Seperti Apa Identitas Bangsa Myanmar?

Identitas Bangsa Myanmar

Menurut Zahler (2010) penduduk Myanmar terbagi ke dalam 8 besar kelompok etnis yang kemudian terbagi lagi ke dalam 135 kelompok etnis kecil.

Seperti Apa Identitas Bangsa Myanmar?

Myanmar adalah negara yang terletak di ujung barat wilayah Asia Tenggara dan merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah sekitar 676,578 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta. Secara geografis Myanmar memiliki letak yang cukup strategis, Karen a berbatasan dengan 5 negara yakni dengan Cina di sebelah utara; Laos di sebelah timur; Thailand di sebelah tenggara; Bangladesh di sebelah barat dan India disebelah barat laut (Irewati, 2007). Selain itu, letak Myanmar juga berhadapan dengan Laut Andaman dan Teluk Bengal di sebelah barat dayanya. Dengan memiliki wilayah yang subur, sebagian besar masyarakat Myanmar melakukan kegiatan ekonomi dibidang pertanian. Penduduk Myanmar terbagi ke dalam beberapa kelompok suku bangsa yang memiliki perbedaan baik dalam bahasa maupun agama.

Menurut Zahler (2010) penduduk Myanmar terbagi ke dalam 8 besar kelompok etnis yang kemudian terbagi lagi ke dalam 135 kelompok etnis kecil. Kelompok etnis pertama adalah Burman (Bamar/Birma) yang merupakan kelompok etnis terbesar dan mendominasi Myanmar dengan hampir 2/3 penduduk atau 68% atau sekitar 30 juta penduduk dari seluruh populasi Myanmar. Suku Burman awalnya berasal dari Timur Himalaya yang datang dan mendiami kawasan delta Irrawaddy lebih dari 1200 tahun yang lalu. Suku Burman beragama Budha, dan mereka berbicara bahasa yang mirip dengan bahasa Cina dan Tibet. Selanjutnya, ada suku Shan yang penduduk aslinya juga berasal dari Cina. Suku Shan kurang lebih berjumlah 9-15% dari total populasi Myanmar. Mereka tinggal di wilayah bagian Shan, berbahasa Shan atau Burmese . Suku Shan kebanyakan beragama Budha dan yang lainnya menganut kepercayaan aminisme yang percaya akan roh yang mendiami alam semesta. Warga Shan bermata pencaharian sebagai petani yang biasa menanan padi, buah, sayur dan kedelai dan sebagian lagi bermatapencaharian sebagai penambang.

Suku ketiga adalah suku Karen ( Kayin ) yang berjumlah sekitar 6% dan datang ke Myanmar dari daerah Tibet. Suku Karen sebagian tinggal di wilayah timur dari negara bagian Karen yang berbatasan dengan Thailand. Sebagian besar suku Karen beragama Budha dan beberapa diantaranya juga ada yang menganut animisme. Sebagian suku Karen lainnya beragama Kristen yang dibawa oleh pemuka agama Kristen dari Amerika Serikat pada abad ke 19. Warga suku Karen berprofesi sebagai petani.

Selanjutnya, suku Arakanese ( Rakhine ) yang tinggal di negara bagian Rakhine dan berjumlah sekitar 4% dari populasi Myanmar. Suku Rakhine beragama Budha dan mengklaim diri mereka sebagai suku pertama di Myanmar yang menganut agama Budha. Warga suku Rakhine sebagian besar juga berprofesi sebagai petani beras. Berikutnya adalah suku Mon, suku ini tinggal di negara bagian Mon yang juga berbatasan dengan Thailand. Mon adalah suku pertama yang mendiami wilayah Asia Tenggara dan yang menyebarkan ajaran Budha ke wilayah Burma (Myanmar) dan Thailand. Suku Mon datang pertama kali ke wilayah Mon sekitar tahun 1500 sebelum Masehi dan sebagian besar penduduk Mon adalah petani. Suku yang juga berbatasan dengan Thailand adalah suku Karen ni (Kayah). Suku Kayah datang dari Mongolia pada abad ke 8 SM. Suku ini mendiami wilayah bagian Karenni di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Suku Kayah sering disebut sebagai “ Red Karen ” Karena kebiasaan penduduknya menggunakan pakaian merah. Suku Kayah ada sekitar 5% dari total populasi Myanmar dan beragama Kristen.

