPD yang mendapat 12 kursi di Kalimantan Barat pada Pemilihan Umum 1955 mengantarkan Oevang Oeray menjadi gubernur di tahun 1960. Beberapa tahun kemudian kekuatan politis PPD meredup dan penggunaan istilah Daya jarang digunakan lagi (Aju dan Zainuddin, 2013. Pada fase ini, identitas Dayak cenderung dianggap sebagai sesuatu yang negatif (Lihat Yusriadi, 2008).

Meskipun pada mulanya identitas Dayak digunakan dalam konteks politik tetapi kemudian setidaknya di tahun 1990-an identitas ini memasuki ruang budaya yang lebih luas secara formal. Ketika di tahun 1999 muncul ketegangan antara orang Dayak dan Melayu berkaitan dengan pemilihan anggota MPR Utusan Daerah Kalbar, berdirilah organisasi Ikatan Keluarga Dayak Islam (IKDI). Organisasi ini didirikan oleh orang-orang Dayak yang beragama Islam dengan tokohnya, antara lain H. Alamsyah (akademisi) dan Rudy Alamsyahrum (politisi). Kehadiran organisasi ini menunjukkan penerimaan istilah Dayak secara formal dan lebih luas di daerah ini melewati batas yang selama ini telah dipakai, yaitu pribumi-bukan Islam. Sebelumnya, setiap orang pribumi yang memeluk Islam cenderung disebut Melayu. Orang yang masuk Islam disebut sebagai “masuk Melayu” (Yusriadi dan Fahmi (ed.), 2007)

Alqadrie (2012) melihat hal ini sebagai kesadaran etnis (ethnic consciousness). Hal ini menurutnya merupakan konsekuensi dari bangkitnya kelompok etnik dari proses keterpinggiran (marginalized). Kesadaran itu mendorong mereka menjadi kreatif untuk menjadikan pelbagai bahan budaya yang ditampilkan dan dipersembahkan sebagai identitas kelompok etnik. Budaya itulah yang digali, dikembangkan dan dipromosikan kepada masyarakat luas. Hari ini, ketika membicarakan Dayak, dalam mindset (pikiran) banyak orang bukan hanya akan terbayang pada pribumi bukan Islam, melainkan juga pada budaya Gawai, Naik Dango, tato khas, tarian perang, musik etnik, serta bahasa tertentu, hukum adat, pakaian dari kulit kayu dan manik-manik, topi dari bulu burung, rumah panjang (betang, lamin), mungkin juga telinga yang panjang. Meskipun dalam beberapa keadaan, tidak semua bayangan itu tepat, tetapi dalam batas tertentu bisa diterima sebagai bagian dari identitas Dayak. Bayangan itu menjadi simbol bagi komunitas ini.

Kehadiran sanggar-sanggar budaya, Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda), serta penyelenggaraan acara Gawai Dayak di Kalimantan Barat secara berkala menjadi bagian dari upaya pemertahanan, atau mungkin lebih tepatnya pemupukan, identitas Dayak di daerah ini. Selain itu, belakangan ini semakin banyak organisasi atau kelompok yang menggunakan nama Daak, di antaranya Bala Adat Dayak, Ikatan Pemuda Dayak, Bakor K2 MAD, dan Fopad. Kehadiran lembagalembaga ini menunjukkan bahwa identitas Dayak sudah diterima dan didukung secara meluas oleh banyak orang. Gerakan mereka sering kali politis, tetapi secara simbolik mereka menggunakan simbol-simbol budaya dalam aksinya.

Identitas Melayu


Seperti juga Dayak, Melayu adalah kelompok dominan di provinsi ini. Tidak diketahui pasti jumlah mereka tetapi perkiraan kasar berjumlah sekitar 40-50 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Kalimantan Barat (Yusriadi, 2008)

Pembentukan identitas Melayu dalam konteks Kalimantan Barat dimulai sejak Islam masuk ke wilayah ini. Namun belum ditemukan hasil hasil kajian yang dapat menunjukkan kapan persisnya awal mula penggunaan istilah Melayu sebagai identitas etnik di Kalimantan Barat.

Seperti disinggung di atas, identitas ini digunakan sebagai bagian dari polarisasi penduduk pribumi di Kalimantan Barat (Yusriadi dan Haitami, 2001, Yusriadi, 2008). Melayu digunakan untuk menyebut identitas penduduk Kalimantan Barat yang beragama Islam. Hampir di semua kawasan di pusat kebudayaan Melayu (misalnya ibu kota kecamatan) mengenal konsep “menjadi Melayu” atau “masuk Melayu”. Istilah ini merujuk kepada orang yang memeluk agama Islam (Purba, et al., 2011; Yusriadi, 2002).

Berbeda dengan Dayak, sejak awal identitas Melayu di Kalimantan Barat digunakan dalam konteks positif dan karena itu lebih mudah diterima dan dipakai oleh masyarakat secara meluas. Orang luar menyebut mereka Melayu dan mereka sendiri juga memakai sebutan itu. Bahkan, dalam konteks sosial-keagamaan di Kalimantan Barat, orang yang masuk Islam akan disebut sebagai orang Melayu. Istilah “masuk Melayu” yang dikenal di beberapa tempat di Kalimantan Barat merupakan penguatan atas gambaran tersebut. Identitas “masuk Melayu” bukan saja berlaku untuk orang pribumi yang bukan Islam yang kemudian memeluk agama Islam, melainkan juga dipakai oleh orang bukan pribumi yang bukan Islam yang kemudian memeluk agama Islam.

Melayu sebagai identitas politik dan budaya di Kalimantan Barat muncul dalam berbagai bentuk. Sebagai identitas politik, Melayu dikaitkan dengan kesultanan dan kekuasaan, khususnya kekuasaan masa lalu. Di Kalbar sendiri teridentifikasi setidaknya 13 kerajaan atau pertuanan Melayu, mulai dari Pontianak, Sambas, Mempawah, Ketapang, Sukadana, hingga Landak dan Sintang (Purba, et al., 2011). Kekuasaan masa lalu itu sering kali, kalau tidak selalu, menjadi pantulan untuk melihat situasi yang dihadapi saat ini. Oleh karena itulah Melayu sering dikaitkan dengan jabatan dan kekuasaan wilayah teritori pemerintahan.

Pada aspek budaya, bentuk identitas budaya Melayu yang sifatnya umum merujuk kepada orang Melayu secara keseluruhan. Contohnya adalah budaya silat, jepin, barzanji, tepung tawar, dan juadah yang dianggap sebagai budaya Melayu yang umum. Sedangkan bentuk identitas budaya yang sifatnya khusus merujuk kepada sub-Melayu. Misalnya, identitas bubur paddas, kue lapis, saprahan, dan balale’ untuk masyarakat Melayu Sambas; masakan asam pedas dan meriam karbit untuk Melayu Pontianak dan sekitarnya; ale-ale untuk makanan khas Melayu Ketapang, temet (kerupuk basah) dan lamoy untuk masyarakat Melayu di Kapuas Hulu. Contoh lain dari identitas budaya Melayu yang bersifat khusus adalah batik pucuk rebung sebagai identitas Melayu Pontianak, syair gulung sebagai identitas Melayu Ketapang, tumpang negeri sebagai identitas Melayu Ngabang. Identitas budaya yang seperti ini umumnya masih terjaga keberlangsungannya hingga kini dan ditampilkan dalam berbagai kegiatan.

Selain dalam tradisi upacara adat, kesenian, dan kuliner, ada pula identitas lain yang dapat mem-perlihatkan identitas budaya Melayu yang bersifat khusus, yaitu dialek. Misalnya, dialek Sambas untuk orang Melayu Sambas (dan Singkawang), dialek Melayu Pontianak untuk orang Melayu Pontianak, dialek Melayu Ketapang untuk orang Melayu di Ketapang, dialek Sanggau untuk orang Melayu di Sanggau dan Sekadau, dialek Melayu Sintang untuk Melayu Sintang, dialek Melayu Pinoh untuk Melayu di penghuluan Sungai Melawi, Melayu Putussibau untuk orang Melayu di Putussibau dan Semitau, dialek Melayu Embau untuk orang Melayu di sepanjang Sungai Embau, dialek Melayu Selimbau, untuk orang Melayu di Selimbau, dan masih banyak lagi dialek lainnya. (Yusriadi, 2006)

Identitas Melayu dari bahan budaya ini diperkuat dengan pembentukan lembaga Majelis Adat dan Budaya Melayu Kalimantan Barat (MABM) di Pontianak tahun 1997 dan pembangunan rumah Melayu Kalbar di Pontianak tahun 2003. MABM melakukan pengukuhan identitas Melayu antara lain melalui pergelaran Festival Seni Budaya Melayu (FSBM). Pada festival ini diselenggarakan pentas tari, tampilan pakaian adat, penge-nalan tradisi khusus (seperti saprahan yaitu makan bersama secara berkelompok dalam satu majelis), dan lain sebagainya. Selain itu, muncul juga organisasi-organisasi lain yang mengatasnamakan Melayu, sebagai contoh Melayu Arus Bawah, Laskar Melayu, Permak, Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM), Pemuda Melayu, dan Perkumpulan Orang Melayu (POM). Sekalipun lembaga-lembaga tersebut lebih banyak yang bergerak di bidang yang berkaitan dengan gerakan politis, tetapi mereka memilih simbol budaya Melayu sebagai titik perhatian utama. Maka, di Pontianak terlihatlah kegiatankegiatan pentas seni, saprahan massal, serta pawai atau kirab budaya Melayu.