Selanjutnya terdapat suku Kachin, suku ini mendiami wilayah paling utara Myanmar yang berbatasan dengan Cina. Mayoritas penduduk Kachin beragama Kristen dan berprofesi sebagai petani; Suku Chin datang ke Myanmar dari Cina, mendiami wilayah bagian Chin yang berbatasan dengan Bangladesh dan India. 70 persen penduduk Chin beragama Kristen. Di Myanmar juga terdapat suku yang penduduknya beragama Islam yaitu suku Ronghiya yang tinggal di utara Rakhine . Dan terakhir suku The Wa yaitu suku yang mendiami wilayah Shan dan mayoritas menganut animisme. Sebagian besar penduduk suku The Wa adalah petani, namun Karen a wilayah yang berbukit-bukit menyebabkan lahan mereka kurang subur, yang akhirnya membuat penduduk suku The Wa mengembangkan opium yang digunakan untuk memproduksi narkotika (Zahler, 2010).

Meski memiliki keragaman etnis, dominasi suku dan agama di Myanmar sangat terlihat jelas. Suku Burman adalah suku yang mendominasi berbagai bidang kehidupan Myanmar dengan 2/3 persen penduduk dari total popolasi Myanmar. Steinberg (2010) menjelaskan dominasi suku di Myanmar juga menyebabkan Myanmar memutuskan untuk menjadi negara beragama Budha. Suku Burman merupakan suku mayoritas di Myanmar dan beragama Budha. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri U Nu tahun 1961, Myanmar resmi menjadi negara beragama Budha. Keputusan ini meski diterima namun pada dasarnya menyinggung perasaan suku minoritas lain seperti Kachin dan Karen yang tidak menganut agama Budha. Dominasi suku mayoritas ini juga menyebabkan banyak pemberontakan yang kemudian menimbulkan masalah baru bagi Myanmar seperti pemberontak yang kabur ke negara tetangga Myanmar menyebabkan konflik di perbatasan yang juga mengancam integritas dari Myanmar itu sendiri.

Menurut Irewati (2007) dengan keadaan geografis yang cukup strategis, yaitu berbatasan dengan 5 negara serta keragaman etnis ikut mempengaruhi dan membentuk kehidupan politik domestik Myanmar. Dari kelima negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar hampir semua memiliki hubungan politik yang kurang baik dengan Myanmar. Seperti dengan Thailand, Bangladesh dan India. Ketiga negara ini memiliki masalah terkait perbatasan dan pengungsi serta kelompok pemberontak. Masalah pengungsi ini terkait dengan kelompok etnis Myanmar yaitu suku Mon, Karen ni dan Karen yang menghindar dari pengejaran Junta Militer yang kemudian melarikan diri guna mencari perlindungan di wilayah negara tetangga seperti Thailand Selatan.

Hubungan Myanmar dengan Bangladesh ditandai dengan adanya masalah pengungsi, setelah suku Rohingya yang merupakan etnis muslim Myanmar masuk ke wilayah Bangladesh untuk mencari perlindungan, Karen a etnis muslim merasa terdiskrimasi di Myanmar. Sementara dengan pemerintah India, Myanmar memiliki masalah perbatasan yang disebabkan oleh adanya kelompok separatis India yang di berbasis di daerah Sagaing ( Sagaing Division ) di Myanmar yang telah bertahun-tahun menempati wilayah di Myanmar tersebut dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah India. Masalah perbatasan inilah yang membuat hubungan Myanmar dengan ketiga negara di atas menjadi kurang harmonis. Hubungan politik luar negeri Myanmar dengan ketiga negara yang telah disebutkan di atas menjadi bertambah tidak baik. Diantaranya disebabkan juga oleh faktor internal Myanmar yang tidak mampu mengelola keragaman suku dan etnis secara baik dan adil.

Hal yang sama terjadi dalam hubungan Myanmar dengan Cina. Menurut Steinberg (2010) Myanmar memiliki hubungan yang mengalami pasang surut. Myanmar berbatasan langsung dengan Cina, penduduk Myanmar sebagian besar datang dari dataran Cina, oleh Karena itu etnis dan agama yang dianut mayoritas penduduk Myanmar sama dengan Cina. Di masa lampau atau sekitar tahun 1200- 1700an saat negara belum terbentuk dan masih berupa kerajaan, bangsa Cina banyak yang melarikan diri ke wilayah Myanmar. Tepatnya dimasa Dinasti Ming pada 1644. Pada saat itu banyak warga Cina yang melarikan diri ke wilayah Myanmar akibat kekalahan Dinasti Ming dari Dinasti Manchu Qing. Tidak hanya warga Cina yang melarikan diri ke wilayah Myanmar, di tahun 1765-1769 pemerintah Dinasti Cina juga melakukan invasi ke Myanmar. Namun, invasi tersebut terhenti sampai di provinsi Yunan Karen a di wilayah Myanmar saat itu sedang terjangkit wabah malaria. Dengan latar belakang yang demikianlah, Myanmar memiliki banyak kemiripan dengan Cina, tidak hanya dalam segi agama dan etnis tetapi juga pada sistem perpolitikan. Myanmar dan Cina sama-sama menganut paham sosialis (komunis), walaupun sebenarnya Myanmar mendeklarasikan diri sebagai negara Republik Demokrasi. Namun, praktek-praktek paham sosialis dan komunis masih diterapkan di Myanmar.

Steinberg (2010 h.45-47) menjelaskan bahwa paham sosialis-komunis ini mempengaruhi Myanmar sejak periode 1948-1949, yaitu saat terjadi Revolusi Cina. Pada masa ini, sistem internasional berada pada situasi perang dingin antara blok Barat (Amerika Serikat dan sekutu yang berideologi liberal-kapitalis) dengan blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya yang berideologi sosialis-komunis). Seperti diketahui, pada masa perang dingin ini kedua blok tersebut berusaha menyebarkan pengaruh mereka masing-masing ke seluruh dunia. Cina merupakan salah satu negara sekutu Uni Soviet yang menganut paham sosialis-komunis.

Oleh Karen a itu, Cina juga turut menyebarkan paham ini dan Myanmar sebagai negara tetangga yang memiliki kesamaan etnis menjadi tujuan utama penyebaran paham ini. Pada 1950 saat Cina mendeklarasikan negaranya sebagai Republik Rakyat Cina, Myanmar langsung memberi dukungan dan pengakuan terhadap Republik tersebut. Namun, hubungan Myanmar dengan Cina sempat mengalami ketengangan saat pasukan Kuomintang (Kuomintang merupakan sebuah partai politik di Cina yang terbentuk diakhir tahun 1800an. Partai ini memiliki 3 prinsip, yaitu anti komunisme, liberal conservatism dan cenderung kepada nasionalis Cina/ nasionalis Cina) yang melarikan diri dari Cina ke wilayah Shan di Myanmar akibat mengalami kekalahan dari pasukan komunis Cina (tahun 1949). Pada 1961 pemerintah Cina mengirimkan pasukannya kurang lebih 20.000 orang ke Myanmar, pemerintah Cina juga dibantu militer Myanmar dengan 5.000 orang pasukannya mencoba melakukan perlawanan terhadap pasukan Kuomintang. Pasukan Kuomintang ini adalah pasukan anti komunis Cina yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat khususnya lewat badan intelegennya yaitu Central Intelligence Agency (CIA). Namun, lemahnya pasukan Cina dan militer Myanmar menyebabkan pasukan Kuomintang menguasai Rangoon. Hal ini menimbulkan ketegangan, sehingga militer Myanmar yang memiliki pengaruh kuat di Myanmar melakukan aksi protes terhadap PBB dan menolak bantuan yang diberikan Amerika Serikat. Hal inilah yang juga mendorong Myanmar untuk menerapkan prinsip isolasionisme dalam politik luar negerinya sejak Junta Militer berkuasa tahun 1962. Prinsip isolasionisme ini berlaku terutama kepada negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya.